Wulfer : The Black Snout [Lea...

By ashwonders

1K 148 187

Gelora kekuatan. Gelegak amarah. Hasrat memburu. Wulfer Van Leanders adalah salah satu dari lima bersaudara... More

1
2
3
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

4

101 14 28
By ashwonders

ALDERT mencampakkan koran di atas meja di hadapan Wulfer, keesokan paginya.

Tajuk utama koran itu menampilkan kalimat besar-besar dan tebal yang berbunyi;

SERANGAN MONSTER
SATU ORANG TEWAS, ANAK JENDERAL WAGNER KORBAN SELAMAT

Suara ketukan tongkat berjalan milik Aldert bergema di dalam ruang kerja miliknya.

Tok.

Tok.

Wulfer hanya duduk seraya mengamati koran itu dengan wajah datar.

Tok.

"Jangan. Tinggalkan. Jejak." pria itu berkata. Nadanya rendah dan berbahaya, "Bagian mana dari perintah itu yang tak kaupahami?"

Wulfer bergeming.

"Pikirmu bagaimana kalau Wagner mengutus seluruh kavaleri sialnya dan menyerbu rumahku? Pikirmu bagaimana kalau mereka melihat apa yang ada di dalam ruang kerjaku--"

Maksudmu laboratorium percobaan manusiamu? Wulfer meralat dalam hati.

"--dan menemukan karya-karya berhargaku, lalu melaporkannya ke Gubernur Jenderal dan mereka memonopoli semuanya?"

Tok!

Aldert mencengkeram kepala tongkatnya. Dia mencopot monocle dari satu matanya dan mengantunginya di saku jas yang dia kenakan. Lalu dia berjalan dengan agak pincang ke kursi di balik meja kerjanya. Dia memejamkan mata dan memijat puncak hidungnya, kesal dan letih.

Wulfer menatap pria tua yang tengah duduk di balik meja di hadapannya saat ini. Aldert Van Leanders, sosok yang masih menjadi sebuah tanda tanya besar, bahkan setelah nyaris lima puluh tahun mengenalnya. Tidak dapat dipungkiri, pria itu memiliki otak yang mengerikan, dibarengi ambisi, karisma, dan talenta luar biasa yang membuatnya dapat mencapai posisinya sekarang.

Di Buttervia, bahkan seantero Hindia Belanda, Aldert Van Leanders dikenal sebagai ilmuwan sekaligus pencipta hebat yang sering terlibat dalam berbagai proyek besar pemerintah maupun para bangsawan. Sistem pengairan inovatif yang menjadi perencanaan jangka panjang Buttervia. Pembuatan dan peningkatan kinerja mesin kereta layang. Kerjasama bisnis dengan bangsawan untuk memproduksi ramuan penunda penuaan--dengan efek minimal, sebatas menghentikan kebotakan atau meniadakan uban--yang diperjualbelikan di kalangan elit. Hingga menjadi pencetus teknik cangkok jantung yang prakteknya masih menjadi bahan perdebatan para petinggi.

Tak heran kekayaan dan kemahsyuran melekat pada nama Aldert Van Leanders. Publik mengenalnya sebagai pencipta jenius, tokoh penting yang misterius tetapi begitu dielu-elukan karena kedermawanannya. Namun publik tak mengetahui apa yang terjadi di balik pintu mansion keluarga Leanders. Apa saja yang pria itu lakukan di dalam 'dapur tergelap' di bawah tanahnya. Apa saja horor yang berhasil diciptakannya.

Wulfer paham bahwa kemarahan sang ayah bukanlah soal keselamatannya. Ini selalu soal karya-karyanya yang begitu dia banggakan. Anak-anak Leanders, ciptaan supernya, mahakarya hebatnya, trofi-trofi koleksinya yang oh-begitu-membanggakan, yang tak bisa jatuh ke tangan siapapun.

Wulfer mendengkus mendapati kekecewaan dan kesedihan masih menggerayangi dirinya ketika menyadari bahwa pria itu memang tidak peduli. Setelah segala hal yang terjadi dan terutama sejak insiden Hutan Putih, bagaimana bisa eksistensi pria itu, bahkan hingga saat ini, masih menjadi semacam suar padam yang dia harapkan dapat menyala sewaktu-waktu dan bertindak seperti penyelamat... sebagaimana layaknya seorang ayah?

"Tapi aku berhasil mendapatkan dokumennya." Wulfer akhirnya menemukan suaranya.

Aldert mengernyit.

"Kau berhasil mendapatkan dokumen dan masalah."

"Marah-marah berkepanjangan hanya bakal membuatmu lebih tua beberapa abad lagi, Vader."

"Kata si bocah yang kesulitan mengendalikan emosi. Membuat segalanya, termasuk tubuh kusir kereta Henrik Boer, berantakan."

"Curi saja sendiri dokumen itu. Pukul Boer dan kusirnya dengan tongkat sialmu, kalau begitu. Buat apa menyuruhku?"

Kali ini, Aldert tak langsung menyahut. Dia bangkit dari kursinya, berjalan mengitari meja diiringi bunyi tok-tok-tok dari tongkatnya. Dia melangkah mendekati Wulfer dan menunduk hingga wajahnya sejajar dengan wajah Wulfer. Matanya menyipit, dingin dan mengancam.

"Aku menciptakanmu bukan untuk menjadi anjing liar tak tahu balas budi."

Wulfer merasakan rahangnya mengeras. Degup jantungnya meningkat secara signifikan dan dadanya terasa nyaris meledak. 

MENGAPA KAU DIAM SAJA?! Kau bisa mencabik-cabik wajah itu sampai bola mata, gigi-gigi, dan lidah tua itu berceceran di kakimu! Lalu apapun yang tersisa di tubuhnya dapat kaulemparkan ke serigala-serigala hutan yang kelaparan dan--

"Di berita itu, salah satu prajurit Wagner membeberkan bahwa penyerang Arie Wagner adalah sesosok monster separuh manusia separuh serigala." Aldert menegakkan diri, kembali ke topik utama.

Wulfer terkesiap dari trans sesaatnya, dia melonggarkan cengkeraman pada kedua pegangan kursinya.

"Aku sudah menjelaskan kronologisnya kepadamu, Vader."

"Aku bukan tanya soal kronologis."

"Apa lagi yang harus--?!"

"Mereka tidak bilang soal 'manusia serigala'. Mereka menyebut sosok berwajah separuh serigala, dan memiliki sebelah lengan monster. Kau tidak pernah berubah menjadi wujud ini sebelumnya."

Wulfer terdiam.

"Apa yang terjadi?" Aldert bersikeras.

"Insting." sahut Wulfer asal, "Serangan adrenalin."

Pria itu mendengkus tak sabar, "Kita sudah melakukan ini selama hampir lima puluh tahun lamanya, Wulfer Van Leanders. Apa. Yang. Terjadi?"

"AKU TIDAK TAHU!" seru Wulfer geram, "Perubahan itu mendadak dan mengejutkan, tetapi pada akhirnya aku dapat mengendalikan diri dan merebut koper itu--"

"Dalam wujud separuhmu?"

"Ya!" Wulfer menyisiri rambut hitamnya frustasi, "Aku bisa menguasai kesadaranku dan mempertahankannya hingga mencapai mansion... dan aku tidak tahu kenapa! Yang membekas di kepalaku hanyalah wajah Arie Wagner yang ketakutan, dan..."

Tangan Wulfer menyentuh jam saku yang tergantung di dadanya nyaris secara otomatis. Aldert mengamatinya.

"Bagaimana dengan emosimu, sebelum perubahan?"

"A-aku tak tahu..." Wulfer berusaha mengingat. Keringat dingin mengaliri pelipisnya ketika dia berupaya kembali menyelami perasaannya malam itu, "Emosi-emosi liar yang biasanya muncul. Dan mungkin..."

Wulfer tak yakin apakah dirinya sanggup meneruskan. Sejujurnya, mengakuinya terasa memalukan.

"...rasa semangat, karena sudah lama kau tidak memberiku tugas. Dan... keinginan untuk berhasil yang amat kuat."

Aldert berdiri menghadap Wulfer, separuh menyandar ke meja di belakangnya. Dia menangkupkan kedua tangannya di kepala tongkat yang digenggamnya, masih mengamat-amati Wulfer dengan tatapan intens. Wulfer berjuang mengubur rasa malunya, sekaligus menahan gejolak untuk menyambar tongkat itu dan menghantamkannya ke tengkorak pria itu...

"Kau bisa kembali ke kamarmu." Aldert berujar tiba-tiba.

Tunggu, itu saja?

"Tidak ada hukuman?" Wulfer ngeri salah dengar.

Aldert berdecak. Dia berjalan kembali mengitari meja dan membereskan dokumen-dokumen di atasnya, "Aku sibuk. Pikirmu kerjaanku hanya menghukummu saja sepanjang hari? Yang harus kaulakukan adalah melatih emosimu seperti biasanya. Aku mengharapkan hasil dalam tiga hari."

"TIGA HARI?! Apa kau lupa sudah berapa lama aku berusaha melakukannya?"

"Kenyataannya, semalam kau menunjukkannya." Aldert mengetuk-ngetuk tajuk koran dengan telunjuknya, "Dan kau tentunya ingat aku bisa melakukan apapun terhadapmu. Jadi jaga nada bicaramu."

BUNUH DIA!!!

Wulfer mengepalkan kedua tangannya. Kuku-kukunya menancap ke telapak tangannya hingga berdarah. Kendalikan dirimu, Ulf.

"Kau membutuhkanku."

Entah untuk tujuan apa.

Aldert menyeringai, "Aku menciptakanmu. Kaupikir aku tak mampu menciptakan satu lagi untuk pengganti?"

Wulfer terkekeh sinis, "Kalau memang julukan publik itu benar, Aldert Van Leanders, sang pencipta hebat, inventor jenius yang memiliki pengetahuan yang melebihi zamannya... mengapa dia tidak melakukan sesuatu terhadap kaki pincangnya?"

Untunglah bertepatan dengan itu, suara ketukan dari pintu ruang kerja Aldert mendadak terdengar. Pintu dibuka sedikit dan kepala Eber melongok ke dalam.

"Ah, ada Ulf?" anak itu menatap Albert dan Wulfer bergantian.

Aldert memberi isyarat mata pada Wulfer agar segera menyingkir dari hadapannya. Wulfer berbalik untuk keluar dari situ sambil menggerutu, "Kakek tua bau tanah..."

Eber bergeser dari ambang pintu untuk membiarkan Wulfer lewat dan hendak mengikutinya, "Ulf, mau kema--"

Wulfer menggeram, "Jangan buntuti aku!"

🌒

Tiga hari yang dimaksud Aldert rupanya bukanlah sembarang tiga hari.

Malam itu, sang ayah mengumpulkan kelima anaknya di sebuah ruangan besar remang-remang di bawah tanah. Ruangan yang--percaya atau tidak, setelah berpuluh-puluh tahun lamanya--baru pertama kali dimasuki oleh Wulfer.

Seraya mereka berdiri berjajar sesuai perintah Aldert, diam-diam Wulfer memerhatikan keempat saudaranya. Kalau menilik gerak-gerik Asmosius dan Eberulf yang berdiri di kanan kirinya, sepertinya ini bukan pertama kalinya bagi mereka. Asmosius tampak santai dan Eber kelihatan tak tertarik dengan seluruh keanehan yang memenuhi ruangan itu, termasuk jajaran toples berisi entah-apa yang memenuhi rak-rak besar di sudut. Wulfer tak mampu menebak untuk kasus Debora dan Ignicia, Debora tampak bosan, dia mengenakan sarung tangannya seperti biasa. Dan Ignicia... sibuk membetulkan bola matanya yang hendak jatuh.

Awalnya, Wulfer sempat curiga jangan-jangan sang ayah hendak mempermalukannya di hadapan yang lain karena tak kunjung berhasil menguasai wujud monsternya. Namun menilai dari watak pria itu, sepertinya tidak mungkin dia melakukan hal seremeh itu.

Ada sesuatu yang penting yang hendak disampaikannya.

Dan sejak memasuki ruangan, hidung Wulfer disiksa oleh aroma itu.

Aroma yang sesungguhnya tak asing, karena aroma itu melekat pada mansion Leanders, yang sialnya cukup sering terdeteksi Wulfer akibat ketajaman indera penciumannya. Walaupun begitu, itu adalah aroma yang aneh, yang tidak mampu dikenalinya. Seperti kombinasi aroma kecut dan pahit yang setiap terhidu akan membuatnya pusing dan sesak napas...

...dan rupanya berasal dari sebuah bak transparan berbentuk balok yang diletakkan menjorok ke dalam dinding di seberang ruangan.

Tok. Tok . Tok. Tok.

Suara ujung tongkat berjalan milik Aldert beradu dengan lantai, menciptakan gaung menyeramkan di dalam ruangan itu yang membuat bulu kuduk berdiri. Sang ayah berdiri di depan bak misterius itu, lalu melambaikan tangannya kepada kelima anaknya agar mendekat.

Yang berjalan pertama kali adalah Asmosius, si sulung yang percaya diri. Menyusul, Wulfer dan ketiga saudaranya ikut berjalan mendekati bak.

Bak itu terisi penuh oleh air... bukan, itu bukan air, melainkan semacam larutan yang memiliki kejernihan serupa dengan air, namun dengan kepadatan yang berbeda dan warna yang tak terdeskripsikan. Gelembung-gelembung kecil sesekali bermunculan di permukaannya, bersumber dari sesuatu yang berada di dasar bak itu.

Itu adalah sesosok wanita. Wanita yang terbaring dalam posisi tidur, tenggelam sepenuhnya di dalam larutan. Helaian rambut panjangnya menari-nari menutupi sebagian besar wajahnya, membuatnya tak mampu dikenali. Hanya segaris mata terpejam yang terlihat, dan kulit yang... abu-abu.

Wulfer mengernyit, menahan keinginan kuat untuk muntah. Selain karena aroma aneh yang terus menusuk-nusuk hidungnya yang luar biasa sensitif, kulit abu-abu itu menjadi salah satu faktornya. Dia tak punya masalah melihat darah segar, mayat baru yang isi perut maupun otaknya berhamburan, tetapi tidak dengan sesuatu yang telah dimakan usia. Pembusukan menyiksa inderanya.

Tidak ada pertanyaan maupun tanda-tanda keterkejutan dari kelima bersaudara Leanders. Mereka hanya menatap isi bak itu dalam diam, menunggu penjelasan seraya larut dalam pikiran masing-masing.

"Telah tiba saatnya bagiku untuk membagikan salah satu rahasiaku pada kalian. Akhirnya."

Aldert menyapukan jemarinya menyusuri pinggiran bak dengan lembut. Dia menatap wanita di dalam bak dengan tatapan yang... ganjil. Belum pernah Wulfer melihat sang ayah menatap siapapun dengan sorot seperti itu. Hampir-hampir seperti tatapan penuh kasih.

Itu mayat, kan? Wulfer membatin was-was.

"Wanita ini, adalah wanita terpenting dalam hidupku. Semuanya, ucapkan salam pada ibu kalian."

Keheningan menyesakkan memenuhi ruangan.

Kelima bersaudara Leanders tidak punya ibu. Mereka sama-sama mengetahui itu dengan pasti. Mereka adalah produk dari kombinasi kezaliman, kejeniusan, dan ego Aldert Van Leanders. Dia adalah Ayah dan Ibu mereka. Kreator mereka.

Lantas, apa-apaan 'Ibu' di dalam bak itu? 

Aldert tersenyum. Senyuman lebar yang amat jarang ditunjukkannya, menimbulkan kesan seram alih-alih ramah. Kalaupun ada yang memiliki pertanyaan, tak satupun menyuarakannya.

"Selamat malam, Moeder." kelima bersaudara itu menyapa sang 'Ibu'.

Aldert mengangguk puas, sebelum kembali berkata, "Kebejatan manusia membuat istriku menjadi seperti ini, jauh sebelum kalian diciptakan. Mereka membunuhnya, berharap itu akan mengakhirinya. Mereka menganggap kematian tak terelakkan. Tak terbantahkan. Seolah tidak bisa diapa-apakan lagi. Betapa tololnya."

Mayat yang lebih tua dari seharusnya, Wulfer menyimpulkan dalam hati.

"Cukup lama aku menjaga tubuhnya seperti ini, tenggelam dalam apa yang kuduga dapat bertahan selama aku memperbaharuinya. Namun dugaanku terbukti salah. Waktu. Waktu menghambat rencanaku. Bahkan dengan kekuatan Eberulf, waktu masih berusaha mengalahkanku."

Wulfer menoleh menatap Eber. Inilah alasannya suka menghilang pada momen-momen tertentu. Inilah alasan Vader sering memanggilnya. Perlambatan proses. Kekuatan Eber membantu pengawetannya.

"Namun aku menemukan cara. Cara untuk mengakhiri duel berkepanjangan ini. Lima pusaka. Pusaka yang selama ini hanya dipercaya eksistensinya dalam tuturan dongeng manusia-manusia berotak udang itu. Mereka hanya terlalu malas untuk mencari, dan terlalu arogan untuk mempercayai."

Aldert merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

"Bantu aku. Bantu mengumpulkan pusaka-pusaka itu. Lima pusaka yang dapat bersatu dan membuatku menjadi pemenang. Bantu aku menjadi Penakluk Kematian."

Wulfer menatap pria di hadapannya dengan takzim. Sesungguhnya, betapa sulit mencegah dirinya merasa terpesona akan karisma dan kekuatan yang dipancarkan sang ayah. Di satu waktu, dia membenci ayahnya hingga rasanya ingin mencabik-cabik lehernya, menyaksikan tubuh tak bernyawa pria itu terkulai berantakan di kakinya. Di satu waktu, dia begitu menghormati sang ayah hingga dadanya membuncah oleh kebanggaan karena dapat menjadi salah satu ciptaannya.

Aldert berjalan ke hadapan Asmosius. Lalu dia memberi sebuah titah kepada si sulung.

"Dengan kecerdasan yang kuanugerahi padamu, bawakan aku Jantung Deharts. Sebuah jantung mekanik yang tak pernah berhenti berdetak."

Aldert beralih dari Asmosius dan berjalan ke hadapan Wulfer. Sorot skeptis berkelebat di tatapannya sebelum dia memberikan anak keduanya itu sebuah perintah.

"Dengan kekuatan liar yang kaumiliki, bawakan aku Bloedsteen. Sebutir batu berharga yang mengukuhkan darah sang pemakai."

Aldert kini berjalan ke hadapan Eberulf.

"Dengan kuasa akan waktu yang kaumiliki, bawakan aku Keris Naga Amerta. Sebilah belati tempaan pribumi yang mengekalkan usia sang pemakai."

Aldert berjalan ke hadapan Debora.

"Dengan kehancuran di tanganmu, bawakan aku Giftige Levensbloem. Setangkai bunga ajaib yang meniupkan kehidupan."

Aldert berjalan ke hadapan si bungsu, Ignicia.

"Dengan kobaran api buatanmu, bawakan aku Mata Ra. Bola mata beriris emas yang mampu menjadi sumber kekuatan."

Tok. Tok. Tok. Aldert kembali menghampiri bak besar tempat Moeder terbaring.

"Satu permintaan." suara Aldert kembali bergaung di dalam ruangan besar itu, "Hadiah untuk kalian bila berhasil membawakanku pusaka-pusaka tersebut adalah satu permintaan. Satu permintaan yang niscaya akan kukabulkan."

Wulfer membelalak.

Satu permintaan. 

"Buktikan dirimu. Pergunakan kelebihanmu. Dan bawakan aku pusaka-pusaka itu dalam waktu seminggu."

Rasa-rasanya telinga Wulfer sampai berdenging mendengarkan perintah tak masuk diakal itu. Dia bahkan tak sanggup lagi berkonsentrasi pada apa yang dikatakan Aldert setelahnya. Seminggu katanya? Seminggu untuk mencari pusaka entah-apa yang bahkan namanya baru pertama kali dia dengar?

Wulfer masih berdiri mematung dengan dua tangan terkepal di sisi-sisi tubuhnya ketika Aldert membubarkan pertemuan itu.

"Jadi kau mengharapkan perkembanganku karena ini, Vader?" celetuk Wulfer.

Saudara-saudaranya yang hendak beranjak pergi seketika mengurungkan niat. Suasana hening selama beberapa saat.

Aldert menatap Wulfer.

"Kau berharap aku segera menguasai perubahanku agar berhasil membawakanmu batu terkutuk itu, bukan?" Wulfer membalas dengan pahit tatapan sang ayah, "Bagaimana sekarang? Tidak ada kemajuan sama sekali."

Aldert terkekeh, "Tidak ada bedanya, bukan? Misiku tidak bisa menunggu sampai kau siap."

Pria itu mengelus kepala tongkatnya.

"Selama ini aku bertanya-tanya, Wulfer." dia berkata lagi dengan pelan, "Aku bertanya pada diriku sendiri; untuk apa sebetulnya menaruh kepercayaan padamu? Percaya bahwa suatu saat kau akan membuatku bangga? Percaya bahwa suatu hari, ketidakbergunaanmu akan musnah?"

Wulfer merogoh sakunya.

"Percaya bahwa sesuatu yang kuanggap sebagai sebuah kegagalan akan mematahkan teoriku. Membuktikan bahwa anggapanku salah."

Wulfer menggenggam erat benda bulat dingin di tangannya sekaligus berjuang untuk tidak meremukkan benda itu.

"Tapi lihat..." Aldert berdecak sekali, pelan dan samar. Matanya yang meneliti Wulfer dari atas ke bawah bersorot mengasihani, seolah Wulfer begitu rendah dan hina, "...ini adalah sebuah... kekecewaan."

Raungan-raungan murka telah menguasai kepala Wulfer. Monster itu telah meneriakkan ribuan skenario biadab dan secara konstan mendorong-dorongnya untuk membinasakan pria tua di hadapannya saat ini. Namun benda di tangannya, jam saku pemberian Eber, bertindak sebagai jangkar yang menahan lepasnya seluruh emosi itu.

"Lalu apa..." Wulfer berkata dari sela-sela giginya yang terkatup rapat, "...yang akan kau lakukan bila aku memilih mengoyak tenggorokanmu saja alih-alih mengerjakan suruhanmu?"

Aldert tersenyum.

"Segalanya, Wulfer. Aku bisa melakukan segalanya." dia mengelus kepala tongkatnya lagi, berujar dengan suara yang mengalun. "Aku bisa melakukan apa yang kuinginkan terhadapmu. Bahkan bukan hanya terhadapmu..."

Mata Aldert berpindah pada sesuatu di dalam genggaman Wulfer, lalu pria tua itu tersenyum lebar penuh arti.

"Aku juga bisa melakukan segalanya terhadapnya."

Jangkar itu akhirnya patah.

Hanya dalam tiga detik, tiga detik yang membingungkan dan mencengangkan, sosok Wulfer bertransformasi sepenuhnya menjadi monster serigala hitam setinggi nyaris dua setengah meter dan menerjang tubuh Aldert. Momentum itu mengantarkan keduanya menghantam tembok batu di seberang ruangan, menubruk bak berisi Moeder hingga larutan itu bergejolak dan tumpah menimbulkan desisan di lantai.

"ULF!"

Monster itu berada di atas Aldert, mencabik dan mengoyak seluruh tubuh bagian depan pria itu hingga setelannya robek-robek, cakar menembus daging hingga warna merah merembes keluar dari pria itu. Monster itu mencengkeram leher Aldert dengan satu tangannya dan menegakkan diri, mengangkat tubuh lunglai Aldert ke udara. Monster itu menyeringai memamerkan deretan taring-taringnya yang mengerikan, napasnya yang panas dan menguarkan asap menghembus mengenai wajah Aldert yang penuh luka cabik. Monster itu memastikan sepasang mata pria tua itu bertemu dengan mata merah miliknya, sebelum geraman rendah dan dalam itu membentuk kata-kata.

"KAU TIDAK AKAN BERANI!"

Aldert, walaupun dalam kondisi kepayahan dan mengenaskan, tertawa keras. Dia menatap monster di hadapannya dengan berbinar-binar.

"INI DIA!" Aldert terbahak-bahak, puas dan bangga, "AKHIRNYA! KAU MENGUASAINYA!"

"Ignicia!" Eber berseru mendesak.

"Iya-iya, tahu..." gadis berkuncir dua itu mengangkat satu tangannya dan bola api mewujud di udara, semakin lama semakin besar, lalu dia menembakkannya hingga mengenai punggung manusia serigala itu.

Sang monster meraung kesakitan. Punggungnya terbakar dan bau hangus menguar di udara. Monster itu mencampakkan Aldert hingga pria itu terpental menghantam lemari dan toples-toples kaca pecah berjatuhan. Si monster terhuyung mundur membentur dinding hingga ruangan itu bergetar dan api dipunggungnya padam seketika. Luka bakar merah menampilkan daging di balik kulit punggungnya selama beberapa saat, namun kulit-kulit di sekitar luka baru itu menutup dengan cepat dan pulih seperti sediakala. Dia berbalik menghadap Ignicia, mata merahnya menyala-nyala, namun si gadis balas menatapnya dengan sorot menantang.

"Apa?! Mau mengunyah kepalaku?!" Ignicia mendongak, mengabaikan sebelah bola matanya yang bergoyang di rongganya seperti hendak jatuh.

Si monster menerjang, Ignicia menciptakan bola api. Keduanya akan bertumbukkan namun Eber berlari dan berdiri di antara keduanya, membelakangi Ignicia.

"Ulf!"

Terjangan si monster terhenti. Eber berdiri menghadapinya, kedua tangan terentang menghalangi. Si monster terdiam, berdiri tegak dan menjulang dengan dada naik turun dan asap panas menguar dari sela-sela giginya.

Mata merah identik itu saling beradu tatap selama beberapa saat, sebelum Eber menangkap sesuatu yang berbeda pada pupil milik manusia serigala itu. Itu bukan sesuatu yang buas dan dingin, seperti yang biasa terpancar pada wujud monster itu. Itu adalah sesuatu yang familiar dan tidak mengancam, dan yang dikenalinya. Seperti milik Wulfer.

Monster itu menggerung marah. Tangan besar bercakarnya meraih toples terdekat yang jatuh berguling di dekat kakinya, lalu dia melontarkannya hingga mendesing persis di sebelah mata Ignicia, dan pecah berhamburan ketika menghantam dinding di seberang ruangan.

"Wulfer brengsek!" Ignicia mengumpat, membungkuk memungut bola matanya yang jatuh menggelinding menjauh. Monster itu menyeringai kesakitan dan terjatuh berlutut, bulu hitam perlahan menghilang digantikan kulit mulus, dan akhirnya manusia serigala itu berubah kembali ke dalam wujud Wulfer. Debora melemparkan mantel kepada Eber yang dengan sigap menyelubungi tubuh telanjang kakak laki-lakinya itu.

Sementara di sudut, Aldert mendudukkan diri perlahan. Dia merutuk ketika mendapati monocle-nya pecah berkeping-keping. Dia bangkit dan berjalan terpincang-pincang menuju tongkatnya yang entah sejak kapan terlempar ke ujung ruangan. Pria itu mengamati kondisinya sendiri, baju compang-camping dan darah di mana-mana. Tetapi di balik kekacauan itu, tak nampak satupun luka-luka cakaran yang disebabkan Wulfer pada tubuhnya. Seolah luka-luka itu tak pernah ada.

Aldert menghampiri Wulfer diiringi bunyi keletak-keletok tongkatnya, lalu dia meletakkan satu tangannya di atas puncak kepala anak laki-laki itu.

"Kemajuan." dia menepuk-nepuk rambut hitam Wulfer dengan nada puas, lalu berjalan ke bak yang miring akibat keributan tadi, "Sekarang keluarlah kalian semua, aku perlu bebenah."

Asmosius, yang sedari tadi menyaksikan seluruh adegan itu sambil bersandar di dekat pintu, bersiul dan bertepuk tangan.

"Pertunjukkan yang lumayan." komentarnya kalem.

🌒

A/N:

Maaf update-nya ngaret :')
Jangan lupa cek cerita dari sudut pandang empat saudara/i Wulfer lainnya!

Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats by Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout by ashwonders
3. Eberulf: The Black Fang Azza_Fatime
4. Debora: Vervloekte Hand Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell ZiviaZee

Continue Reading

You'll Also Like

91.7K 6.3K 23
Arsyakayla Attaya, biasa dipanggil Kayla seorang gadis berumur 18 tahun. Ia adalah gadis yang ramah dan lembut ia juga sangat baik dan perduli terhad...
133K 14.5K 15
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 3) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ____...
144K 13.4K 37
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...
72.5K 649 5
Jatuh cinta dengan keponakan sendiri? Darren William jatuh cinta dengan Aura Wilson yang sebagai keponakan saat pertama kali bertemu. Aura Wilson ju...