BARA [END]

By AlinaAliya13

2.7K 192 27

Setiap kita adalah penyemai luka, Setiap kita adalah pemuai salah. Tetapi setiap kita adalah penawar dari s... More

Prolog
Luka Pertama
Dewasa
Harapan
Bumi dan Bulan
Rasi
Cinta Pertama
Luka Yang Bermuara
Seutas Angan
Jika Bahagia Itu Sederhana
Rahasia yang mulai mencuat-I
Rahasia yang mulai mencuat-II
Sebuah Penjelas
Cinta dan Benci
Sebuah Seni
Desir Sukma
Baik atau Pelik
Perencana
Kegagalan
Numpang Lewat!!!
Bahagia?
Alasan Mencintai
Rahasia (?)
Lara
Bias yang jelas
Penyelesaian
Penyelesaian-II
Usai
Epilog
BARA

Pelampiasan

94 6 1
By AlinaAliya13

POV Naira

Pagi ini aku kembali bekerja, sebenarnya belum pulih benar, namun aku bukanlah Naira jika tidak membandel. Ibu sudah memaksaku untuk tidak bekerja dahulu namun aku lebih keras kepala untuk berangkat bekerja. Jika aku tidak berangkat bekerja pagi ini, lebih tepatnya jika aku tidak keluar rumah hari ini, nanti siapa yang akan memberi kucing-kucing jalanan itu makan? Lalu dikantor nanti jika Nayla disuruh-suruh lagi dengan senior tak beradap itu, siapa yang akan menghadapinya? Dan jika aku tidak berangkat bekerja, siapa yang akan memesan nasi goreng dan teh hangat jeruk purutnya Si Mbok? Aku tau, ini seperti dalihan, namun itu benar. Ya, benar-ini adalah alasan yang kupakai untuk meluluhkan hati Ibu supaya ia memberikanku izin untuk berangkat bekerja. Alasan yang sebenarnya, aku hanya tak ingin merepotkan ibu, saat aku sakit-ibu jarang tidur cepat, ia selalu menungguku terlelap duluan, baru kemudian ia memasuki kamarnya. Sebenarnya ada baiknya juga, karena saat aku sakit, ibu tidak berangkat bekerja, sehingga aku bisa lebih mempunyai waktu bersama ibu. Namun, disisi lain-aku tak suka melihat ibu yang selalu mengkhawatirkan kondisiku, ia bukan tipikal ibu yang suka mengomel, tapi khawatirnya ibu terlihat jelas saat ia seringkali mengusap kepalaku, mencium keningku, juga memelukku dari belakang ketika aku sedang tidur dan memandangiku lama dengan air muka yang sangat mudah aku tebak. Ia sangat khawatir.

Saat aku sakit, ada banyak kata maaf yang terlontar dari lisannya. Ia selalu merasa kalau ia tak pandai menjadi seorang ibu, tak bisa memberikan kehidupan yang layak, tak bisa memberikan kehangatan selayaknya dekapan seorang ayah dan juga tak bisa memberikan kebahagian yang sama seperti dua belas tahun yang lalu. Tetapi aku selalu menyanggahnya, jika bukan karena ibu, aku tidak akan bisa bertahan sejauh ini, dan aku bilang kepada Ibu bahwa aku sudah tak mengharapkan apapun dari seorang ayah, mau itu keberadaannya ataupun dekapannya, bagiku memiliki ibu sudah lebih daripada cukup. Aku sudah tidak mengharapkan lagi adanya keutuhan di dalam rumah, karena percuma saja berharap, jika akhirnya sama saja, sia-sia. Luka yang sudah bertahun-tahun terpatri, akhirnya kering juga, namun sayangnya-masih meninggalkan bekas.

Aku sampai di kantor, seperti biasa Nayla yang banyak tanya kembali mencecarku, ia sudah menungguku di pintu masuk dan mudah saja baginya untuk merangkul tanganku dan melayangkan ribuan pertanyaan yang dari kemarin tak sempat ia lontarkan, aku harus siap mendengar banyak pertanyaan yang sudah ia tabung selama tiga hari aku tak berangkat bekerja.

"Raraaaa, Lo udah sehat?" katanya seraya memegang-megang dahiku.

"Udah. Jangan lebay deh," kataku seraya menepis tangannya.

"Tapi lo masih pucet, Ra, masih lemes juga keliatannya."

"Aku gak kenapa-kenapa kok, Nay."

"Cih," ia berdecih, "Kapan sih, kebiasaan lo yang pura-pura kuat itu hilang? Lo kira keren gitu, bilang gak kenapa-kenapa padahal lagi kenapa-kenapa? Lo, kira gw bakalan terharu terus kayang gitu, denger lo yang sok jagoan?" Nayla mulai melantur, aku hanya terus berjalan dan mendengarnya saja tanpa berkeinginan merespon.

"Lo kira, dengan lo sok kuat gini, lo bisa gantiin spiderman gitu? Terus bisa lebih keren dari boboiboy yang punya kekuatan api, angin, air, gitu? Terus bisa nandingin shiva dan bilang 'aku bukan anak kecil, paman' gitu? Ra! Kalo sakit itu bilang sakit, kalo capek itu bilang capek, jangan terus pura-pura, lama-lama lo bisa jadi pejabat tau gak, kalo gini terus."

"Ha, pejabat?"

"Iya, yang suka pura-pura gak denger suara rakyat."

"Nay!" kataku yang sedikit membentaknya, Nayla memang suka ngawur kalo mulutnya sudah nyerocos.

"Ra! Pokoknya, kalo nanti lo tiba-tiba pusing, lo bilang sama gua, jangan pura-pura kuat, inget! Dan hari ini gw bawain lo bekal makan siang, lo harus makan, dan jangan coba-coba untuk melembur lagi, gw akan terus pantau lo sampai jam pulang kerja yang semestinya. Lama-lama lo itu hidup gak sesuai aturan, kalo gini terus, ibu lo gak akan tenang karena mikirin lo terus."

"Ibu? Oooo aku tau, ini pasti kamu disuruh Ibuku kan untuk ngawasin aku, ya 'kan?"

"Enggak," Nayla mengelak, namun aku bisa menebak dari raut wajah yang ia tampilkan.

"Gak usah bohong, Nay. Kamu sendiri yang tadi bilang kalo aku gak boleh pura-pura. Sekarang malah kamu yang bohong,"

"Iya, iya. Tadi malem ibu lo nelfon gw, terus bilang supaya jagain lo."

Aku mendesah, "Mau sampai kapan ibu terus mengkhawatirkan aku kayak gini, Nay?"

"Mangkanya jangan bandel. Waktunya makan itu makan, waktunya pulang itu pulang, waktunya tidur itu tidur. Pacaran mulu sama laptop, hamil lo lama-lama,"

"Hamil? Terus kalo aku dihamilin laptop, anaknya di download, gitu?"

"Ahahahahhaa." Kami tertawa lepas sekali, setiap aku bersama Nayla, ia selalu mampu merubah suasana hatiku kembali baik.

***

Aku kembali pada kursi kantor yang sudah tiga hari tidak aku jamahi, kembali membuka laptop, memeriksa email yang masuk dan melanjutkan mengedit naskah yang kemarin sempat tertunda. Naskah kiriman Bumimu yang masih kugarap. Dengan melemaskan leher dan jari-jari tanganku, aku mulai membuka halaman word berisi naskahnya, jariku mulai menggeser kursor kebawah mencari batas bacaanku. Aku mulai membacanya.

Selingkuh, adalah kata yang dimusuhi oleh seluruh rumah tangga, namun apa boleh buat jika selingkuh adalah kata yang tiba-tiba terdesak harus dimiliki. Perselingkuhan tidak selamanya terjadi karena ketidakharmonisan, tak selamanya juga karena tergoda paras cantik dan rupawan. Tetapi perselingkuhan juga bisa terjadi karena keadaan yang tak bisa dikendalikan. Kejahatan memang tak pernah bisa dibenarkan, aku disini tidak akan membela ayahmu, bagaimanapun ia telah berkhianat, kepadamu dan juga kepada Ibumu.

Brak! Nayla menutup laptopku, aku terkejut.

"Astaghfirullahaladzim," kataku berucap dan mendesah, "kenapa sih, Nay?!" kataku kesal.

"Ini naskah punya gw, gw yang ngedit,"

"Ha? Maksud kamu?"

"Iya, gw yang ngedit, Raraaa. Gw udah pilihin naskah-naskah yang tenggat waktunya masih lama untuk lo, jadi lo bisa punya waktu untuk istirahat. Naskah yang tenggat waktunya dekat, semua gw ambil alih, termasuk naskah ini," ujarnya serius.

"Gak perlu, Nay,"

"Perlu dan sangat! Udah jangan dilanjutin, ok! Gw pinjem laptop lo sebentar,"

"Mau ngapain?"

"Mau mindahin file naskah yang harus lo edit dan mau hapus semua file naskah bagian gw, nanti lo masih aja bandel ngedit-ngedit naskah yang bukan bagian lo, lo itu bukan robot, Ra. Lo kira kalo lo itu pake batre gitu? Yang kalo habis tinggal dicas? Lo itu manusia, Ra. Lo mau meninggal di usia muda?" Oceh Nayla seraya berkutat di depan dua laptop.

"Kok kamu overprotektif sih sekarang?"

"Gw itu sayang sama lo, Naira. Gw gak mau kalo lo kayak gini terus. Lo sengaja 'kan ngelakuin ini? Lo sengaja 'kan terus-terusan mencari kesibukan untuk menghindari segala pikiran lo tentang ayah lo? Mau sampe kapan, Ra? Ayah lo udah bertahun-tahun pergi dari kehidupan lo, tapi sampe sekarang lo masih aja nyiksa diri lo begini? Gak kayak gini caranya sembuh dari luka, Ra. Bukan ini obatnya."

Aku bergeming, Nayla benar, aku begini sebab mencari pelampiasan dari segala benci yang tertanam. Ucapan Nayla tidak ada yang salah, sudah bertahun-tahun lamanya ayah pergi namun aku belum juga bisa menyembuhkan luka kehilangan itu. Tak ada sanggahan yang bisa aku lontarkan kepada Nayla, aku hanya duduk bergeming menatapnya.

"Kenapa diem? Bener 'kan apa yang gw bilang? Ra, lo itu harus sadar. Kalo lo begini terus, lo bisa ngancurin hidup lo sendiri. Come on, Ra. Life has to go on, right? Lo harus move on." Aku termenung, semua perkataan Nayla seperti anak panah tepat sasaran. Aku mencoba membendung tangisku.

"Gak usah sok kuat, kalo mau nangis-nangis aja." katanya memergokiku.

"Ra, dengerin gw," Aku menatapnya, Nayla menampilkan air muka sangat serius.

"Lo harus ikhlas. Kalo lo mau sembuh dari luka lo, lo harus ikhlas, Naira." Ia menekankan setiap katanya. Aku menangis, sudah tidak tahan lagi menahan sesak oleh karena perkataan Nayla. Bukan karena kesal, melainkan aku merasa kasihan terhadap diriku sendiri. Mengapa aku sangat menyedihkan?

Jika sebuah penjelasan diselundupkan dalam kala,
Maka luka, menjadi entitas yang dapat disembuhkan.

***

POV Bima

Pernahkah kamu merasa bahwa duka lebih ruah hadir daripada suka? Mungkin, kita sama mengira bahwa semesta tak berputar secara adil. Aku sering mengira, bahwa rotasinya hanya menerangi bagian bumi yang layak mendapat sinarnya, yang Ia kehendaki, yang Ia percayai. Namun, itu benar. Setelah aku renungkan, memang begitu semesta bekerja. Coba bayangkan jika yang seharusnya malam dikirim terang, jika yang seharusnya siang dikirim gelap, bukankah seluruh insan akan kebingungan? haruskah mereka melanjutkan tidur atau berangkat bekerja? haruskah mereka tetap melanjutkan aktivitas atau pulang untuk menunaikan kantuk? Semesta selalu berputar secara adil, namun manusia seringkali menghakimi tanpa berfikir.

Semesta selalu berlaku adil, Ia mengirimkan luka kepada insan yang tau cara menyembuhkan, Ia mengirim tangis kepada insan yang sanggup menahannya, dan Ia mengirim duka kepada insan yang hebat menanggungnya. Begitulah yang aku tangkap dari Naira dan Ibunya, mereka tetap bertahan sampai hari ini dan melanjutkan hidup sebagaimana mestinya walaupun kepingan yang seharusnya ada telah hilang entah kemana, keutuhan didalam rumah sudahlah menjadi asa yang terkubur dalam-dalam.

Jika kufikir lagi, aku tidak jauh berbeda dari Naira, namun Naira lebih beruntung karena masih mempunyai ibu, maksudku ibu kandung. Bukan mau membandingkan nasib, hanya saja semesta begitu lucu, Ia mempertemukan luka dengan luka, jelas-sebagai insan merasa bingung, bagaimana cara 'tuk menyembuhkan? Namun, semesta kembali bercanda, Ia memberi takdir bahwa yang paling malanglah yang menjadi perantara-menjadi obat atas penyembuhan luka yang tak punya relasi, namun pada akhirnya-semesta sangatlah cerdas, dengan mudahnya Ia menciptakan relasi dengan tujuan untuk dapat menghantarkan pesan yang diselundupkan dalam kala. Apakah benar, yang paling malang adalah yang paling hebat? Aku-belum tau-bagaimana hasil akhirnya.

Aku disini, di galeri seni pribadi. Banyak gambar yang telah aku lukiskan, banyak warna yang telah aku coretkan, namun entah mengapa-semua gambarku terasa hampa, semuanya tercipta bagai tanpa pesan, aku kembali bertanya-tanya, mungkinkah semua gambar ini hanya bentuk pelampiasanku dari segala luka dan kesepian yang terus mendera? Aku sering terbata-bata menjelaskan pesan tersirat yang terkandung dalam gambar yang kucipta, karena pada dasarnya, gambar itu tercipta oleh sebab kesendirian, oleh luka yang mengharapkan kehadiran, oleh sesal yang datang belakangan. Aku tidak mungkin menjelaskan kepada mereka, jika semua karyaku hanyalah sebuah pelampiasan, oleh karena itu aku semakin tak ingin dikenal. Semua gambar yang beredar di media sosial biarlah mereka kenal dengan pesan yang mereka terka sendiri, sebab aku sebagai penciptanya-tak tau bagaimana rasanya berkarya dengan perasaan yang utuh sempurna. Kepingan yang seharusnya melengkapi, telah hilang, diterbangkan duka dan lara.

"Bos," tegur Bima ditengah lamunanku. Aku terperangah.

"Gua cariin gak taunya disini,"

"Ada apa?" kataku menatapnya sedikit kesal, sebenarnya hari ini aku sedang tidak mau diganggu.

"Gak ada apa-apa sih, cuma bingung aja lo tadi gak ada dimana-mana,"

"Yaudah pergi!" kataku tak acuh.

"Eilaah gitu amat,"

Aku sedikit memelototinya.

"Pameran besok," Toni menatapku serius, "tetap mau sembunyi?"

Aku memalingkan wajah darinya, kembali mengamati setiap gambar yang terpajang.

"Iya." kataku datar.

"Mau sampe kapan? Karya lo terkenal tapi lo gak mau dikenal, apa lo gak punya ambisi, Bim? Gw yakin lo bisa jadi seniman yang hebat dan terkenal, dan gambar-gambar lo nantinya juga gak hanya beredar di medsos, gak hanya dijual di medsos, tapi lo bisa jadi lebih sukses dari ini. Lo yakin gak mau buka diri lo? Gak mau dikenal? Sekali aja lo mau buka diri lo, gua yakin banget, noh si mbah google pasti udah nulis biografi lo disana termasuk karya-karya lo, dengan begitu lo bisa dikenal banyak orang dan karya lo bisa dilirik sama seniman lain dan kita bisa punya relasi dengan seniman-seniman lain, nasional maupun internasional. Lo gak mau?"

"Enggak." jawabku singkat dan beranjak keluar. Aku mendengar helaan nafas kasar dan berat Toni. Aku juga yakin ia sedang mendumal sendiri disana, tetapi aku tak peduli.

Semua perkataannya memang benar, tetapi aku tak tertarik. Ambisi? Aku punya, aku memang punya-tetapi bukan untuk ini-bukan untuk terkenal. Ambisiku hanya satu, yaitu ingin segera bebas dari segala rasa bersalah dan ingin mengungkapkan segala rahasia yang tersimpan. Jika itu telah tercapai, aku ingin bahagia dan hidup tenang tanpa prasangka yang menyebabkan mimpi buruk. Aku ingin itu, ingin merasakan tenang dibawah sinar mentari dan terlelap damai dibawah naungan rembulan. Hanya itu, tidak ada yang lain, tidak ingin yang lain.

Sukses? Setiap dari kita memiliki definisi sukses masing-masing. Sebagian orang ada yang mendefinisikan sukses sebagai entitas berwujud harta dan tahta, ada juga yang mendefinisikan sebagai terwujudnya cita dan asa, namun sebagian dari kita ada juga yang mendefiniskannya sebagai kebahagian yang sederhana, pun ketenangan yang dibaluti dengan cinta. Oleh sebab itu, apalah arti sukses bagiku jika ketenangan tak jua menghampiri?

Biografi? Apa yang akan mereka tulis disana? Seorang laki-laki yang menggambar oleh sebab kesendirian? Atau seorang seniman sukses yang menjadikan karya sebagai bentuk pelampiasan? Aku tidak begitu layak untuk dikenal, jika ada satu orang yang memahami sebab persembunyianku, itu bahkan sudah lebih dari cukup.

Pelampiasan, bukan sekedar kiasan.
Pelampiasan, membuat luka semakin benderang,
Membuat duka semakin disayang.
Sampai pada akhir, pelampiasan adalah bentuk dari beribu alasan.

***


Alhamdulillah, akhirnya bisa update lagi. Harusnya tadi siang aku update, cuma karena ada beberapa yang belum rampung, jadi malem ini deh.

InsyaAllah besok update lagi.

Oh ya, jangan segan-segan berkomentar ya!

Continue Reading

You'll Also Like

3.1M 24.7K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
6.3M 325K 59
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
15.5M 875K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...