The Last Choice

By teru_teru_bozu

314K 15.6K 298

Halooo... Sebenernya cerita ini aku impor dari blog pribadi aku Sebelumnya masih mikir-mikir mau aplod cerita... More

part 1
part 2
part 3
part 4
part 5
part 6
part 7
part 9
part 10 (ending)

part 8

21.4K 1.3K 21
By teru_teru_bozu

Saat Sev menggandengnya keluar dari Stockley House, Sarah memandangnya. Meski hanya tatapan maklum yang didapati Katty dalam kedua bola mata wanita paruh baya yang telah menemaninya entah sejak kapan itu, Katty merasakan teguran halus yang membuatnya jengah.  Sarah dan suaminya memang telah mengucapkan selamat atas pertunangannya dengan Sev, namun tak urung Katty masih merasa Sarah mengetahui hubungan fisik yang telah dia lakukan dengan Sev dan wanita itu, meski dalam diam, tak menyetujuinya.

Kata-kata Sev, ”Malam ini Miss Katty menginap di Drake Castle,” kian memperburuk suasana hatinya. Berbagai aturan norma dan etika menari-nari di kepalanya. Katty setengah linglung ketika masuk kembali ke mobil Sev yang kemudian meluncur ke Drake Castle.

“Lebih baik kau tak usah terlalu memikirkannya,” komentar Sev ringan.

“Eh?” Katty menoleh, menatap heran kepada laki-laki di sebelahnya.

“Katty sayang, kau pikir aku tidak tahu apa yang ada di kepalamu kan? Aku bisa membaca dengan  jelas apa yang kau pikirkan. Kau, dan wajahmu itu, ibarat buku yang terbuka bagiku. Paham?”

Katty membuang pandangan ke luar, menatap kegelapan malam sebelum mereka membelok memasuki halaman Drake Castle yang megah dan bermandikan cahaya. Begitu mobil berhenti, seakan sudah ditunggu, pintu depan Drake Castle terbuka dan Jolly muncul dengan senyum ramah terukir di wajahnya. Katty mengikuti Sev keluar dari mobil. Meski dia sempat menyegarkan diri di Stockley House namun tidak bisa dipungkiri kalau saat ini yang dia inginkan adalah segera merebahkan diri ke tempat tidur.

“Selamat datang Miss Katty, Master Sev,” Jolly menyambutnya ramah.

Katty tersenyum kepada laki-laki itu. Sama halnya dengan Sarah dan suaminya, Jolly dan istrinya yang tinggal di Drake Castle juga sangat akrab dengannya. Masa lalunya memang telah terikat pada dua rumah yang dibatasi pagar dari rumpun perdu wisteria itu. Sev menggandeng Katty memasuki rumah yang telah begitu familier baginya.

Ketika Katty menolak tawaran sandwich maupun kopi, Sev langsung membimbingnya menaiki tangga dan menuju ke kamar utama yang terletak di sebelah depan. Beberapa bulan setelah ibunya meninggal, Sev memang menempati ruangan yang dulu merupakan ruang pribadi kedua orang tuanya itu. Dulu Katty agak heran ketika Sev mempertahankan semua furniture yang ada di sana. Pria itu hanya meminta pendapat Katty untuk tata letak perabot utama seperti tempat tidur dan nakas, serta memilih bahan dan warna untuk dinding, karpet serta gorden.

Memasuki kamar ini kembali, sesuatu yang dulu sangat sering Katty lakukan, namun dalam konteks yang berbeda, sejenak Katty tertegun di ambang pintu. Dia seolah bisa merasakan kehadiran ayah dan ibu Sev di sana sedang mengawasi mereka berdua. Sejenak bulu kuduknya meremang.

“Kau merasakannya juga?” tanya Sev sambil berbisik di telinga Katty.

Katty mengangguk lemah.

“Aku selalu senang berada di sini karena dengan begitu aku seolah merasakan kehadiran orang tuaku. Tetapi itu selalu terasa kurang karena aku selalu berharap kau ada di sini bersamaku. Hanya kau yang tahu perasaanku tentang kedua orang tuaku, Katty.”

Katty tak pernah meragukan cinta kasih Sev kepada ayah ibunya. Karena Katty merasakan hal serupa. Setelah acara penguburan ibunya dulu, setelah tamu-tamu pulang, berada berdua di rumah yang besar ini, merasakan kekosongan dan kehampaan, Katty dan Sev meringkuk di depan perapian. Mereka bercerita tentang masa lalu dengan derai air mata di pipi keduanya hingga akhirnya dengan berpelukan mereka menangis hingga pagi menjelang.

Sekarang Sev membimbing Katty memasuki ruangan besar yang didesain dengan cita rasa klasik dan abadi, mendekat ke cermin tinggi yang terpasang di salah satu dinding. Begitu tiba di depan cermin, lelaki itu memeluk Katty dari belakang. Kedua lengannya yang besar melingkari pinggang Katty yang mungil sementara tubuhnya yang kokoh menyangga Katty dalam posisi yang menyerukan kepemilikan dan keintiman tak terbantahkan pada mereka.

Katty terbelalak melihat ekspresi wajahnya yang tampak di pantulan dirinya di cermin.  Dengan sinar mata yang seolah bermimpi, rona di wajahnya, maupun bahasa tubuhnya yang seolah selalu mencari kecocokan posisi dengan Sev tanpa mereka berdua sadari, siapapun akan melihat apa yang telah terjadi di antara mereka. Bahkan bagi mata Sarah yang kuno. Tiba-tiba Katty menjadi resah. Kejengahan yang dirasakan saat meninggalkanStockley House kembali mendera.

“Ada apa lagi hm?” tanya Sev. “Aku tak suka melihat kerut di kening cantikmu itu.”

“Aku tetap merasa tidak enak, Sev, dengan Sarah, dengan Jolly. Meski aku berusaha tak peduli, tapi jauh di dasar hatiku aku tahu apa yang kita lakukan ini salah. Tinggal bersama tanpa ikatan seperti ini membuatku merasa demikian tak berharga,” desah Katty pelan. “Berada di London, tinggal bersamamu di sana mungkin memang tak terasa. Namun kembali ke rumah, aku tak bisa mengingkari bahwa aku malu kepada diriku yang seperti ini. Sev, entah sejauh apa perubahan yang kualami, namun aku tetaplah gadis kuno seperti yang dulu kau kenal.”

Sev membalikkan tubuh Katty, memeluknya erat. “Sayang, aku berjanji kita akan melakukannya dengan benar. Kita akan menikah besok bila memang itu maumu. Bukankah aku telah mengatakan kepadamu bahwa aku menunggumu cukup lama? Kau hanya perlu meyakinkan dirimu bahwa inilah yang kau inginkan seperti aku yang telah yakin bahwa ini memang sesuatu yang sangat kuinginkan. Inilah kita sekarang, Katty, kau dan aku.”

Katty menggelengkan kepalanya keras-keras dalam pelukan Sev. “Entahlah, Sev. Aku tahu bahwa inilah memang seharusnya. Namun aku tak bisa. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku. Aku tak bisa berpikir sama sekali.”

Sev melonggarkan pelukannya, menangkup wajah Katty dengan kedua telapak tangannya. “Apapun yang kau mau, sayangku. Aku akan selalu menunggumu, seperti yang selama ini kulakukan,” dan mencium bibir Katty dalam-dalam.

Beberapa saat kemudian, saat keduanya telah berpelukan di atas tempat tidur, Sev tiba-tiba bangkit, menggapai laci kecil yang berada di sebelah tempat Katty. Tubuhnya yang berotot dan tanpa tertutup apapun itu menggesek kulit lembut Katty setiap kali dia bergerak. Ketika kembali ke posisinya semula, sebuah kotak telah tergenggam di tangannya. Pada wajah Katty yang mendongak dengan tatapan penuh tanya, Sev tersenyum lembut dan memberikan kotak tersebut.

“Untukmu, bukalah.”

Katty sedikit gemetar ketika menerimanya. Perlahan dia membuka kotak tersebut dan mendapati sebuah cincin dengan batu safir berbentuk segi empat yang sangat familier bagi Katty. Cincin ibu Sev.

“Sev...” Katty tak sanggup meneruskan kalimatnya.

“Untukmu. Kau tahu ini kuwarisi dari ibuku. Ibuku memberikannya padaku untuk kuberikan kepada wanita yang kucintai yang akan melahirkan anak-anakku. Ketika kukatakan bahwa suatu hari aku akan menyematkannya di jarimu, ibuku berkata bahwa tak ada gadis lain yang pantas memakainya selain kamu.”

Katty menatap kotak itu dengan nanar. “Sev,” katanya dengan bibir gemetar, “Pasangkan ini di jariku.”

Sev tak menunggu undangan dua kali. Dengan sigap diambilnya benda mungil itu dan dipasangkannya di jari Katty yang gemetar. Kemudian dengan mata terpejam diciumnya buku-buku jari Katty. “Terima kasih karena mau menerimanya,” katanya lembut.

Kemudian dengan pelan dia merebahkan Katty di atas bantal. Tatapan matanya yang gelap begitu tajam hingga Katty bisa melihat betapa api yang pelan-pelan tersulut hingga akhirnya menyala dan Katty tergagap menerima serbuannya. Sev memenjara Katty dalam luapan gairah menggebu dalam pesta pora menyambut tahapan baru hubungan mereka.

Namun sayang kebahagiaan itu harus sedikit ternoda ketika Virginia menelepon keesokan harinya. Dari semua kejadian yang dialaminya tak pernah terpikirkan oleh Katty kalau Virginia akan menghubunginya di saat yang sangat tidak tepat. Saat pagi, saat dirinya asyik bergelung dalam pelukan Sev, masih setengah bermimpi oleh kemesraan yang terjadi antara mereka berdua.

“Kau puas kan, Katty? Kau telah menganggap dirimu hebat karena memenangkan Sev? Kau yang kuno dan memalukan bisa mengalahkan aku yang jauh lebih muda, lebih menarik dan lebih cantik? Kau bermimpi, Katty!” Virginia, dengan amarah membara, berteriak di telepon yang diterima Katty di kamar utama Drake Castle.

Dan Sev yang berada sangat dekat di sebelahnya, dengan kulit mereka yang saling bersentuhan, sangat sensitif setelah percintaan terakhir mereka, tak memperbaiki keadaan karena terus menggoda Katty dan merusak konsentrasinya. Belaian tangannya menyerang di titik-titik tepat yang merupakan spot paling lemah Katty yang sudah sangat difahami oleh laki-laki itu.

“Kau pikir kau cukup pintar kan?  Kau dan Sev bagaikan bumi dan langit. Siapa yang sedang kau bohongi, Katty?” Virginia berteriak histeris di ujung sana.

Di saat yang sama,dengan gagang telepon di telinganya, Katty hampir menjerit manakala Sev mencumbunya dengan gila-gilaan. Virginia masih menyemburkan serentetan kata-kata makian yang tidak mampu dicerna oleh Katty yang penuh kabut oleh belaian mematikan tangan-tangan Sev yang lihai. Ketika akhirnya ketika adik tirinya itu membanting telepon, Katty sudah sepenuhnya tenggelam dalam gairah Sev yang begitu menggebu.

“Kau jahat!” sembur Katty yang dengan penuh kemarahan melepaskan diri dari Sev dan matanya menyala-nyala menuduh pria itu.

Namun Sev malah merebahkan diri dengan malas dan nyengir puas, “Tidak sayang, aku baik sekali. Aku mengalihkanmu dari sesuatu yang tidak perlu.”

Melihat cengiran nakal di bibir Sev serta ketidak-pedulian laki-laki itu, tiba-tiba segala emosi, rasa jengah, dan semua hal yang selama ini terpendam dalam diri Katty menggelegak keluar. Katty merasa matanya memanas. Dan tanpa sadar dia mengangkat tangan kanannya dan PLAK! Sepenuh tenaga telapak tangannya menampar wajah Sev.

“Kau anggap semua ini lucu kan, Sev? Kau, Virginia, semua sama saja. Kalian semua memanfaatkanku hanya untuk mendapatkan apa yang kalian mau tanpa mau sedikitpun berpikir tentang perasaanku!” dengan kata-kata itu Katty meloncat turun dari tempat tidur.

Tak peduli dengan ketelanjangannya dia bangkit dan menyambar pakaiannya yang terserak di lantai. Tanpa berkata-kata lagi dia berderap masuk kamar mandi dan membanting pintu di belakangnya. Di depan cermin Katty berhenti dan memandangi wajahnya. Dia hampir tak mengenali lagi perempuan yang menatap balik ke arahnya itu. Aku bukan perempuan yang seperti itu! Protesnya dengan sedih. Katty yang lugu dan polos itu telah terkubur. Yang tampak di depannya hanyalah wanita yang kehilangan orientasi akan hidupnya dan tak tahu harus berbuat apa. Telapak tangan dan lengannya terasa ngilu. Pasti rahang Sev terasa sakit karena dalam kemarahan yang memuncak Katty tak sadar bahwa dia telah mengerahkan seluruh tenaganya.

Dengan gontai Katty melangkah menuju pancuran dan memutar airnya pada kecepatan penuh. Di bawah guyuran air itu Katty menangis, membebaskan dadanya yang sesak dan melepaskan semua beban yang selama ini menghimpit nuraninya.

Di dalam kamar, mengenakan mantel dari kain terry berwarna biru tua, Sev telah bangkit dan berdiri di depan jendela, memandang ke taman yang tampak di bawah. Dia bukannya tak mendengar isak tangis Katty di bawah pancuran. Namun dia merasa cukup cerdas untuk membiarkan gadis itu sendirian karena hal itulah yang sangat dibutuhkan olehnya. Tulang pipinya terasa berdenyut-denyut. Dia tersenyum masam. Kemarahan Katty memang bukan hal baru baginya. Bahkan saat masih kecil gadis itu tak segan-segan menggigitnya bila dia telah sangat marah. Namun di saat dewasa, Katty tumbuh menjadi gadis dengan akal sehat yang lebih tenang dan terkendali. Hanya kepada orang terdekat saja dia bisa menunjukkan sifat aslinya yang  kadang suka meledak-ledak itu. Dan orang terdekat Katty adalah dia. Sev tak punya cara lain untuk menghibur Katty karena sumber masalah gadis itu saat ini adalah dia sendiri.

Katty perlu waktu untuk mencerna semuanya dan meresponnya dengan kecepatannya sendiri. Untuk sekali ini Sev tak akan berbuat apapun selain menunggu. Dia akui dia memang terlalu agresif dan tergesa-gesa menginvasi pertahanan Katty yang rapuh. Katty tak salah bila menuduhnya telah memanfaatkannya demi keuntungan pribadinya. Gadis itu begitu istimewa, dia tidak seperti gadis kebanyakan yang telah mengecap kehidupan modern yang bebas. Katty meski hidup dalam gemerlap karir dan kota besar namun tetap berpegang kuat pada prinsip yang dianutnya. Dan Sev, memanfaatkan kedekatan emosional di antara mereka telah berhasil menghancurkan benteng itu.

Hal ini tak akan terasa saat mereka berada dalam kemilau kehidupan hedonis di mansion pribadi Sev di London. Namun kembali ke habitat asli dalam kedamaian Oxford telah mengembalikan Katty pada segala nurani. Pasti dia merasa telah ditelanjangi baik secara fisik maupun emosi. Sev bukannya tak tahu betapa jengahnya Katty pada tatapan Sarah yang telah menjadi pengurus rumah tangga sekaligus pengasuhnya sejak kecil. Telepon dari Virginia kian memperburuk situasi karena Sev sangat mengenal pribadi adik tiri Katty yang licik bak ular berbisa itu. Dan puncak dari semua itu justru Sev yang bertingkah luar biasa brengsek pada Katty. Dari semua kepedihan yang dirasakan Katty Sev berperan paling besar. Permintaan maaf dan penyesalan saja tak akan pernah cukup.

Suara pintu kamar mandi yang terbuka membuat Sev menoleh. Katty berdiri di sana, mengenakan celananya yang kemarin, dengan atasan tertutup jacket tebal milik Sev. Katty memandang Sev. Matanya masih merah dan bengkak. Wajahnya juga sangat pucat. Sev khawatir bila tubuh mungil Katty akan ambruk. Namun dia tak mengucapkan satu kata pun.

“Aku pulang. Maaf aku pinjam jacketmu dulu. Nanti aku akan menyuruh orang untuk mengembalikannya,” kata Katty susah payah dan berjalan menyeberangi ruangan menuju pintu keluar.

Saat Sev bergerak akan mendekat, gadis itu mengangkat tangannya.

“Maaf Sev, tolong jangan ikuti aku. Aku ingin menyendiri dulu,’ katanya parau dan terus melangkah. Meninggalkan Sev berdiri mematung di belakangnya.

***

Stockley House tampak tenang saat Katty yang berjalan melewati kebun yang ada di antara kedua rumah, membuka pintu kecil yang tertutup rumpun perdu wisteria, dan tiba di halaman belakang rumah yang berukuran lebih kecil itu. Tampak beberapa pelayan yang berasal dari desa sekitar sedang membersihkan kaca jendela yang berbentuk petak-petak kecil sebagaimana khas rumah-rumah lama Inggris di pedalaman.

Matt, suami Sarah, telah mengabarkan bahwa beberapa bagian atap perlu diperbaiki untuk menghadapi musim dingin nanti, serta beberapa ruangan yang akan ditutup demi menghemat pemanas ruangan. Katty menghitung dalam hati berapa jumlah biaya yang bisa dia alokasikan untuk perawatan rutin tahunan bangunan itu.

Katty mencintai rumah ini dan tak ingin melepasnya. Terlalu banyak kenangan yang tersimpan di sini. Namun dia tak tahu arah hubungannya dengan Sev akan berakhir di mana. Bila semua berjalan dengan buruk maka Katty tak akan sanggup untuk tinggal di sini lagi. Seandainya saja semua bisa begitu sederhana seperti cara berpikir Sev, bahwa mereka saling mencintai dan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Sesederhana itu.

Namun entah mengapa Katty tidak bisa menerimanya begitu saja. Jauh di dalam hatinya dia merasa ada suatu ganjalan yang membuatnya tak bisa menerima dengan mudah hubungan barunya dengan Sev. Virginia mungkin satu masalah. Namun insting kewanitaannya memberi sinyal bahwa ada hal lain yang lebih besar yang menghalanginya untuk menerima Sev sebagai laki-laki dalam hidupnya.

Sarah telah melihat kedatangan Katty sejak putri majikannya itu memasuki kebun belakang. Dengan tersenyum, wanita separo baya itu menyiapkan teh dan makanan kecil untuk Katty. Sarah merasakan kejengahan Katty semalam saat dia digandeng Sev untuk pergi ke Drake Castle. Memang dalam pola pikirnya yang sederhana itu hubungan Sev dan Katty yang memutuskan untuk tinggal bersama sebelum ikatan pernikahan adalah hal yang tak layak.

Namun dia yang mengawasi sendiri bagaimana mereka berdua tumbuh bersama memang menduga bahwa lambat laun keduanya akan menyadari bahwa mereka telah ditakdirkn bersama. Tak ada yang lebih cocok mendampingi Master Sev selain Miss Katty, seperti tak akan ada gadis yang cukup layak untuk menjadi nyonya rumah di Drake Castle selain Miss Katty. Semoga saja keduanya cukup punya nurani untuk segera melegalkan ikatan mereka dalam perkawinan yang sah.

“Nah, Miss Katty, duduklah. Ada sepoci teh yang hangat dan harum untukmu. Tak ada yang lebih nikmat di hari yang mulai dingin ini selain duduk dengan teh yang mengepul serta susu kental yang lezat,” undang Sarah begitu Katty masuk.

Katty memandang wanita itu. Sejenak matanya tampak sedikit berkabut. Namun melihat senyum tulus dan hangat di wajah tua itu tiba-tiba dia merasa sudah pulang ke rumah. “Sarah, aku merindukanmu,” katanya dengan bibir bergetar.

“Aku tahu, Miss Katty. Sudahlah, apapun yang sedang berada di kepala cantikmu itu tak akan bisa menghalangimu untuk menikmati hari yang indah di Stockley House. Bukan begitu, sayang?”

Katty tersenyum mengiyakan. Katty tahu bahwa cepat atau lambat dia akan berhadapan dengan Virginia. Katty bahkan tidak akan heran bila saat ini Virginia sedang dalam perjalanan ke Oxford dari manapun dia datang. Maka Katty menenangkan diri untukmenghadapi pertempuran yang mau tidak mau, suka tidak suka, akan segera dihadapinya.

Katty berkutat di studionya yang terletak di lantai dua Stockley House. Dengan mood kacau seperti ini memang tak mungkin dia akan menghasilkan sebuah karya. Namun paling tidak dia bisa membereskan ruang studio yang sudah sebulan tak tersentuh.

Menjelang waktu minum teh sore hari akhirnya Katty mendengar suara mobil memasuki halaman Stockley House. Katty melongok melalui jendela studionya dan melihat mobil Virginia memasuki halaman dengan kecepatan sembrono yang membuat batu koral di jalan masuk itu terlempar beterbangan. Dan setelah berhenti dengan sembarangan di depan pintu gadis itu meloncat keluar.

Katty berjalan cepat meninggalkan jendela, keluar dari studionya ke ruang depan. Katty baru menginjak anak tangga teratas ketika dia mendengar langkah Virginia. Bahkan dari gerak kakinya saja Katty sudah merasakan kemarahan yang meluap-luap pada diri Virginia. Hampir berlari Katty menuruni tangga dan tepat saat dia tiba di anak tangga terakhir Katty berhadapan langsung dengan Virginia.

Gadis itu tampak begitu spektakuler dengan rambut pirangnya yang digunting trendy. Tubuhnya yang langsing sore itu dibalut dress pendek yang sempit dan hanya mampu membungkus pinggulnya, dengan stockin sutra corak polkadot dan sepatu boot setinggi lutut. Jacketnya yang pendek berbahan suede halus berwarna biru toska tampak sangat segar dan penuh vitalitas untuk gadis dengan kepribadian gampang meledak seperti Virginia.

Seperti saat ini. Kemarahan berkobar di ekspresi wajahnya.

“Jadi sudah pulang sekarang kau Katty!” tuduhnya kasar kepada kakak tirinya.

“Selamat sore, Virgie,” Katty berusaha menghadapinya penuh martabat.

“Brengsek! Jangan coba untuk mengejekku!”

“Aku sedang berusaha menghargaimu dengan sepatutnya, Virgie.”

“Menghargaiku? Setelah kau mengkhianatiku dengan affairmu bersama Sev itu?”

“Affair? Kalau kau ingat dengan baik, kaulah yang menyebarkan berita tentang pertunanganku! Dan apa hakmu untuk marah bila pertunangan itu menjadi kenyataan?” Seru Katty.

Sejenak Virginia terkejut. Katty yang dia kenal tak pernah berteriak. Namun hal itu tak membuat ciut nyalinya.

“Menjadi kenyataan?” Virginia tertawa terbahak-bahak. “Aku selalu tahu bahwa kau itu lemah Katty, namun aku tak menyangka kalau kau juga bodoh!”

“Tapi itulah yang terjadi, Virginia. Kau boleh percaya boleh tidak,” sahut Katty tenang.

Pada Virginia yang melihat dengan tatapan menyelidik ke jari tengah kirinya, Katty tak berkomentar.

“Oh, jadi kau merasa sudah menang dariku hanya karena kau sudah memakai cincin kuno yang norak itu di jarimu?” Virginia menyerang ke fokus lain.

“Aku suka cincin ini,” jawab Katty kalem.

“Sudah selayaknya. Karena kau sama noraknya seperti cincin itu.”

“Kenapa, Virginia? Kenapa kau menyerangku sedemikian rupa? Apa yang membuatmu begitu murka, Virginia bila kau sendiri yang menginginkan kami bertunangan?”

“Dan kau merasa begitu cerdik karena sudah memenangkan Sev dariku, Katty? Kau begitu menjijikkan! Kau jauh lebih hina karena kau mengijinkan Sev menidurimu. Kau tahu bahwa kau telah berbagi tempat tidur dengan hampir separuh wanita di London dan kau masih menganggap dirimu lebih baik dari aku? Padahal kau telah melacurkan dirimu pada laki-laki seperti Sev! Dan bila Sev sudah bosan dirimu, jangan harap kau masih punya harga diri yang selama ini dengan sombong selalu kau banggakan itu!” Kata-kata Virginia begitu tajam menghujam jantung Katty.

Gadis itu tersentak kaget. Dan seolah ingin membuat Katty lebih terpojok, Virginia menambahkan dengan sadis, “Dan aku ragu Sev menceritakan kepadamu tentang hubungannya dengan Angela. Kau tahu kan Angela Clever?”

Katty mundur ke belakang, mencari pegangan. Emosinya yang sudah teraduk-aduk kian berantakan. Katty khawatir bila dia nanti akan jatuh pingsan. Maka dengan menguatkan diri, dia berkata pelan, “Kau telah mengatakan semua yang ingin kau katakan, Virginia. Maka sudah tak ada lagi urusanmu di sini. Sudah tak ada lagi hubungan persaudaraan ini bagi kita. Lebih baik kau pergi, Virginia. Aku sudah lelah.”

“Kau mau balas dendam karena aku mengungkapkan fakta yang tak ingin kau dengar?” Virginia tersulut kembali emosinya.

“Tidak. Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan bertahun-tahun lalu, yaitu melepaskanmu,” Katty menelan ludah. “Kau menyakiti hatiku, kau menghinaku, kau memanfaatkanku, entah bagaimana urutan yang tepat, tetapi itulah semua yang selama ini kau lakukan. Terkutuklah aku bila terus menerus menerima perlakuanmu yang brengsek itu. Mulai sekarang aku melepaskan diri dari ikatan itu. Aku tak akan menanggung semua hidupmu seperti selama ini. Pengacaraku akan memastikan bahwa aku tak akan ada hubungannya lagi dengan urusan finansialmu.”

“Kau keterlaluan, Katty!” seru Virginia dengan ngeri. “Kita bersaudara!”

“Kita memang bersaudara. Tapi hanya secara biologis. Tak lebih. Maka lebih baik kau pergi, Virginia. Aku akan meminta Matt mengantarmu keluar. Semua barangmu akan dikemas dan dikirkan ke alamatmu,” Katty hendak berbalik pergi. Namun dia menyadari manakala Virginia hendak menyambar vas yang ada di dekat meja dan mengingatkan, “Bila kau merusak barang yang ada di rumahku, Virginia, maka aku akan mengirimkan tagihannya untuk kau lunasi. Pergilah,” Katty membalikkan punggungnya.

Dan di sana, di pintu, entah sejak kapan Sev telah berdiri memandang mereka berdua.

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 26.2K 27
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
363 42 6
Aku memilih keputusan besar setelah lulus kuliah, keputusan yang pastinya tidak akan dipahami oleh banyak orang. Aku tidak perlu dipahami, aku sudah...
1.5K 374 18
(1 of 5) GIRLS TALK SERIES Blurb: Semua orang pasti memiliki kisahnya masing-masing setelah pulang dari kantor, Begitu juga Kayla Pratiwi yang dipert...
187K 4.2K 8
Ya Tuhan, dari sekian banyak makhluk berjenis kelamin laki-laki di semesta, kenapa laki-laki menyebalkan ini yang harus jadi sahabat sepupunya. _A...