The Chronicles of A Boy : The...

By A__Lovegod

47.8K 6.4K 4.2K

【COMPLETED】 ❝ʜᴀʀᴜs sᴇʟᴀʟᴜ ᴊᴀᴅɪ ᴏʀᴀɴɢ ʏᴀɴɢ ʙᴀɪᴋ, ᴏᴋᴇ, ʙᴏss?❞ ╔═════▣ ⚠️️ ▣═════╗ 🇨​🇦... More

Greetings!
CONFIRMATION 📌
I. Janji
II. Rukun Tetangga
III. Selamat Ulang Tahun!
V. Kosong
VI. Andai
VII. Kejujuran Hati
VIII. Mimpi Yang Sempurna
IX. Inner Peace
X. Sebuah Nama Sebuah Cerita
XI. Seandainya
XII. Kucinta Kau Apa Adanya
XIII. 1, 2, 3, Sayang Semuanya!
XIV. Dua Sedjoli
XV. Saat Kau Tak Di Sini
XVI. Matamu
XVII. Orkes Sakit Hati
XVIII. Berhenti Di Kamu
XIX. Siapkah Kau Untuk Jatuh Cinta Lagi?
XX. Lelakiku
XXI. Arti Hadirmu
XXII. Mudah Saja
XXXIII. Aku Bukan Pilihan
XXIV. Itu Aku
XXV. Gerimis Mengundang
XXVI. Seperti Yang Dulu
XXVII. Merindukanmu
XXVIII. Lagu Rindu
XXIX. Secondhand Serenade
XXX. Andai Dia Tahu
XXXI. Truth, Cry, and Lie
XXXII. Kukatakan Dengan Indah
XXXIII. Sudah Biasa
XXXIII. Titip Cintaku
XXXIV. Makan Apa Sekarang?
XXXV. Di Sini Senang, Di sana Senang
XXXVI. Satu Tambah Satu
XXXVII. Cobalah Untuk Mengerti
XXXVIII. Lihat, Dengar, dan Rasakan
XXXIX. Jangan Marah
XL. Jenuh
XLI. Jangan Pernah Berubah
###. Untuk Sebuah Nama
XLIII. Jadikanlah Aku Pacarmu
XLIV. Tak Bisa Memiliki
XLV. Sedari Dulu
XLVI. 수고했어요 정말 고생했어요
Sayonara (?)

XLII. Sejauh Mungkin

709 116 89
By A__Lovegod




📙
(Semoga belum ada yang lupa sama buku ini ❤)









"Cung, oki, obo, um~"

Sambil menyeringai lebar, Haejin mendudukkan Dokkie di atas gundukan perut Jaemin yang berisi adiknya itu.


"Opo, oki, cung, opo, uwmwaaaa~"


Kali ini, si Matahari membuat Dokkie mencium perut Miminya berkali-kali.


"Ein obo uuum~"


Pipi gembil beraroma bedak itu bersandar pada perut Miminya, kelima jemari mungilnya menari di permukaan dengan lembut dan penuh kasih sayang.


"Amiiiih~ obo uum~ Cung obo~ Oki oboooo~"


Jari telunjuk Haejin menjelajah ke garis rahang Jaemin lalu menusuk-nusuk pipi Miminya yang sibuk memelototi Kakak dan Pipinya itu.


"Amih weeeeee uuum~"


Jaemin akhirnya mengalihkan atensi pada si Kecil lalu tersenyum.


"Waeeeee~" tanyanya seraya merangkum wajah bundar Haejin.


Haejin kembali menyeringai lebar. "Oki, Cung obo uuumm~" tudingnya pada Dokkkie yang masih duduk manis di atas perut Miminya.


"Iyaaaa, Dokkie bobo sama Cung, eum... Hae mau bobo juga? Sudah malam."


"Obo uumm..." Si Matahari menyandarkan kepalanya di dada Miminya lalu menggumamkan sesuatu dengan lirih.


Sementara Jaemin sibuk meladeni Haejin, kedua biang kerok malam ini merasa terbebas.


Iya, malam ini Jeno dan Jisung berbuat keonaran yang sukses meninggikan level stress Jaemin.


Awalnya, setelah makan malam, Jisung baru mengatakan kepada Jaemin kalau harus membawa prakarya dari kertas daur ulang yang dibentuk seperti ikan. Padahal tugas itu sudah diberikan Yeoreum Ssaem sejak seminggu yang lalu.


Alhasil, Jaemin kalang kabut mencari koran, sampai ia meminta Jeno untuk bertanya kepada Tuan Hong dan Tuan Kim apa mereka punya koran atau majalah bekas.


Kedua, setelah berhasil mendapatkan bahan-bahan prakaryanya dan siap untuk dibuat, Jisung malah memilih bermain dengan paku, benang kasur dan papan kayu yang akan dipakai untuk cetakannya.


Ketiga, selain Jisung yang melantur ke mana-mana, Jeno, yang bertugas sebagai pembina, malah asik bermain dengan bubur kertas dan menuangkannya ke dalam cetakan agar-agar silikon milik Jaemin.


Terakhir, keduanya bertengkar karena hari semakin malam dan akhirnya bubur kertas yang berada di dalam ember itu tumpah; sukses membanjiri lantai ruang tengah.


"Mau selesai jam berapa, hm?" tanya Jaemin sambil memelototi kedua kesayangannya itu kembali.


Jeno menggaruk tengkuknya, sementara Jisung acuh, serius mengaduk-aduk adonan bubur kertasnya yang baru.


"Kakak jangan jadi kebiasaan kalau ada tugas baru bilangnya mepet seperti ini, ya," keluh Jaemin sambil menepuk-nepuk bokong Haejin.


"Kakak uda kasi tau Pipi eeey~"


"Kapan?" serbu Jeno.


"Waktu itu, eeey~ Kakak bilang kalo Pi bikin ikan dari kertas disuruh Yorum Sem."


"Kapan, dih!"


"Itu, dih! Waktu Kakak ama Pipi pergi beli tobuki!"


"Aniya! Kakak tidak bilang sama Pipi, dih!"


"Uda, eey! Kata Pipi nanti Pipi bilang ama Mimi terus nanti bikinnya ama Hae juga, dih!"


Jeno mencibir. "Kalau Kakak sudah bilang sama Pipi, pasti Pipi ingat."


"Dih! Kakak ud—"


"Mau sampai kapan bertengkarnya, hm? Sampai subuh sekalian, jangan tanggung-tanggung, oke?" sela Jaemin seraya bangkit berdiri. "Mimi mau tidur sama Hae. Kakak sama Pipi bertengkar saja terus, tugasnya jangan dikerjakan."


Dengan ini, Jaemin ngeloyor pergi ke kamar. Meninggalkan Jeno dan Jisung yang saling beradu tatapan dengan mata yang sama menyipit tajam.


"Hh... Kakak capeee..." keluh Jisung seraya menyeka tangannya dengan lap kering.


"Heeee... ini tugasnya siapa?"


"Kakak."


"Terus? Kenapa Pipi yang kerjain?"


"Ang! Kakak capeeee, Piiii..."


"Pipi juga capek."


"TERUSIN AJA BERANTEMNYA SAMPAI LEBARAN MONYET!"









📙









Keesokan harinya,


Hari ini Jeno libur. Jika biasanya dia menghabiskan hari kemerdekaannya ini dengan balas tidur sepuasnya, maka kali ini ia tidak sabar menantikan waktu menjemput Jisung.


Ya, karena hari ini, ia memiliki rencana yang sudah dibuatnya dari jauh-jauh hari. Rencana yang timbul setelah bertemu dengan sahabat karibnya, Park Jihoon, tempo hari.


"Jja..." Ia menatap tumpukan peralatan makan yang baru saja selesai dicucinya. "Apa lagi, ya..."


Setelah memastikan kalau pekerjaan rumah sudah beres semuanya, ia pun beranjak ke kamar untuk membangunkan Haejin yang masih pulas tidur siang.


"Hm..." Jeno kini dilanda dilema.


Jam sudah menunjukkan sudah waktunya Jisung pulang dan dia harus segera menjemputnya di depan kompleks. Sementara itu, Haejin masih tertidur dengan pulas.


Dilema karena dia tidak mungkin meninggalkan Haejin di rumah sendirian meskipun tertidur dan dia juga tidak bisa membangunkannya dengan paksa karena si Matahari adalah cetakan Miminya; sama persis.


Keduanya jika bangun bukan karena kehendaknya, maka mood-nya akan buruk selama berjam-jam ke depan; bahkan bisa sampai seharian.


"Hm..." Jeno menggumam penuh kebingungan.


Lalu saat ia hendak memilih cara kedua; membangunkan Haejin dan menerima resikonya, si Kecil sudah terbangun lebih dulu. Terima kasih kepada suara knalpot sepeda motor milik anak Ketua Warga yang lewat di depan rumah.


"Eommaayaaaa..." Jeno mengusap wajah bundar Haejin lalu menciumnya sekali. "Mau ikut Pipi jemput Kakak, eum?"


Haejin mengerjap lembat lalu merentangkan kedua tangannya ke depan; meminta digendong.


"Apiiii... usuuuu~"


Jeno tersenyum sambil mengusap kembali wajah Haejin. "Minum susunya sambil jemput Kakak, neee?"


"Aka olaa uuum..."


"Iyes, Kakak pulang sekolah."


Setelah menjemput Jisung, ketiga Lee pun kembali ke rumah dengan sedikit tergesa. Alasannya? Well, karena rencana Jeno tadi yang memaksa mereka untuk berkejaran dengan waktu.


"Amu mana, Piiii?" tanya Jisung, yang bingung karena Jeno memakaikannya jaket padding.


"Mau ke tempat temannya Pipi, Kak."


"Dokter Minjuna, euuum~"


"Aniya... eum... aniyaaa..."


Jisung tidak membalas lagi karena dia melihat Pipinya itu kembali repot memasukkan pakaian ganti, susu formula dan popok Haejin, serta haduk kecil ke dalam tas jinjing.


Lagipula dia juga sibuk meladeni Haejin yang tengah memeluknya dengan erat itu.


"Jja! Kaja!" ajak Jeno seraya menggedong Haejin dan menggandeng Jisung.


"Maik bus, ndeee?"


"Yes."


"Bwus! Apiiiiih~"


"Yes. Kita naik bus! Kaja!"









📙









Sesampainya di tempat tujuan, Jeno menurunkan Haejin yang sedari tadi meminta berjalan sendiri. Selagi ia sibuk merapikan jaket si Kecil, si Sulung membaca tulisan yang tertera di dinding kaca gedung itu tetapi belum selesai, ia sudah lebih dulu menggandeng tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam.


"Pi amu apain?" tanya Jisung sambil menebarkan tatapannya ke sekeliling.


Jeno mengulas senyum simpul. "Nanti ketemu sama teman yang banyak, Kak," jawabnya seraya kembali menggendong Haejin karena mereka harus naik ke lantai 1.


Lalu ketika mereka tiba di depan ruangan besar yang terdengar cukup ramai itu, Jeno meminta Jisung untuk duduk manis bersama Haejin sementara ia bergegas pergi mencari seseorang.


"YAIJENO!"


Seruan terdengar riang, nyaring, dan penuh dengan semangat.


Jeno menoleh, mendapati sahabatnya, Park Jihoon, tengah menyeringai lebar sambil melambaikan tangannya.


"Di mana keponakanku?" tanya Jihoon seraya ber-tos ria dengan Jeno.


"Itu, di sana," tunjuk Jeno kepada kedua buah hatinya. "Jadi... sekarang tidak menanyai kabarku terlebih dahulu?"


Jihoon terkekeh. "Tidak penting. Lagipula, kau terlihat baik-baik dan sehat-sehat saja."


Merengut, Jeno lalu mengajak sahabatnya itu untuk menemui kedua pasukannya. "Lee Jisung, insa," pinta Jeno yang langsung dituruti.


"Aigooo... sudah besar rupanya," puji Jihoon kepada Jisung seraya beralih kepada si Kecil. "Annyeong, Haejinaaaa..."


"Amieyooo~" balas Haejin setelah dibisikkan sesuatu oleh Jisung.


Setelah beberapa saat dihabiskan untuk bercakap, Jihoon pun mengajak Jeno dan pasukannya ke ruang ganti; di mana Jisung akhirnya paham kalau di sini ia akan ikut pelajaran Taekwondo bersama anak-anak seumurannya.


Di saat Jeno memakaikan seragam taekwondo Jisung, Haejin terus-terusan memperhatikan meski Jihoon tengah mengajaknya bergurau.


"Apiih! Ein anyah uuumm..." tuding Haejin pada seragam yang dipakai Kakaknya.


Jeno tersenyum manis. "Iya, Haejin nanti kalau sudah besar, ya..."


"Aka uumm... Ein anyah!" balas si Kecil sambil melambaikan tangan.


"Aigoooo...." Jihoon merangkum wajah bundar Haejin. "Anaknya Jaemina kenapa lucu sekali, sih? Hm? Hm?"


"Anakku juga," sela Jeno.


Jihoon mendelik. "Kalau lucu dan pintar seperti ini, aku curiga ini bukan anakm—aw! Ya-ish!"


Satu tepukan keras mendarat di belakang kepala Jihoon. Jeno pun tersenyum sinis. "Geumanhaja, eum?"


"Arasseo, arasseo..." Jihoon mencibir. "Jja! Kaja! Sebentar lagi mau mulai," ajaknya kemudian.


Mereka pun akhirnya memasuki ruangan yang dipakai untuk pelajaran Taekwondo; yang memang sedang khusus untuk anak-anak balita.


Jihoon segera mengajak Jisung bergabung dengan teman-temannya sementara Jeno dan Haejin menunggu di belakang ruangan bersama beberapa orang tua murid lainnya.

Ada perasaan terharu, bangga, sekaligus was-was dalam satu waktu saat Jeno melihat bagaimana Jisung tengah mengikuti salam yang diajarkan oleh Jihoon.


Sebenarnya dia tidak ingin memaksakan mimpinya kepada Jisung, tetapi setelah Jisung selalu meminta untuk berlatih Taekwondo, asa itu muncul dengan sendirinya.


Melihat bagaimana si Sulung memakai seragam Taekwondo, wajah berseri sambil kedua tangan mengikuti instruksi, tawa riang karena bertemu dengan teman-teman baru... semua itu membuat kenangan tentang kesenangan masa lalu berebut untuk ditayangkan di dalam benak Jeno.


Kenangan-kenangan itupun yang menimbulkan adanya penyesalan di tengah kerinduan. Kenangan yang akhirnya menyemangati keinginan Jeno untuk mengaplikasikan mimpinya di masa depan si Sulung.


Membayangkan betapa bangga dirinya melihat Jisung tampil untuk mewakili negara. Memikirikan bagaimana ruang tengah kediamannya akan terisi penuh oleh piala. Lalu merencanakan ke—


"WUIH!" Jeno menggerutu tertahan.


Segera, dibuangnya jauh-jauh keinginan hati yang dulu pernah teraniaya realita itu. Ia mengusap wajahnya, berusaha membuat hati dan pikirannya berjalan sejauh mungkin dari ide gila tadi.


Jisung adalah Jisung, putra sulungnya, bukan alat untuk menciptakan mimpinya yang tertunda.


"TAE-KWON!" Seruan Jihoon terdengar cukup lantang, hampir mengagetkan Haejin yang tengah serius memainkan tali hoodie Jeno.


Saat pemanasan hampir selesai, pintu ruangan terbuka; di mana atensi orang tua yang menunggui anak-anaknya, termasuk Jeno, tertarik begitu saja.


"Ah, maaf, kami terlambat," sapa seorang pria yang tengah mengandengan tangan seorang anak lelaki berkulit putih pucat.


Jeno meringis, kenal betul dengan siapa pria itu.


Seorang sabom pembantu Jihoon lekas mengajak anak lelaki itu untuk bergabung. Jeno ingin sekali bersembunyi tetapi apa daya, sosoknya sudah ditangkap oleh radar kenalan pria itu yang kini sedang berjalan menghampirinya.


"Dunia ini sempit sekali," sapa pria itu.


Jeno tertawa hambar. "Sangat sempit, Huang."


Mendengar balasan Jeno, Renjun terkekeh lirih seraya menaruh atensinya kepada si Matahari. "Haejinaaaa, annyeong~ annyeong~"


Kedua manik bundar Haejin menyipit, memperhatikan wajah tersenyum Renjun dengan penuh arti.


"Aiya... kenapa ekspresinya mirip sekali dengan Ayahnya kalau sedang melihatku, hm?" goda Renjun.


Tidak ada balasan dari Jeno, Renjun pun memilih untuk duduk manis dan memperhatikan jalannya latihan.


"Siapa?" tanya Jeno tiba-tiba.


Renjun menoleh dengan kepala yang dimiringkan. "Hm?"


"Siapa anak itu? Anakmu?"


"Ah..." Renjun membetulkan letak kacamata bacanya. "Keponakanku, Jen."


Jeno ber-oh ria.


Keduanya kembali membungkam suara, terlarut dalam keceriaan latihan yang tengah berlangsung di depan sana. Sampai Renjun mendapati beberapa kali adanya helaan nafas panjang dan tatapan penuh harapan milik mantan rivalnya itu.


"So, he's living up your dream, huh?" tanya Renjun setengah berbisik.


"Nope." Tetapi Jeno tetap bisa mendengarnya. "Dia sendiri yang mengingikannya."


Renjun mengulas senyum simpul. "Tetapi pasti ada sedikit harapan seperti itu, bukan?"


"Dari mana kau tahu tempat ini?"


"Dari grup chat alumni," jawab Renjun cepat. "Kau tidak perlu menjawabnya, Jen. Kedua matamu yang mengatakannya kepadaku."


Jeno tertawa hambar. "Kau benar, aku mengakuinya. Tetapi itu akan sangat egois jika aku membebankan mimpiku yang tertund—ah, tidak, terhenti, kepada putra sulungku."


"Hm... aku akui kau selalu benar kalau sudah berbicara dengan serius." Renjun kembali tersenyum sambil menggeleng pelan. "Kakakku dulu ingin menjadi seorang pianis, tetapi kedua orangtuaku menginginkannya untuk menjadi seorang pengacara. Akhirnya? Yah, dia selalu membuat putranya belajar piano. Sampai didatangkan guru private​ ke rumah."


"Kau sendiri?"


"Aku?"


"Hm."


Renjun tidak langsung membalas karena atensinya direbut oleh Haejin yang menarik-narik long coat-nya. Membuatnya tidak juga menjawab pertanyaan Jeno tadi.


"Kenapa sama sekali tidak ada kebebasan memilih masa depan di keluargamu? Apa orang kaya selalu seperti itu?"


"Mungkin. Aku tidak tahu, Jen."


Keduanya mengheningkan cipta untuk sesaat.


"Tetapi... Abeoji juga sempat memaksaku untuk menjadi atlet nasional," gumam Jeno.


Renjun tertawa lirih. "Tetapi, kau melakukannya karena kau menginginkannya, bukan?"


"Yah, bisa dibilang seperti itu." Jeno menjeda, membiarkan Haejin turun dari pangkuannya yang lalu berjalan menunju Renjun. "Pertanyaanku, Huang, kau belum menjawabnya."


"Ah..." Renjun dengan hati-hati membiarkan Haejin duduk di pangkuannya. "Kalau aku... hm, aku menjadi dokter karena pilihanku sendiri. Tetapi tidak seratus persen, karena ada dorongan lain, yang sangat besar saat itu, yang membuatku memilih menjalani mimpi ini."


"Dan kau sudah sampai di mimpimu."


"Benar."


Jeno melemparkan tatapannya ke depan, kepada Jihoon yang tengah mengajari Jisung beberapa gerakan dasar Taekwondo. "Seperti apa rasanya?" tanyanya.


"Hm?"


"Aniya. Tidak ada apa-apa."


"Rasanya? Maksudmu... seperti apa rasanya ketika sampai di negeri mimpi?"


Jeno tertawa hambar. "Pendengaranmu sangat tajam sekali. Cocok menjadi penggosip."


Balas tertawa, Renjun lalu membantu Haejin kembali ke pangkuan Jeno sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaannya tadi.


"Rasanya itu... tidak enak." Ia mengawali ceritanya dengan nada bergurau. "Tidak enak karena seseorang yang menjadi tujuanku, tidak bersamaku di sana. Ada hampa, meski banyak bahagia. Ada kecewa, meski banyak pujian yang diterima."


Jeno terdiam sambil, menyimak apa yang sedang ditutukan oleh Renjun saat ini.


"Tetapi aku tidak menyesal walau banyak nelangsa di ujung jalan mimpiku, Jen. Lagipula, memang tidak ada yang perlu disesalkan. Tujuanku memang sudah tidak ada, tetapi harapan di masa depan mungkin akan memberikanku tujuan lain yang memang ditakdirkan untukku," tutup Renjun dengan senyum tampan kepada Haejin.


Jeno menyunggingkan senyumnya. "At least, you're arrive."


Renjun terkesiap sejenak lalu menepuk bahu Jeno. "Jen... kau mengatakan kalau kau tidak berhasil mencapai negeri mimpimu—


—but now, you're already someone's dream."









📙









Malam harinya,


Jaemin tengah memegangi kepalanya, sedikit pusing karena terus-terusan mendengar suaran berdecit yang cukup nyaring sedari tadi.


Suara berdecit yang berasal dari sepatu Haejin yang baru dibelinya tadi sore sepulang kerja.


Dia pikir, Haejin akan tampak menggemaskan dengan sepatu baru yang akan berbunyi jika diinjak itu.


Iya, Hae saat ini memang terlihat sangat menggemaskan. Tetapi dia tidak membayangkan kalau si Matahari menolak untuk melepas sepatu barunya itu.


"Amiiiih~ Ein alu uum~" celoteh Haejin sambil berjalan berkeliling ruang tengah; menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.


Jaemin mengulas senyum manis. "Lepas dulu, ya. Besok lagi dipakainya," rayunya.


"Anyah! Anyah!"


"Besok lagi, Sayangku..."


"Uumm... Ein iloooo..."


Jaemin memejamkan kedua matanya. "Wae sirheo..."

"Apiiiiiiiiii! Akaaaaaa!" Haejin berlari gemas menuju dapur, di mana Jisung dan Jeno tengah bertugas mencuci piring setelah makan malam.


Meski si Kecil sekarang berada di dapur, tetapi Jaemin masih bisa mendenga suara decitan sepatunya itu. Malah semakin lama semakin terdengar lebih intense.


"Kakak Haejinaaaaa..." panggil Jaemin.


"Anyah! Amiiiiii~ anyah!"


"Mwoga aniya?!" Jaemin pasrah. Seharusnya dia sudah tahu kalau kedua putranya itu memiliki warisan keras kepala dari Pipinya.


Tidak berselang lama, ketiga pasukannya itu ikut duduk bersantai di ruang tengah bersamanya. Yang paling tua langsung merebahkan diri di karpet lantai, Jisung langsung mengambil buku dongeng dam membacanya, sementara minion Jeno yang paling kecil kembali berkeliling dengan sepatu barunya itu.


"Mi, Kakak besok libur, ndeee..." tanya Jisung di sela membaca.


Jaemin mengangguk. "Besok bantu Mimi jaga Adik Hae di rumah Omi, ya, Sayangku."


"Owkiiii! Tapi Kakak juga bole main ama Uchan Hyung, ndeeee..."


"Iya." Jaemin melirik Haejin yang tengah berjongkok di depan kabinet televisi. "Hayo, mamam apa itu?" tegurnya.


Haejin menoleh, menunjukkan secuil potongan biskuit susu yang dipungutnya.


"Jorok, Kakak Hae..." Jaemin mengangkat jari telunjuknya.


"Sini," pinta Jeno seraya merebut chiki kotor itu dari genggaman Haejin. "Buka mulutnya, udah dimamam apa belum?"


Haejin membuka mulutnya. "Uwit, Apiiih, uum... Ein uumm..."


"Iya, biskuit punya Haejina, eum?" Jeno menepis serpihan kotor di tangan Haejin lalu membawanya menjauh dari kabinet televisi.


"Ein amam, uum..." ujar si Kecil sambil menuding ke arah dapur.


"Iya, tadi Haejina mamam," sahut Jaemin. "Sekarang sikat gigi sama Pipi, ya."


"Anyah! Ein iloooo..." tolaknya seraya memekik riang lalu berlari menjauh dari Jaemin.


Jaemin menghela nafas panjang seraya melirik kepada Suaminya. "Siapa yang kebiasaan bilang 'sirheo' sama 'aniya'?"


Jeno menyeringai lalu terkekeh hambar.


"Hh... itu jadinya ditiru sama Haejina, Pi."


"Kakak juga sering bilang sirheo, Mi," balas Jeno.


"Jangan main salah-salahan, duh."


"Aaak!" Haejin kembali ke ruang tengah sambil membawa Dokkie. "Amiiiih~ Cung obo, oki, uum..."


Jaemin mengangguk. "Kakak Hae lepas sepatunya kalau mau bobo sama Cung sama Dokkie."


Haejin terdiam sejenak sebelum akhirnya berteriak sambil kembali kabur.


"Inner peace..." gumam Jaemin sambil mengusap perutnya.


"APIIIIIIH!!"


"Waeeeeee," balas Jeno.


"EIN AMAM, UUM!"


Jeno melirik Jaemin yang tengah memejamkan kedua matanya; masih mencari inner peace-nya. Dengan ragu, ia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, "Mi, biskuitnya Hae masih ada?"


Satu helaan nafas setengah gusat berhembus dari bibir Jaemin. "Habis, Pi," jawabnya singkat.


Jeno meringis. "Hae minum susu sama Pipi aja, ndeee?"


Terdengar suara decitan sepatu Hae lalu sosok mungilnya muncul dengan wajah cemberut. "Ein usu anyah, Apiiiih!" protesnya sambil meremas Dokkie dengan gemas.


Di menit selanjutnya, Jeno dan Haejin pun saling bertukar sahutan yang mana membuat Jaemin gagal menemukan inner peace.


"Beli biskuit sama Pipi ke minimarket," ujar Jaemin seraya mengambil dompet recehan di atas kabinet televisi.


Jeno dan Haejin sama-sama tersenyum lebar lalu berlari ke dalam kamar untuk mengambil jaket.


"Kakak amu kripik pisang bole, ya, Miii~" rayu Jisung.


"Iya, bilang sama Pipi mau kripik pisang yang mana. Oke, Boss?"


Jisung mengangguk. "Kakak di rumah aja sama Mimi sama Cung, euum..."


"Iya, Kakak di rumah saja."


"Amiiiii~" Haejin merangkum wajahnya sendiri sambil mengerjap genit. "Ei wuit usu uuumm~"


Wajah bundar itu diraih Jaemin lalu dihujaninya dengan kecupan gemas. "Beli biskuit susu, jangan beli yang lain, oke, Jendral?" pesannya.


"Pipi boleh beli keripik kentang, Mi?" tanya Jeno.


"Ya, boleh."


"Boleh beli susu pisang?"


"Buat apa?" Jaemin mengerutkan dahinya.


"Eh, iya deng. Sudah ada susunya Mi—"


"NO. Aniya, eum? Lee Jeno, andwae, eum?"


Satu cubitan di perut dari Jaemin, Jeno pun akhirnya berangkat bersama si Kecil ke minimarket di depan kompleks.









📙









Sepulangnya dari sana, ketiga Lee kini anteng menikmati jajan masing-masing di ruang tengah, sementara Jaemin sibuk menghitung pengeluaran bulanan di sofa.


"Mi, tadi Pipi ketemu sama Huang di tempatnya Jihoon," lapor Jeno.


Jaemin memiringkan kepalanya. "Hm? Pipi ketemu sama Renjun Sunbae?"


"Iya, dia ke sana sama keponakannya."


"Ah... daftar latihan di tempatnya Jihoon Sunbae juga?"


Jeno mengangguk pelan lalu beringsut duduk di sebelah Jaemin. "Mi..." panggilnya manja.


"Yaaaaa..."


"Tadi Pipi sempat jadi orang jahat."


"Ha?" Jaemin menatap Jeno dengan penuh kebingungan.


Jeno mengangguk. "Karena tadi Pipi sempat berpikir bagaimana sempurnanya kalau Kakak jadi atlet Taekwondo di masa depan."


Jaemin mengulas senyum simpul. "Kenapa begitu dibilang jahat? Apanya yang jahat, Pi?"


"Ya karena Pipi seolah memaksakan masa depannya Kakak jadi seperti apa yang Pipi minta." Jeno menjeda, menggenggam tangan Jaemin lalu mengusap punggung tangannya dengan ibu jari. "Tapi Pipi buru-buru berhenti berpikir seperti itu. Tapi..."


"Tapi?"


"Bagaimana bilangnya, ya... eum..."


Jaemin kembali tersenyum. "Tidak jahat, kok, kalau Pipi berpikir seperti itu. Itu mimpinya Pipi. Boleh saja kalau berharap Kakak bisa meneruskannya di masa depan. Yang salah itu, kalau Pipi memaksa Kakak dan membuatnya menjadi tanggung jawab besar yang harus Kakak jalani nantinya."


"Ada perbedaan antara berharap tentang mimpi dengan memaksa mimpi itu menjadi realita, Pi," tutup Jaemin.


"Pipi bingung, kenapa Pipi bisa berpikir seperti itu... padahal Pipi sudah meninggalkan mimpinya Pipi sejauh mungkin, karena sekarang mimpinya Pipi lebih keren dan lebih indah."


Jaemin menggusak surai Jeno lalu mencubit pipinya. "Siapa yang menyuruh Pipi meninggalkan mimpi itu, hm?"


"Maksud Mimi?"


"Pi, mimpi yang tidak berhasil menjadi realita itu bukan berarti kita harus meninggalkannya begitu saja. Tetapi jadikan mimpi itu sebagai kenangan indah yang bisa menghasilkan semangat bangkit ketika realita kembali memukul dengan nelangsa."


"Negeri mimpinya Pipi boleh menjadi salah satu pilihan Kakak saat mencari jalan di masa depan. Tidak ada yang melarang. Meski masa depan tidak ada yang tahu, apa salahnya kita merajut asa?"


Sampai di sini, Jaemin menjeda, tatapannya tertancap kepada sosok kedua putranya.


"Lagipula, sepertinya jalan ninjanya Lee Jisung tidak jauh seperti Pipinya," tutup Jaemin seraya terkekeh gemas.


Jeno ikut terkekeh. "Benar. Dia sangat senang dan bersemangat kalau di bidang olahraga dan pintar berhitung seperti Miminya."


Di sela keceriaan Jisung dan Haejin yang menikmati cemilan malamnya, ada kehangatan dari dekapan yang Jeno berikan kepada Jaeminnya.


Di balik kekecewaan, ada kelegaan tentang membuang segala hal negatif tentang realita masa depan.


Di tengah kecemasan, ada keyakinan tentang kebersamaan.


"Mi..." panggil Jeno setengan berbisik sambil menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Jaemin.


"Ya..."


"Terima kasih karena sudah mau menjadi mimpinya Pipi."


Jaemin tertegun sejenak lalu tersenyum manis dan sangat cantik.


"Pi..." panggilnya.


"Yaaa..."


"Terima kasih karena sudah menjadikan mimpinya Mimi menjadi nyata..."


"Eommayaaaa... kenapa Lee Jaemin sangat menggemaskan sih?!"


"Aw! Yaaaa!"


Hujan kecupan pun diterima Jaemin dan Cung dari Jeno setelahnya.


Di sela cerianya tawa, ada pikiran Jeno yang kembali berkelana pada kalimat Renjun tadi kepadanya.


"You're already someone's dream."


Iya, dia sekarang sudah menjadi mimpi seseorang.


Entah itu mimpi dari seorang Huang Renjun yang dulu sempat menginginkan cinta Jaeminnya.


Atau itu mimpi dari seorang Park Jihoon yang menginginkan mempunyai anak-anak menggemaskan sepertinya.


Tetapi Jeno yakin dan tahu pasti kalau dia adalah mimpi dari seorang Lee Jaemin dan vice versa.


Mimpi adalah buah dari keinginan hati. Jika tercipta, berbahagialah, dan jika teredam realita, jangan dijadikan penyesalan yang dibawa sampai mati.









📙









Haejina lagi jalan-jalan ke warung ❤









📙











[footnote]

Hi, hello 🤧
I'm so sorry for not updating for a long time.
I had some—not so cool—issue with my chronic anxiety, which made me went to hell and finally came back to Wonderland!

Semoga belum ada yang bosan menunggu, ya 🙏

Happy Sunday, my dearest Wonderers!
May your day will always full of joy and happiness.

Don't forget to always be happy and stay healthy.

Saranghamidey










📙









‌【Sun, 13, Feb 2022 20:27:39

Continue Reading

You'll Also Like

322K 39K 41
"Gue hamil." "Tapi lo cowok!" "Iya..tapi gue hamil, gara-gara lo nidurin gue 2 bulan lalu." Dua remaja abnormal terjebak dalam kecelakaan satu malam...
99.3K 9.4K 19
Akal sehatku menolak untuk lurus.. Padahal batinku sudah berteriak salah Di umurku yang masih tegolong muda.. Aku terjebak dalam perbuatan dosa yang...
34.3K 1.9K 30
[ᴛʀᴀɴꜱᴍɪɢʀᴀᴛɪᴏɴ] - [ᴍʏꜱᴛᴇʀʏ] - [ᴀᴅᴠᴇɴᴛᴜʀᴇ] Dia adalah Karamel, gadis yang tiba-tiba masuk ke dalam dunia novel. Bertemu dengan berbagai tokoh-tokoh s...
6.5K 790 4
Jaemin terpaksa pergi, dunia telah mengusirnya begitupun Jeno. Katanya tak ada maaf untuk kesalahan mereka, namun bukan berarti mereka tak pantas men...