Starlit Night - [nomin]

By dazzlingyu

34.8K 3.2K 447

Sepenggal kisah tentang Lee Jeno dan dunianya, Na Jaemin. [nomin short story collection] dazzlingyu, 2020. f... More

1. sembilan belas
1.1. sembilan belas
1.2. sembilan belas
1.3. epilog
2. light my cigarette
2.1. always taste like you
2.2. hoping things would change
3. kamu yang paling bisa
4. my muffin, my pumpkin, na jaemin<3
5. roommate
6. pacaran by accident
7. overprotektif
8. classmate
8.1. soulmate
9. the broken leg and those lingering feelings
9.1. all i can do is say that these arms were made for holding you
9.2. i've loved you since we were 18, long before we both thought the same thing
10. si manis na jaemin
11. into your skin
12. merry kissmas
13. last chance
13.2. epilog
14. movies
15. nala
16. benefits
16.1. i like u
17. green eyes with malibu indigo

13.1. final chance

651 79 4
By dazzlingyu

"Jeno, aku turun sini aja."

"Disini?"

Jeno menatap Jaemin yang tengah melepaskan helm bergantian dengan halte bus di belakangnya.

"Mau lanjut naik bus? Rumah lo masih jauh, gue anter aja, udah malem."

"E-eh, nggak. Ini deket sama tempat kerja Bunda."

"Mau pulang bareng Bunda?"

Jaemin tersenyum seraya mengangguk, lalu merogoh saku celananya dan menyodorkan tangannya dengan posisi menggenggam.

"Tangan Jeno mana?"

"Ng?" Jeno pun menyodorkan tangannya, yang lalu diletakkan sebuah gelang hitam di telapaknya oleh Jaemin.

"Buat Jeno, kenang-kenangan." Jaemin nyengir sembari menarik sedikit lengan jaket hijau tuanya, menunjukkan gelang yang sama seperti yang ada di telapak tangan Jeno.

Pemuda Lee itu nampak memperhatikan benda yang disadarinya dibuat dari tali sepatu di tangannya itu, menimang-nimang sebelum atensinya terpecah oleh suara Jaemin

"K-kalo Jeno gak mau, b-boleh dibalikin!" Jaemin menunduk malu sembari menengadahkan tangannya kembali.

"Makasih."

Jaemin mendongak bingung karena Jeno malah langsung memakai gelang pemberiannya sebelum kembali menyalakan motornya.

"Gue anggap sebagai hadiah terakhir dari lo. Salam buat Bunda, ya."

Dapat Jaemin lihat mata Jeno tersenyum dari celah helm full face yang dikenakannya. Menyadarinya, pemuda itu pun sontak balas tersenyum dan mengangguk semangat.

"Hati-hati, Jen."

Jeno balas melambaikan tangan pada Jaemin sebelum motornya melaju meninggalkan halte tempat Jaemin berada. Setelah memastikan punggung Jeno telah menghilang di ujung jalan, Jaemin beranjak menuju ke arah yang berlawanan dengan arah pulang, menyebrangi jalan dan lanjut melangkah menuju sebuah rumah sakit di seberang.

Ketika memasuki lobi, Jaemin bertemu dengan suster yang biasa merawatnya lantas wanita paruh baya tersebut berdiri ketika melihatnya dan segera memeluknya.

"Sudah jalan-jalannya, Nak?"

"Sudah, Bu. Makasih ya udah izinin Nana pergi keluar sebentar," ia tersenyum kecil seraya membalas pelukan suster. "Dokter Jung udah pulang?"

"Masih di ruang kerjanya, Nak. Kamu tau sendiri, beliau gak akan pulang sebelum pasien kesayangannya tidur pules."

"Dasar, Dokter Jung emang sukanya kerja lembur ya? Padahal aku baik-baik aja sama Dokter Seo. Udah makan belum dia?"

"Tadi saya lihat beliau pesan antar sekitar satu jam lalu. Pastinya udah makan."

"Oke deh, Bu. Nana naik ya ke kamar. Kalau Bunda datang, tolong bilang Nana ada di kamar. Oh iya, sama Nana minta kertas dan pinjam pulpen, Bu."

"Nanti Ibu antar, Nana naik aja dulu ke kamar."

Setelah berbincang ringan dengan Suster Kim barusan, Jaemin pun menaiki lift menuju kamarnya yang berada di lantai lima. Setelah sampai, ia langsung membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah sakit. Tak lama, seorang lelaki jangkung mengetuk pintu kamarnya dan memberi salam.

Jaemin mengizinkan lelaki yang adalah Dokter Jung tersebut untuk masuk, memasang senyum terbaiknya lantas menyapa dengan sopan.

"Dokter kok belum pulang?"

"Belum kalau kamu belum tidur pules malam ini." Dokter yang baru berusia tiga puluh tahun itu tersenyum seraya melangkah mendekati kasur Jaemin untuk memasang infus.

"Jangan memaksakan diri terus. Dokter juga butuh istirahat."

"Saya masih mau berusaha, Jaemin." Dokter Jung menjawab dengan senyuman, namun nada bicaranya terdengar tegas dan yakin, buat Jaemin menghela napas seraya merebahkan diri, membiarkan tangannya yang dipenuhi luka bekas suntik itu dimasuki jarum sekali lagi.

"Dokter, waktu saya udah gak banyak. Dari waktu prediksi, sisa satu minggu lagi. Gak ada gunanya lagi untuk memperjuangkan nyawa saya yang cuma sebatas pasien bagi Dokter Jung. Terima kasih untuk semuanya, Dok. Saya menghargai semua usaha Dokter, tapi kita sama sekali gak bisa melawan kehendak Tuhan, 'kan?"

Jung Jaehyun—nama dokter yang menangani Jaemin—sontak terdiam setelah menutup area insersi di punggung tangan Jaemin. Dengan mata teduh, ia tatap pasien yang telah dirawatnya sejak setahun yang lalu itu lantas menarik kursi untuk duduk di samping ranjang Jaemin.

"Justru karena kamu pasien saya, Jaemin. Saya adalah seorang dokter, sudah seharusnya saya menyelamatkan nyawa sesama. Bertahan sebentar lagi ya, Jaemin? Bertahan sebentar lagi, saya akan berjuang terus buat kamu, ya Jaemin? Perjalanan kamu masih panjang. Tolong, bertahan buat Bunda. Ya?"

Jaemin memejamkan mata menahan isinya agar tidak tumpah, namun sudah terlalu banyak yang perlu ia bendung sehingga air mata pun akhirnya mengalir dari sudut mata beningnya. Tak lama pintu kamar Jaemin terbuka, menampakkan Bunda dengan wajah lelahnya. Jaemin pun buru-buru mengusap wajahnya seraya memasang senyum untuk Bunda.

"Malam, Dokter Jung. Lembur lagi karena Jaemin?"

Dokter Jung hanya tersenyum tipis seraya menyalami Bunda, memberikan kursinya untuk Bunda duduk meluruskan kaki.

"Bunda bawa sesuatu buat Nana." Bunda tersenyum seraya mengeluarkan sesuatu dari tas yang ditentengnya sebelumnya; fotonya dan Jeno siang tadi di dalam studio, yang sudah dibingkai dengan rapi oleh Bunda.

Bunda pasti menerima email dari Jeno siang tadi dan langsung berinisiatif untuk mencetaknya karena Bunda tahu betapa anak semata wayangnya itu menyukai pemuda bermarga Lee tersebut. Jaemin tersenyum menerima hadiah dari Bunda, meminta tolong agar figura tersebut dipajang di atas nakas samping kasur setelah berterima kasih banyak-banyak.

"Aku pengen pulang." Jaemin bergumam pelan ketika Bunda tengah meletakkan beberapa kotak berisi menu makan malam untuk beliau konsumsi nanti. "Mau pulang, Bunda. Mau makan masakan Bunda lagi, mau masak buat Jeno lagi."

"Iya, Jaemin. Saya pastikan besok kamu bisa pulang dan gak perlu kembali kesini di hari Jumat seperti biasa." Dokter Jung menyahut menjawab, beranjak ke sisi lain kasur Jaemin seraya menggenggam tangannya.

"Dokter janji?" Jaemin menatap Dokter Jung dengan mata teduhnya, yang dibalas dengan anggukan yakin dari dokter tersebut.

"Janji."

Jaemin pun tersenyum sebelum matanya perlahan tertutup dan napasnya berubah teratur. Efek obat nampaknya telah bekerja, membuat Jaemin dapat tidur dengan tenang malam ini.

"Selamat tidur, Jaemin." Dokter Jung menaikkan selimut hingga dagu Jaemin, mengusap kepalanya lembut sebelum meninggalkan ruang rawat setelah berpamitan pada Bunda.

Saya janji, Jaemin.

Di Selasa siang yang panas, Jeno melihat Jaemin tengah duduk sendirian di pojok kantin, mengaduk-aduk isi kotak bekalnya dengan tidak minat namun tetap menyuapkan isinya ke dalam mulutnya, mengunyah malas-malasan.

Kemarin, Jaemin izin tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Mendengarnya dari sekertaris kelas, entah mengapa Jeno merasa sedikit khawatir dengan anak itu namun memilih untuk tetap cuek lantaran di sisi lain ia merasa senang karena tak akan ada sosok penganggu lagi di hidupnya. Ia harus menikmati masa akhir sekolah menengahnya dengan perasaan bahagia, bukan kesal yang ditimbulkan oleh pemuda culun yang selalu terlihat murung tersebut.

Ia terus memperhatikan Jaemin makan dari meja seberang hingga pemuda tersebut nampak mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jaketnya. Kotak tersebut transparan dan Jeno dapat melihat isinya dengan jelas, yaitu kapsul obat berbagai warna dan bentuk.

Dia sakit apa? Kenapa obatnya banyak banget?

Ia terus memperhatikan Jaemin yang tengah menatap isi kotak tersebut sebelum nampak bingung ketika menyadari tidak ada air minum yang bisa ia gunakan untuk mengonsumsi obat.

Bertepatan dengan hendak beranjaknya Jaemin ke kios kantin untuk membeli air mineral, Jeno sudah keburu meletakkan nampan makannya ke meja di hadapan Jaemin, buat Mark dan Hyunjin di meja seberang melongo tidak percaya.

"Sakit apa sampai kemaren gak masuk?" Jeno bertanya basa-basi sembari membukakan botol air mineral untuk Jaemin minum.

"Sakit demam biasa," Jaemin tersenyum seraya berterima kasih ketika Jeno menyodorkan botol air kepada Jaemin. "Makasih ya."

Sembari menunggu Jaemin meminum satu per satu obatnya, Jeno memakan bakso pesanannya sambil sesekali memperhatikan wajah Jaemin yang nampak merengut tak suka.

"Lo beneran berhenti?"

Jaemin sontak menaikkan alis sebelum meneguk air untuk meminum obatnya yang ketiga. "Aku udah janji 'kan?"

"Ya..." Jeno nampak sedikit tersipu malu ketika Jaemin tersenyum mengejek padanya. "Gue boleh tau gak alasan kenapa lo suka sama gue?"

"Kejadiannya dua tahun lalu sih, waktu kita kelas sepuluh." Jaemin memulai ceritanya setelah menelan habis enam kapsul obat yang ada di dalam kotak. Jeno sedikit curiga, kalau demam biasa bukannya cukup minum paracetamol?

"Jeno inget pernah selamatin orang yang dompetnya dibawa kabur di halte depan sekolah?"

Jeno nampak mengingat-ingat sebelum mengangguk, matanya membulat menatap Jaemin sembari menunjuk wajahnya, "Itu lo?!"

"Iya, itu aku," Jaemin tertawa seraya melipat tangannya di atas meja. "Berkat kamu, aku bisa beliin hadiah ulang tahun untuk Bunda. Uang itu aku kumpulin dengan susah payah, pasti bakal nangis kejer aku kalo uang itu dicopet. Tapi berkat kamu, Bunda luar biasa senang hari itu. Sejak hari itu, aku anggap kamu sebagai pahlawanku. Makasih ya, Jeno. Aku belum sempet ngucapin terima kasih atas kejadian hari itu karena kita gak pernah sekelas sebelumnya. Waktu kesempatan itu datang, aku malah buat kamu risih dengan kelakuanku yang mengganggu kamu, sampe satu kelas gak suka sama aku, haha."

Jeno otomatis mengepalkan tangannya di atas meja. Padahal, efek negatif yang diberikannya pada Jaemin begitu banyak, tetapi mengapa pemuda di hadapannya ini masih saja menyukainya?

"Gue minta maaf," Jeno berucap dengan dada yang mulai berdegup gugup. "Gue seharusnya menghargai semua pemberian lo. Maaf gue nyia-nyiain semua usaha lo, Jaemin. Maaf selalu buang kotak bekal lo. Maaf selalu balas sapaan lo dengan ketus. Gue minta maaf."

"E-eh jangan begitu," Jaemin menggeleng pelan. "Mungkin masakanku aja yang belum seenak masakan Bunda. Lain kali aku bakal belajar lagi."

Jeno menatap Jaemin yang masih saja memasang senyum sebelum menunduk menatap mangkok baksonya. "Gue pengen coba masakan lo..."

Jaemin di hadapannya hanya tersenyum tipis sebelum tertawa pelan melihat Jeno, "Makasih ya Jeno udah pakai barang pemberianku," Jaemin menunjuk gelang di pergelangan tangan kiri Jeno. "Makasih udah bantu aku menuhin keinginanku yang ngerepotin kamu kemarin. Aku senang banget."

"G-gue juga seneng!" Jeno mendadak perlu menyatakan perasaan yang ia rasakan tiga hari lalu. "Makasih udah suka gue, Jaemin." Tambahnya sembari menggumam malu-malu.

"Haha, baksonya pedas ya?"

"H-hah?" Jeno menatap bakso di mangkoknya yang kuahnya sama sekali tidak berwarna merah.

"Itu, muka Jeno merah banget," Jaemin menunjuk wajah Jeno. "Hehe, Jeno malu ya?"

"G-gak! Lagi panas aja cuacanya!"

"Eh, iya sih. Pertengahan bulan Agustus gini pasti panas."

"Ya bener, panas banget sampe gue keringetan." Jeno kembali memberi alasan atas wajahnya yang memerah sembari melonggarkan dasi yang dipakainya sebelum menyadari Jaemin memakai pakaian rapat hari ini.

Sebetulnya, Jaemin selalu nampak memakai jaket setiap hari, entah cuaca sedang panas atapun hujan. Awalnya Jeno tidak memperhatikan, tapi sekarang kalau dilihat-lihat aneh juga. Untuk apa memakai jaket di hari yang panas ini?

"Lo gak panas pakai jaket begitu?"

"Kan kemarin habis sakit, Jen. Sama Bunda disuruh pakai jaket dulu."

Oh iya, pikir Jeno. Benar juga, Jaemin habis sakit.

"Bibir lo pucet bener. Sakitnya demam biasa atau ada radang juga?"

"Radang sedikit sih kata dokter, makanya pucet sama kering bibirnya, hehe."

Setelah menjawab demikian, kepala Jaemin mendadak pening. Jeno di hadapannya seolah berputar dan pandangannya mulai berkunang-kunang. Jaemin mulai kehilangan fokus ketika mendengar Jeno memanggil namanya beberapa kali.

"Ah, aku ke kelas duluan ya, pengen tiduran sebentar."

"Mau dianter gak?" Tawar Jeno ketika dilihatnya Jaemin bangkit dari kursinya dengan susah payah.

"Gak usah, Jeno makan aja. Aku duluan ya."

Jeno menjawab dengan anggukan dan kemudian Jaemin pun berjalan terburu meninggalkan kantin. Mata Jeno terus mengekorinya hingga pemuda itu menghilang di balik pintu masuk.

Dua puluh menit setelah Jaemin kembali ke kelas duluan, bel tanda masuk berbunyi. Para mahasiswa berduyun-duyun beranjak dari kantin untuk masuk ke kelas masing-masing. Mark dan Hyunjin menatapi sahabat mereka yang berjalan dua langkah di depan, saling berpandangan bingung dan melempar isyarat mata.

Ketika sampai di lantai dua, Jeno buru-buru masuk dan memandang kursi di barisan pojok paling belakang, mengernyit heran ketika melihat tempat tersebut kini tak berpenghuni.

"Denger-denger si Cupu pingsan di koridor lantai dua tadi, lo liat gak?"

"Liat, anjir. Terus tadi gue liat ada om-om ganteng masuk kelas untuk ambil tas dan barang-barang si Cupu. Itu siapanya dah?"

"Bapaknya? Gak mungkin semuda itu coy."

"Kakaknya kali?"

"Kakaknya ganteng juga dah. Tau gitu gue baik-baikin si Cupu buat deketin kakaknya, hahaha."

"Kakaknya udah tua kali, kelihatan kayak umur dua puluhan gitu."

"Ah beda sepuluh tahun pun gak masalah!"

"Eh, tapi kayaknya si Cupu dari keluarga kaya, deh? Lo liat gak tadi kakaknya kesini masih pake name tag? Itu name tag ada logo rumah sakit yang seberang halte Jalan Raya Sahari itu."

"Dokter?"

"Tadi Jia katanya gak sengaja lirik name tagnya. Ada gelar Doktornya."

"Gila gila! Si Cupu jangan-jangan dari keluarga berada?!"

Mendengar beberapa anak perempuan sekelasnya berceloteh mengenai Na Jaemin, Jeno sontak menatap Mark dan Hyunjin dengan wajah khawatir yang jelas terpampang, buat dua orang tersebut balas menatap Jeno tak kalah heran.

"Jaemin... bakal baik-baik aja 'kan?" Jeno bergumam gugup, total buat dua sahabatnya menatapnya tambah heran. "Dia cuma pingsan karena demam, 'kan?"

"I-iya, Jen. Semoga Jaemin baik-baik aja," Hyunjin mengangguk setuju sebelum menyenggol lengan Mark dengan sikunya. "Ya 'kan, Mark?"

"Iya, mungkin Jaemin sedikit pusing karena cuaca hari ini panas. Semoga besok Jaemin udah bisa masuk sekolah lagi." Mark menambahkan, berusaha membuat Jeno setidaknya merasa sedikit lebih tenang.

Mendengarnya, Jeno mengangguk setuju meskipun rasa khawatirnya masih membumbung tinggi. Rumah sakit di Jalan Sahari? Seingatnya, rumah sakit tersebut berada persis di seberang halte tempatnya menurunkan Jaemin tiga hari lalu setelah kencan mereka.

Lalu... dokter? Ke sekolah? Apakah Jaemin pasien rawat rutin disana sehingga mendapatkan penanganan khusus?

Lo bakal tau kalau lo kesana sendiri, Jen. Batinnya dalam hati.

"Err... Mark?"

Mark yang kebetulan adalah teman sebangku Jeno langsung menyahut dengan dehuman.

"Kalo jenguk orang sakit, biasanya bawa buah tangan apa?"

Dengan gugup, Jeno menatap kantong plastik berisi apel yang ditenteng di tangan kirinya. Begitu lift berdenting terbuka, Jeno melangkah keluar dan menyusuri koridor lantai lima untuk mencari kamar Jaemin.

Ditengah pencarian kamar, ada suara lumayan berisik dari salah satu kamar yang berada di pojok koridor dekat pintu menuju tangga darurat. Begitu menotis nomor kamarnya sesuai dengan nomor kamar yang diberitahukan resepsionis di lantai dasar, Jeno mengetuk pintu yang ternyata tidak tertutup dengan rapat.

Ia mendorongnya sedikit bermaksud memberi salam, namun pemandangan di dalam kamar buat Jeno benar-benar mematung di tempat.

Plastik berisi apel di tangan Jeno jatuh menimpa lantai dan menyebabkan suara yang merebut atensi semua orang ketika Jeno melihat seorang dokter tengah menutup wajah pucat Jaemin dengan kain putih. Atensi semua orang teralih pada Jeno yang tengah berdiri kaku di ambang pintu yang sudah terbuka setengah. Ada dua orang suster di dalam ruangan, seorang wanita paruh baya yang Jeno tebak sebagai Bunda, dan seorang dokter tampan yang matanya nampak sembab dan wajahnya menunjukkan rasa frustasi yang jelas.

"Jeno?"

Pemuda Lee itu menatap Bunda dengan bingung karena wanita itu mengenal namanya. Mereka saling bertatapan sebelum suara sang dokter memecah atmosfer menyesakkan di antara mereka.

"Pasien Na Jaemin, usia 17 tahun. Telah meninggal dunia pada hari Selasa, tanggal 15 Agustus tahun 20xx pukul 15.49 akibat serangan jantung yang disebabkan oleh kelainan arteri koroner. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan kami panjatkan doa sebanyak-banyaknya bagi almarhum."

Situasi mendadak sunyi senyap ketika semua orang menunduk untuk berdoa. Tangan Jeno saling bertaut di depan dada dengan gemetar. Di hadapannya terlihat jelas tubuh Jaemin yang berada di atas ranjang. Namun kini tubuh itu telah terbujur kaku, menyisakan fisik tanpa ruh berhati malaikat yang beberapa jam lalu masih dapat Jeno rekam jelas parasnya dalam kepalanya.

"Nak?" Bunda beranjak menghampiri Jeno yang kini telah memasuki ruang rawat sembari berpegangan pada dinding.

Kaki Jeno gemetar luar biasa. Matanya langsung berkaca-kaca ketika salah satu suster melepaskan infus dari punggung tangan Jaemin dan dapat Jeno lihat betapa banyaknya luka bekas suntik di lengan kurus tersebut.

Setelah semua peralatan kesehatan disingkirkan dari tubuh Jaemin, air mata Jeno tumpah tak dapat dibendung. Bunda mengulurkan tangan untuk memeluk Jeno yang terus mengucap kata maaf berkali-kali. Jeno ingin berteriak, Jeno ingin memerintah Jaemin agar dirinya kembali membuka mata. Namun Jeno sadar, Jaemin kini sudah tak bernyawa dan mustahil untuk kembali membuka mata.

"Nyonya Na, dipersilakan untuk melihat pasien untuk yang terakhir kali."

Bunda melepaskan pelukannya pada Jeno lantas menatap wajahnya. Jeno sontak menggelengkan kepala dan beranjak pergi begitu saja melewati pintu. Suara tangisnya terus terdengar hingga kemudian langkah kakinya perlahan semakin terdengar sayup.

Tubuh Jeno merosot ketika memasuki lift, kakinya bahkan tak mampu menopang tubuhnya yang begitu lemas. Jaemin kini telah pergi, kejadiannya tepat di depan matanya. Padahal, sepuluh menit sebelum waktu kematian, ia sedang mondar-mandir di depan lift di lobi utama, bergelut dengan pikirannya sendiri apakah ia harus menjenguk Jaemin atau cukup menitipkan apel yang dibelinya pada salah satu suster disana.

Begitu lift berdenting terbuka di lantai dasar, Jeno mendorong dirinya sendiri untuk bangkit berdiri. Kakinya melangkah lesu menuju taman rumah sakit. Ia kemudian mendudukkan diri di kursi panjang di bawah pohon besar. Wajahnya didongakkan menatap langit yang cerah sore itu. Air mata terus bercucuran, telapak tangan ia letakkan di atas dadanya yang terus menerus berdenyut sakit.

Ketika Jeno perlahan telah membuka hati, mengapa Jaemin memilih pergi?

Continue Reading

You'll Also Like

6K 716 8
Berisikan tentang lika-liku rumah tangga Jeno-Jaemin. bxb!nomin;jenojaemin! mpreg! bahasa gabungan baku dan non-baku marriage life start: 04-02-24...
6.2K 268 40
assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh semua welcome everyone selamat pagi,siang,sore,malam baca sampe tamat ya, di cerita ini gk ada bawang n...
97.2K 12.1K 50
【COMPLETED】 ❝ᴋᴀᴋᴀᴋ, ʙᴇsᴏᴋ ɢᴇᴅᴇ ᴍᴀᴜ ᴊᴀᴅɪ ᴀᴘᴀ?❞ ╔═════▣ ⚠️️ ▣═════╗ 🇨​🇦​🇺​🇹​🇮​🇴​🇳​🇸 ╚═════▣ ⚠️️ ▣═════╝ ⚠️ ᴛʜ...
21.4K 2.3K 37
┈┈ Jenandra, seorang paranormal yang menyembuhkan setiap pasien yang berurusan dengan hal supranatural. Namun kali ini dia dihadapkan dengan pasien y...