Waiting for You || Hyouka (Or...

By Mizuraaaa

49.8K 7.6K 3.6K

Menjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku me... More

Note
END
(A/N)
Author's Side
(Y/n)'s Side (bagian 1)
(Y/n)'s Side (bagian 2)
Oreki's Side (bagian 1)
Oreki's Side (bagian 2)
Oreki's Side (bagian 3)
Fukube's Side (bagian 1)
Fukube's Side (bagian 2)
Fukube's Side (bagian 3)
Waiting for You
After All
After All (2)
After All (last)
Credit Story + Promotion

(Y/n)'s Side (bagian 3)

116 11 2
By Mizuraaaa

Sebenarnya,

Apakah keputusanku ini sudah tepat?

***

"Hei."

"Ah!! Houtarou, kau mengejutkanku."

Aku menghela nafas lelah, sementara dari sampingku terdengar kekehan dan permintaan maaf ringan. Aku mengangguk sebagai tanggapan, melanjutkan langkahku yang sempat terhenti karena Houtarou tiba-tiba muncul di depanku.

Kini kami berjalan beriringan, menuju jalan pulang setelah hampir seharian menimba ilmu di sekolah. Sembari saling melempar candaan, kami tergelak sesekali, merasakan kehangatan seraya menatap indahnya warna langit yang bersatu dengan senja.

"Hahaha, kau benar, saat itu lucu sekali." Houtarou kembali terkikik geli, menutup mulutnya dengan punggung tangan. "Oh iya, aku baru ingat, nanti malam kita jadi, kan?"

"Eh, jadi apa?"

Houtarou terdiam, ia tampak tak percaya dengan apa yang baru saja aku ungkapan. Aku sungguh tak mengerti sehingga hanya mampu memiringkan kepala, aku jadi kasihan melihat wajahnya yang penuh kekecewaan itu.

Ia menepuk dahinya pelan, lalu mengingatkanku dengan menggerak-gerakkan kedua tangannya. Sepertinya dia jengkel dengan sifat pelupaku. "Kita kan mau keluar, (Y/n)-chan ..., kau tidak ingat kita membuat janji dua hari lalu? Festival itu loh."

"Ahhh!!" aku membuka mata lebar, lantas menepuk tanganku yang lain dengan jari-jari terkepal. "Aku ingat! Astaga, maaf aku lupa, sepertinya kita tidak bisa pergi ke sana malam ini."

"Hee, kenapa?"

Aku menggaruk kepala belakangku yang tidak gatal, rasanya ragu untuk mengungkapkannya karena merasa bersalah. Sepertinya Houtarou sangat ingin pergi ke sana, aku jadi tidak enak karena membatalkannya sepihak.

Menghembuskan nafas pasrah, akhirnya aku bersuara, "Aku tidak bisa karena harus menyiapkan dessert pesanan tetanggaku. Jumlahnya cukup banyak jadi pasti menghabiskan banyak waktu. Aku minta maaf sekali," ujarku penuh penyesalan, membungkuk lemas.

Sebenarnya aku pun ingin pergi ke festival, tapi apa boleh buat? Sekarang aku tidak bisa malas-malasan setiap saat karena harus mencari uang untuk kebutuhan sehari-hariku. Tidak mungkin aku terus menggunakan uang tabungan Ibu, lagipula suatu hari uang itu pasti akan habis.

Aku melirik lewat ekor mataku, mencoba melihat respon apa yang Houtarou berikan. Ia tengah berfikir keras dengan telapak tangannya yang membungkus dagu, hingga tak lama kemudian matanya melebar, seakan baru mendapatkan sesuatu.

"Ada apa?" tanyaku memastikan.

Houtarou menoleh padaku, dengan wajah cerah ia mengusulkan, "Bagaimana jika aku ke rumahmu saja? Aku bisa membantumu mengerjakan pesanan itu, setidaknya untuk sekedar mengocok adonan atau beres-beres dapur, hehe." ia memiringkan kepala dengan beberapa bulir keringat yang jatuh dari dahinya. Ia mungkin malu karena tak bisa cukup membantu.

Tapi tetap saja, aku merasa tidak enak. "Hee, rencana awal kita ke festival kan untuk bersenang-senang, jika kau ke rumahku aku malah merepotkanmu nantinya. Walau kau menunggu pun pasti membosankan, aku tidak tau hal ini akan memakan waktu berapa lama."

Namun, yang kudengar darinya hanyalah tawa ringan. Aku memiringkan kepala bingung, sementara lawan bicaraku mulai menatapku dengan lembut.

"Tak apa, kok. Selama itu bersamamu, aku tidak akan pernah merasa bosan."

Aku menggembungkan pipiku sembari membuang wajah yang merona tipis perlahan. Apa-apaan Houtarou itu, senyumnya sangat mempesona sampai aku tidak bisa berkata-kata, ini tidak adil.

Masih sibuk dengan gerutuanku, mata ini tak sengaja menangkap supermarket di pinggir jalan. Ah, aku jadi teringat, bahan-bahan di rumah pasti tidak akan cukup, aku harus membeli tambahannya dan beberapa cemilan untuk menemani bermain video game.

"Houtarou, ayo!" ajakku langsung menarik tangannya tanpa menunggu jawaban dari laki-laki itu. Aku segera memasuki supermarket dan mencari sesuatu untuk membantu proses belanja ini. Menemukannya dengan cepat, aku berlari kecil ke tempat itu, dan mengambil satu troli lalu memberikannya pada Houtarou.

"Wow, apa ini?" ujarnya bertanya-tanya ketika aku menyerahkan troli itu. "Sejak kapan aku jadi pembantu pribadimu?" tanyanya menaikkan sebelah alis.

"Sejak kau menjadi pacarku, ini adalah tugas wajibmu sebagai seorang laki-laki." aku menjawab ringan, terkikik geli ketika gerutuannya mulai terdengar.

Kami pun mulai menyusuri setiap rak untuk mengambil berbagai bahan-bahan untuk membuat dessert. Sesuatu semacam tepung, gula, telur dan beberapa cemilan juga minuman dingin aku masukan ke dalam troli yang Houtarou bawakan untukku.

Tiba di salah satu rak, aku terdiam di sana. Mataku menyapu setiap baris rak dan menemukan apa yang aku cari. Dengan senyum mengembang di bibir, aku pun melangkah mendekat, lalu mengambil salah satu benda di sana.

"Beli apa?" tanya Houtarou tiba-tiba ketika aku sedang fokus membaca bagian belakang produknya. "Sabun cuci muka," jawabku singkat.

Aku menoleh padanya sejenak, lalu bersuara, "Sabun cuci mukaku habis tiga hari lalu, tapi aku terlalu malas untuk beli, jadi aku tidak menggunakannya selama itu. Akhirnya, yang terjadi adalah jerawat timbul di wajahku." aku menghela nafas pasrah, meratapi kehidupanku yang tidak mulus ini.

"Oh ya? Mana coba jerawatnya?" Houtarou bertanya lalu mendekatkan wajahnya padaku. Aku hanya diam, membiarkan dia menelisik setiap lekuk wajahku. Namun, lama-lama aku jengkel juga karena Houtarou sangat lama.

"Mana sih? Ga ada jerawat, kok."

Jawaban Houtarou membuat alisku mengernyit dalam, seketika mengangkat tangan untuk menyentuh bagian wajahku. "Apaan sih, kau mencoba meledekku, ya? Padahal jelas sekali ada jerawat besar tumbuh di dahiku."

Houtarou menekuk wajah, kembali menarik tubuhnya lalu melipat tangan di depan dada. Tangan satunya terangkat untuk menyentuh dagu, ia pun menautkan alis seolah benar-benar bingung dengan pernyataanku.

"Aish, salahmu sih ini."

"Hah? Kok tiba-tiba salah aku?" tanyaku heran.

"Soalnya kecantikanmu yang berlebihan menutupi jerawat itu."

"Houtarou ...!!"

.
.
.

Aku dan Houtarou baru saja sampai di rumah. Ketika kami tiba, matahari sudah tenggelam dan menyisakan cahaya jingga tipis yang masih tertinggal. Memang wajar sih, ketika aku baru keluar dari sekolah hari sudah petang, setelah pergi ke sana kemari pasti sudah gelap.

Aku pun memasuki rumah diikuti Houtarou di belakang. Langsung memasuki dapur, aku menyimpan beberapa bahan makanan ke tempat penyimpanan.

"Anu, Houtarou, tolong masukkan minuman dinginnya ke kulkas, ya." aku menoleh sedikit ke belakang, mendapat anggukan dari Houtarou yang langsung mengambil satu kresek berisi minuman.

Kami sibuk membereskan bahan belanjaan untuk beberapa menit. Aku yang selalu lupa di mana menaruh ini itu, akhirnya bisa teratasi dengan bantuan Houtarou. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana orang-orang bisa mengingat hal kecil seperti ini dengan mudah.

"Okay, selesai." aku menepuk-nepuk tanganku beberapa kali. Menaruh kedua tangan di pinggang, aku menatap meja dapur dalam diam.

Ahh, semuanya baru dimulai ternyata.

Ya sudahlah, kita jalani saja.

Aku pun langsung menyiapkan semuanya kembali. Dengan cekatan, aku mengambil beberapa wadah dari lemari di sampingku. Tepung, mentega dan gula aku letakkan di atas meja, lantas beralih mengambil pengaduk adonan di bawah laci meja.

"Kau mau langsung mulai sekarang? Apa tidak istirahat dulu?"

Aku menoleh, menatap Houtarou yang tengah menopang dagu di meja makan. Tersenyum lebar, aku mengangguk. "Iya, aku rasa lebih baik jika diselesaikan lebih cepat, jadi aku bisa tidur lebih awal nanti."

Houtarou tampak mengangguk berkali-kali, lantas bangkit dari tempat duduknya untuk menghampiriku. "Kalau begitu, ada yang bisa ku bantu?"

"Ah, tolong ambilkan telur di atas, ya, aku tidak bisa menjangkaunya."

Ia mengangguk singkat, lalu segera melakukan apa yang aku suruh. Sembari melakukannya, terdengar suara decakan lidah berkali-kali, itu membuatku mengangkat kepala dan menatapnya yang sedang menggeleng-geleng.

"Kau ini, kalau mau dipakai lagi kenapa tadi di beresin?" ujarnya heran, meletakkan keranjang berisi telur itu di atas meja.

Aku hanya tertawa hambar, mengusap tengkukku malu. "Lupa, hehe."

"Dasar."

"Yaudah, sekarang aku harus apa?"

Aku menoleh, lalu menggulirkan pandanganku pada keranjang telur di hadapannya. "Ah, sebentar." aku menarik keranjang itu mendekat, lalu mengambil beberapa butir dari tempat itu.

Memecahkannya, aku pun memisahkan telur putih dan kuningnya di wadah berbeda. Setelah memasukkan dengan takaran yang sesuai, aku menyerahkan wadah berisi putih telur yang sudah ditambahkan gula pada Houtarou.

"Tolong aduk sampai mengembang, ya. Aku akan menyiapkan adonan lainnya."

Houtarou mengangguk dengan patuh, lalu meraih alat pengaduk adonan dari sisi lain meja. Melihat hal itu aku tersenyum kecil, aku merasa sangat terbantu oleh kehadiran Houtarou sekarang ini.

Semua berjalan dengan lancar, kami berbincang ringan di sela-sela kegiatan kami. Seringkali terdengar tawa yang keluar dari celah bibir, melampiaskan rasa geli ketika mendengar lelucon yang dilontarkan. Ah, suasana ini, begitu hangat.

Aku jadi merindukan Fukube-kun.

Eh, tunggu sebentar—

Plakk

"Eh? Kau sedang apa?!" tanya Houtarou kaget melihatku yang tiba-tiba memukul kedua sisi pipiku.

Aku hanya menoleh ringan, lalu mengacungkan jempolku. "Aku baik-baik saja, tidak perlu khawatir." mendengar jawabanku, Houtarou menghela nafas panjang dan kembali melanjutkan kegiatannya.

Aku tertawa kecil, tapi kemudian termenung.

Aku ini sedang apa?

Aku kan sudah punya kekasih, kenapa memikirkan laki-laki lain seperti itu?

"Kau teringat pada Satoshi?"

Aku tersentak, seketika menoleh padanya. "A-apa maksudmu? T-tidak kok, aku hanya sedang melamun! Ya, melamun! Aku memikirkan pelajaran matematika tadi, ugh, sangat memusingkan." aku memegang kepalaku, berusaha terlihat semeyakinkan mungkin.

Namun, Houtarou tak bersuara lagi.

Apa dia marah?

"Tak apa, aku mengerti jika kau merindukannya." aku melebarkan mata, tidak percaya dengan apa yang ia ucapkan. "Itu hal yang wajar, jadi tidak perlu menyembunyikannya, oke? Jangan bersedih, dia juga pasti tidak suka kalau melihat kau seperti ini."

Aku menunduk, meratapi kehidupanku yang tampak menyedihkan.

Apa-apaan aku ini?

Orang sebaik Houtarou, tidak boleh aku sakiti.

"(Y/n)-chan, aku sudah selesai mengoleskan mentega pada loyangnya."

"A-ah, begitu?" ujarku kaget. "Baiklah, terima kasih. Aku akan memasukkan adonannya."

Tak lama, aku pun selesai memasukkan adonan ke dalam loyang itu. Aku segera membawa dua loyang berisi adonan penuh itu, lalu memasukkannya ke dalam oven yang semula sudah aku siapkan.

"Okay, sekarang tinggal menyiapkan yang lain. Anu, bisa aku minta tolong padamu untuk melelehkan coklat?"

"Oke, tak masalah. Di mana coklatnya?" tanya Houtarou, melirik ke sana kemari. "Ada di laci atas, kau cari saja. Aku akan membuat krimnya, ya."

Houtarou mengangguk, lalu segera mencari coklat yang kumaksud di setiap laci atas. Setelah menemukannya, ia langsung mengambil panci berisi air dan mendidihkannya, lalu menyimpan mangkuk anti panas dengan coklat di dalamnya.

"Krim, apa ini kue ulang tahun?"

Jarak antara aku dan Houtarou hanya terpisah sekitar satu meter, jadi masih nyaman untuk kami mengobrol sembari mengerjakan tugas masing-masing. "Iya, ada dua orang yang memesan kue ulang tahun. Kau tau? Temanya sangat berbeda. Yang satu ingin penuh warna, sedangkan yang satu hanya ingin coklat sebagai hiasannya."

Houtarou terlihat mengangguk-angguk mendengar ocehanku. "Apa hanya ini saja? Atau masih ada yang lain?" tanyanya menoleh padaku.

Aku mendongak, menyimpan jari telunjukku di dagu sembari mengingat-ingat. "Sebenarnya masih banyak sih, sangat banyak malah. Aku akan tidur lebih awal dan bangun lebih pagi untuk membuatnya, karena kurasa dessert seperti pie, cupcakes dan lainnya lebih bagus jika dibuat dadakan."

"Ahh, begitu? Kau pasti sangat sibuk."

Aku tertawa, tersenyum penuh suka cita. "Yah, memang waktu istirahatku jadi agak berkurang, tapi aku senang banyak orang yang membeli. Rasanya aku pun bisa membagikan kebahagiaan lewat rasa kue yang enak ini." terkikik, aku menutupi celah bibirku dengan jari-jari. Namun, ketika aku membuka mata, aku menyadari Houtarou tengah menatapku lekat.

"Ada apa?"

"Oh, tidak. Umm, aku rasa kau tetap harus memperhatikan waktu istirahatmu, kau tau memaksa tubuhmu untuk terus bekerja juga tidak baik." Houtarou memberi usul.

Aku hanya mengangguk patuh, lalu mengangkat tanganku dan menaruh keempat jari di samping pelipis. "Siap, kapten!" seruku semangat, yang kemudian menghasilkan tawa baik dariku dan Houtarou sendiri.

Waktu pun berlalu begitu saja. Aku menghampiri oven ketika menyadari kuenya sudah matang. Membuka tutup oven, harum dari kue itu pun langsung tersebar ke seluruh ruangan, benar-benar memanjakan.

"Kau sangat hebat membuat kue, ya." Houtarou berdecak kagum, yang dihadiahi ucapan Terima kasih dariku.

Aku mengeluarkan kedua loyang itu dengan bantuan sarung tangan, mencegah panas yang menempel pada loyangnya membakar kulitku. Kue itupun dilepas dari loyangnya sesegera mungkin, lantas dibiarkan sesaat untuk mendinginkannya.

"Houtarou, krimnya sudah siap, menurutmu bagaimana?" aku menyerahkan wadah berisi krim itu, menatapnya penuh harap akan respon yang positif. Houtarou menaikkan sebelah alis, lantas mencolek sedikit bagian krim dari pinggiran wadahnya.

"Hmm."

"Gimana gimana?"

Aku setia menunggu dengan mata berbinar, sementara Houtarou, aku yakin dia mempermainkanku karena tak kunjung selesai dengan satu colekan krim yang sudah masuk ke dalam mulutnya.

"Kurang manis."

"Hah?" aku mengernyit. "Masa sih?" tanyaku tidak percaya, ikut mencicipi krim yang baru saja ku buat.

Houtarou mengangguk yakin. "Iya, serius. Soalnya manisnya udah kamu ambil semua, sih." ia bersidekap dada, memasang ekspresi polos tanpa rasa bersalahnya.

Hahh, salah apa aku punya pacar gombal mulu kayak gini, pikirku dengan wajah merona tipis.

Kruyukkk

"Eh?//Eh?"

Hening. Aku dan Houtarou saling bertukar tatap untuk beberapa saat. Hingga pada akhirnya aku berbalik, menutup mulutku rapat dengan telapak tangan karena malu. "A-ahh, maaf banget ..."

"Pfftt, gapapa." suara Houtarou terdengar dari belakang, tapi aku bersumpah mendengar ia sempat tertawa. Sialan. "Kau belum makan sejak pulang dari sekolah, ya? Wajar saja sih kau lapar."

Aku menoleh, mensyukuri punya seseorang yang amat peka seperti Houtarou.

"Aku masakin nasi goreng, ya?"

Mendengar tawaran Houtarou, wajahku berbinar sumringah. Mengangguk dengan semangat, aku berucap, "Okey! Makasih ya sebelumnya, sekarang aku lanjut hias kue dulu."

Houtarou ikut mengangguk. "Ya, bereskan saja dulu, nanti kau selesai nasi gorengnya sudah siap."

"Okeyyy!!"

.
.

"Ahh, akhirnya selesai."

Aku menghembuskan nafas lelah sembari menutup pintu kulkas. Aku baru saja selesai menghias kedua kue ulang tahun itu dan langsung memasukkannya ke dalam kulkas. Pekerjaanku untuk saat ini sudah selesai, aku bisa sedikit bernafas dengan lega.

"(Y/n)-chan, kau sudah selesai? Nasi gorengnya nanti dingin."

"Iyaaa, sebentaaar! Aku ke sana sekarang!"

Aku berlari kecil, kembali ke meja makan dengan dua piring nasi goreng di atasnya. Mengulas senyum tipis, aku menarik satu kursi, dan mendudukkan diri di atasnya. "Maaf ya, aku lama banget, padahal kau duluan makan saja."

Houtarou menggeleng. "Tidak masalah, aku belum terlalu lapar juga. Lagipula aku tau kau kesulitan menghias kuenya, kau sudah bekerja keras." ia menarik sudut bibirnya ke atas, membuat perasaanku jauh lebih tenang.

Memutuskan mengakhiri percakapan, aku menyiapkan satu sendok nasi goreng ke mulutku. Kepalaku mengangguk-angguk, tak bisa mengelak bahwa ini memang enak, aku sudah mencobanya beberapa kali sejak menjadi kekasih Houtarou, sih.

"Masakanmu enak juga ya ternyata."

"Oh tentu saja, soalnya aku—"

"Nasi goreng doang tapi."

Houtarou terdiam, tampak amat kesal dengan perkataanku yang menyelanya. Menghela nafas pasrah, ia menopang dagu dengan wajah terangkat angkuh. "Aku itu bukannya ga jago masak, ya. Aku cuma ga mau jago masak. Kalau aku jago masak, ntar kalau kita nikah kamu ga akan mau masak dan nyerahin tugasnya ke aku."

Aku menahan tawa, cara Houtarou mengelak dari kenyataan bahwa dirinya memang tak bisa memasak selain nasi goreng dan mi instan sangat lucu.

"Alasan saja," sindirku, ingin menggodanya lebih jauh.

"Hee, mentang-mentang kau bisa masak, jangan sombong, ya! Masakanmu juga tidak—"

"Tidak apa, hm?"

Houtarou terdiam, lantas membuang wajahnya yang merona ke samping. Mungkin pikirnya ia bisa mengerjaiku, tapi dia salah, aku tidak akan memaafkannya sampai kapanpun jika dia mengatakan masakanku tidak enak.

"T-tidak pernah tidak enak."

"AHAHAHA, jangan tegang begitu, dong!"

"Abis mukamu serem banget."

"Mukaku apa?!"

"Becanda (Y/n)-chan becanda!"

.
.
.

"Ahhh, akhirnya, kenyang sekali ..."

Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi, benar-benar lemas setelah menghabiskan satu piring nasi goreng. Sebenarnya ini karena aku cukup lelah juga, aku sangat ingin istirahat sekarang.

"Biar aku cucikan piringnya."

"Eh, tidak perlu!" cegahku, menahan tangan Houtarou yang membawa piring-piring yang sebelumnya digunakan menuju wastafel. "Biar aku saja yang mencucinya."

"Tidak, aku saja." Houtarou menggeleng tegas. "Kau sudah kelelahan, terlebih masih ada pesanan untuk besok, jadi biarkan aku membantu sebisaku."

"Sungguh tak apa?"

"Iya, kau istirahat saja."

Aku menghela nafas pasrah, tidak bisa melawan keinginan Houtarou. "Baiklah, aku akan menonton TV di depan, ya."

Houtarou yang sudah berlalu hanya mengangguk-angguk, sehingga senyuman kembali terbit di bibirku. Bangkit dari kursi, aku menghampiri kulkas dan mengambil minuman dingin serta cemilan ringan dari sana. Setelahnya, aku berjalan santai menuju ruang tengah.

Tak ada yang spesial di sini.

Aku hanya menonton TV dengan tenang ditemani suara kunyahan cemilan ringan yang tengah aku peluk sekarang ini. Suara air dan benturan antar piring terdengar dari sini, apa Houtarou kesulitan, ya?

Ah, sudahlah.

Tidak baik menyia-nyiakan kebaikan seseorang.

Aku terkekeh sejenak.

Namun, sejujurnya ini terasa sangat aneh. Padahal aku selalu dikelilingi orang-orang yang menyayangiku setiap saat, bahkan sekarang ini Houtarou juga ada di dekatku meski sudah larut malam.

Aku tidak mengerti.

Menunduk, aku menemukan liontin dari kalung yang selalu aku gunakan ini. Aku mengangkat liontin itu dengan jari-jariku, lantas menatapnya dengan lekat.

Sekeras apapun aku menutupinya, tak ada yang bisa menghilangkan fakta bahwa aku merindukan Fukube-kun.

Tatapanku berubah menjadi kosong, ketika kesadaranku melayang entah kemana. Aku benar-benar rindu masa di mana dia selalu berada di sampingku setiap saat, mendukungku apapun yang terjadi, dan melindungiku sepenuh hati.

Terkadang aku bertanya-tanya, apakah hanya aku yang merasa seperti ini? Apakah Fukube-kun pernah teringat tentangku?

Apakah hanya aku yang menderita karena kehilangannya?

"(Y/n)-chan?"

Aku menoleh, lantas mengulas senyum kecil menyadari kehadirannya. Houtarou langsung mendudukkan diri di sampingku, dengan sirat khawatir ia langsung bertanya, "Kau sepertinya sedang melamun, ada apa?"

Aku menunduk, menggenggam erat liontin kalung yang melingkar di leherku. "Houtarou, aku punya satu pertanyaaan."

"Hm? Apa itu?"

"Apa tidak masalah jika aku menyimpan kalung itu?"

Houtarou terdiam.

Aku sudah mengira responnya akan seperti ini.

"Maaf, aku benar-benar minta maaf." aku tertawa hambar, menatap kosong pada kedua kakiku di bawah sana. "Aku memang orang yang bodoh. Entah bagaimana, tapi aku selalu merindukan laki-laki lain padahal aku sendiri punya kekasih sebaik dirimu."

"Maaf aku egois, tapi aku tidak bisa melupakan hubunganku sepenuhnya dengan Fukube-kun."

Hening. Tak terdengar apapun setelahnya.

Hingga akhirnya, sebuah tepukan lembut mendarat di kepalaku.

Aku terperanjat, seketika menatapnya dengan kaget. Yang aku lihat hanyalah senyuman hangatnya, tak ada satu titik pun yang menunjukkan rasa marah atau kesal dari wajahnya. Bahkan setelah aku mengatakan hal semacam itupun, Houtarou ...

"Aku mengerti," ucapnya lembut. "Melupakan teman yang sudah bersama denganmu sangat lama itu tidak mudah, aku tidak memaksamu untuk melakukannya."

Houtarou tersenyum tulus. "Bahkan, menurutku kau tidak perlu melupakannya."

Aku mengerjap, tidak mengerti sama sekali dengan apa yang dikatakannya.

"Aku memang tidak tau secara pasti, tapi aku tau kalian lebih dekat dari sekedar hubungan teman atau sahabat." Houtarou menundukkan kepalanya, aku menjadi merasa bersalah karena itu. "Itu sebabnya, hubungan seerat itu tidak perlu kau lupakan."

Ia mengangkat kepalanya, kembali tersenyum.

"Kau dan Satoshi itu terhubung, itulah kenyataannya."

Aku melebarkan mataku dengan sempurna. Tak lama, cairan bening mulai menumpuk di pelupuk sehingga pandanganku memburam. Ini benar-benar membingungkan, apa yang Houtarou maksud dengan mengatakan itu?

Houtarou tampak terkekeh sembari mengeluarkan nafasnya. "Untuk kalung itu, kau bisa menyimpannya sampai kapanpun. Itu hak mu. Kenapa kau berfikir aku akan marah karena kau menyimpan pemberian dari seseorang yang berharga bagimu?"

Aku menunduk, tak mampu menatap wajahnya langsung, apalagi bertatapan dengannya. "Karena itu egois. Bagaimana bisa aku merindukan laki-laki lain sementara aku sudah memiliki kekasih? Kau pantas marah untuk itu."

"Aku tidak marah, kok."

Kepalaku terangkat cepat, menatapnya dengan tidak percaya. Houtarou yang ditatapi seperti itu hanya tersenyum tipis. Senyuman tipis, yang membuat hatiku merasa lebih hangat dari apapun.

"Kau hanya menyimpan pemberiannya, kan? Lagipula, ketika Satoshi pergi, kau memilih menerima kalung itu dan bersama denganku. Apa kau berusaha untuk pergi dengan Satoshi atau menerima perasaannya?"

Houtarou menggeleng. "Tidak. Kau memilihku."

Ia meriah bahuku, dan menariknya untuk masuk ke dalam pelukannya. "Karena itu aku sangat bersyukur. Mengetahui kau memilihku dibandingkan pergi bersama Satoshi sudah membuktikan ketulusanmu. Aku tidak membutuhkan apapun lagi."

Pelukan ini, benar-benar nyaman.

Sangat nyaman sampai aku meneteskan air mata.

"Terima kasih, ya. Terima kasih karena sudah memilihku." Houtarou memberi kecupan ringan di puncak kepalaku, dan berlanjut mengusapnya lembut menggunakan telapak tangannya.

Ternyata benar,

"Aku mencintaimu, (Y/n)-chan."

Keputusanku untuk memilih Houtarou tidaklah salah.

"Aku juga mencintaimu, Houtarou."

⛧⛧⛧


Continue Reading

You'll Also Like

170K 26.8K 45
Seorang gadis kecil yang selama 7 tahun hidup dalam sangkar emas dilepas begitu saja pada dunia bebas oleh orang tuanya yang khawatir ia akan membawa...
67.2K 6K 48
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
118K 19.4K 24
Ketika hidup (name) yang tenang berubah dengan kebobrokan dunia luar dan dalam dinding harus terganggu karena pasukan SC yang terus menerus mengincar...
110K 18.2K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...