KELABU (Werewolf Story) [END]

By Elissechan

408K 69.2K 6.1K

Sejak kembali ke sekolah, kehadiran murid baru, Axel, selalu mengundang perhatian Mai. Gadis itu sering mempe... More

NOTE
Prolog
01. Murid Baru
02. Misterius
03. Aneh
04. Kejadian
05. Serigala (a)
06. Serigala (b)
07. Serigala (c)
08. Hukuman (a)
09. Hukuman (b)
10. Lagi Serius
11. Berita
12. Cemburu (a)
13. Kakak Lima Adik
14. Kelabu
15. Meleleh
16. Serigala Baperan (a)
17. Serigala Baperan (b)
18. November Art (a)
19. November Art (b)
20. Makin Parah
21. Keluarga Serigala
22. Si Anjing
23. HP (a)
24. HP (b)
25. Malam Hari (a)
26. Malam Hari (b)
28. Malam Hari (d)
29. Teror (a)
30. Teror (b)
31. Monster (a)
32. Monster (b)
33. Monster (c)
34. Purnama (a)
35. Purnama (b)
36. Purnama (c)
37. Purnama (d)
38. Pasangan (a)
Info dikit
39. Pasangan (b)
40. Pasangan (c)
Epilog
PROMOSI

27. Malam Hari (c)

5.4K 1.3K 86
By Elissechan

“Ini pakai sandalku.” Axel melepaskan sandal yang dia pakai. Dia menoleh ke berbagai arah, memastikan sebanyak apa serigala yang mendekati sekolah.

Mai memakai sandal Axel, lalu bertanya, “Kamu gimana?”

“Kamu aja yang pakai, nanti kakimu lecet kalau gak pakai sandal. Aku gak apa-apa.”

“Oke, jadi sekarang gimana? Kita pergi aja ke kantor polisi, ya?”

“Sekarang aku bisa nyium bau serigala dimana-mana, tapi tadi gak ada, gak ada baunya manusia lain juga.” Axel menyambar tangan Mai, lalu dia ajak berputar ke bagian belakang bangunan sekolah ini. “Ayo pergi dulu.”

“Kita mau kemana? Gerbangnya di depan!”

“Ada banyak serigala di depan gerbang depan,, bau mereka mendadak muncul. Kayaknya ada yang nyebar bau-bau aneh yang tadi sempat disebar di sekitar gedung olah raga. Hidungku jadi gak peka.”

“Mereka ngincar kita? Apa gunanya, coba?”

“Gak tahu, aku juga bukan pewaris Alfa, harusnya gak diincar juga.”

Saat sampai di pintu besi karatan pagar belakang, Axel tidak memperlambat kecepatan larinya. Malahan, dia semakin cepat, dan kemudian menendang pintu itu. Hanya sekali tendangan, engsel sudah terpisah dari tembok, sehingga pintu itu ambruk.

Telapak kaki telanjang Axel terlihat baik-baik saja, tidak ada goresan atau kemerahan. Dia seperti baru menendang papan plastik ketimbang pintu besi. Tetapi kulitnya jadi kotor oleh lumpur dan karat dari pintu tersebut.

“Terus ngapain kita malah ke belakang sekolah? Ini lahan swasta, mana banyak pohonnya udah kek hutan, gak ada lampu, Axel. Nanti ada setan lagi.”

“Gak apa-apa, setannya kan takut kamu.”

“Hmm.” Mai tidak tahu Axel ini sedang menyindir atau serius. Tetapi, dia tidak sanggup marah karena takut.

Axel mengajaknya lari lewat belakang sekolah. Hanya di area inilah tidak tercium aroma milik para serigala asing.

Perjalanan mereka lebih sulit sebab lahan milik swasta ini tidak terawat. Tanahnya lembab, berlumut, kabut tinggi, jika tidak berhati-hati bisa terpeleset karena sulit melihat.

Untuk sampai di jalanan lagi, mereka harus melintas sejauh sekitar lima ratus meter. Tempat ini rimbun dengan pepohonan liar, semak belukar berduri, dan parahnya saat malam begini, nyaris tidak terlihat apapun. Rasanya seperti berada di tengah kuburan.

“Gelap banget,” gumam Mai yang beberapa kali akan terjungkal karena akar pohon yang menyeruak keluar dari tanah.

Beruntung, Axel terus memegangi tangannya. Dia memandangi Mai dengan pupil matanya yang sudah berbentuk garis vertikal ala predator. “Hati-hati dong, kamu ini nyusahin banget.”

“Iya. Iya.” Mai menatap seluruh batang pohon yang dia lewati dan sesekali mendongak ke langit, terlihat banyak ranting-ranting besar yang menyerupai tangan penyihir.

“Kadang aku gak nyangka kalau kawasan ini ada di planet Bekasi, terlalu hijau gak, sih?” katanya lagi.

Axel, dengan santainya, bilang, “ini masih planet Bekasi, kok, udaranya aja panas banget. Kayaknya kota kamu ini emang dikutuk, Mai. Panas banget.”

“Panas?” ulang Mai tidak percaya. “Dini hari loh ini, kamu bilang panas? Kepalamu itu yang panas, Jangan salahin kotanya.”

Giginya sempat gemetar karena memang suhu udara terlalu ekstrim untuknya yang hanya mengenakan baju tidur tipis.

“Gini aja kedinginan, dasar lemah.”

“Awas kamu nanti, aku siram pakai balok es.”

Axel berhenti lari, dan melepaskan tangan Mai. Dia menatap gadis itu. “Bentar.”

Mai bingung karena mendadak berhenti di tengah jalan begini, lebih parahnya di antara pepohonan besar dan kegelapan total. “Apa? Mau ngatain aku lagi?”

Tanpa permisi, Axel membuka kancing bajunya. Kalau menyangkut keselamatan Mai, dia tidak akan merasa malu.

“Ngapain kamu?” Mai mundur selangkah. Dadanya berdebar karena tiba-tiba Axel membuka baju di tengah pepohonan begini.

“Ini.” Axel menyerahkan kemejanya pada Mai. Dia tampak biasa saja dan percaya diri sekalipun tidak ada sehelai benang yang menutupi tubuh bagian atasnya.

“Maksudnya?”

“Kamu bilang kedinginan, itu pakai aja. Emang bukan jaket, tapi kalo dobel pasti lebih hangat 'kan?”

Mai malu sendiri. Ia tidak menyangka ucapan Axel terdengar pedas sepanjang waktu, tetapi ternyata laki-laki itu sangat perhatian.

Axel melihat Mai yang mengenakan bajunya dengan ekspresi wajah sumringah. “Ngapain kamu malah senyum-senyum?”

“Gak apa-apa. Kamu yakin gak kedinginan telanjang dada gini?”

“Gak sama sekali. Aku terbiasa telanjang.”

“Heh?”

Axel mendadak malu. Dia buru-buru menjelaskan, “maksudnya telanjang atas aja.”

Mai malu sampai isi kepala terasa menguap. Bibirnya terkatup rapat. Situasi ini jauh lebih menegangkan ketimbang dikejar serigala tadi.

Pandangannya tak bisa lepas dari kulit dada Axel yang memiliki warna bagaikan susu, jauh lebih bening ketimbang kulit leher dan pundak yang seperti tersiram karamel.

Bentuk tubuh Axel memang bagus, lebih menarik daripada para kakak kelas populer yang sengaja pamer otot dada dan perut saat lomba renang.

Pinggang kencang, jauh dari kata lemak. Tidak ada lemak sama sekali, hanya ada otot.

“Kami mikir apa?” Axel memberikan tatapan selidik setelah tahu Mai memperhatikannya dari kepala sampai perut.

Mai berdusta dengan berkata “mikir ... eh, baju kamu bikin aku jadi hangat. Makasih.”

Belum sempat membalas ucapan itu, tiba-tiba Axel mendengar ada suara ranting yang terinjak. Ini hanya bisa terdengar oleh telinganya. Dia sontak meraih pergelangan tangan Mai lagi, lalu mengajaknya pergi.

“Ayo lari lagi,” bisiknya.

“Ngapain kamu bisik -bisik?” Mai sempat menoleh ke belakang, tapi tak melihat apapun. Dadanya berdebar lebih kencang. “Kita dikejar lagi?”

Baju tidur Axel tampak kedodoran saat dikenakan oleh gadis itu. Alhasil saat berlari, kainnya berkibar-kibar.

Tap. Tap. Tap.

Tap. Tap. Tap.

Suara langkah kaki itu terdengar banyak sekali, tapi sayangnya memang hanya Axel yang sanggup mendengarnya.

”Kita dikejar,“ ucap Axel lirih, ”tapi gak apa - apa.“

Setelah beberapa ratus meter kemudian, mereka berhasil mencapai pagar tembok pembatas lahan. Tingginya hampir tiga meter, normalnya mustahil orang bisa menaikinya tanpa ada bantuan.

Tap. Tap. Tap.

Barulah kali ini suara langkah kaki itu terdengar samar-samar oleh Mai. Itu membuktikan kalau mereka memang sudah sangat dekat.

“Suara apa itu?” bisik Mai menoleh ke belakang mereka. Gelap sekali, tidak ada yang bisa dia lihat, kecuali pepohonan terdekat.

Tak diduga, saat memperhatikan sekitar, dia melihat ada seseorang yang tergeletak di bawah salah satu pohon dengan posisi tengkurap. Baju yang dipakai oleh orang itu berwarna kecoklatan dengan berbagai badge lengkap seperti milik seorang polisi.

Sebenarnya pria itu adalah orang yang sama dengan penyerang Akar siang hari itu. Tubuhnya sengaja digeletakkan di tepi pagar agar gampang ditemukan. Semua itu sengaja dilakukan sebagai bentuk ancaman kepada instansi kepolisian.

Mai merasa kalau hanya berhalusinasi, jadi dia menghiraukannya, lalu berpaling lagi ke Axel yang ternyata nekad tembok tebal itu. Butuh beberapa hingga akhirnya retak dan hancur.

“Hei, kamu ngapain?” Dia terbelalak melihat ulah Axel yang keterlaluan. Mulutnya melongo karena sebagian tembok bata itu sudah lebur jadi debu.

“Gak ada CCTV 'kan? Jadi aman.” Axel selalu ingat kata ayahnya. Merusak boleh dilakukan kalau darurat asal tidak ada kamera pengawas.

Mai memijat keningnya. Semuanya terlihat begitu kacau sekarang. “Kayaknya emang benar kata orang, kita gak boleh keluyuran tengah malam, aku jadi halusinasi, bahkan ada bapak polisi tidur disana.”

Axel menoleh ke arah ke belakang, lalu ke arah mayat yang dilihat oleh Mai. Dia kelihatan tidak kaget sama sekali seakan sudah tahu dari tadi ada bau mayat. “Kamu gak halusinasi, kok, itu mayat bapak-bapak.”

“Ma— yat?” Napas Mai tersentak.

“Iya.”

Beberapa detik kemudian, kepala Mai terasa berputar dan matanya berkunang-kunang, sebelum akhirnya jatuh pingsan. Hanya butuh waktu sesingkat itu untuk membuatkannya tak sadarkan diri.

Tap. Tap. Tap.

Tap. Tap. Tap.

Di balik gelapnya pepohonan, banyak sekali langkah kaki yang terdengar, sebagian seperti suara ranting terinjak.

Axel menggendong Mai, lalu dibawanya lari dari tempat itu. Sepanjang perjalanan menuju ke kantor polisi terdekat, dia mengomel sendiri.

***

NOTE.

Happy 100k reads untuk cerita ini 🎉

Makasih untuk dukungannya ya, dan yang sudah like & komen, thanks 👌

Mulai sekarang, update seperti biasa, 3 hari sekali.

Btw, kalau ada yang ngirim pesan/dll yang belum aku balas, jangan negthink ya 😂, aku buka WP biasanya langsung buat update doang, belum sempat lihat-lihat 👌

Continue Reading

You'll Also Like

99.5K 7.9K 44
Kakak Kelasku Akan Mati | Ambrose Death Call Gianna bisa mendengar lonceng kematian. Mungkin kau akan kebingungan apa itu. Namun singkatnya, loncen...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

933K 52.2K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
259K 9K 31
Stefano Anggara adalah seorang guru BK yang terkenal dengan ketampanan nya dan juga paras nya yang indah Sayang nya dia gay, dia bahkan sudah memili...
5.6M 377K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...