Keputusan Joshua sudah bulat.
Dia berjalan keluar dari Kedai Sejahtera sembari menyampir ransel ke punggung. Tak ada ucapan selamat tinggal atau lambaian tangan. Orang-orang juga tidak berkenan melakukannya setelah pemuda blasteran itu mengecewakan satu kedai. Mereka hanya menyibukkan diri, dan menganggap Joshua tak kasat mata walau mereka dapat melihat dia hengkang sekalipun.
Namun, Dodit berbeda. Meski pemuda berkumis tipis itu baru mengenalinya dalam hitungan hari, dia tak rela bila harus berpamitan dengan Joshua untuk terakhir kalinya. Lantas Dodit menghampiri.
"Josh, kowe kalau begini, apa ora susah nanti cari kerjaan baru?"
Joshua menggeleng-geleng dengan senyuman yang terpatri.
"Nggak apa, Mas Dodit. Itu bisa ditangani. Bereslah pokoknya," jawab Joshua setenang mungkin. Karena dirinya memang mendapat pekerjaan baru yang dia inginkan.
Hingga dia teringat sesuatu, lalu merogoh saku celana.
"Mas Dodit, aku minta tolong ke Mas buat kasih ini ke Hendra. Aku nggak sempat bilang apa-apa ke dia. Kayaknya dia masih kesal."
Joshua sudah mempersiapkannya dari awal begitu selesai berbenah-benah barang. Dan hal yang mau disampaikan hanyalah permintaan maaf yang sedari tadi tertunda. Juga sebagai tanda perpisahan.
Dodit yang melihat uluran kertas terlipat itu mengambilnya.
"Aman pokoknya, Josh."
Seketika dia menarik tubuh Joshua lalu direngkuhnya. Joshua turut balas merengkuh. Mereka kemudian menepuk punggung satu sama lain.
Dodit mengurai pelukan lalu merogoh saku pada bagian atas kausnya dan meraih tangan Joshua, meletakkan lembaran lima puluh ribu kemudian langsung menutup rapat jemarinya.
"Nih, untuk kowe. Buat jaga-jaga di jalan nanti."
Begitu Dodit memberinya, dengan tidak enak Joshua menolak, "Eh ... nggak usah, Mas. Saya sudah ada uangnya kok."
Dodit tersenyum tulus, pertanda bahwa dirinya memang ikhlas.
"Yaa, ambil aja. Anggap ini buat uang ongkos kowe, Josh."
Lalu Dodit mendekat ke telinga Joshua. Membisikkan sesuatu.
Pemuda putih pucat itu menghela napas. Mengucapkan terima kasih yang entah ke berapa kalinya pada Dodit.
Lalu Joshua undur diri, dan melambaikan tangan ke arahnya.
Dodit sempat berteriak, "Semoga kowe beruntung, hati-hati di jalan yo, kancaku!"
Dan akhirnya, Joshua dapat meninggali tempat penampung kemalangan tersebut dengan tenang. Jauh dari hingar bingar para pelanggan yang membuas usai dia meninggalkan tempat. Pas sekali ketika kedai itu dibuka setelah maghrib.
Sekitar lima belas menit, menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Dia menemukan angkot yang berhenti tepat di pinggir jalan. Sang kenek angkot memanggil-manggil sesiapapun untuk masuk.
Joshua lantas segera berlari dan meloncat naik seraya menyebut arah tujuannya kemana pada sang sopir.
Angkot pun melesat ke jalanan raya.
Setelah memakan waktu cukup panjang, akhirnya angkot itu berhenti di tempat tujuan. Joshua turun, hendak membayar uang ongkos pada kenek, justru malangnya dia kena tarif lima puluh ribu. Bukan main minta ampun.
"Lah, kok mahal banget, Mas? Biasanya sekali naik juga bayar 3.500 per kilometer," ujar Joshua dengan separuh hati tak terima.
Waktu itu dia pernah naik angkot bersama Hendra dan tarif yang dikenakan hanya tujuh ribu untuk dua kilometer.
Kenapa jadi sampai segitu? Biarpun sang kenek angkot tampilannya hanya memakai singlet dan celana pendek. Justru tak membuat hati Joshua terenyuh apalagi sekedar berbelas kasihan. Begitupun sang sopir yang wajahnya agak (entah bagaimana menyebutnya), menyebalkan. Mengingatkan Joshua pada wajah Marzuki.
"Udah ngantarnya cuma satu orang, jauh pula tuh. Nggak tahu terima kasih. Belum lagi dia entah dari planet mana punya kulit seputih itu."
Sang sopir yang berada di depan kemudi, menyindir sambil memanyun-manyunkan bibir.
Joshua tertegun.
Tentu sindiran itu ditanggapi pula oleh sang kenek sambil menoleh Joshua dari bawah hingga atas.
"Betul, memang betul. Aku nggak pernah lihat orang punya kulit seputih ini di sini. Kebanyakan sawo matang. Ah penyakitan kali nih."
Joshua menunduk dalam. Suara dalam dirinya meraung-raung.
Keterlaluan. Mereka tidak menyadari bahwa topik itu sangatlah sensitif.
"Eh ... malah bengong. Dek! Ongkosnya bayar dong!" tagih sang sopir sambil mencondongkan tubuhnya ke arah jendela. Wajahnya tertekuk masam.
Joshua menyampirkan ransel yang melorot ke pundak. Merogoh saku celana, menyelipkan lembaran uang ke telapak tangan sang kenek angkot. Kemudian bergegas berbalik badan. Berjalan menjauh dari angkot melintasi ke sebuah gang sempit yang diapit dua tembok.
Sang kenek tampak tertawa renyah, menoleh ke arah sang sopir.
Ketika uang direkahkan, sang kenek lantas terdiam. Kemudian memperhatikan betul lembaran di tangannya di bawah pendaran lampu sorot jalanan.
Lalu berpaling ke sebuah gang gelap dan melihat punggung Joshua yang mulai menjauh.
"Woi! Dek! Kurang 40.000 nih! Dek! Dek!"
Sementara Joshua terkekeh ketika disahut dari belakang. Dia masih mengingat apa yang dibisikkan Dodit beberapa saat yang lalu.
Dodit mengatakan, banyak oknum nakal yang biasa menagih ongkos di atas biaya standar angkutan umum.
Sangat licik.
Jadi ada baiknya berjaga-jaga. Joshua bersyukur setidaknya mereka tidak sampai mengancam. Walaupun begitu dia ikhlas membayar mereka sepuluh ribu yang seharusnya itu tujuh ribu.
***
***
Begitu melintasi kompleks perumahan yang berderet-deret, dia sampai juga di sebuah rumah besar bernuansa tradisional klasik. Lampu penerangan di depan rumah menyala di antara kegelapan.
Dia lantas mengetuk pintu.
"Permisi. Pak Budi. Ini saya Joshua Evans," panggilnya.
Tak lama, seseorang membuka pintu.
Bukan pria renta itu yang muncul, melainkan seorang wanita paruh baya dengan stelan kebaya polos yang menunjukkan diri.
"Nak, Joshua ya? Ada apa malam-malam datang kemari?"
Pemuda itu tersenyum kikuk.
"Saya mau nginap beberapa hari di sini. Boleh, Nek?"
Mbok Susi menatap heran. Ada alasan apa sehingga pemuda di hadapannya datang tiba-tiba dan berniat menginap lagi.
Setelah Joshua menjelaskan secara singkat dan padat. Mbok Susi angguk-angguk saja.
Joshua mengedarkan pandangan ke pekarangan rumah, dia sama sekali tidak mendapati mobil pick up terparkir dimanapun.
Joshua bertanya, "Pak Budi, nggak ada di rumah ya, Nek?"
Mbok Susi mengangguk.
"Dia ada urusan sebentar di toko, nanti dia bakal pulang, Nak."
Lalu menuntun pemuda tersebut masuk lebih dulu. Meminta Joshua duduk di sebuah sofa, ruang tamu.
"Tunggu sebentar, Nak. Saya siapkan kamarnya dulu."
Joshua hanya tersenyum. Setelahnya Mbok Susi lekas meninggalkan tempat.
Pemuda itu beranjak, menuju meja di seberangnya dan menelisik satu demi satu figura foto hitam putih yang berjejer rapi. Sorot matanya mengarah pada salah satu figura, dua orang pria yang saling berangkulan, dan Joshua mengenali pria yang berada di sebelah Budiman tersebut.
Evans Chandra.
Ayah, aku pasti akan menemukanmu.
Joshua memandang presensi dalam figura itu lekat-lekat.
Hingga terdengar suara kenop pintu, tak jauh dari tempatnya berdiri.
Seseorang dari balik pintu menoleh ke arah Joshua. Membulatkan mata lantas mendekat.
"Eh, sejak kapan kamu di sini, Joshua?"
Yang disahut pun menoleh.
"Baru aja, Pak Budi."
Budiman terkekeh.
Kemudian mereka duduk sembari mengobrol.
Basa-basi. Bahas sana, bahas sini.
Joshua juga sudah menjelaskan pada Budiman niat dia datang lagi ke rumah. Dan menceritakan rentetan kejadian di tempat kerjanya sampai berakhir mengundurkan diri.
Budiman hanya menyimak dengan takzim. Tanpa ada komentar apapun. Dengan helaan napas panjang. Pria itu akhirnya membuka suara.
"Seharusnya saya memberitahumu dari awal."
Kening Joshua berkerut, tak mengerti.
"Saya berbohong waktu itu kalau saya nggak tahu alamat rumah baru ayahmu dan menghindari topik tentangnya. Malah kamu terpaksa bekerja untuk mendapat uang sampai niat mencari ayahmu jadi tertunda."
"Teman macam apa saya, bantu anak temannya aja nggak bisa," rutuk Budiman.
Joshua ternganga sesaat. Mulai mencerna perkataan pria itu barusan. Tak tahu harus mengapa dan bereaksi bagaimana.
Dia sangat menghormati orang tua. Tapi ada alasan dan saat-saat tertentu yang membuat Joshua bersikap ketus dan hilang rasa hormat kepada mereka.
Ketika Joshua melihat Budiman yang sontak membungkuk dan menampung wajah seolah-olah sangat menyesali perbuatannya dan mengaku dirinya tidak berguna. Joshua justru me-respect pria tersebut. Jarang ada orang tua seperti Budiman ini, kebanyakan dari mereka hanya ngotot dan merasa paling benar di dunia.
Budiman menegakkan badan setelah menghabiskan lima belas detik merutuki diri.
"Oke, Joshua. Besok saya akan coba ngantar kamu ke sana."
Sesaat kemudian Mbok Susi datang menghampiri mereka berdua seraya mengatakan bahwa kamar untuk Joshua sudah disiapkan.
Sekarang tinggal menunggu hari esok.
Lihat saja, apakah kepastian ini berbuah hasil atau justru masih sama seperti sebelumnya? Tentu saja Joshua terpaksa mencari jalan lain untuk memecahkan masalah tersebut dari berbagai petunjuk-petunjuk yang akan membawanya ke titik terang nanti.
Hlm 21 | Jendela Joshua