Wijaya Kusuma

Por AlinaAliya13

183 51 12

⚠ Real Life. Segenggam ceritaku berdasarkan kehidupan pribadi. Hampir semua cerita adalah kehidupan pribadi... Más

Sebelum Memulai
Prolog
1 : Pertemuan
2 : Perkenalan
3 : Memperhatikan
5 : Perasaan
6 : Kenaikan Kelas

4 : Pendekatan atau penyesalan?

12 5 5
Por AlinaAliya13

Tidak ada hal yang menarik kecuali dirimu.

Aku seakan dicuri oleh tatapanmu.

Mengunci diriku dalam ruang paling pribadimu.

Setiap hari aku seolah mencari-cari alasan dibalik telepon genggamku, menghubunginya perihal pelajaran, padahal diri ini tak terima dengan waktu yang memisahkan.

Jam 12.30 WIB sekolah berakhir, aku terkadang mengutuk waktu yang berlalu dengan cepat, bukan untuk menambah pelajaran tapi karena menyesali pertemuan, pertemuan dengan dirinya yang begitu terasa singkat.

Seperti biasa aku berjalan menuju ke rumah, dan dengan hati-hati memperhatikannya menaiki angkutan umum yang terlihat usang, angkutan umum berwarna hijau dengan pengemudinya yang tak lelah meneriakkan arah tujuan.

Selama berjalan dari sekolah ke rumah yang kira-kira jaraknya sekitar 15 menit perjalanan, terkadang aku berkhayal dapat berjalan berdampingan dengannya sembari membicarakan hal-hal yang kian meresahkan, membicarakan tentang kehancuran dunia, membicarakan tentang kurikulum sekolah, membicarakan kesukaan, dan aku juga berkhayal dapat membicarakan perasaan.

Segitu sampainya di rumah, aku biarkan diri ini menyamankan badan di kasur, melepas lelah dan penat setelah hampir 5 jam di sekolah. Tanpa melepas pakaian putih biru aku berbaring dan mengambil ponselku untuk mengecek pesan di kotak masuk, mengharapkan seseorang menghubungiku telah sampai di rumah dengan selamat.

Tidak ada pesan masuk, lantas aku taruh ponselku kembali ke bawah bantal, lalu tak lama mamaku pulang setelah berjuang di luar untuk memenuhi kebutuhanku dan dengan bebas suaranya yang begitu nyaring mengejutkan diriku yang perlahan ingin terlelap.

"Ya Allah, kalau sudah pulang itu dilepas dulu bajunya, besok kan mau di pakai lagi, kenapa bandel banget sih dibilangin."

Aku langsung berbenah diri, mengganti seragamku yang telah lusuh dan bau akibat keringat dengan pakaian rumahku yang tak bagus-bagus amat, setelah itu berniat melanjutkan aktivitasku yang sempat tertunda. Belum kepala menempel di bantal, mamaku sudah berteriak lagi menyuruhku untuk bersih-bersih rumah, ya begitulah kehidupan anak perempuan jika di rumah, tak jauh dari sapu, piring, baju dan lain sebagainya. Sebagai anak perempuan pertama, jelas aku pasti melakukannya, selain bukti bakti kepada orang tua, hal ini juga akan membuatku belajar jika nanti jauh dari orang tua.

Setelah merapikan yang harus dirapikan, aku bergegas ke kamar, berniat merebahkan diri sejenak, menikmati siang dengan melepas penat. Belum juga aku terlelap ponselku berdering dan cukup mengagetkanku karena posisinya tepat di samping telingaku.

Ternyata ada satu pesan masuk, ah nada pesan saja suaranya nyaring sekali, begitulah ponsel jadulku dengan segala keunikannya.

"Na, jadi kerja kelompok enggak?"

Ana, menghubungiku, dengan mata berat dan kepala yang sedikit pusing, aku bangun dengan terkejut, aku baru ingat kalo siang ini ada kerja kelompok di rumah Ana. Lantas aku bergegas memakai baju yang lumayan agak bagus.

"Mau ke mana kak?" Mamaku bertanya.

"Mau kerja kelompok, Mah."

"Di mana?"

"Di rumah Ana"

"Tapi, enggak ada yang anter, papa belum pulang."

"Yah."

Memang sih, jarak rumah Ana dengan rumahku enggak terlalu jauh, mungkin sekitar kurang lebih 10 menit, tapi kan kalau siang-siang bolong begini ditambah panas terik yang menyengat aku tidak tahan.

Lantas, aku menghubungi Ana, kalau aku tidak ada kendaraan untuk ke sana, lalu Ana menyuruhku menghubungi Arga, kebetulan Arga satu kelompok denganku dan menurut informasi dari Ana kalau Arga sedang on the way dan ia mengendarai motor, lalu aku memberanikan diri untuk mengirim pesan kepadanya.

"Arga, jemput si, mau ke rumah Ana kan?"

Lama aku memandangi layar ponselku menunggu Arga membalas, ada rasa takut juga karena aku tidak pernah minta di jemput laki-laki apalagi sampai harus boncengan, dan aku juga tidak pernah membawa teman laki-laki ke rumah, tapi walau begitu aku mengharapkan Arga membalas pesanku.

"Iya, deket Tuanda kan rumahnya?"

"Iya, nanti kalo sudah deket SMS aja ya."

Senang? Sudah pasti, saat itu aku senangnya bukan main, tapi ada sedikit rasa aneh juga di dada, "deket Tuanda kan rumahnya?" wait, kenapa ia sudah tahu rumah Tuanda?, apakah ia sudah pernah main ke sana atau bagaimana?. Entahlah.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya Arga mengirimiku SMS.

"Na, udah di depan."

Dan aku lihat, memang ia sudah berada di depan gang rumahku, lalu aku berpamitan dengan mama sebelum berangkat, ada perasaan takut yang luar biasa, saat itu lidahku seolah kelu dan jantungku berdegup kencang sekali, aku benar-benar tidak bisa mengendalikan situasi.

"Mah." Panggilku, dengan nada pelan dan agak bergetar. "Aku berangkat ya ke rumah Ana."

"Sama siapa?" nada Mamaku di sini sudah terdengar tidak ramah, karena tadi beliau melihatku keluar memanggil seorang lelaki untuk mendekat, tatapannya juga sudah terlihat sedikit marah.

"Itu.., sama Arga, udah di depan." Aku menelan salivaku dengan kesusahan, tanganku bergetar dan dingin.

"Kok boncengan dengan cowok sih Kak, nanti diliat Ayah (kakak tertua dari Mama) di depan bagaimana?"

"Sekali aja mah, kan mau kerja kelompok, Cuma ke rumah Ana." Balasku dengan nada menahan tangis, Mamaku seram sekali kalau sudah begini.

"Terserah lah."

Aku ingat sekali bagaimana nada dan tatapan Mama saat itu, nada yang sangat menusuk dan tatapan yang sudah tidak mau melihatku, hatiku benar-benar tidak nyaman, dan saat itulah aku dengan pertama kalinya tidak mendengarkan omongan Mama, pertama kalinya aku membantah perintahnya.

Aku pergi bersama Arga menuju rumah Ana, bukan berarti aku benar-benar melawan, hanya saja aku pikir hal semacam ini tidak perlu dibuat besar dan larut, toh aku hanya sekedar ke rumah Ana yang jaraknya hanya beberapa menit, tapi bukan berarti aku juga membenarkan perilakuku, aku tetap salah, aku tetap melawan perintah Mama untuk tidak bepergian dengan lelaki dan aku sadar Mama seperti itu karena menjagaku dari hal yang tidak diinginkan, terlebih saat itu aku berusia 15 tahun, usia yang sangat belia sekali tidak lumrah pergi boncengan dengan seorang lelaki. Kala itu Arga tidak tahu kalau sebenarnya aku sedang menangis dibalik punggungnya, aku tetap ingin terlihat baik-baik saja.

Sampai di rumah Ana, aku tetap menjaga kondisiku agar terlihat baik-baik saja, belajar seperti biasa, mengerjakan pekerjaan kelompok dengan baik, walau aku terlihat sedikit pendiam saat itu, aku tidak mau membuat suasana menjadi aneh.

"Na, kenapa?"

Arga menghampiriku di teras rumah Ana saat aku memotong kain flanel yang akan kami jadikan bantal karakter saat itu, aku sedikit terkejut karena ia dengan tiba-tiba muncul di balik badanku, dan mataku seolah tidak ingin bohong kepada seorang insan bernama Arga, air mataku meluncur begitu saja, padahal ia hanya bertanya kenapa. Lalu dengan segera aku menghapus air mataku, tidak ingin di anggap cengeng dan tentu saja tidak ingin terlihat teman-temanku yang lain.

"Enggak apa-apa."

Arga menyerahkan kain flanel yang telah di gambar berbentuk rambut karakter Naruto kepadaku untuk aku gunting sesuai pola. Aku melanjutkan pekerjaanku, sedangkan Arga masih setia memandangiku yang tengah dibaluti kesedihan.

"Na, cerita aja, kenapa?, karena saya ya?"

Aku tidak tahu, kenapa Arga bisa terpikir seperti itu, ia merasa bersalah akan kesedihanku, ia merasa seolah dirinya penyebab aku merasa sedih, aku menggeleng tidak membenarkan hal tersebut, walau sebenarnya ada sedikit hubungannya dengan dirinya, tapi aku tidak ingin berkata demikian, aku tidak ingin menyakiti perasaannya.

"Na?" tanya Arga dengan nada lembut. Aku sampai terperangah di buatnya. Aku tidak menjawabnya, aku tetap melanjutkan pekerjaanku mengguntingi kain hingga berbentuk pola yang telah Arga buat, sesekali menyeka air mata yang menghinggap di pelupuk.

Seakan tak kenal lelah, ia masih berada di sampingku, lalu mengambil kain dan gunting dari tanganku.

"Eh, kan itu punya saya."

"Saya aja yang ngerjain, nanti kena tangan. Itu bantuin mereka lem in aja, nanti yang guntingin ini biar saya dengan Riyan."

Sungguh, Arga saat itu membuatku perlahan melupakan masalahku, ia mengambil bagian pekerjaanku karena khawatir akan mengenai tanganku dan terluka, padahal aku tahu ia melakukan itu karena bingung menghiburku dengan cara apa. Tak sadar senyum simpul terbit di bibirku, hatiku yang tadi resah perlahan tenang karena perlakuannya.

Lalu aku bergegas ke dalam untuk menghampiri teman-temanku. Ana, Fina, Wiwid, Amel mereka sedang asyik menyantap keripik pisang, aku tidak melihat ada pekerjaan di sana, kain-kain yang di lem juga sepertinya sudah selesai.

"Mana kain yang mau di lem?"

"Lem nya abis Na, besok aja nanti saya beliin." Ujar Wiwid.

"Iya, sini makan aja, lagian tinggal dikit kok besok lagi aja diselesainnya." Amel menambahi.

Aku duduk bersama mereka menyemili keripik pisang sembari menonton tayangan serial televisi, perlakuan Arga dan teman-temanku mungkin tidak seberapa tapi menurutku hal ini sangat berharga, di saat aku sedih mereka ada untuk menghibur, walaupun bukan menghibur dengan menampilkan tarian kocak atau membelikanku permen kapas, tapi dengan perlakuan hangat yang mungkin mereka tidak menyadarinya telah membuat sebagian hatiku merasa nyaman.

Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB, kami berpamitan dengan orang tua Ana yang merupakan guru penjas kami di sekolah, satu per satu teman meninggalkan rumah Ana, begitu juga dengan Arga yang sudah pulang bersama Amel, rumah mereka lumayan berdekatan jadi tak ada salahnya pulang bareng. Wiwid pun sudah pulang bersama Riyan, dan tinggal menyisakan aku dan Fina, rumah Fina dekat sekali dengan Ana, sekitar 5 menit(?). Jadi aku memutuskan untuk berjalan bersamanya. Arga tadi menawariku untuk mengantarkanku pulang, tapi aku menolaknya, aku tidak ingin membuat Mama tambah marah.

Sesampainya di rumah, aku mendapati Mamaku duduk di ruang tamu, dan tak menjawab salamku, ya aku sudah tebak Mama sangat marah, ini level kemarahan Mama yang paling tinggi. Diam.

Aku bergegas ke belakang untuk membersihkan diri dan menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim, setelah itu aku langsung mencari pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, Aya pasti sudah menyapu karena lantai sudah terlihat rapi, dan aku melangkah ke cucian piring, hatiku bersorak mendapati cucian numpuk, ya jika biasanya hal ini sangat menjengkelkan tapi dengan keadaanku sekarang ini adalah keberuntungan.

Lalu aku membasuh peralatan makan dengan sangat hati-hati agar tidak kedengaran 'prang-preng-prang-preng' karena nanti Mama akan menganggapku sedang marah, entah lah Mamaku saja atau seluruh Ibu di dunia akan beranggapan seperti itu, lumayan agak lama aku mencuci piring sampai kulit tanganku berkeriput. Aku bernafas lega seolah telah menyelesaikan suatu hal yang membanggakan.

Aku kembali ke kamar berniat mengambil ponsel, tapi aku mendapati Aya yang berwajah murung, lantas aku mendekatinya yang sedang berbaring di kasur sembari memainkan ponselku.

"Dek, sini hp nya." Aya tak menjawab.

"Ih, sini loh." Aku merebutnya.

"Kamu ini, asal aja pergi sama cowok ! itu Mama nangis tadi, aku yang malah kena marah."

Wait. Mamaku menangis?, aku sangat terkejut mendengar hal itu, dan aku seketika merasa menjadi anak yang begitu durhaka, aku ingat perkataan guru ngajiku kalau tidak boleh membuat orang tua apalagi Ibu menangis, dan aku anak yang sudah di besarkan dengan penuh kasih sayang telah melawannya dan membuat air matanya menetes. Sungguh aku benar-benar anak durhaka.

"Iya tah?, terus Mama bilang apa aja?"

"Kamu itu ya, masih kecil, enggak pantes diliat tetangga bocengan begitu dengan cowok, apalagi sampe Ayah tahu, Mama tu malu tahu Kak, kalau sampe di omong-omongin tetangga." Dadaku sesak mendengar hal itu.

Aya melanjutkan. "Mama itu bilang 'terserah' biar kamu mikir, malah kamu asal nyelonong aja, terus si Arga kenapa enggak pamitan dulu, itu juga buat Mama marah, harusnya turun, samperin, ngomong baik-baik. Begitu kak, enggak asal nyelonong aja !."

Aku saat itu tidak bisa menahan penyesalan lagi, mataku memerah menahan nangis, hatiku benar-benar hancur telah mengecewakan seorang yang sangat tulus mencintaiku, aku benar-benar merasa sebagai anak yang enggak berguna, anak yang telah menyakiti perasaan seorang Ibu, anak yang telah mengkhianati cinta suci seorang Ibu.

Mamaku memanggil Aya karena Papa membelikan makanan setelah pulang dari letihnya bekerja, dan namaku tidak dipanggil, Mama benar-benar kecewa terhadapku, aku meringkuk di atas kasur menyesali perbuatanku, air mataku dengan bebas membasahi bantal tidurku, kepalaku dan hatiku berkecamuk meneriaki berbagai kata-kata kasar untuk diriku.

Aku menghapus air mataku, karena tak ingin ketahuan Aya kalau aku sedang menangis, tanganku meraih ponsel untuk menghubungi siapa pun berharap menenangkanku seperti siang tadi. Lalu aku mendengar seorang membuka gorden kamarku, aku kembali berpura-pura tidur agar tidak perlu menjawab siapa pun, karena aku khawatir suaraku yang bergetar akan diketahui.

"Kak, bakwannya itu buat kamu, sama ada es dugan itu, dibawa Papa."

Itu suara Mamaku, aku bukannya bergegas keluar, malah menangis lebih deras tanpa suara, badanku bergetar meringkuk di atas kasur, cinta seorang Ibu tetaplah anaknya, sebanyak apa anaknya menyakiti, mengecewakan, bahkan mengkhianatinya seorang Ibu tetap tidak akan meninggalkan atau membenci buah hatinya. This is true love.

Sore itu aku sadar, Mamaku sangat mencintaiku.

***

Hallo aku update lagi, terima kasih ya sudah berkenan membaca, aku sangat senang dan lebih senang lagi jika memberi vote dan komen, hehe :)

Tetap setia sampai chapter berikutnya ya ;)

Salam hangat.

_Alina Destiani_

Seguir leyendo

También te gustarán

1M 103K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
262K 1.1K 15
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
3M 151K 62
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
7.2M 351K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...