Wijaya Kusuma

By AlinaAliya13

183 51 12

⚠ Real Life. Segenggam ceritaku berdasarkan kehidupan pribadi. Hampir semua cerita adalah kehidupan pribadi... More

Sebelum Memulai
Prolog
1 : Pertemuan
3 : Memperhatikan
4 : Pendekatan atau penyesalan?
5 : Perasaan
6 : Kenaikan Kelas

2 : Perkenalan

24 4 2
By AlinaAliya13

Jika kata 'Hai' saat itu tidak terucap.

Mungkin seluruh sejarah kita tidak akan tercipta.

Jika ada pilihan kala itu, mungkin kaki ini tidak melangkah ke tujuan, aku mendekati seorang insan yang tengah duduk di bangku pojok, sedang asyik menuangkan pikirannya ke sebuah kertas di hadapannya.

"Hai," sapaku hangat kepada seorang bernama Arga. Ia tersenyum

"Boleh pinjam tip-ex?,"

"Ini." Ia memberikan kepadaku.

"Terima kasih."

Sejak kala itu, pendekatan kami dimulai, bermula dari absen kami yang berdekatan menjadikan kami selalu berada dalam satu kelompok, bisa dibilang sejarah kami diciptakan oleh suasana sekitar. Saat itu aku memperhatikannya, wajah seriusnya menghipnotisku, atensiku penuh kepadanya, mungkin kalau waktu bisa dihentikan, aku ingin hari itu tidak berlalu.

Aku duduk berhadapan dengannya, netra coklatku bisa dengan bebas menyeludup netra hitamnya, ia menggoreskan tinta ke kertas putih dengan lihai, tangannya menari-nari mencatat apa saja yang di perintahkan oleh guru, aktivitasnya itu menarik perhatianku.

"Siapa yang tulisannya bagus?" tanya guru kami.

"Arga, Bu." Seisi kelas meneriakkan namanya.

"Enggak, Bu." Balas Arga, menolak.

Aku tidak tahu seperti apa tulisannya, karena walau duduk berhadapan kami dipisahkan oleh dua bangku yang dirapatkan, agak sedikit jauh. Teman-temanku tetap memprovikasinya, aku tidak ikutan, tapi sebenarnya hatiku berharap demikian.

"Arga, bantu ibu tuliskan ini ya."

Akhirnya, ia maju tanpa penolakan lagi, langkahnya tegap, ah aku juga suka cara berjalannya, ia mulai menulis satu persatu kata di sana, aku sedikit lupa kalimat apa yang ia tulis, kalau tak salah mengingat, saat itu pelajaran PPKN.

"Bagus ya tulisan, Arga." Sahut teman satu kelompokku, yang bernama Ita.

"Iya, ya, Ta, bagus." Aku menyetujuinya.

Kalau saja, aku membawa ponsel kala itu, mungkin saja sudah aku abadikan dan aku tempel di dinding kamar. Ya, sesuka itu aku dengan tulisannya. Jika dibandingkan dengan tulisan tanganku perbedaannya jauh sekali. Kalian mungkin akan terkejut, ah atau aku saja yang lebay? konon sih jika kita menyukai seseorang, semua yang ada di dirinya akan kita sukai juga. Hm, apa kalian setuju dengan pernyataan ini?.

Teman-temanku mencatat apa yang Arga tulis di sana, sedangkan aku masih asyik memandangi tangannya bergerak-gerak di atas papan putih besar itu.

"Na, kamu enggak tulis?" ucap teman satu kelompokku yang satu lagi, namanya Esa.

"Iya, ini mau ditulis."

Aku mencatat yang ia tulis di sana, tentu saja sambil memandangi punggung dan tangannya yang.. menurutku indah. Tanganku menulis, hatiku yang menari-nari, oh ya kala itu sepertinya aku sempat senyum-senyum sampai temanku si Esa menegurku.

"Na, kamu suka ya sama Arga."

"Ha, apa sih, enggak kok."

"Udah, ngaku aja, nanti gua bantu loh."

"Apa sih, enggak."

Kenapa ya Esa sampai terpikir begitu, padahal aku hanya kagum saja, eh, atau mungkin perasaanku mulai tumbuh sejak kala itu?, aku tidak tahu, memang ada ya seseorang yang sadar kapan pertama kali menyukai seseorang?.

"Iya, ini, dari tadi Ayna ngeliatin terus, alah, suka itu.." Ita ikut meledekku.

"Kalian ini apa sih, enggak loh." Aku agak jengkel sih jika diledekin begitu.

Arga kembali ke tempat duduk, aku melihat peluhnya, apa begitu melelahkan? ah aku tidak ingin tertangkap basah lagi sedang memperhatikannya, sudahlah aku putuskan untuk kembali menulis saja.

Terkadang, perasaanku sedikit aneh, senang, takut, berharap. Ia tidak berbuat apa-apa, tapi kenapa hati dan otakku terus bekerja? seolah magnet di dalam dirinya memanggil atensiku untuk selalu kepadanya, mengapa bisa? Agak aneh, tapi itu kenyataannya, perasaanku yang seolah tumbuh tanpa diperintah, hatiku yang bahagia tanpa dibuat bahagia, netraku yang selalu mengarah padanya tanpa di kemudi. 

Hari demi hari berlalu, wajahnya yang masih menjadi objek menarik bagiku, dirinya yang membuatku semangat melangkah ke sekolah, kami belum banyak berbicara, tapi otakku sudah penuh dengan kesehariannya.

Akhirnya, ada di satu momen, aku memiliki nomor ponselnya.

"Nomormu, boleh aku pinta?"

"Oh ya, ini."

Hari itu, aku memilikinya, satu dari banyak miliknya sudah berada di genggamanku, satu dari banyak langkah sudah aku tapaki, aku senang, tapi ia biasa saja, ya jelas, kan aku yang menyukainya. Ah, apa baru saja aku bilang menyukainya?.

Sampai di rumah, aku memandangi kertas berisi nomor itu, senyum manis tercetak jelas di wajahku, konyol, pada sebuah kertas berisi angka saja aku bahagia bukan main, aku menaruhnya pada gawaiku, dengan senang hati aku menamai nomor itu dengan namanya, Arga Rayyan.

Oke, aku sudah dapat nomornya, lalu apa yang bakal aku perbuat?, tidak ada, aku tidak perlu berbuat apa pun, aku hanya ingin menjadi teman terbaiknya, ya, teman terbaik yang akan ia punya seumur hidupnya, aku ingin menjadi bagian dari hidupnya, aku ingin mengisi harinya, aku ingin mengenal lebih dekat dengannya.

Oke, untuk mengenalkan nomorku aku harus menghubunginya, aku mulai mengirim pesan dengan telepon genggam jadulku.

"Hai, ini Ayna." Ia belum membalas, mungkin saja dia sudah tidur, atau tidak punya pulsa, aku tidak memikirkan lebih.

Pagi telah datang, seperti biasa, aku selalu bersemangat datang ke sekolah, mengencangkan tali sepatuku, memakai tas kebanggaanku, lalu berjalan menuju sekolah.

Saat aku telah sampai di depan gerbang sekolah, aku melihatnya turun dari angkot beramai-ramai, wah-pagi yang sangat beruntung. Dari banyaknya siswa yang menuruni angkot, aku bisa menemukannya, senyumku makin mengembang, dan langkahku makin mantap. Ia menaiki tangga kecil yang menghubungkan antara koridor dan ruang kelasku. Aku berjalan di belakangnya tetapi tidak menegurnya, masih terdapat ragu pada lisan yang kelu.

Kami sampai dikelas, saat itu masih sepi hanya terdapat lima orang dikelas, duanya aku dan Arga. Ia berjalan ke bangkunya yang terletak di pojok belakang kelas, sedangkan aku berhenti di depan, di posisi bangku terseram. Terkait ini sudah aku ceritakan di atas.

Lia, teman sebangkuku datang pagi sekali setiap hari, ia sudah ada saat aku datang, rambutnya masih basah dan di kuncir satu ke belakang.

"Tumben pagi."

"Iya, lagi bangun pagi aja."

Terdengar langkah seorang mendekati kami, ia berhenti pas di depan mejaku, netraku memandanginya, jantungku agak gugup karena tanpa persiapan ia telah menatapku.

"Kamu, SMS saya ya kemarin?"

"Iya."

"Maaf ya enggak kebales, saya enggak pegang hp, karena itu punya Ibu saya."

"Oh, iya, enggak apa-apa kok."

Setelah menyampaikan informasi yang menurutnya penting, ia keluar menghampiri seorang teman dari kelas lain yang mungkin teman sejak SD nya.

"Cie, sudah SMS an ya," Lia meledekku, aku ingat betul wajahnya pagi itu, sangat-sangat menjengkelkan, Lia yang biasanya pendiam dan hanya bicara saat ditanya kini ia meledekku dengan senyuman yang.. susah aku artikan, alisnya naik turun, bibirnya tersenyum lebar dan kadang-kadang menertawaiku.

"Iya, karena kalo ada tugas kelompok, agak susah ngehubunginya." Balasku seadanya saja, ya karena memang begitu adanya.

Beberapa menit berlalu, kelas perlahan penuh oleh penghuninya, bel pertanda masuk pun sudah di gemakan, aku memfokuskan atensiku pada pelajaran pagi itu, sebagai murid sudah seharusnya fokus pada sekolah, walau ada beberapa hal yang mengganggu tetap saja pelajaran tidak boleh di nomor dua kan.

Dua jam  kami berkutat dengan angka-angka yang ditulis Pak Azhari di papan tulis, ya pagi itu pelajaran Matematika yang berlangsung seru, Pak Azhari tahu betul cara mengajar yang asyik, beliau membuat kuis yang harus kami jawab secara berebut, tentu saja hal itu menguji adrenalinku dan teman-teman, dan yang lebih serunya lagi, jika soal yang diberi Pak Azhari terjawab salah, hidung atau jidat kami akan di coret dengan spidol.

Dua jam berlalu, saatnya teman-temanku keluar untuk menyerbu kantin sekolah, aku tidak, karena memang sedari SD aku kurang suka dengan 'jajan' biasanya aku ke kantin saat jam kedua istirahat, Lia teman sebangkuku pergi dengan teman lain ke kantin, aku tinggal seorang diri di kelas.

"Enggak ke kantin?"

Aku agak terkejut setelah melihat seorang menegurku, Arga menegurku dengan membawa minuman ditangannya. Aku menggeleng saja.

"Kenapa?"

"Nanti aja, pas istirahat kedua." Ia mengangguk lalu berjalan melewatiku ke tempat duduknya yang menyelip di belakang.

"Oh ya, ini soal nomor dua gimana ya, Na?" Arga kembali lagi ke mejaku setelah membawa buku Matematikanya, dan menyodorkannya kepadaku. Hal itu membuatku terheran, kenapa ia bertanya kepadaku?. Ya, mungkin karena ia sudah menganggapku teman.

"Oh ini, tinggal di faktorkan aja." Lalu aku mengajarinya cara menyelesaikan soal Matematika tentang pengfaktoran itu. Ia yang tadinya berdiri memperhatikanku, kini menarik bangku mendekatiku.

"Gimana tadi? Masih kurang paham."

Aku menghela nafas, bukan karena lelah mengajarinya, tapi karena jantungku berdegup tak nyaman, aku khawatir sekali ia dapat mendengarnya.

"Ini, gimana tadi bisa dapat begini?" tangan besarnya menunjuk buku yang sedang aku coret-coret.

"Iya, ini tinggal dikali satu per satu saja, karena sudah dapet faktornya, terus tinggal cari nilai x nya, selesai." Aku menjelaskannya dengan baik sesuai dengan pemahamanku.

Arga mengangguk, "Oh begitu, makasih ya, Na." Lalu ia bangkit dan menyimpan bukunya kembali ke dalam laci nakasnya. Lalu berbincang dengan teman perempuanku yang duduk di sebelah bangkunya. Aku mengarah ke depan lagi, tidak ingin memperhatikannya lebih, nanti ia bisa salah paham, walaupun tidak ada juga sih yang harus di salah paham kan.

Esa, Lia, Ita, kembali dari kantin membawa banyak sekali makanan, es, gorengan, beng-beng, mie, sosis, ah aku sampai lupa apa saja, pokoknya banyak sekali.

"Na, mau?" tawar Esa kepadaku.

"Enggak deh."

"Oh ya, tahu gak, Na."

Aduh, sudah pasti si Esa ini ingin mengajak kami membahas suatu rahasia, nadanya yang begitu syahdu menggelitik indra pendengaranku, entah kenapa aku tertarik meladeninya.

"Kenapa?"

"Itu, tahu kan kakak kelas yang rambutnya di urai terus?, nah yang satunya tiap hari pakai bando, terus satunya tinggi pakai jilbab."

"Enggak tahu."

"Oh, yang itu, si rombongannya kak Ain kan, yang tadi sampingan dengan kita?" Ita menambahi

"Iya, iyaa yang itu," Esa membenarkan dengan heboh, "Si dia itu suka tahu dengan Arga, tadi gua denger di kantin."

"Ha? Masa sih?, kok aku enggak denger? kuping kamu canggih juga, Sa. Terus yang suka, Kak Ain nya apa temannya? kok dia bisa  suka? Perasaan enggak pernah ngeliat mereka ngobrol, Arga juga kan pendiam." Ita menambahi dengan mencecar banyak pertanyaan.

"iya si itu loh, yang si Ain nya, yang rambutnya di urai terus. Eh aneh juga mereka itu, gayanya itu loh buat gua muak, senioritas banget, terus yang rambutnya pakai bando tiap hari itu itu sok cantik lagi."

"Hus, Sa, kamu ini enggak boleh bilang begitu." Lia menyahut. Esa melengos saja.

"Ya kan Na, lu tahu kan mereka?"

"Enggak, saya enggak terlalu merhatiin orang."

"Yaelah, lu enggak cemburu itu kakak centil suka sama Arga?"

Sebenarnya hatiku agak merasa tidak nyaman setelah mendengar pernyataan Esa, mataku seakan memanas bukan karena suhu ruangan tapi karena secuil perasaan yang perlahan terhempas, raga itu yang perlahan mengikis otak dan rasaku kini membuatku makin mati penasaran seperti apa dirinya. Aku tidak percaya, walau sebenarnya dalam diriku sedikit membenarkannya.

"Kok bisa sih?" Ita masih penasaran rupanya. Lia dan aku hanya mendengarkan saja obrolan yang sudah terlampau seru ini.

"Kayaknya sih si Ain itu muridnya Ibunya Arga, terus pas SD pernah ketemu, jadi suka deh, kayaknya sih, tadi gua agak denger-denger sekilas begitu."

"Oh begitu, alah cinta monyet paleng." Sambung Ita.

Teman-temanku ini suka sekali membuat hal menjadi seru, walau saat ini pembahasannya agak mengusik perasaanku tapi aku juga penasaran kelanjutan ceritanya, sedikit kesal dan banyak ingin mengumpat sebenarnya.

"Arga, nya suka?" aku memberanikan diri untuk menimbrung.

"Kayaknya enggak deh." Ujar Esa.

"Kalo kata aku sih Arga sukanya sama Tuanda, tiap hari suka pegang-pegangin rambutnya." Sukses kata-kata Ita ini membuatku terpaku, keadaan hatiku seketika berubah sendu.

"Masa sih?" Lia, ikut tercengang.

"Iya, lihat saja, itu." Kata Ita dengan mulut yang di manyunkan mengarah ke Arga dan Tuanda yang sedang tertawa, entah menertawakan apa.

Aku yang memang duduk mengarah ke belakang dengan bebas melihat langsung ke sumber yang diceritakan, memang sudah dari tadi sejak Arga berterima kasih karena sudah mengajarkan soal Matematika kepadaku Ia kembali ke belakang dan berbincang dengan Tuanda, tapi aku tidak berpikir demikian, aku biasa-biasa saja, setelah aku mendengar pernyataan dari Ita, seakan informasi ini dengan sihirnya bisa langsung mengubah suasana hati dan persepsiku.

Masa sih aku cemburu?.

***

Terima kasih sudah menyempatkan sebagian waktumu untuk membaca ceritaku.

bagaimana kabar hari ini? Semoga baik-baik saja ya. :)

boleh ya, kasih vote dan komentarnya.

selamat bertemu dichapter berikutnya. :)

Continue Reading

You'll Also Like

239K 17.9K 43
Nara, seorang gadis biasa yang begitu menyukai novel. Namun, setelah kelelahan akibat sakit yang dideritanya, Nara terbangun sebagai Daisy dalam dun...
312K 2.7K 18
WARNING 21+ **** Jeriko mesum, Jeriko sangean, Jeriko nafsuan. Jeriko sudah memiliki lebel yang sangat buruk dalam otak Keyna. Tapi, kenyataan dunia...
307K 30K 44
"Ma, aku ngga mau ya punya assisten baru" "Plis lah Maa" "Aku tu CEO punya aissten dengan pakaian sexy itu biasa" "Lianda Sanjaya!!!" "Ikutin kata ma...
4.3M 130K 88
WARNING ⚠ (21+) πŸ”ž π‘©π’†π’“π’„π’†π’“π’Šπ’•π’‚ π’•π’†π’π’•π’‚π’π’ˆ π’”π’†π’π’“π’‚π’π’ˆ π’˜π’‚π’π’Šπ’•π’‚ π’šπ’ˆ π’ƒπ’†π’“π’‘π’Šπ’π’…π’‚π’‰ π’Œπ’† 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 π’π’“π’‚π’π’ˆ π’π’‚π’Šπ’ 𝒅𝒂𝒏 οΏ½...