Affection

By sourpineapple_

479K 33.8K 449

COMPLETE - FOLLOW SEBELUM MEMBACA Mature Content (18+) so selection ur reading. *** Derana Gangga Mirabelle... More

P R O L O G
BAB SATU
BAB DUA
BAB TIGA
BAB EMPAT
BAB LIMA
BAB ENAM
BAB TUJUH
BAB DELAPAN
BAB SEMBILAN
BAB SEPULUH
BAB SEBELAS
BAB DUA BELAS
BAB TIGA BELAS
BAB EMPAT BELAS
BAB LIMA BELAS
BAB ENAM BELAS
BAB TUJUH BELAS
BAB DELAPAN BELAS
BAB SEMBILAN BELAS
BAB DUA PULUH
BAB DUA PULUH SATU
BAB DUA PULUH DUA
BAB DUA PULUH TIGA
BAB DUA PULUH EMPAT
BAB DUA PULUH LIMA
BAB DUA PULUH ENAM
BAB DUA PULUH TUJUH
BAB DUA PULUH DELAPAN
BAB DUA PULUH SEMBILAN
BAB TIGA PULUH
BAB TIGA PULUH DUA
BAB TIGA PULUH TIGA
BAB TIGA PULUH EMPAT
BAB TIGA PULUH LIMA
BAB TIGA PULUH ENAM
BAB TIGA PULUH TUJUH
BAB TIGA PULUH DELAPAN
BAB TIGA PULUH SEMBILAN
BAB EMPAT PULUH
BAB EMPAT PULUH SATU
BAB EMPAT PULUH DUA
BAGIAN EMPAT PULUH TIGA
E P I L O G

BAB TIGA PULUH SATU

10.1K 797 18
By sourpineapple_

Atensi pria yang tengah memainkan bolpoin sembari menatap layar komputer di depannya itu beralih tatkala pintu ruangannya dibuka tanpa permisi. Mendapati siapa yang masuk, sebelah alis Jayden terangkat.

"Mario? Ada apa?"

Mario menggeleng pelan. "Sedang sibuk? Ada yang ingin ku bicarakan denganmu."

"As you can see. Duduklah, katakan apa yang ingin kau bicarakan, akan ku dengarkan dari sini," sahut Jayden.

Alih-alih mengambil duduk, Mario justru melesakkan kedua tangannya ke dalam saku celana, dan melangkah mendekati meja kerja Jayden, dimana pria itu tengah sibuk berkutat di depan komputer dan beberapa tumpuk berkas.

Mario membuang napas pendek. "Ini tentang Dera, juga tentang Maudy," ujar Mario mengawali apa yang ingin ia bicarakan.

Sontak Jayden kembali mendongakkan pandangannya. Membuang napas kasar, pria itu menjatuhkan punggung pada sandaran kursi. "Aku hampir kenyang mendengar ceramahan. Kemarin malam Lucas, pagi tadi Claretta, lalu sekarang kau. Kali ini apa lagi yang harus ku dengar?"

Mario menarikkan kedua alisnya. "Hm? Jadi mereka sudah meminta Lucas dan Claretta juga sebelumnya?"

Jayden menghela napas dan mengangguk. "Entah siapa lagi setelah ini."

Mario terkekeh. "Lalu apa yang akan kau lakukan? Anak-anakmu saja sampai bersikeras seperti ini untuk membuat kalian batal bercerai. Mereka menolak keputusanmu, Jay. Jika kau melakukan ini untuk kebaikan mereka, harusnya kau juga memikirkan apakah mereka mau atau tidak."

"Aku sedang berpikir," jawab Jayden.

"Mau berpikir sampai kapan? Kiramu kau memiliki banyak waktu? Jika bukan karena anak-anakmu yang sampai rela menghubungiku dan meminta bantuan seperti ini, aku mungkin tidak akan berkata demikian padamu," ujar Mario, menatap Jayden dengan serius.

"Stop thinking and take action, kau hanya akan terjebak di tempat jika terus-terusan berpikir. You're not a teenager anymore, Jay. Jadi kau tau apa yang seharusnya untuk kau lakukan. Seperti yang sudah ku bilang sebelumnya, anak-anakmu terlalu dini untuk mengerti masalah orang dewasa, tapi secara tidak langsung, kau telah memaksa mereka untuk mengerti," ucap Mario dengan telak, tanpa menyaring apa yang ia katakan, tak seperti tempo lalu.

Jayden hanya membuang napasnya, tanpa menyahut. Pria itu masih terdiam, memijat pangkal hidung dan memejamkan matanya.

Di tengah-tengah keheningan itu, tiba-tiba ponsel Mario berbunyi, membuat pria dengan cukuran quiff itu menunduk, mengambil ponselnya yang bergetar di saku jas.

"Ya? Baiklah, persiapkan semua perlengkapannya, saya akan segera kembali. Hm, Ya." Begitu sambungan telepon terputus, Mario kembali memasukkan benda itu ke asalnya.

"Rupanya aku tidak memiliki banyak waktu. Ku harap ceramahan yang kau dapat ini bisa membuatmu sadar, Jay. Aku pergi dulu," pamit Mario, membalikkan badan dan berlalu pergi.

Meninggalkan Jayden yang masih diam, larut dalam pikirannya.

***

Suara derit pintu kamar mandi yang dibuka terdengar ketika sang empu keluar dari dalam sana dengan bathrobe dan rambut yang basah, sembari berjalan menuju walk in closet, Jayden mengacak rambutnya yang basah, lalu mengambil kemeja, jas, serta celananya dari gantungan lemari.

Usai memakai rapi setelan formal ala kantorannya, Jayden kembali ke kamar, ketika hendak mengambil jam tangannya yang ada di dalam laci nakas, gerakan pria itu terhenti tatkala melihat sebuah map yang terletak di atas nakas. Mengambil map itu, Jayden membukanya sebentar, lantas membuang napas panjang.

Semoga saja ia belum terlambat.

Pagi ini sebelum pergi ke kantor ia berniat untuk menemui Maudy terlebih dahulu, ada hal penting yang ingin ia bicarakan dengan perempuan itu. Meletakkan kembali map yang ia pegang di tempatnya tadi, Jayden menarik laci nakas dan mengambil jam tangannya. Ketika melingkarkan benda itu di pergelangan tangannya, tiba-tiba bunyi serta getaran ponsel yang ada di atas nakas membuat Jayden mengalihkan atensi.

Pria itu mengerutkan dahinya ketika melihat nama Maudy lah yang tertera di layar ponsel. Mengambil benda pipih itu, Jayden menggeser tombol hijau dan mendekatkannya ke telinga.

Begitu telepon tersambung, suara Maudy langsung terdengar dari seberang sana. "Jay ..."

"Maudy? Ada apa?" tanya Jayden, menyadari adanya keanehan dari suara Maudy, perempuan itu seperti sedang menangis.

"Mama, Jay ..." eluh Maudy sembari terisak, membuat kerutan di dahi Jayden semakin kentara.

"Mama? Mama kamu kenapa? Bicara yang jelas, Maudy," balas Jayden.

Berselang kemudian, kedua bola mata Jayden membulat sempurna ketika Maudy berkata, "Mama ... Mama udah pergi, Jay ... Mama udah pergi ...."

***

Mengedarkan pandangan pada sekitar meja makan, ketiga bersaudara itu mencari sang ayah yang tak terlihat kehadirannya. Hanya ada Dera di meja makan, dan beberapa maid yang tengah menyiapkan sarapan. Biasanya Jayden sudah di meja makan lebih dulu dari mereka, apakah ayahnya itu berangkat pagi-pagi lagi?

"Daddy kemana, Mom? Kok nggak ikut sarapan?" tanya Raiden pada sang ibu.

Mendengar pertanyaan itu, Dera sontak menoleh, hanya sesaat sebelum ia kembali menuang sirup di atas kue panekuknya. "Nggak tau," jawab wanita itu singkat.

Mengulum bibirnya Raiden mengangguk-angguk, sedang Jansen dan Jean hanya diam, merasa adanya batas yang kental di antara mereka, padahal sebelumnya Dera tidaklah begini, wanita itu pasti akan tersenyum hangat, menyapa dan menyambut mereka untuk sarapan pagi. Rasa cemas akan kembalinya sifat lama Dera membuat mereka takut.

"Ayo, sarapan," ajak Jansen, menepuk punggung kedua adiknya, yang dibalas anggukan oleh mereka berdua.

Mengambil duduk di tempat masing-masing seperti biasa, hanya suara peralatan makanlah yang terdengar mengisi keheningan. Dera hanya diam menikmati sarapan paginya, begitu pula dengan Jansen, Jean, serta Raiden.

"Kenapa nggak pakai seragam sekolah?" tanya Dera, membuka pembicaraan pertama kali, membuat ketiga kakak-beradik itu sontak mendongak.

Ketika Jansen akan menjawab, perkataannya kembali tertelan lantaran sudah didahului oleh Raiden. Dengan tersenyum lebar, pemuda itu menjawab, "Hari ini kita libur, karena guru di sekolah lagi ada acara," jawabnya antusias.

"Oh," sahut Dera, mengangguk tipis, kembali melanjutkan sarapan. Setelah itu, keheningan kembali mendominasi, hingga Dera menyelesaikan sarapannya dan meninggalkan ruang makan lebih dulu.

Menatap punggung sempit ibunya yang menjauh, Raiden menggeser piring dimana sarapannya hanya termakan dua potongan.

"Kok nggak dihabisin?" tanya Jansen, menatap adik bungsunya.

Raiden menggeleng. "Nggak nafsu. Aku mau ke kamar dulu," jawab pemuda itu, turun dari kursinya lantas berlalu pergi, meninggalkan kedua kakaknya yang dilanda perasaan bingung, atau lebih tepatnya, bingung harus melakukan apa, karena mereka sendiri juga terjebak penyebab dari perasaan itu.

Di sisi lain, Dera tengah merapikan penampilan di depan kaca cermin yang ada di kamarnya. Wanita yang duduk di depan meja rias itu terdiam, menatap pantulan dirinya di depan sana dan menghela napas pelan.

"Maaf, Mommy terpaksa lakuin ini. Setidaknya dengan begini, kalian akan pelan-pelan terbiasa tanpa Mommy nanti," monolog wanita itu, kendati sebetulnya ia merasa bersalah karena telah bersikap seperti itu pada ketiga putranya, namun Dera tak memiliki cara lain.

Setelah pergi dari sini, mereka tak akan pernah bisa bertemu nanti, jadi daripada membuat mereka harus merasa sakit karena kepergiannya, Dera lebih memilih untuk dibenci, dengan begitu ia bisa pergi tanpa rasa khawatir lagi.

Ketika tengah larut dalam lamunannya, Dera tersadar begitu mendengar denting ponsel tanda pesan masuk. Melihat layar ponselnya yang menyala menunjukkan notifikasi, Dera mengambil benda pipih itu. Kedua bola matanya membulat kaget akibat dua gelembung pesan yang dikirim oleh Theo.

I'm sorry
Her Mom is gone.

Tanpa berbasa-basi, Dera segera menelepon Theo untuk menagih penjelasan. Jantung wanita itu bertalu-talu seketika. Begitu telepon tersambung, Dera kontan menyambar, "Theo, apa maksud dari pesan yang kamu kirimkan?!"

Lalu dengan tenang Theo menjawab, "Ibunya meninggal, pagi ini."

Dera menggeleng, bibirnya sedikit terbuka karena terkejut. "T-theo ... itu bukan ulah kamu 'kan?"

"Bukan. Ibunya memang sudah cukup lama sakit, ini hanya kebetulan. Padahal saya barusaja ingin melakukannya, tapi ternyata malaikat maut sudah mendahului," ujar Theo, membuat Dera kembali menggeleng. Tidak menyangka dengan apa yang dikatakan oleh Theo.

"Theo, saya serius, katakan dengan jujur, benar itu bukan ulah kamu?" tanya Dera, kembali memastikan.

"Benar, Nona, anda bisa memeriksanya sendiri jika tidak percaya," jawab Theo, nada bicaranya terdengar lugas dan tenang.

"Lalu bagaimana kamu bisa tau?"

"Karena saya mengawasi mereka."

Memejamkan mata sejenak, Dera membuang napas pelan.

Kontrol emosi kamu Dera ..., batin wanita itu.

"Katakan sekali lagi jika itu bukan ulah kamu. Saya mengizinkan apa yang ingin kamu lakukan, tapi bukan berarti kamu bisa membunuh orang lain semau kamu. You can't do that, Theo," ujar Dera, memastikan sekali lagi.

"I'm sorry. Saya benar-benar tidak melakukannya, anda bisa memegang kata-kata saya, Nona," jawab Theo kembali meyakinkan.

Dera menghela napas panjang. "I believe in you, so keep that trust, Theo."

"I keep, Lady."

"Baiklah kalau begitu, temui saya setelah ini. Saya akan bersiap-siap lebih dulu," tandas Dera.

Theo menyahut, "Tunggu sebentar, Nona, saya memiliki usul yang bagus," ujarnya, membuat Dera mengernyit.

"Usul?" beo wanita itu.

Dan tanpa diketahuinya, Theo menyunggingkan sudut bibir kirinya, tersenyum miring. Let's start the real show.

***

Suasana berkabung terasa pekat di rumah duka, dimana prosesi pemakaman tengah berlangsung, banyak orang yang datang dan pergi walaupun hanya sekadar untuk mengucapkan rasa belasungkawa. Namun suasana sedih itu berganti dengan keterkejutan ketika tiba-tiba ada sebuah mobil merah mencolok memasuki area pekarangan rumah.

Begitu mobil berhenti, seorang wanita yang mengenakan dress berwarna merah senada, rambut panjang tergerai, high heels merah serta kacamata hitam yang bertengger cantik di hidungnya, keluar dari dalam sana. Wanita itu membawa setangkai bunga mawar merah di tangannya.

Tentu saja hal itu menyita perhatian orang-orang yang masih ada di sana. Bagaimana tidak? Lihat saja penampilannya, gaun merah yang mencolok, apakah itu terlihat cocok digunakan untuk menghadiri acara belangsungkawa seperti ini?

Tatapan kaget serta suara bisik-bisik dari orang sekitar seolah menyambut kedatangan wanita bergaun merah itu. Bahkan sang tuan rumah pun dibuat terkejut dan marah akibat kedatangannya.

Melempar setangkai bunga mawar merah yang ia bawa bersama dengan buket-buket bunga yang lain, wanita itu menurunkan kacamatanya, menghampiri sang tuan rumah, dengan tersenyum penuh arti.

Tebak siapa wanita itu?

"Senang bertemu dengan anda Tuan Hartanto, sayang waktu pertemuan kita sedikit tidak tepat. Saya turut berbelasungkawa atas meninggalnya istri anda," ujar wanita itu, dengan ekspresi sedih yang dibuat-dibuat, padahal sudut bibir kirinya menyunggingkan senyum tipis.

Benar, wanita itu adalah Dera.

Jayden yang saat ini juga tengah berada di sana pun dibuat terkejut dan tidak percaya akan apa yang dilakukan oleh Dera. Kemana perginya akal wanita itu, sampai-sampai melakukan hal tidak sopan seperti ini?

Sedang Maudy sendiri sudah kebakaran jenggot sejak melihat kedatangan Dera kemari. "Pergi," usir Maudy penuh akan penekanan, ia tidak ingin membuat keributan di tengah-tengah rasa sedihnya kehilangan sang ibunda. Terlebih di sini masih banyak orang, termasuk dari rekan bisnis orang tuanya.

Dera menoleh pada Maudy. "Hm? Apakah begitu cara kamu menyambut seorang tamu?"

Tinju Maudy semakin mengepal. "Tamu? Kehadiran kamu tidak pernah diharapkan di sini, jadi lebih baik kamu enyah, sebelum saya sendiri yang menyeret kamu pergi dari sini," ancam Maudy.

Dera tertawa kecil, pandangannya kembali mengarah pada seorang pria berumur yang berdiri di belakang Maudy, tengah menatapnya dengan tatapan- entahlah, seperti sedang marah, mungkin? Dera tak tahu, pun tak peduli.

"Wow, seperti inikah cara anda mendidik putri anda, Tuan Hartanto?" tanya Dera, menaikkan sebelah alisnya, dengan seringaian yang terbit di wajahnya.

Merasa jika Dera sudah kelewatan, Jayden pun angkat bicara untuk menegur. "Dera-"

"We haven't business here. Shut the fuck up," potong Dera, menatap Jayden dengan tajam.

"Urusan saya di sini hanya dengan mereka," tunjuk Dera pada Maudy dan ayahnya.

Kepalang marah, Maudy melangkah mendekat. "Dasar wanita tidak tau diri, pergi dari sini-"

Tangan Maudy tertampik tiba-tiba, ketika ia hendak menjambak rambut Dera dan menyeret wanita itu keluar. Pelakunya adalah seorang pria setinggi enam kaki, dengan wajah tanpa ekspresi, mengirim tatapan ultimatum pada Maudy.

"Jaga tangan anda," peringatnya.

Jelas saja hal itu menambah keterkejutan mereka. Suasana pun kian tegang, tanpa sadar jika mereka menjadi bahan tontonan orang-orang yang masih berada di sana. Jayden pun tak kalah terkejut, malah sepertinya dialah yang paling terkejut ketika melihat Theo tiba-tiba muncul, menepis dengan cepat tangan Maudy.

Suasana bertambah keruh ketika tiba-tiba ada dua orang laki-laki berseragam polisi yang datang mendekat.

"Dengan Bapak Andi Hartanto?" tanya salah satu dari polisi itu, membuat sang empu pemilik nama terkejut bukan main.

"I-iya, saya sendiri. Ini ... ada apa ya? Kenapa tiba-tiba datang ke rumah saya?" tanya Andi- ayah Maudy dengan sedikit gugup.

"Kami menerima laporan, bahwa anda terlibat kasus pembunuhan, bersama istri anda tujuh tahun yang lalu, sekarang anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk dimintai pertanggung jawaban," urai polisi itu, membuat semua yang ada di sana terkejut, kecuali Theo dan Dera.

Menggeleng cepat, Maudy segera menukas, "K-kasus pembunuhan? Nggak, nggak mungkin. Mama dan Papa saya tidak pernah terlibat kasus seperti, anda pasti salah orang!" pekik Maudy.

Lalu pandangan Andi tertuju pada wanita bergaun merah yang tengah menatapnya dengan senyuman penuh arti. "Siapa kamu sebenarnya?!" serunya, mendekati Dera.

Dera tersenyum miring. "Saya Derana Mirabelle, putri tunggal dari pasangan suami istri Arabella Maharani dan Yudhistira Adijaya, pemilik Yuanda Company sekaligus orang yang telah anda dan istri anda bunuh tujuh tahun lalu," urai Dera, kembali mengundang keterkejutan.

How to describe savage, double kill, and triple kill? It's happenshit right now.

"T-tidak mungkin ..." gumam Andi, refleks mengambil langkah mundur dengan ekspresi sangat terkejut.

Lalu pria berumur itu menggeleng beberapa kali. "Itu kecelakaan, kami tidak pernah membunuh orang tua kamu, polisi sendiri yang mengatakan j-jika kejadian itu adalah murni kecelakaan 'kan?" elak pria itu membuat alibi.

Dera menyeringai dan berdecih. "Mungkin maksud anda pembunuhan yang direncanakan agar terlihat seperti murni kecelakaan, right?" ucapnya, membuat sang lawan bicara membisu seketika.

"Jangan sembarangan ya! Papa dan Mama saya tidak pernah melakukan hal itu, kamu pasti mengada-ngada 'kan?! Ini semua hanya akal-akalan kamu untuk menjebak keluarga saya 'kan?!" teriak Maudy, menyambar perkataan Dera.

Alih-alih tersulut emosi, Dera tetap tenang, kendati ia begitu muak dengan segala omong kosong itu.

"Pak, ini semua nggak benar, wanita itu sudah mefitnah Papa saya, saya yakin kalau Papa saya tidak bersalah," ujar Maudy, memohon.

"Maaf, kami harus tetap membawa Bapak Andi, anda bisa menjelaskan semuanya di kantor nanti, sekarang Bapak Andi, tolong ikut kami." Lalu polisi itu membawa Andi yang masih mematung di tempat seolah kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.

"Nggak, Pak, saya mohon, jangan bawa Papa saya ...," mohon Maudy menahan papanya agar tidak dibawa.

"Maaf, anda bisa minggir dulu," ujar polisi itu, melepaskan cekalan tangan Maudy.

"Papa!" teriak Maudy, menangis menatap papanya yang dibawa pergi begitu saja oleh polisi.

Tanpa berniat menolong semua orang yang berada di sana hanya bisa diam menyaksikan, bahkan Jayden pun ikut membisu, mematung di tempatnya. Jadi ini alasan di balik perkataan Dera malam itu?

"Sebaik-baiknya bangkai tertutupi, pasti akan tercium baunya. Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat, apa kamu tidak pernah merasakan busuk dengan bau bangkai yang ditutupi oleh orang tua kamu?" ujar Dera, menatap Maudy dengan miris.

Dengan dada kembang kempis, Maudy menoleh kilat pada Dera. Wanita itu. Dia penyebab papanya dibawa oleh polisi. "TUTUP MULUT KAMU!" teriak Maudy, hendak melayangkan tamparan pada Dera, namun wanita itu sudah lebih dulu menahannya.

"Dengar, Maudy, hanya karena saya sabar, bukan berarti kamu bisa memperlakukan saya seenak kamu. Saya harus kehilangan kedua orang tua saya karena ulah orang tua kamu, lalu sekarang? Giliran kamu yang membuat saya kehilangan suami serta anak-anak saya, apa kamu pikir saya akan diam saja mendapat perlakuan seperti itu?" ucap Dera, menatap kedua bola mata Maudy tajam.

Menyentak tangannya, Maudy balas menatap tak kalah tajam. "Kamu kehilangan mereka karena kesalahan kamu sendiri. Itu hukuman untuk wanita angkuh dan penggila harta seperti kamu, bukannya kamu senang orang tua kamu meninggal? Karena dengan begitu kamu bisa bebas menguasai harta peninggalan me-"

Plak!

"Shut your fucking mouth! You never even know about me! Never!" seru Dera penuh penekanan, menatap nyalang Maudy yang barusaja ia tampar dengan keras hingga telapak tangannya terasa panas.

"Theo, ayo pergi. Hidung saya sampai sakit mencium bau bangkai busuk di rumah ini," ujar Dera, berbalik, mengajak Theo untuk pergi.

Menyempatkan diri untuk menatap Jayden, Theo melempar seringaian pada pria itu, lalu mengikuti langkah Dera yang mengabaikan teriakan serta hinaan membabi buta Maudy.

"Perempuan gila," desis Theo.

- AFFECTION -

part ini mengandung ke-satisfying-an.

anw, maaf ya aku agak lama update, karena lagi pulihin kesehatan, nanti kalau udh sembuh bakalan rajin update lagi kok, peace ✌🏻

selamat malam minggu, terimakasih sudah membaca.

Continue Reading

You'll Also Like

580K 8.3K 39
Kisah cinta seorang Christine yang harus meninggalkan sang kekasih karena ia di jodohkan oleh kedua orangtuanya. Perjodohan yang di lakukan sejak Chr...
433K 27.5K 37
Penolakan dimasa lalu membuat seorang wanita enggan menerima takdirnya sebagai Ratu. *** Pintu ruangan itu terbuka, sesosok pria tampan dengan postur...
92.9K 8.7K 56
Pengkhianatan adalah hal yang paling dibencinya. Dan ia sangat menghindari itu. Tapi apa jadinya jika kekasih yang sangat dicintainya melakukan hal t...
64.1K 3.8K 114
Kehidupan masa lalu yang menyakitkan membuat Velicia mengambil keputusan untuk pergi. Ia melarikan diri ke New York untuk mencoba takdirnya sendiri...