BARA [END]

Od AlinaAliya13

2.7K 192 27

Setiap kita adalah penyemai luka, Setiap kita adalah pemuai salah. Tetapi setiap kita adalah penawar dari s... Více

Prolog
Luka Pertama
Dewasa
Harapan
Bumi dan Bulan
Rasi
Cinta Pertama
Luka Yang Bermuara
Seutas Angan
Jika Bahagia Itu Sederhana
Rahasia yang mulai mencuat-I
Rahasia yang mulai mencuat-II
Sebuah Penjelas
Pelampiasan
Cinta dan Benci
Sebuah Seni
Desir Sukma
Baik atau Pelik
Perencana
Kegagalan
Numpang Lewat!!!
Bahagia?
Rahasia (?)
Lara
Bias yang jelas
Penyelesaian
Penyelesaian-II
Usai
Epilog
BARA

Alasan Mencintai

66 5 1
Od AlinaAliya13

Pov Naira

"Aku ingin bahagia bersamamu, aku ingin menjalani hari-hariku bersamamu, aku ingin kamu selalu membersamaiku saat ini. Kita, bisa bahagia 'kan?"

Hari dimana Bima bertanya—"apakah kita bisa bahagia?" saat itulah dunia baru tercipta untukku, hari-hari baru tercipta bersamanya: kebahagiaan baru, warna yang baru, senyum dengan siratan yang baru, kehangatan yang baru dan keutuhan yang baru—semuanya oleh karena Bima hadir dihidupku.

Setiap insan memiliki alasan tersendiri mengapa ia jatuh cinta, namun jika kuingat lagi hari itu—hari dimana Bima menyatakan perasaannya kepadaku, aku belum mendengar alasan mengapa ia jatuh cinta kepadaku. Benarkah mencintai tidak perlu alasan? Aku tidak sependapat dengan kebanyakan orang yang mengatakan bahwa jatuh cinta sering tanpa alasan, maksudku setiap hal yang terjadi di Bumi, pastilah mempunyai landasan mengapa hal itu dapat terjadi, seperti Bumi yang tercipta oleh karena sebuah dentuman besar, seperti Tuhan yang menciptakan manusia—yang tidak lain hanya untuk menyembahnya, seperti adanya malam dan siang oleh karena rotasi Bumi, seperti adanya luka-luka yang berujung membenci, oleh karena itu—tidak mungkin, tidak ada alasan mengapa seseorang dapat mencintai. Bukan begitu?

Setiap insan pasti memiliki alasan mengapa mereka mencintai walau kebanyakan dari mereka ada yang tidak pandai untuk mengungkapkan, dan aku sangat yakin bahwa setiap yang mencintai pasti mempunyai alasan tersendiri. Seperti yang sedang ku lihat hari ini, hari dimana Nayla bersanding dengan mempelai prianya di sebuah pelaminan yang dihias dengan begitu cantik. Disana, Jordan—mempelai pria mengungkapkan dengan lantang dan jelas alasan mengapa ia jatuh cinta kepada Nayla dan menikahinya hari ini.

"Nayla adalah perempuan yang cantik dan hebat, ia mampu berdiri sendiri disaat tidak ada tangan yang dapat membantunya berdiri, ia dapat bertahan sendirian disaat tidak ada seseorang pun disisinya, ia dapat memeluk dirinya sendiri disaat tidak ada seorangpun yang dapat memberikan kehangatan kepadanya, dan ia mampu sembuh dari lukanya oleh karena kegigihannya sendiri. Nayla berbeda, ia bukan perempuan yang suka menghabiskan waktunya di salon, mall ataupun tempat-tempat hiburan, ia adalah perempuan yang sering menghabiskan waktunya untuk membereskan kekacauan yang terjadi pada hidupnya di masa lalu, ia sangat gigih, pemberani dan cantik, itulah mengapa aku jatuh cinta kepadanya. Hingga saat ini, di hari ini—aku berjanji, akan menjaganya disisiku dengan segenap hati dan ragaku, dan aku berjanji tidak akan pernah menyakitinya dengan atau tanpa sengaja."

Begitulah janji suci yang diucapkan Jordan kepada Nayla didepan seluruh undangan. Jordan benar, Nayla adalah perempuan yang sangat gigih untuk sembuh dari luka masa lalunya. Dulu, aku fikir—aku dan Nayla adalah sama, dulu aku berfikir bahwa aku dan Nayla sangatlah mirip, kami mempunyai luka masa lalu dan kami sama-sama ingin sembuh. Namun sekarang, aku tersadar bahwa aku dan Nayla sangat berbeda, ia telah berhasil sembuh dari luka masa lalunya oleh karena kegigihannya untuk sembuh, sedangkan aku adalah seorang yang ceroboh, alih-alih sembuh, aku hanya menyiksa diriku oleh jam kerja yang sengaja aku buat padat, akhirnya bukan kesembuhan yang aku dapatkan namun kerapuhanlah yang menjumpai diriku. Aku tengah berada pada jurang sedangkan Nayla telah mendapat kasih sayang.

Aku menatap Bima yang sedari tadi disampingku, ia tersenyum seraya bertepuk tangan—ikut bersuka cita atas pernikahan Nayla dan Jordan. Aku kembali berfikir, mungkinkah hubunganku dengan Bima bisa sampai sejauh itu? Mungkinkah Bima serius akan hubungan yang baru terjalin sekitar enam bulan ini? Mungkinkah suatu saat nanti, aku ditakdirkan untuk mendengar janji sucinya dengan penuh haru? Mungkinkah laki-laki yang sejauh ini membuat aku bahagia akan membahagiakanku untuk selama-lamanya? Ataukah ia akan pergi, seperti yang dilakukan ayah dahulu? Dan aku, harus merelakan sebuah kepergian yang berujung pada kehilangan, lagi. Yang manakah takdir yang jatuh pada diriku, mungkinkah pertemuan yang berujung perpisahan ataukah pertemuan yang berujung dipersatukan?

Bima menoleh, menatapku dengan tersenyum. Aku membalas senyumnya. Ia menggenggam tanganku dan mendekatkan wajahnya kepadaku, ia menyingkirkan anakan rambut disekitar telingaku dan kemudian, ia berbisik.

"Naira, aku berharap hubungan kita bukanlah hubungan yang menciptakan air mata baru, aku berharap hubungan kita adalah hubungan yang dapat menciptakan seulas senyuman baru, senyuman kelegaan, dan senyuman oleh karena ketenangan. Aku mencintaimu." Ia kemudian memelukku.

***

Setelah acara inti formal pernikahan Nayla dan Jordan selesai, aku dan Bima menyantap hidangan yang telah disiapkan. Di meja bundar ini aku bertanya kepada Bima.

"Bima, boleh aku bertanya satu hal?"

Bima menjawab dengan tersenyum, "Boleh. Tanyakan apapun, aku akan menjawab semuanya."

Aku menarik nafas sejenak, "Kalau boleh tahu, apa yang membuat kamu jatuh cinta kepadaku? Aku belum pernah mendengar alasan kamu. Jangan bilang tidak ada alasan, Bim. Karena itu, hanyalah jawaban dari orang-orang yang tidak benar-benar mencintai, sekalipun ia tak pandai bicara, ia akan mengungkapkan walau hanya satu atau setengah dari satu alasan. Aku yakin kamu bukan keduanya. Aku ingin tahu, apa yang membuat kamu mencintaiku dan memutuskan untuk bersamaku hingga hari ini."

Bima tak langsung menjawab, senyumnya yang mengembang tadi perlahan sayu. Ia menegakkan duduknya, dan sendok yang tadi ia pegang ditaruhnya. Bima menarik nafas perlahan, tatap matanya tak lagi sama. Ia menjawab pertanyaanku dengan netra yang susah aku definisikan. Tatapan mata itu, kembali aku rasakan. Tatapan mata yang dulu sempat aku kira adalah tatap kasihan, dan kini—tatapan mata itu menyiratkan apa? Mungkinkah prasangkaku dahulu adalah benar? Jika iya, apakah hubungan kami sejauh ini, hanyalah sebatas rasa keprihatinan?

"Naira, kamu tahu mengapa Harry Potter jatuh cinta kepada Ginny dan menikahinya?"

"Mungkin karena Ginny cantik dan anggun,"

"Bukan."

"Kalau gitu, mungkin karena Ginny lebih muda darinya?"

"Bukan juga."

"Lalu karena apa? Karena Ginny seorang yang sempurna?"

"Bukan. Karena Ginny adalah seorang yang dibutuhkan Harry, Ginny adalah wanita yang setia menunggu Harry walau Harry memilih pergi untuk membunuh Voldemort,"

"Aku enggak ngerti maksud kamu apa, apa yang ingin kamu sampaikan?"

"Ginny adalah perempuan yang setia dan tegar,"

Aku menatapnya serius, menunggu kelanjutan kalimatnya.

"Alasan aku jatuh cinta kepada kamu adalah karena,-" ia menjeda sejenak,

"Karena kamu adalah seorang anak yang setia menunggu ayahmu kembali walau kamu tahu bahwa itu adalah hal yang mustahil. Kamu sama seperti Ginny, perempuan yang setia dan tegar."

"Ayah?!"

Aku terkejut Bima membawa nama ayah pada jawabannya. Aku belum mengerti dengan kalimat yang baru saja ia ucapkan.

"Bim, sebentar," aku mengusap kepalaku sejenak.

"Aku masih enggak paham maksud kamu apa, kenapa harus bawa-bawa ayah di alasan kamu?"

"Karena-" ia menjedanya lagi, tatap itu masih aku rasakan.

"Karena ayah kamu yang membuat hubungan kita ada, Naira."

"Maksud kamu apa, Bim? Ngomong yang jelas!!"

"Naira tenang. Maksud aku-" ia selalu saja menjeda.

"Apa, Bim?" aku sudah kehilangan kesabaran.

"Maksud aku, karena kita sama-sama kehilangan ayah dan aku merasakan kecocokan diantara kita karena hal itu dan aku tahu kamu masih setia menunggu ayahmu kembali alih-alih membenci, dan aku rasa—jika kamu bisa setia menunggu ayahmu yang mustahil kembali, kamu juga pasti bisa setia kepadaku melebihi itu, Naira."

Aku membuang nafas seketika, tetapi bukan kelegaan yang aku rasakan, rasanya masih ada yang mengganjal dari kalimat Bima.

"Di awal, kamu membicarakan Harry dan Ginny, Bim. Bukan Ginny dan ayahnya. Dimana letak Harry pada jawaban kamu? Jika Harry pergi untuk membunuh Voldemort, lalu kamu, apakah kamu juga akan pergi seperti Harry dan berharap aku setia seperti Ginny? Lalu, akan kemana dan untuk apa kamu pergi?"

Bima bergeming, manik matanya bergetar. Aku tidak dapat memahami situasi kami sekarang, rasanya seperti ada sebuah kotak yang sedang Bima kubur dalam-dalam. Aku melanjutkan bicaraku.

"Ginny adalah seorang yang dibutuhkan Harry. Dan itu berkebalikan terhadap kita. Selama ini, di hubungan kita, kamulah yang sangat aku butuhkan, Bima. Aku yang mendominasi, bukan kamu. Lalu dimana letak Harry pada dirimu? Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan, Bima?"

"Naira, jika kamu tidak bisa melihat Harry pada diriku, mungkin aku memang bukan Harry. Aku hanyalah seorang Bima yang jatuh cinta kepada kamu tanpa disengaja."

"Tanpa disengaja?"

"Aku enggak pernah berencana untuk jatuh cinta sama kamu, tapi di hari itu, di studio—aku merasakan sesuatu yang enggak pernah aku rasakan sebelumnya. Disaat kamu bertanya, 'apakah manusia bisa setia ataukah sebenarnya Tuhan yang jahat?', pada saat itu, saat air matamu turun, disaat itulah aku merasakan bahwa aku sangat ingin membahagiakan kamu, dan pada detik itu aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta kepada kamu, Naira."

Pada akhirnya aku mencoba percaya dengan jawabannya. Kepalaku sudah terasa berat untuk melanjutkan perbincangan ini, sejujurnya kini—aku kehilangan sedikit kepercayaan kepada Bima. Bima mengutarakan dua jawaban ganda, yang pertama ia mengatakan bahwa ia jatuh cinta karena aku adalah seorang yang setia: merujuk pada kepergian ayah, dan yang kedua ia mengatakan bahwa ia jatuh cinta tanpa disengaja. Yang mana yang benar? Jika yang benar adalah karena jatuh cinta tanpa disengaja, lantas mengapa ia harus panjang lebar membahas Harry dan Ginny hingga kemudian membawa nama ayah? Entahlah, aku hanya merasa bahwa Bima tidak sepenuhnya jujur kepadaku.

"Mau pulang sekarang? Kamu kayaknya butuh istirahat, Nai." ujarnya yang mungkin adalah taktik untuk menghindari pembicaraan lebih lanjut.

Aku hanya mengangguk menyetujuinya.

Di dalam mobil, otakku kembali memutar kalimat yang sempat Bima ucapkan sebelum perbincangan panjang tadi terjadi. Ia mengatakan, "Naira, aku berharap hubungan kita bukanlah hubungan yang menciptakan air mata baru, aku berharap hubungan kita adalah hubungan yang dapat menciptakan seulas senyuman baru, senyuman kelegaan, dan senyuman oleh karena ketenangan. Aku mencintaimu.". Ah! Kepalaku rasanya berat sekali, mengapa semua kalimatnya hari ini terasa ambigu bagiku? Kelegaan? Ketenangan? Sudahlah, aku memilih untuk bersandar pada jok mobil dan berusaha menenangkan fikiranku. Aku berharap kalimat-kalimat itu bukanlah kalimat yang berdasar dan aku berharap, apa yang sedang aku rasakan ini hanyalah sebuah prasangka yang salah. Tidak mungkin Bima memacariku karena merasa kasihan oleh karena aku kehilangan keutuhan dari seorang ayah. Tidak mungkin Bima berfikir bahwa aku adalah perempuan yang sangat kesepian dan layak dikasihani. Kelegaan dan ketenangan, mungkinkah itu merujuk pada dirinya? Mungkinkah maksud Bima adalah ia merasa tenang ketika di sampingku? Jika persepsiku benar, maka aku akan sangat bersyukur.

***

POV Bima

"Naira, aku berharap hubungan kita bukanlah hubungan yang menciptakan air mata baru, aku berharap hubungan kita adalah hubungan yang dapat menciptakan seulas senyuman baru, senyuman kelegaan, dan senyuman oleh karena ketenangan. Aku mencintaimu."

Aku telah melempar bola dengan sengaja ke dalam istana, kini aku hanya perlu menunggu apakah ada yang akan mengembalikan bola itu kepadaku. Hubunganku dengan Naira semakin hari semakin jauh, maka sudah seharusnya aku memulai sebuah rencana baru. Aku sengaja memberi umpan, karena hubunganku dengan Naira tidak boleh lebih jauh daripada ini. Aku tahu yang sedang Naira pikirkan sekarang, saat melihat Nayla dan Jordan bersanding di pelaminan, pasangan mana yang tidak memiliki keinginan yang sama? Sungguh, aku sangat ingin hubunganku dengan Naira bisa sampai sejauh itu, namun aku sangat tidak pantas walau hanya sekedar bermimpi.

Seandainya Naira tahu bahwa hubungan kami tak lain hanyalah hubungan yang akan berakhir dengan kehancuran dan air mata. Karena itu aku berharap setelah adanya kehancuran itu, terbitlah sebuah senyuman baru, senyuman kelegaan dan senyuman oleh karena ketenangan. Aku sungguh mencintai Naira, oleh karena itu aku tidak mau menyakitinya lebih banyak lagi. Maka dari itu hubungan ini, sudah sepatutnya diakhiri.

***

Di sela kami menyantap hidangan, Naira bertanya. Sebuah pertanyaan yang tak pernah aku kira akan terlontar dari lisannya. Ia bertanya mengapa aku bisa jatuh cinta kepadanya dan masih bersamanya hingga hari ini. Yah, bagi Naira ini adalah pertanyaan yang wajar diajukan kepada pasangannya, namun bagiku ini adalah pertanyaan besar yang dapat membuka segala jawaban yang masih terkubur.

"Naira, kamu tahu mengapa Harry Potter jatuh cinta kepada Ginny dan menikahinya?" disini aku melempar bola yang kedua. Bola ini akan menuntunnya ke halaman masa lalunya. Naira tidak menjawab dengan tepat. Aku memperjelasnya.

"...Ginny adalah wanita yang setia menunggu Harry walau Harry memilih pergi untuk membunuh Voldemort," aku melempar bola ketiga. Ini adalah bola yang menuntunnya ke ruang sepi yang setiap hari ia jumpai. Naira tidak mengerti.

"Karena kamu adalah seorang anak yang setia menunggu ayahmu kembali walau kamu tahu bahwa itu adalah hal yang mustahil. Kamu sama seperti Ginny, perempuan yang setia dan tegar." aku melempar bola keempat. Ini adalah bola yang menuntunnya ke halaman rumah yang tak seceria dulu.

"Karena ayah kamu yang membuat hubungan kita ada, Naira." bola kelima. Ini adalah bola yang paling terang. Tetapi Naira belum memahaminya.

"Di awal, kamu membicarakan Harry dan Ginny, Bim. Bukan Ginny dan ayahnya. Dimana letak Harry pada jawaban kamu? Jika Harry pergi untuk membunuh Voldemort, lalu kamu, apakah kamu juga akan pergi seperti Harry dan berharap aku setia seperti Ginny? Lalu, akan kemana dan untuk apa kamu pergi?"

Bukan Naira, ini bukan tentang aku. Harry bukanlah diriku, tetapi Harry disini adalah ayahmu. Bukan aku yang pergi, tetapi ayahmu. Jika Harry pergi untuk membalas dendam, sedangkan ayahmu pergi untuk membereskan kekacauan, tapi sayangnya takdir berkata lain.

"Ginny adalah seorang yang dibutuhkan Harry. Dan itu berkebalikan terhadap kita. Selama ini, di hubungan kita, kamulah yang sangat aku butuhkan, Bima. Aku yang mendominasi, bukan kamu. Lalu dimana letak Harry pada dirimu? Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan, Bima?" Naira dikuasai emosi.

"Naira, jika kamu tidak bisa melihat Harry pada diriku, mungkin aku memang bukan Harry. Aku hanyalah seorang Bima yang jatuh cinta kepada kamu tanpa disengaja." bola terakhir. Ini tentang diriku, hanya bola inilah yang bisa Naira tangkap saat ini.

***

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
54.7M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...
13.3M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
6.1M 707K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...