BARA [END]

AlinaAliya13 tarafından

2.7K 192 27

Setiap kita adalah penyemai luka, Setiap kita adalah pemuai salah. Tetapi setiap kita adalah penawar dari s... Daha Fazla

Prolog
Luka Pertama
Dewasa
Harapan
Bumi dan Bulan
Rasi
Cinta Pertama
Luka Yang Bermuara
Seutas Angan
Jika Bahagia Itu Sederhana
Rahasia yang mulai mencuat-I
Rahasia yang mulai mencuat-II
Sebuah Penjelas
Pelampiasan
Cinta dan Benci
Sebuah Seni
Desir Sukma
Baik atau Pelik
Perencana
Numpang Lewat!!!
Bahagia?
Alasan Mencintai
Rahasia (?)
Lara
Bias yang jelas
Penyelesaian
Penyelesaian-II
Usai
Epilog
BARA

Kegagalan

64 5 1
AlinaAliya13 tarafından

POV Naira

Mentari menyapa malu-malu pagi ini. Di hari libur dengan cuaca dingin, aku yakin pasti bukan hanya aku saja yang setuju jika dicuaca seperti ini paling enak tidur dibawah selimut tebal dan bangun disaat matahari telah tinggi. Namun, rencanaku itu harus gagal. Sebab, ibu membangunkanku untuk sarapan pagi. Aku kesal sebenarnya, tapi aku tidak bisa membantah ibu. Jika aku tidak menurut, ibu pasti mengomeliku. Akhirnya aku turun dari ranjang dengan langkah malas dan mata yang setengah terbuka menuju ruang makan. Disana sudah ada ibu yang sedang merapikan meja makan.

"Naira, cuci muka dulu."

"Hm." jawabku sekenanya masih dengan mata yang merem-melek.

"Naira!" ibuku sedikit menegaskan suaranya.

Aku terkejut. Lantas, segera aku berlari menuju keran wastafel cuci piring. Kemudian aku duduk kembali sembari mengelap wajahku yang masih basah.

"Bu, Naira belum laper." eluhku.

"Makan, nanti sakit lagi. Kalau kamu kayak gini terus, gimana ibu gak khawatirin kamu, Ra?

"Naira gak minta dikhawatirin kok, Bu. Ibu jangan khawatir lagi sama Naira, ya?" ujarku sembari tersenyum.

"Gak ada ibu yang gak khawatirin anaknya, Ra. Ibu cuma gak mau kamu sakit lagi,"

"Naira janji gak akan sakit lagi kok, Bu. Nih janji." ujarku memberi jari kelingking kepada Ibu.

"Yaudah dimakan dulu itu,"

"Ih ibu, jarinya mana? Terima janji Naira dulu."

Ibu tersenyum dan menerima janji kelingkingku.

Kalau difikir-fikir, lucu ya? Dulu, aku tidak pernah percaya dengan segala janji. Tapi sekarang malah aku yang berjanji. Hidup itu memang seperti itu ya? Dulu membenci, sekarang melakui. Aku memang sudah tidak heran lagi, sebab aku sudah sering merasakan hal yang selalu saja berkebalikan seperti ini. Hal ini persis seperti kepergian ayah. Dulu, ayah ada untuk mencintai tapi kini ayah telah pergi dan melukai. Sudahlah, aku sudah tidak mau mengungkit tentang kepergian ayah lagi sebenarnya. Tapi, bagaimana ya? Untuk menghilangkan fikiranku tentang ayah barang sehari saja itu tidak bisa. Aku tidak tahu bagaimana caranya melupakan dan mengikhlaskan. Semakin aku berusaha melupa, semakin jelas langkah kepergian ayah dulu. Aku tidak tahu kapan rasa abu ini berkesudahan.

***

Akhir pekan ini aku tidak kemana-mana. Aku memilih untuk dirumah saja bersama ibu. Aku menyiram bunga-bunga, membersihkan kaca dan jendela, menyapu dan mengepel lantai, melipat baju dan menyetrikanya hingga memasak untuk makan sore. Hari yang sengaja ingin kuhabiskan dengan bermalas-malasan gagal begitu saja. Kata ibu, aku selain harus rutin makan, aku juga harus sering-sering berolahraga. Dan inilah olahraga yang ibu maksud itu. Aku harus membantunya membersihkan rumah. Kenapa ya, definisi olahraga anak dan ibu itu bisa berbeda? Mungkin saja ibuku dulu sewaktu sekolah, materi pelajaran olahraganya bukan senam, lari maraton, renang, atau bahkan atletik. Sepertinya di zaman ibu dulu, materi olahraganya adalah menyapu, mengepel, mengelap kaca, mencuci baju, melipat baju, menggosok baju dan pekerjaan rumah lainnya. Aku lelah, tetapi selelah apapun itu jika bersama ibu terasa menyenangkan.

"Naira, nanti sore kamu antar makanan ke rumah Bima, ya." ujar Ibu yang sedang memotong-motong tempe.

"Ke rumah Bima, bu?" ujarku sedikit tak percaya sembari mengusap-usap mataku yang perih karena bawang merah yang sedang ku kupas.

Ibu menoleh, "Ya ampun, Naira. Jangan diusap-usap kayak gitu, ya jelas perih. 'Kan tangan kamu lagi megang bawang."

"Aku gak tau, Bu."

Ibu mendesah, "Ya udah sini, biar ibu aja."

Aku menaruh pisau dan bawang merah yang tadi kupegang.

"Cuci muka sana."

Aku segera mencuci mukaku dan kembali ke dapur.

"Bu, yang tadi serius?" kataku mempertanyakan ucapan ibu sebelumnya.

"Kerumah Bima? Iya serius. Waktu itu Bima pernah nganterin makanan untuk kita. Ya, gak ada salahnya 'kan nganterin makanan juga kerumah dia. Kalau Naira mau, sekarang kita masak agak banyakin untuk dibagi ke Bima."

"Mau, Bu. Mau." responku semangat.

"Hm. Kerumah Bima aja semangat, tadi waktu ngelipet baju malah pura-pura tidur."

Aku menyeringai saja tanpa rasa bersalah.

"Hehe. Ngantuk, Bu."

"Yasudah, tempenya digoreng, biar cepet ketemu Bimanya." ujar Ibu menggodaku.

"Ih Ibuuu."

***

POV Bima

Hari ini, aku berjanji untuk bertemu dengan Nayla di sebuah coffe shop. Nayla memilih tempat untuk bertemu di kafe yang sangat familiar bagiku. Bagaimana tidak? Kafe itu adalah milik Jordan, teman SMA ku sekaligus saksi dari persembunyianku dibalik hidup Naira. Aku setuju untuk menemuinya, karena mau tidak mau, rencana yang sudah berantakan ini tetap harus diselesaikan.

Aku sampai di kafe Jordan, ternyata Nayla sudah berada disana duluan dan sedang berbicara dengan Jordan, mereka tampak akrab sekali.

"Hei, brother!" sapa Jordan diiringi dengan tos kepalan tangan yang biasa kami lakukan. Kemudian, aku duduk di samping Nayla, tepatnya didepan bar kafe.

"Udah saling kenal?" tanyaku gamblang.

"Bukan saling kenal lagi, Bim. Gw sama dia-udaaah, udah itu," Jordan menautkan kedua jarinya.

"Pacaran?" tanyaku spontan.

"Lebih." sahut Nayla.

"Lebih? Maksudnya kalian berdua udah gitu-gituan?"

Nayla memukul lenganku, "Maksud, lo?"

Aku menyeringai saja dengan lugu, memang bermaksud menggoda mereka.

"Ya maksudnya, gitu-gituan itu-udah lamaran dan segala macem, gitu,"

"Gak usah sok positif, Bim. Gw tau isi otak lo" ujar Jordan sangat jujur.

"Haahahahaha."

Mereka memamerkan cincin yang melingkari jari manis mereka kepadaku.

"Nih, liat."

"Halah, pamer. Liat aja nanti gw nyusul." ujarku.

"Nyusul? Sama Naira?" tanya Nayla.

Aku bergeming. Aku baru menyadari bahwa hubunganku dengan Naira tidak mungkin bisa sampai ke jenjang itu, cepat atau lambat-hubungan yang seharusnya tidak pernah tercipta ini, akan kandas. Mungkin besok, lusa atau nanti—yang jelas hubungan kami sejauh ini adalah bukan sebenar-benarnya kebahagiaan.

"Entahlah." jawabku enteng.

"Gimana soal naskah? Mau dibicarakan sekarang?"

"Gak usah di publish, gw gak butuh itu. Rencana gw udah gagal, naskah itu hanya ditujukan untuk Naira aja bukan untuk khalayak. Kita sudahi sampai disini terkait naskah." jelasku kepada Nayla.

"Sebentar. Segamblang itu lo terus terang ke gw? Lo yakin banget kalau gw udah tahu permasalahan di naskah ini?"

"Gw gak bodoh, La. Gw langsung bisa baca situasi sekarang. Lo pasti tahu penulis bumimu itu adalah gw karena Jordan ngasih tahu lo kan?" Aku melirik Jordan.

"Em, sorry brother! Gw keceplosan waktu itu. Soalnya gw kaget waktu ngeliat Nayla lagi baca naskah yang tertulis Bumimu di sampul naskah itu. Gw kira rencana lo bakal mulus-mulus aja, Sob, nyatanya enggak."

"Tumben banget lo Jor keceplosan. Tapi ada untungnya juga, kalau lo gak ngasih tau Nayla, gw gak akan tahu kalau rencana gw benar-benar gagal."

"Gw heran, deh sama lo. Kenapa harus buat rencana yang ribet banget sih? Eh bukan ribet, tapi dangkal. Lo kira, cuma Naira doang editor di redaksi? Banyak, Bim. Bisa-bisanya lo berfikir kalau naskah lo benar-benar akan sampai hanya di tangan Naira. Gak abis fikir gw. Gw pikir lo genius."

Aku menghela nafas berat, benar juga yang dikatakan Nayla. Mengapa aku harus sebodoh itu. "Entahlah, La. Gw juga heran sama diri gw sendiri."

"Ya, tapi emang naskah lo sempet dibaca Naira, sih."

"Iya, gw tahu."

"Gw heran. Kenapa gak beritahu secara langsung aja, sih Bim? Atau gak kirim surat berantai gitu kerumahnya, atau kirim lewat surel, lewat social media atau apapun itu, selain rencana bodoh lo ini."

"Enggak tau. Sedari awal gw udah sangat-sangat yakin dengan rencana ini. Ternyata gw bodoh banget, ya?"

"Banget." Ujar Nayla.

"Ee, sayang. Artinya aku bodoh juga ya? Soalnya aku yang setujui rencana Bima dulu." ujar Jordan jujur.

"Iya, kalian berdua bodoh. Dan lo, Bim. Sumpah, lo jahat banget."

"Iya, gw tahu La."

"Lo juga pasti tahu, kalau Naira benar-benar tersiksa oleh karena kepergian ayahnya yang menurut dia sangat-sangat tidak adil, Bim. Dia gak tau kemana ayahnya pergi, bahkan dia juga gak tau, apakah ayahnya masih hidup atau sudah mati. Gimana lo akan hadapi Naira setelah dia tahu semua yang udah lo lakuin? Lo sanggup untuk bertemu Naira, lagi? Dan sekarang lo pacaran sama Naira? Lo mau ngancurin hidup Naira secara perlahan? Lo itu benar-benar bodoh, Bim. Bodoh! Naira itu sahabat gw, gw gak rela kalau dia tersakiti untuk kesekian kalinya. Apa yang akan lo lakuin kalau udah begini? Ha?" Nayla berujar sangat emosional.

Aku bergeming. Nayla benar, aku sedang menghancurkan hidup Naira secara perlahan. "Gw tau-gw bodoh, La. Bodoh dan pengecut! Tapi setiap pertemuan gw dan Naira, gw gak bisa nahan rasa ini. Gw sayang sama dia, gw mau bahagiain dia, La. Sebelum Naira akan hancur untuk kedua kalinya, gw cuma mau menyematkan bahagia untuk dia walau cuma sebentar."

Nayla tersenyum picik, "Untuk apa kebahagiaan sementara tetapi kehancuran membekas selama-lamanya, Bim?"

Aku kembali bergeming, menatap manik mata Nayla yang sedang menyala. Perkataan Nayla seribu persen benar. Aku tidak bisa berkata-kata selain penyesalan di dada bertambah besar dan rasa malu semakin kalut. Untuk kesekian kalinya, aku merutuki diri sendiri. Bodoh dan pengecut!

"Gw tahu gw salah. Gw akan memperbaiki segalanya."

"Kaca pecah tak akan bisa utuh kembali, Bim."

"Tapi setidaknya, masih ada pecahan kecil yang masih berguna sekedar untuk pemantul cahaya, La."

"Terserah. Selesaikan semua yang udah lo mulai. Gw berharap, pecahan kecil itu berguna. Kalau lo sakiti Naira, gw mohon untuk sembuhkan dia. Gw gak bisa berada di samping Naira lagi. Gw akan menikah dan tinggal di Malaysia, gw mohon sama lo, untuk gak ninggalin dia—apapun yang terjadi, Bim. Karena bagi Naira, kepergian dan kehilangan adalah luka yang teramat besar."

"Gw gak bisa janji untuk itu, La."

"Kalau, Lo sampe ninggalin Naira. Gw akan benci lo sampe akhirat. Biar aja lo gak bisa masuk syurga karena gak dapet maaf dari salah satu hamba Tuhan."

"Gw gak akan sanggup menghadapi Naira setelah semuanya jelas, La."

"Itu udah resiko lo, Bim." sahut Jordan. "Lo harus terima konsekuensi dari perbuatan, Lo. Coba lo fikir, setelah lo beritahu Naira semuanya, dia akan hancur untuk kedua kalinya—ya walaupun kejelasan yang selama ini ia cari sudah terungkap. Tapi, Naira akan punya luka baru—dan itu, karena lo. Dan setelah lo melukai Naira, lo mau pergi gitu aja? Gak gitu caranya menyelesaikan masalah, Bim. Sudahlah, sudah bertahun-tahun lo sembunyi karena kepengecutan, lo. Sekarang waktunya lo menyelesaikan masalah secara dewasa dan berani, Bim. Lo udah bukan anak usia enam belas tahun lagi. Lo udah dewasa, sudah seharusnya lo berani untuk menghadapi segala konsekuensi atas perbuatan Lo."

"Gw tahu gak semuanya salah lo, Bim. Tapi lo merupakan tokoh utama di kehancuran Nayla untuk kedua kalinya nanti. Lo harus tanggung jawab." tegas Nayla dikalimat terakhirnya.

Kepalaku terasa berat sekali. Nayla dan Jordan memang benar, aku harus bertanggung jawab atas segala perbuatanku. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana aku akan menghadapi kebencian Naira kepadaku nanti.

Tring.... Gawaiku berdering.

Aku mengambil gawai dari saku jaketku.

"Naira nelfon." ujarku kepada Jordan dan Nayla.

"Halo."

"Halo, Bim. Ada dirumah?"

"Rumah? Ee, sekarang lagi di luar. Kenapa? Mau kerumah? Aku bisa pulang sekarang, kok."

"Kalo urusannya penting, gpp besok-besok aja."

"Enggak kok. Udah selesai juga. Sekarang aku pulang kerumah, ya. Mau aku jemput?"

"Enggak usah. Aku lagi jalan kaki kerumah kamu. Ini udah mau nyampe."

"Yaudah, aku gak jauh dari rumah, kok. Tunggu ya. Oh, ya masuk aja lewat pintu samping, soalnya gak aku kunci."

"Ok, sayang. Dadah."

"Eem, iya—sayang." jawabku terbata karena Jordan dan Nayla masih asyik mengamatiku.

"Ee, gw pulang ya." pamitku kepada mereka.

"Inget pesen gw. Lo yang melukai, harus lo yang mengobati." tegas Nayla.

"Iya." Jawabku dengan keberanian yang menciut.

"Sob, gw balik ya." pamitku kepada Jordan.

"Iya hati-hati."

Mungkinkah kalimat "kegagalan adalah kunci kesuksesan" akan berlaku padaku?

***

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

3M 44.1K 30
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
3M 212K 37
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
3.3M 26.1K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...