[✔] Klub 513 | vol.2 | Ep.2 :...

By Wiki_Dwiki

88.7K 26.5K 8.2K

Wooyoung : "Matanya Santoso warnanya ungu, kece!" Yohan : "Iya kece banget kayak anak indihome!" San : "Maksu... More

Intro : "Setan Tanah Rejowerno"
"Sigel Kagungane Basukarna"
1. Hari yang Indah (?)
2. Ubah Haluan
3. Jalan Alternatif
4. Drama Double Y
5. Persiapan
6. Memanipulasi?
7. Debat Antar Calon OSIS
8. Saksi Mata Lain
9. Mengintip Kegelapan
10. Kalimat Asing
11. Keberangkatan
What Do You Think?
12. Hari Pertama
13. Bincang Malam dan Penampakan
14. Arus Sungai
15. Sesuai Rencana?
16. Jiwa Yang Terganggu
17. Area Pangkalan Militer
18. Critical In
19. Menyusup
20. Rangkaian Tragedi
21. PARANOIA
Epilogue : Lembar Kisah Terakhir

22. Kembali Pada Tempatnya

3.1K 1K 208
By Wiki_Dwiki

.
.
.

    Yohan kembali terbangun, kali ini bau dari ruangan itu tercium wangi namun tak sampai membuatnya pusing, dia mencoba duduk dari posisi tidurnya dan mendapati diri berada di salah satu ranjang yang ada di puskesmas desa. Sesaat setelah dia bangun, seseorang masuk ke dalam sana dan menghambur peluk padanya.

  "Kamu bener bener nggak sadar diri udah tiga hari, Yohan." Ucap anaknya Yohan yang namanya Wooyoung.

  "Gilak, aku mati suri." Canda Yohan coba menghibur anaknya itu.

  "Bahasamu, anjing!" Kata Wooyoung sambil memukul punggung Yohan.
 
 
    Setelah dokter yang didatangkan dari kota memeriksa keadaan Yohan, Wooyoung pun bisa bernafas lega karena tak ada kerusakan apapun baik dalam organ pernafasan Yohan maupun psikisnya. Namun dokter belum mengijinkan Yohan untuk pulang, Yohan masih harus diawasi beberapa hari kedepan, ditakutkan reaksi dari racun itu baru timbul di hari setelahnya.

    Ternyata cairan yang dimasukkan para ilmuwan ke tubuh Yohan bukanlah virus maupun racun, namun cairan insulin. Itu menyebabkan gula darah Yohan terjun bebas beberapa hari belakangan, karena itu Yohan terlalu lemas untuk sekedar bangun dari tidurnya.

  "Serem banget mereka masukin insulin ke tubuhmu ketika kamu bahkan nggak punya riwayat diabetes." Kata Wooyoung yang lagi motongin buah buat Yohan.

  "Selama tiga hari, apa aja yang aku lewatin?" Tanya Yohan dan seketika Wooyoung berhenti mengupas kulit mangga di tangannya.

  "Banyak hal yang terjadi, rasanya aku nangis terus tiga hari itu. Sampai hari ini pas liat kamu sadar, aku udah nggak bisa nangis lagi, habis air mataku buat nangis terus." Kata Wooyoung, dia kemudian menghela nafas panjang, "kaki Serim rusak parah dan dia nggak bisa jalan lagi. Walaupun kita udah selametin semua tahanannya, nggak ada yang bisa bertahan hidup dan semuanya mati.. termasuk kakaknya Changbin. Padahal Changbin buat sesaat aja, dia ngerasa kayak berhasil bawa kakaknya pulang, tapi kakaknya akhirnya meninggal karena infeksi parah di pergelangan kakinya. Dokter bilang, kalau mereka memilih untuk meninggal, karena tak kuat menahan beban dan trauma yang mereka alami di laboratorium itu."

    Wooyoung kembali mengupas mangga di tangannya sambil tersenyum pelik, "selama tiga hari, angkatan darat dan udara yang ada di kota terdekat menggeledah laboratorium itu dan berjanji pada Rejowerno jika mereka akan menghancurkan semua bangunan yang ada di pangakalan militer itu dan mengembalikan ekosistem alam yang rusak karena uji coba. Mereka bahkan meminta maaf sambil bersujud karena kelalaian mereka yang hanya menutup pangkalan militer itu tanpa memikirkan bahaya yang datang setelahnya. Mereka orang orang yang baik, jadi semua baik baik saja setelah mereka datang."

  "Anak anak bola itu juga telah dimakamkan?" Tanya Yohan.

    Wooyoung mengangguk, "kemarin lusa mereka dimakamkan dan aku yakin air mataku habis karena hari itu. Changbin nggak nangis, dia tegar banget dan aku malah nggak tega liat dia. Makanya aku nggak mau ketemu dia sejak kemarin. Aku takut kalo sampai pingsan di depan dia."

  "Yeonjun gimana?" Tanya Yohan.

  "Dia dihukum oleh Tetua karena tidak menghormati mayat mayat dari orang yang dia bunuh. Dia jadi tahanan rumah buat dua minggu kedepan, Tetua bilang jika hukuman Yeonjun adalah yang paling ringan dari yang seharusnya dia berikan karena Yeonjun membawa pulang semua tahanan dari laboratorium itu. Tetua bahkan bilang jika Yeonjun tak membantu untuk membawa anak anak bola itu pulang, dia bisa saja dihukum cambuk di depan semua warga desa. Aku berterima kasih kepada Tetua untuk itu, karena sebenarnya, Yeonjun ingin dibawa untuk diadili di kota, namun Tetua melindunginya, bahkan berbohong dengan mengatakan jika Yeonjun adalah darah asli Rejowerno sehingga hukum yang mengikatnya adalah hukum Rejowerno." Jawab Wooyoung.

  "Kau sendiri? Kau baik baik saja, kan?" Tanya Yohan.

    Wooyoung tertawa, "gapapa, cuma trauma kepala pas jatuh dari lereng sama San pas itu. Yunho dapet luka bakar dibeberapa bagian tubuhnya tapi dia nggak apa apa. Yeosang sempet kena infeksi saluran pernapasan tapi setelah para dokter baik itu merawat dan mengobatinya, dia perlahan sembuh. San juga baik baik aja, cuma memar sama cedera tulang rusuk. Raga baik baik aja, cuma traumanya yang mungkin agak butuh waktu buat sembuh. Para dokter bahkan harus mekepas snelli putih mereka dan menggunakan pakaian desa agar tidak terlihat seperti para ilmuwan di laboratorium itu saat mengobati kita. Beliau semua sangat mengkhawatirkan psikis kita."

  "Terus sekolah gimana?" Tanya Yohan.

  "Sekolah ditutup untuk beberapa waktu oleh para tentara. Mereka mengintrogasi guru mana yang ikut andil dalam tragedi disengaja itu, mereka juga mengintrogasi Pradana dan menemukan semua antek anteknya dan menahannya untuk mendapatkan hukuman yang setimpal. Pokonya semua udah kembali pada tempatnya. Cuma perlu waktu buat bilang kalo semua udah baik baik aja." Jawab Wooyoung.

  "Kasus ini selesai." Kata Yohan.

  "Aku kaget banget karena Changbin menyadarinya. Kalo biusnya ada di kayu yang terbakar." Kata Wooyoung.

  "Aku juga kaget." Balas Yohan.

  "Tapi bagaimana pria dan wanita tua itu tak pernah melihat setannya?" Tanya Wooyoung.

  "Mereka menggunakan dedaunan kering untuk menyalakan api, disisi lain, luweng yang mereka gunakan ada diluar rumah, pasti angin lebih dulu menerbangkan asap beracun itu sebelum masuk ke dalam rumah." Jawab Yohan, lalu dia mendongakkan kepala, "butuh banyak waktu sebelum kita siap menagih dari apa yang Yeosang janjikan."

    Wooyoung tak menjawab dan hanya mengangguk.
 
 
.
.

 
    Yohan diizinkan untuk pulang dari puskesmas beberapa hari kemudian, tujuan pertama Yohan langsung mendatangi Serim yang kini hanya bisa duduk di kursi roda. Ketika mendapati ketua ekstrakurikuler nya itu datang menjenguknya, Serim justru memamerkan senyum lebarnya sambil berkata, "maaf, ya, Yohan? Aku kayaknya nggak bisa ikut turnamen lagi."

    Yohan mendekat dan bersimpuh di depan Serim, "nggak apa apa," kata Yohan, "karena kamu bakal terus jadi anggota ekstrakulikuler taekwondo yang paling aku banggain. Gausah minta maaf, tetaplah ikut ekstrakurikuler sepulang sekolah karena aku bakal tetep ngabsen kamu."

    Serim ketawa, "iya, Han. Aku juga bakal tetep nungguin kamu di gerbang sekolah dan nyatet namamu di buku kenakalanmu yang baru kalo sampai kamu telat lagi."

  "Aku bakal nungguin stempel warna merah dari kamu, sih." Yohan ikutan ketawa.
  
 
. . . Tuhan, entah berapa tetes kesabaran yang engkau berikan ketika menciptakan anak ini. Karena sungguh, dia adalah orang pertama yang tetap menunjukkan senyumnya padaku ketika dia mengetahui dengan jelas betapa memprihatinkan keadaannya. Hampir semua engkau renggut darinya dan dia tetap merasa jika dia adalah orang paling beruntung di dunia. Aku sangat malu karena tak pernah sekalipun bersyukur dengan apa yang engkau titipkan pada tubuh ini."
 
 
  "Yohan, kamu ngelamun? Ngelamun atau kesurupan?" Tanya Serim.

  "Aku meditasi." Balas Yohan.

  "Dih." Respon Serim.

  "Yaudah, aku pulang dulu." Pamit Yohan sambil berjalan pergi dari sana.

  "Akhir akhir ini, Yeonjun suka makan gorengan sama dawet serabi." Serim tiba tiba berbicara.

  "Apa apaan, anjir?" Tanya Yohan.

  "Kayaknya dia bakal seneng kamu kasih itu daripada kamu kasih buah." Tawa Serim.

    Yohan berdecak kesal, "nggak usah ikutan Yeosang jadi cenayang kamu, Rim. Salah bergaul kamu."

  "Mukanya orang tua itu nggak bisa bohong betapa dia khawatir ama anaknya. Walau mukanya ayah itu kayak nggak peduli, di dalem hati dia khawatir banget ama anaknya, aku tau betul—eh, nggak deh, aku nggak tau betul, kan, ayahku bajingan." Kata Serim.

  "Bisa bisanya ngomong sendiri dijawab sendiri." Batin Yohan.

.
.

    Yohan dengan kantung plastik berisi gorengan dan dawet serabi kini berdiri di depan rumah dimana Yeonjun berada. Dia udah minta izin Tetua dan kepala desa untuk menemui Yeonjun dan dia diizinkan. Yohan mengetuk pintu dan seorang warga yang disuruh untuk menjaga Yeonjun membuka pintu. Setelah menunjukkan surat izin berkunjung, Yohan berjalan cepat menuju salah satu ruangan yang menjadi kamar Yeonjun.

  "Yeon." Panggil Yohan.

    Yeonjun menoleh dan menunjukkan ekspresi tak senang dengan keberadaan Yohan di tengah masa tahanannya. "Apaan? Mau ketawa? Ketawa aja—"

  "Aku bawain gorengan sama dawet serabi." Sela Yohan, "mau?"

  "Mau!" Seru Yeonjun kegirangan.

 
    Yohan menatap lurus ke arah Yeonjun yang begitu asik dengan makanannya. Walau Yohan rada mual liat Yeonjun makan gorengan dicampur dawet serabi. Kawannya ini punya selera makan yang unik.

 
  "Kamu masih bisa bertahan jadi tahanan rumah, kan?" Tanya Yohan.

    Yeonjun mengangguk, "bukan hal yang sulit "

  "Syukurlah kalo gitu." Kata Yohan.
 
 
    Hening. Tak ada lagi topik yang cocok untuk dibicarakan sekarang. Merasa begitu canggung, Yohan berdiri dari duduknya dan pamit pergi. Tanpa balasan Yeonjun, Yohan segera menuju pintu kalau aja suaranya Yeonjun nggak menghentikan dia.

  "Bius itu hanya menunjukkan ketakutan kita sama Gudel?" Tanya Yeonjun.

    Yohan menggeleng, "dia memacu otak untuk memperlihatkan ketakutan terbesar yang ada di dalam diri setiap orang. Saat itu, aku tak melihat gudel, justru aku melihatmu, menyiksa kedua orang tuaku hingga mati. Aku yakin aku sudah memaafkan mu dan melupakannya, namun aku salah."

  "Apakah aku harus meminta maaf untuk itu?" Tanya Yeonjun.

  "Tidak." Yohan menjawab sambil menggeleng, dia berjalan ke arah Yeonjun lalu mengusap kepalanya, "karena kau lebih berharga daripada hutang maaf mu padaku."

.
 
    San sangat terkejut ketika dia menemukan Yeosang sedang berjongkok di depan tiga makam yang ada di atas bukit kala itu. Yeosang menoleh padanya sebentar sebelum melanjutkan doanya. San mencoba untuk mengabaikan keberadaan Yeosang dan berjalan lurus ke arah makam dengan batu nisan bertuliskan Khabbab. Dia menyiram batu nisannya dengan air sebelum menabur bunga di atas makamnya.

  "Kau sendirian?" Tanya Yeosang.

    San mengangguk, "aku rasa semua orang butuh space untuk sendirian."

  "Kau benar." Balas Yeosang sambil berdiri dari posisi berjongkok nya tadi.

  "Selain kau dan Yunho, apa ada orang yang juga, em.. seperti kalian?" Tanya San.

  "Mingi." Jawab Yeosang.

  "Dia—"

  "Tapi sama sepertimu dan Wooyoung, dia tak punya seseorang yang mau dan mampu menceritakan tentang masa lalu kepadanya. Ketika Yunho membicarakan itu dengannya, secara mengejutkan Mingi hanya mengangguk, semudah itu mempercayainya." Sela Yeosang.

  "Mau kaget tapi dia Mingi, nggak jadi kaget." Kata San.

  "Kakekku yang aku ceritakan itu, San.. aku menyebutnya 'kakek' karena aku merasa aneh jika menyebutnya diriku. Aku berbohong pada kalian kalau orang yang mendapat titipan barang itu adalah kakekku karena sebenarnya itu adalah aku. Aku jijik dengan diriku sendiri, mati dan hidup di tubuh yang sama, di lembar kisah yang sama seakan dunia memang begitu sempit untukku. Aku mati dalam keadaan mengingkari janji, dan sekarang.. aku juga hidup dalam keadaan mengingkari janji." Jelas Yeosang.

  "Bukannya ingin mengeluh dengan takdir atau apapun itu, aku hanya ingin mati.. hanya itu.. aku tak mau lagi kehilangan siapapun jika aku hidup. Tapi itu tak berguna, aku rasa Tuhan memang menginginkanku hidup untuk menepati janjiku, namun ketika aku hidup aku mengingkarinya lagi, aku tak tau apakah aku masih berhak untuk menjalani hidup seperti ini." Lanjutnya.

  "Yunho bilang padaku jika orang yang mengikat janji padamu tiada bahkan sebelum kau memenuhi janjinya.. apakah kau membicarakan seseorang yang berhak menerima buku titipan itu?" Tanya San.

  "Tebakan mu hampir benar. Kau hanya salah di kalimat apakah kau membicarakan seseorang yang berhak menerima buku titipan itu—dia bukan yang berhak menerima titipan itu, justru dialah yang menentukan siapa yang berhak menerimanya. Kehidupan pertamanya dia sendirian, di kehidupan kedua, dia meninggalkan seseorang untuk menjalani hidupnya sendirian." Jawab Yeosang.

  "Kalau begitu.." San menghela nafas panjang, "bisa kau katakan padaku, Yeosang? Siapa atau apa itu Zahuwirya?"

    Yeosang tersenyum lebar, hingga tampak kedua taringnya yang mencolok, "Zahuwirya adalah bumi, langit, dan laut untuk kita."
 
:

    Setelah pembicaraan keduanya yang meninggalkan banyak pertanyaan di benak San, keduanya turun dari bukit. Baru beberapa saat keduanya masuk ke kawasan desa, Changbin mencegat keduanya. Wajahnya berseri seri, tampak begitu sehat seakan tak ada yang menimpanya kemarin.

  "Kamu sehat, Bin?" Tanya San.

  "Wal afiat." Balas Changbin sambil tertawa sebentar, lalu dia berdeham, "aku tau, aku kehilangan kakakku, psikis ku hampir hancur karena asap beracun, namun ayolah, ini hanya salah satu kejadian buruk yang pernah aku alami. Justru jika kakakku sanggup bertahan hidup kemarin, dia pasti tak akan bertahan lama karena trauma berat yang dia derita. Dia memilih mati dan aku menghormati pilihannya."

  "Bilang juga sama Uyong kalo aku nggak apa apa dan dia nggak harus jaga jarak dari aku. Aku tadi udah ngomong sama Yohan, dan dia keliatan beda banget. Apa kepalanya menghantam sesuatu?" Tanya Changbin.

  "Dia mukulin kepalanya sendiri pas itu, kan?" Tawa San.

  "Oh iya, lupa." Changbin ikut tertawa.

    Yeosang yang tak ingin mengganggu percakapan kedua anggota Klub 513 itu berniat untuk pergi, namun suara Changbin menghentikan langkahnya, Yeosang menoleh dan Changbin mendekat ke arahnya. Tangannya terulur memberikan sebuah gulungan kertas pada Yeosang.

  "Apa ini?" Tanya Yeosang.

  "Sesuatu yang nggak sembarang orang boleh menyimpannya." Balas Changbin.

    Yeosang menerima gulungan kertas itu dan membukanya. Sesaat kemudian, air mata Yeosang berlomba lomba untuk keluar, dia tak bisa menahan isak tangisnya dan hanya bisa memeluk erat gulungan kertas itu hingga kusut.

  "Terimakasih.. terimakasih banyak.. terimakasih banyak Changbin.." Ucapnya di sela sela tangisnya.

    Changbin yang awalnya terkejut melihat Yeosang menangis hanya bisa tersenyum lembut, dia mengusap usap kepala Yeosang, coba menenangkannya.

  "Dia pasti sangat berharga untukmu." Kata Changbin.

  "Sangat.. dia sangat berharga.." Balas Yeosang.

  "Karena itu, hiduplah untuknya, Yeosang. Jangan pernah mengatakan jika kau tak berhak untuk menjalani hidup yang terasa seperti milik orang lain. Dia mati untukmu, jadi, kau harus hidup untuknya. Bukan, begitu?" Tanya Changbin.

    Yeosang mengangguk, "iya."
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
  
 
 
 
 

#####

Halo, Hola!

Selamat Hari Sabtu!
Selamat menjalani hari ini!

Semoga kalian nggak terlalu frustasi sama tugas kalian, ya ^^
Semangat terus!

 
Makasih udah baca!
 
 
Luv kalian semua ❣️❣️❣️
 
 

Continue Reading

You'll Also Like

26.9K 4.3K 20
Jihoon tidak pernah menyangka bahwa game zombie yang selama ini ia rancang, memiliki kehidupan yang sebenarnya.
104K 25.7K 27
Seorang guru SMA menemukan buku harian anak murid yang hilang dua hari yang lalu. Buku itu menunjukan keseharian anak itu dan ditiap halaman baru buk...
11.2K 1.6K 33
[DIHARAPKAN UNTUK MEMBACA S1-NYA TERLEBIH DAHULU!] Tak ada lagi kekacauan, tak ada lagi ketidakadilan, tak ada lagi kekejaman, dan tak ada lagi mayat...
58.9K 5.3K 46
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...