BARA [END]

By AlinaAliya13

2.7K 192 27

Setiap kita adalah penyemai luka, Setiap kita adalah pemuai salah. Tetapi setiap kita adalah penawar dari s... More

Prolog
Luka Pertama
Dewasa
Harapan
Bumi dan Bulan
Rasi
Cinta Pertama
Luka Yang Bermuara
Seutas Angan
Jika Bahagia Itu Sederhana
Rahasia yang mulai mencuat-I
Rahasia yang mulai mencuat-II
Pelampiasan
Cinta dan Benci
Sebuah Seni
Desir Sukma
Baik atau Pelik
Perencana
Kegagalan
Numpang Lewat!!!
Bahagia?
Alasan Mencintai
Rahasia (?)
Lara
Bias yang jelas
Penyelesaian
Penyelesaian-II
Usai
Epilog
BARA

Sebuah Penjelas

107 6 1
By AlinaAliya13

POV NAIRA

Aku kembali membaca naskah kiriman Bumimu, pada malam yang sunyi aku duduk dibangku kerja kamarku, membuka halaman word yang belum aku tamatkan. Aku mulai membaca kelanjutan ceritanya.

Hei,ini untukmu. Sebuah penjelasan yang selama ini kamu cari, bacalah baik-baik. Engkau gadis cantik yang kerap dipanggil peri oleh ayahmu 'kan? Bacalah paragraf ini dengan hati-hati ya. Sebab, mungkin emosimu akan meluap, dan mungkin wajahmu ingin segera kamu dekapkan pada bantal untuk menahan riuh tangismu, sebelum itu terjadi, aku meminta maaf dahulu kepadamu.

Pada lembar sebelumnya, aku telah memberitahumu bahwa ayah telah meninggal dunia,ia meninggal karena sebuah kecelakaan. Namun sebelum itu, kamu harus tahu-ia pergi untuk menemuimu, aku tidak tahu apa yang ingin ayah sampaikan,namun aku yakin-ia pergi sebab sangat mencintaimu.

Aku semakin penasaran, dan aku menerka-mungkinkah naskah ini adalah real life? Sejauh yang kutangkap, naskah ini berisikan sebuah rahasia yang ingin diungkapkan oleh anak yang diadopsi dengan tokoh bernamakan 'ayah'. Namun apakah mungkin naskah ini berisikan benar-benar rahasia? Aku memijat kepalaku sejenak dan melanjutkan.

Peri kecil,izinkan aku memanggilmu dengan sebutan itu mulai dari halaman ini. Apakah kamu tahu bahwa perselingkuhan yang dilakukan oleh ayahmu, sudah lama terjadi jauh sebelum kamu mengetahui? Saat hari dimana kecelakaan ayahmu terjadi, saat itu aku tengah berusia tiga belas tahun dan aku telah berada diantara ayah dan perempuan ayahmu, selama tiga tahun lamanya. Dan kini, saat aku mengetahui bahwa umurmu dan aku adalah sama, aku sangat yakin bahwa ayahmu telah menikah lagi diusiamu yang ke sepuluh tahun.

Aku menjedanya lagi, meraih botol minum disampingku, meneguknya dengan habis dan kembali membaca paragraf tersebut secara berulang, membacanya sekali belum bisa membuatku mencerna apa yang dimaksud, setelah aku membacanya kembali secara perlahan, meniti dan memahami setiap kata yang dihadirkan, aku mulai mengerti. Bukankah tokoh ayah di naskah ini sangat bajingan? Emosiku mencuat begitu saja. Aku melanjutkan membaca paragraf selanjutnya.

Dan mungkin kamu tidak mengetahui,bahwa ayahmu diam-diam mengkhianatimu, tetapi untuk kamu ketahui, bukan hanya kamu yang merasa sesak disini, nyatanya aku menjadi bagian dari pengkhianatan cintanya kepadamu, seandainya aku tahu lebih dulu, lebih baik aku tidak diadopsi oleh ayahmu dan tidak payah menuliskan naskah yang sekarang tengah kamu baca ini. Sebuah pengkhianatan yang berkedok cinta, itulah yang ayahmu lakukan. Peri kecil, sudah berapa malam abu yang kamu temui?

Dadaku sesak, ada linangan yang berusaha aku tahan. Malam abu? Aku berdecih, bahkan tak bisa terhitung dengan jari yang kupunya. Apakah tokoh perempuan itu mengalami hal yang sama persis denganku? Atau mungkin lebih parah? Atau mungkin akulah tokoh perempuan itu? Tidak, tidak. Aku menghentikan pikiran konyolku dan mencoba fokus membaca selanjutnya.

Aku akui, perempuan ayahmu-yang kini aku panggil ibu itu, sangat cantik. Bahkan jika aku terlahir digenerasi ayahmu,mungkin aku akan jatuh cinta juga dengannya. Aku bukan ingin membuatmu marah,hanya saja kamu harus tahu alasan seorang laki-laki selingkuh tak selamanya disebabkan oleh ketidakharmonisan didalam keluarga sebelumnya, ada banyak alasan ketika perselingkuhan benar-benar terjadi. Apakah kamu ingin mengetahui alasan ayahmu selingkuh? Aku akan menjabarkannya, aku mohon jika emosimu mulai meluap tolong baca dengan hati-hati, aku juga menuliskannya dengan hati-hati, sebab aku tidak mau kamu kembali tersiksa untuk kesekian kalinya.

Aku menjedanya, aku merasakan sakit kepala yang luarbiasa, perutku terasa mual dan seluruh badanku berkeringat dingin. Aku memejamkan mataku sebentar-masih pada kursi kerja dikamarku, aku memijat pelan kepala dan pangkal hidungku, badanku terasa sangat gerah, aku menurunkan derajat AC kamarku.

"Ra," suara pintu terbuka yang diringi suara ibu, terdengar ditelingaku.

"Iya, bu?" aku menjawabnya dan ibu mendekatiku.

"Kamu belum tidur?"

"Belum bu, masih baca naskah ini," kataku yang masih memijat kepalaku dengan mata terpejam.

"Kamu sakit, Ra?" tanya ibu dengan nada khawatir. Aku membuka mata dan mencoba tersenyum.

"Enggak, bu," Ibu memeriksa kening dan leherku, menempatkan punggung tangannya dengan air muka sangat khawatir.

"Ibu, Rara enggak kenapa-kenapa, kok."

"Ra, kamu sakit. Kamu demam ini, ya ampun, Ra. Ibu kompres ya."

Aku sedikit terkejut, aku sama sekali tidak menyadari kalau aku demam. Lantas, aku tinggalkan naskah itu dan beranjak ke ranjang tidurku dengan tuntunan ibu. Ibu membantuku berbaring dan menyelimutiku.

"Ibu ambil kompresan dulu." kata ibu yang kemudian beranjak keluar kamarku.

Jika begini, rasa bersalah selalu muncul belakangan. Aku sangat merasa bersalah kepada ibu karena tidak menjaga kesehatan dengan baik. Sejak hari itu, hari dimana kehancuran keluargaku terjadi, hari dimana langkah ayah tak pernah kudengar lagi, aku berharap kepada diri sendiri, tidak mau membuat ibu bersedih, sejak hari itu-aku selalu berusaha membuat ibu tersenyum padahal akupun sendiri susah untuk tersenyum, namun memang realita tak pernah seindah ekspetasi, kehidupan jarang terjadi sesuai dengan apa yang dimau, aku masih saja merepotkan ibu dan sering membuatnya bersedih.

***

Tring...Tring...Tring...

Suara gawaiku berdering nyaring disebelah telingaku, tanda ada yang menelfon. Setelah aku raih gawai yang tergeletak dibawah bantal tidurku, aku melihat nama siapa yang tertera pada layar. Ternyata Nayla.

"Halo," kataku dengan suara serak dan lemah.

"Halo, Ra, lo gak ngantor?"

"Berangkat nanti kalo memungkinkan,"

"Sakit, lo?"

"Enggak,"

"Ra, gak usah bohong. Gw bisa tau dari suara lo,"

"Kalo udah tau kenapa masih nanya, Nayla sayang,"

"Ahhahaha, yaudah cepet sembuh ye Raraa. Sehabis pulang gw usahain nengokin lo deh, mau dibawain apa nih?"

"Bawain kambing aja Nay, buat aqiqahan, lumayan,"

"Ahahahaha, memangnya lo belum di aqiqah, Ra? Gokil,"

"Ahahahaha, belum Nay, ayah keburu pergi, mungkin dia lupa kalo belum aqiqahin aku," Hening, dari suara tawa Nayla yang terdengar nyaring ditelfon, sekarang berganti sunyi, padahal aku hanya bermaksud bercanda tetapi suasana ditelfon menjadi canggung, dan tak lama ia berdeham.

"Ekhem..ee, Ra." Nayla mengganti topik, "Yaudah ya, kerjaan gw banyak. Nanti gw telfon lagi kalo jadi kerumah lo."

"Ok Nay, makasih ya udah ganggu tidur aku,"

"Ahahaha, santai...Yaudah, assalammu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh."

Aku menaruh gawaiku lagi di ranjangku dan menutup mata untuk kembali tidur, badanku terasa lemas sekali, untuk saat ini aku tidak berkeinginan untuk melakukan apapun kecuali tidur. Namun saat mataku terpejam, bukan kantuk yang datang, melainkan ingatanku mengenai naskah Bumimu yang tadi malam aku baca. Perselingkuhan yang dilakukan tokoh ayah disaat tokoh perempuan dinaskah itu tengah berusia sepuluh tahun, prasangkaku kembali melata dan menerka, bagaimana jika ayahku melakukan hal yang sama seperti tokoh ayah dalam cerita itu? Bagaimana jika ayah berselingkuh-yang kemudian baru diketahui ibu tiga tahun setelahnya? Jika itu benar dan sama, bukankah membenci adalah hal yang wajar? Ah, kepalaku tambah sakit memikirkan ini, tidak bisakah otakku libur barang sehari dari banyak tanya yang menimbulkan prasangka? Aku sangat lelah bercengkrama dengan otak sendiri, namun tak kunjung menemukan jawabannya. Kamarku sepi, namun otakku riuh ramai berisik. Aku mendekapkan bantal diatas wajahku dan berteriak sekencang-kencangnya, "Aaaaaaaa." kataku berteriak sekeras-kerasnya dibawah bantal yang telah menemaniku dua puluh lima tahun lamanya. Lucu ya? Nyatanya benda mati lebih setia daripada makhluk hidup bernyawa yang katanya diciptakan dengan adanya hati dan nurani, jika katanya manusia adalah makhluk yang paling sempurna, aku percaya, manusia memang hebat, selain sempurna dalam hal penciptaan, manusia juga sempurna dalam hal menebar kesalahan, kebencian, kebohongan, pendustaan hingga pengkhianatan. Ah, sial! Aku juga manusia.

Aku melepaskan dekapan bantal dengan nafasku yang memburu, ada emosi yang kemudian meluap dan memunculkan linangan yang jatuh tanpa permisi, dadaku sesak dipenuhi ruahnya benci, mataku panas karena menyadari rindu yang seharusnya tak pernah ada seringkali menjadi rasa yang dikutuk oleh cinta yang masih tersisa. Terkadang rindu yang tertunaikan seringkali menjadi angan. Gila! Aku sudah gila! Aku menangis dengan riuh suara dikepalaku.

"Gak mungkiiiinnnn." kataku berteriak terhadap diri sendiri, aku terisak dan sesak.

Aku menangis tanpa tahu kapan bisa berhenti, aku memukul-mukul dadaku sendiri, berharap sesak segera hilang, entahlah mengapa aku melakukan itu, yang jelas tanganku bereaksi seiring tangis yang semakin memburu, mengapa aku harus sesakit ini?

"Aaaaaaaaaaaaaaa." kataku berteriak diiringi tangis yang mendera.

"Naira!" ada suara yang masuk ketelingaku, suara dobrakan pintu dan suara seorang laki-laki.

"Rara!" kini suara perempuan yang terdengar, itu suara ibu.

Dengan air mata yang masih mendera aku menengok ke arah sumber suara, aku mendapati wajah ibu yang khawatir dan satu orang laki-laki yang tak asing.

"Naira, kamu kenapa? Mimpi buruk?" kata ibu yang bertanya dengan gemetar seraya membantuku duduk. Aku hanya menggeleng lemah.

"Naira." Ucap laki-laki itu yang tak kalah khawatirnya, air mukanya menampilkan keterkejutan yang baru pertama kali aku lihat.

"Aku gak kenapa-napa bu, Bim." kataku kepada mereka, berusaha menenangkan.

Entahlah mengapa Bima bisa ada bersama ibu, aku sangat ingin bertanya namun semua anggota badanku terasa sangat lemas hingga ke ujung lidahku.

"Bu, aku gak pa-pa." kataku pada Ibu yang sedang mengelap-elap keringat di dahi dan leherku.

"Ibu ambilin makan, ya?" aku mengangguk, konyolnya, disituasi seperti ini, perutku masih saja bisa terasa lapar. Ibu beranjak keluar kamarku, meninggalkan Bima dan aku.

Bima duduk dipinggir ranjangku dan tangannya ia ulurkan untuk mengelus pipiku lembut, netranya tak asing, ia menampakkan lagi tatapan yang entah menyiratkan kasihan atau rasa tulus menyayangiku, aku sama sekali tidak bisa membedakan, lebih tepatnya aku tak pernah tau arti dari tatapan tersiratnya itu.

"Aku gak kenapa-napa, Bim." kataku meyakinkannya. Ia menggeleng, tangannya masih memegang lembut pipiku.

"Naira, aku menyayangimu." katanya dengan tiba-tiba, entah mengapa jantungku berdegup gugup mendengarnya. Aku tak tau harus berkata apa, aku hanya menatap wajahnya dengan tatapan setengah bingung setengah mencoba tersenyum.

"Aku sangat menyayangimu." Ia mengulanginya lagi, tetapi kali ini ia mencium keningku, jantungku kembali berpacu, entah atas dasar apa Bima melakukan ini, yang jelas ada rasa tenang yang diam-diam menyelimutiku. Ia memegang tanganku dan menyematkan kecup disana, aku makin bingung dengan yang sedang Bima perbuat. Saat ia kembali menatapku, ada senyum yang kuulas untuknya dan setitik kecupan itu sampai pada hatiku yang gusar, kini tenang tengah menaungiku.

Ibu kembali kekamarku membawa nampan berisi nasi, sayur bening dan lauk tempe tak lupa dengan teh hangat jeruk purut kesukaanku, ibu meletakkan nampan itu diatas meja samping ranjangku. Ibu duduk disampingku.

"Naira, ibu suapin ya." Entah mengapa, saat ini aku ingin Bima yang menyuapiku, aku sedikit ragu mengatakannya kepada ibu, aku takut ibu cemburu karena aku lebih memilih Bima daripada dirinya.

"Aku ingin disuapi Bima aja, Bu. Boleh, ya?"

Namun tak kusangka, ibu tersenyum dan memegang tanganku, "Boleh." katanya. Ibu kemudian memberi nampan itu kepada Bima.

"Yaudah kalo gitu ibu keluar ya, ibu baru inget kalo belum jemur pakaian." Kata ibu yang terasa seperti dalihan.

"Iya bu." Kataku meresponnya dan Bima hanya tersenyum canggung kepada ibu. Ibu pergi setelah menepuk pundak Bima pelan, entahlah itu menyiratkan apa. Mungkin secara tidak langsung Ibu berpesan kepada Bima untuk berhati-hati menyuapiku atau berpesan agar hari ini bisa membuatku tersenyum atau yah, ibu hanya iseng saja menepuk pundaknya tanpa siratan apa-apa.

Bima mendekatkan posisinya kepadaku, ia mulai menyendokkan nasi yang sudah ia basahi dengan kuah sayur bening dan menaruh sedikit potongan tempe diatasnya, ia memberi suapan pertama untukku. Aku masih mengamatinya, mulai menyusun beberapa pertanyaan yang jadi kebiasanku saat sedang bersamanya, mengapa Bima ada disini? Mengapa Bima melakukan ini? mengapa bima tiba-tiba mengatakan kalau ia menyayangiku? Apakah bima...

"Nai," tegurnya yang seketika menghentikan pertanyaan yang sedang kususun didalam otakku.

"Iya?" kataku sedikit terkejut.

"Jangan banyak berfikir, nanti cepat tua." katanya yang seakan menebak-nebak. Namun tebakannya benar.

"Kata siapa? Bukannya banyak berfikir malah membuat kita susah tua, ya?"

"Kamu kata siapa?"

"Kata...ee, itu katanya..ee.., ya pokoknya gitu, aku lupa kata siapa,"

"Naira, kalo lagi makan itu jangan berfikir kemana-mana, nanti makanannya terasa gak nikmat, lebih baik kamu pikirkan saja protein dan gizi yang terkandung didalam tempe ini, supaya kamu jadi tambah nafsu makan."

"Hah?" kataku menunjukkan kebingungan, "kalo gitu repot dong, aku harus buka buku biologi dulu," kataku diiringi tawa yang spontan terlontarkan, Bima juga tertawa dan menyuapiku lagi.

"Aaa," katanya seraya memainkan sendoknya diudara, "Buka mulutnya, pesawat mau mendarat, aaa," ia menyuapiku dengan memperlakukanku seperti bocah berumur lima tahun, tapi aku menurutinya saja dan membuka mulutku untuk menerima suapan darinya. Ternyata, Bima lucu juga. Aku terkekeh geli melihatnya. Saat selesai makan, aku bertanya mengapa ia bisa ada dirumahku dan ia menjelaskannya. Aku senang ia ada disini, menyematkan bahagia dan setitik-tidak, sebelanga ketenangan padaku pagi ini.

Semesta, biarkan riuh benci segera pergi,
Aku berharap, ruah cinta segera menghampiri,
Dan kata bahagia yang jarang aku dapati,
Semoga segera terealisasi,
Aku ingin itu, berkenanlah, kabulilah.

****

POV BIMA

Ego adalah rasa yang menuntun manusia untuk berada pada jalannya, entah itu jalan tanpa cahaya ataupun jalan terang benderang. Ego adalah kehendak hati, maksudku jika hati sudah berkehendak, maka egolah yang 'kan merealisasikannya. Terkadang ego lebih dulu dibanding nalar, nalar seringkali ketingalan jika ego sudah dipucuk kepala. Oleh karena itu, penyesalan selalu datang belakangan. Mungkin, diatas sana-entah itu surga atau bukan, aku yakin masih terdapat sesal yang belum bisa diselesaikan, karena yang di Bumi belum mendapat penjelasan dan tak tau bagaimana cara memaafkan. Aku hanya berharap, ayah-yang entah sudah berada dimana, selalu mendapat ketenangan dan pemaafan dari Yang Maha Kuasa. Aku selalu berdo'a untuknya-yang pernah menyematkan bahagia untuk diriku, yang pernah mengabulkan asa-atas panggilan seorang ayah, untuk kali pertama dalam hidupku.

Kali ini, ego menuntunku untuk mendatangi rumah seorang wanita cantik namun sayang, nasibnya tak secantik parasnya. Aku mendatangi rumah Naira, peri kecil yang ayah sering sebut-sebut dulu. Aku rasa, selain mengakrabkan diri kepada Naira, aku juga perlu mengenal ibunya; cinta pertama ayah sebelum ibuku datang. Aku tidak tahu apakah hari ini adalah hari yang pas untuk berkunjung atau tidak, mengingat Naira dan Ibunya sama-sama pekerja, aku rasa tidak ada waktu yang lebih pas daripada pagi, karena hari ini bukan akhir pekan. Sebenarnya bisa saja aku mengunjunginya akhir pekan, namun Toni-manajerku itu sudah memberi jadwal terkait pameran yang harus aku hadiri. Aku rasa tidak masalah mengunjunginya pagi ini, aku juga tidak berniat untuk berlama-lama disana, hanya sekedar mengantarkan makanan pagi untuk sarapan Naira dan Ibunya, aku hanya berfikir jika setiap pagi Naira tidak sempat sarapan dirumah, itu artinya Ibunya tak sempat memasak sebab harus berangkat bekerja juga, karena itulah membawa rantang makanan kerumah Naira, menurutku bukan hal yang salah. Entahlah, makin hari aku makin memikirkan Naira, pikiranku selalu penuh tentang dirinya. Soal isi dari rantang makanan itu, jelas aku membelinya.

Aku sampai dirumah Naira, gerbangnya masih terkunci menandakan Naira dan Ibunya belum berangkat bekerja. Aku mencoba menelfon Naira, namun panggilan telfonnya sedang berada dipanggilan lain, Naira pagi-pagi begini sudah telfonan dengan siapa? Gumamku pada layar gawai. Akhirnya aku memilih untuk meneriaki namanya, aku tau ini sangat kekanakan, persis seperti anak SD yang memanggil-manggil temannya untuk mengajak bermain.

"Naira, Naira, Naira." kataku tak henti sampai pintu yang sedang kupandangi itu terbuka. Dan tak lama, pintu itu terbuka dan memunculkan sosok wanita yang tak kalah cantiknya dengan Naira.

"Temannya Naira?" kata Ibu itu seraya mendekatiku. Aku mengangguk dan tersenyum canggung. Lalu Ibu itu membuka gembok gerbangnya dan mempersilahkan aku untuk masuk.

"Ayo masuk. Naira kemungkinan masih tidur, soalnya tadi malam dia demam."

"Demam?" kataku khawatir seraya melangkah masuk kerumah Naira.

"Iya, Naira suka bandel. Udah sering Ibu bilangin kalau bekerja itu jangan sering melembur, tapi tetap aja gak nurut. Alasannya selalu tentang tanggung jawab yang harus ditunaikan. Naira itu, kadang management waktunya suka gak pas dengan maunya Ibu." Ibunya Naira menjelaskan sebab keadaan Naira sekarang.

"Iya, tante. Bima tau kalo Naira memang suka bandel." kataku menyeringai.

"Panggil ibu aja gak pa-pa Bima. Kamu Bima yang pernah ngajak Naira pergi ketaman 'kan?"

"Iya, Bu." kataku yang sedikit malu-malu.

"Oh ini, bu. Bima bawain sarapan," kataku seraya menyerahkan rantang yang kubawa.

"Ya Allah repot-repot banget, padahal Ibu juga lagi masak,"

"Eee, itu.." aku bingung ingin merespon apa, soalnya tak seperti ini yang kuduga. Mana aku tau kalau Naira sedang sakit sehingga Ibunya pun tidak pergi bekerja dan sekarang malah sedang memasak.

"Yaudah makasih ya," sepertinya Ibu Naira menyadari kebingunganku. Aku hanya tersenyum malu dan canggung.

"Ibu panggilin Naira, ya. Kamu tunggu disini sebentar."

"Iya, Bu." Ibunya Naira beranjak pergi dan meninggalkan aku diruang tamu. Namun sebelum Ibunya Naira melangkah terdengar suara teriakan dari lantai atas, aku sama terkejutnya dengan Ibu itu.

"Naira, itu Naira." Ujarnya khawatir seraya berlari menaiki tangga-yang kutebak disanalah kamar Naira berada. Aku mengikutinya, bahkan lebih kencang berlari dibandingkan Ibunya Naira, aku mendahuluinya. Di lantai dua rumah ini, hanya ada dua pintu, yang sudah bisa kutebak pintu kedua adalah kamar Naira, sebab pintu pertama adalah pintu bercorak bunga yang sering dipakai untuk pintu kamar mandi. Aku membukanya, menghempaskan daun pintu sekencang mungkin, aku sangat khawatir.

"Naira!" kataku berteriak saat melihatnya sedang menangis tersedu di ranjangnya dengan posisi telentang, mungkinkah Naira mimpi buruk? Itulah kemungkinan yang terfikirkan olehku. Ibunya Naira tak kalah khawatirnya denganku, ibunya pun berfikiran kalau Naira sedang bermimpi buruk, namun Naira menggeleng dan malah berkata ia sedang baik-baik saja. Inilah kebiasaan buruknya Naira, tak pernah mau berterus terang jika ia sedang tidak baik-baik saja. Ia selalu ingin terlihat baik supaya orang disekitarnya tak mengkhawatirkannya. Itulah Naira, perempuan yang selalu ingin terlihat tangguh padahal hatinya sedang rapuh.

Melihatnyaseperti ini, sukmaku semakin menjeritkan rasa bersalah yang tak kian padam.Naira, seandainya kamu tahu, aku sama tersiksanya denganmu. Namun yangmembedakan adalah, aku seorang pelaku sedangkan kamu adalah korbannya. Naira,jika aku tak pernah menjadi anak adopsi, mungkin kamu tak akan setersiksa ini,oleh karena aku pilihan ayahmu, kini aku menjadi insan yang mengacaukan banyakbahagia dihidupmu. Saat kamu mengetahuinya nanti, entah apalah yang 'kanterjadi pada diriku, mungkin aku akan pergi sejauh-jauhnya darimu, memilihhilang dari pandanganmu, setidaknya inilah yang sudah terencanakan olehku,entah semesta berkehendak atau tidak, yang jelas aku melakukannya sebab tak maumenambah sederetan gundah dihidupmu. Maafkan aku, Naira.

Semesta, bisakah sebuah kejelasan yang nantinya hadir
Memberikan kisah baik sebagai takdir,
Yang munculnya tak menimbulkan kekacauan semenggelegar petir?
Aku berharap, agar tak ada hari yang dapat menyematkan getir.
Aamiin.

***

Hai! Terimakasih sudah berkenan membaca, sampai bertemu di Part selanjutnya ya!!


Hallo! Terimakasih sudah berkenan membaca. Oh ya Part ini belum selesai ya, nanti malam aku update lagi di part setelah ini ya!!

Sampai jumpa di POV BIMA!!

ANYONG!!

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 92.4K 56
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
913K 85.3K 52
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
6.6M 338K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
3.6M 53.4K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...