We Come And Go

By meynadd

1.5K 362 28

Di antara arak-arakan payung orang yang berlalu lalang, mereka bertemu lagi. Tak ada tegur dan sapa yang mend... More

Prakata
01. Dihujani Rasa Sakit
02. Pindah Rumah
03. Di Atas Hidup dan Mati
04. Tahun Ajaran Baru
05. Lebih Dekat dari Teman
06. Perkara Seungbin
08. Alasan Tersembunyi
09. Musuh Lama
10. Tetap Menjadi Rahasia
11. Gara-Gara Contekan
12. Kawan Bisa Jadi Lawan
13. Demi Hidup Ayah
14. Trik Musuh dan Dua Orang Konyol
15. Yang Ingin Dibahas
16. Kepekaan Jihye
17. Adu Debat di Meja Panjang
18. Umpan Pembalasan
19. Sudahi dan Akhiri
20. Polaroid dan Si Penengah

07. Dua Saudari, Satu Emosi

70 19 0
By meynadd

- Jihye

Malam pun tiba. Sedari tadi menunggu, kakak belum kunjung pulang dari kampus. Meski aku tidak terlalu yakin gambaran seminar itu seperti apa, tapi secara logika, kalau kakak seminar pukul delapan pagi seharusnya dia pulang kira-kira pukul dua belas siang. Memakan waktu empat jam saja. Kenapa justru memakan tujuh jam lebih? Akan masuk akal kalau kakak sekalian berkuliah.

Entahlah. Sejak lima menit terakhir, aku menghabiskan waktu di depan televisi bersama ibu. Siarannya hanya itu saja yang ditampilkan. Sangat monoton dan membosankan. Hingga kami memutuskan untuk berbincang. Lalu sampailah kami membicarakan Kak Minhee.

"Eomma, mengapa Onnie mengakhiri hubungannya dengan Park Baekhyun?"

Ibu mendesah pelan. Terdiam cukup lama. Mungkin Ibu mempertimbangkan untuk menjawab pertanyaanku yang agak spesifik. Tak ada alasan khusus aku bertanya. Itu muncul karena aku merasa risau begitu teringat reaksi kakak tadi pagi.

"Seingat Eomma, Minhee pernah bilang kalau hubungan yang mereka jalani cukup rumit. Bukan karena faktor orang ketiga yang menyebabkan hubungan mereka renggang. Melainkan karena ketidakyakinan dari Baekhyun sendiri dan masalah keluarganya. Entah masalah apa yang dihadapi lelaki itu sehingga memilih untuk memutusi Minhee."

Ibu terdiam sejenak. Mengambil napas. Setelah bercerita sesaat.

Dengan khawatir aku bertanya, "Apakah onnie akan baik-baik saja, Eomma?" Ibu berdeham dan memperbaiki posisi duduknya.

"Seratus persen. Tidak. Butuh waktu, luka itu untuk pulih, Jihye. Kau tak akan pernah tahu berapa lama prosesnya. Tergantung seberapa dalam luka itu tercipta."

Aku terhenyak lalu mengangguk paham. Sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana rasanya. Yang pasti itulah alasan mengapa Kak Minhee menghindari topik percintaannya sendiri.

"Yasudah. Eomma akan menyiapkan makan malam. Jika Minhee sudah pulang, beritahu Eomma."

Ruang keluarga lengang setelah Ibu beranjak dari sofa, meninggalkanku sendirian di ruang keluarga. Televisi menyala lagi. Kali ini programnya berganti menjadi serial animasi favoritku waktu aku menontonnya sejak masih memakai tv tabung. Sebelas tahun lalu.

Melihat animasi lebah imut bernama Hachi yang terbang dari satu tempat ke tempat lain demi mencari sang ibu, aku jadi teringat ketika ayah masih berada di sebelahku. Beliau selalu menemaniku menonton. Waktu itu usiaku enam tahun.

     Beliau berkata dengan nada lembut, "Jihye, apa kau tahu kenapa lebah kecil itu mencari ibunya?" Aku menggeleng-geleng polos. Ayah tersenyum teduh. Wajahnya kebapakan membuatku terenyuh saat itu.

     Lalu beliau meneruskan perkataannya. "Yaa, karena dia membutuhkan ibunya. Lebah kecil itu tidak bisa hidup tanpa orang yang paling dia sayangi."

     Ayah memegang pundakku. Sorot matanya meredup, tampak berkaca-kaca. Mengulas senyum lebar agak memaksakan. Suara bas miliknya sedikit bergetar menahan sesuatu.

     "Jihye, jika Appa tidak ada. Kau tidak perlu cemas dan mencari Appa ya? Appa yakin kau akan baik-baik saja dan akan menjalani kehidupan yang keras ini seorang diri. Karena Appa tahu, Appa sangat menyayangimu."

     Kemudian ayah menarik tubuhku ke dada bidangnya, merengkuh erat. Menyalurkan kehangatan dan kekuatan.

     Kini, kedua tangan mencengkeram ujung sofa, lantas segera meraih remot, mematikan televisi. Aku meringis lalu tak lama aku menampung wajah dengan kedua telapak tangan. Hatiku terasa sesak begitu mengingatnya lagi. Saat itu aku tidak terlalu menangkap maksud dari perkataan Ayah.

     Sekarang aku paham. Ayah seakan memberiku sebuah kode. Sehari setelah Ayah mengatakan itu, beliau meninggalkan kami bertiga dan tak akan pernah kembali. Air mata pun luruh membasahi pipi. Ya Tuhan. Aku tidak pernah menyangka akan sesakit ini jika me-replay memori tersebut di otak. Kenangan yang memilukan seumur hidup.

     Apakah perasaan seperti ini yang dirasakan oleh Kakak ketika kehilangan seseorang yang dia sayangi? Sesaat kemudian, terdengar ketukan-ketukan dari depan. Sepertinya Kakak sudah pulang. Sambil mengusap mata dan pipi yang basah, aku berjalan menuju ambang pintu.

     Begitu kubuka, aku langsung meloncat dan berhambur padanya kemudian memeluknya dengan erat.

     "Ya? Kenapa ini? Kau baik-baik saja, Jihye?" Sesaat kemudian aku mengurai pelukan.

     "Onnie. Mengapa kau tidak mengatakannya langsung padaku kalau kau putus dengannya?" tegasku sambil menahan ingus keluar.

     Sementara Kakak menatap heran. Mengerutkan dahi. Dia tergagap-gagap. Sepertinya tidak tahu harus mengatakan apa, kemudian menyangkal. "Apa kau baru saja menangis? Ada apa denganmu ha?!?"

     Dia meninggikan suara bersamaan hentakan pintu tertutup di belakangnya.

     "Seharusnya aku bertanya padamu. Ada apa denganmu? Kau selama ini tak pernah menutupi permasalahan di hadapan adikmu sendiri. Mengapa kau seolah hanya menutupinya dariku," ujarku dalam satu tarikan napas.

     Mengeluarkan segala keresahan. Kakak menghela napas. Berusaha melewatiku.

     "Jihye, kau tak akan paham."

     Aku maju selangkah. Memblokir jalan. Pandangan kami bertemu. Sangat intens. Aku bisa melihat ada sesuatu yang ditutupi dari balik kedua matanya. Dia lantas mengalihkan pandangan. Kembali berusaha melewatiku.

     "Aku bilang. Kau tak akan paham."

     Dia berjalan, tak acuh. Aku mendesak geram. "Bagaimana aku paham? Coba katakan padaku, onnie!" ucapku menekankan yang berhasil membuat langkah Kakak terhenti. Dia lantas berbalik badan.

     Karena terakhir kali, aku mengatakannya padamu. Kau justru menangis tersedu-sedu, seakan kau merasakan hal yang aku rasakan. Aku tidak ingin mengulanginya yang berujung akan membagi rasa sakit kepadamu, Jihye," ungkap Kakak dengan getir.

     Air matanya kemudian menetes. Menyisir rambut pendeknya ke belakang. Sesaat dia mendongak, mengeringkan air matanya. Aku terhenyak. Kakak kemudian berujar, "Aku tidak ingin adik yang kusayangi tersakiti."

     Spontan aku menggigit bibir bawah. Kedua mata mulai tergenang cairan bening. Hampir memburamkan penglihatan. Tampak presensi kabur Kakak sedang merentangkan tangannya lebar-lebar seolah memanggil-manggilku.

     Segera aku berlari, dalam beberapa detik tubuhku menimpuk tubuhnya. Mengalungkan lengan ke bidang punggung sempit nan ramping Kakak. Dia juga melakukan hal yang sama. Kurasakan belaian lembut tangannya pada belakang kepalaku. Kemudian kami berdua nyaris terisak bersamaan, menyebabkan hidungku bertambah meler setelahnya.

     "Lupakan semua yang terjadi hari ini. Lain kali katakan saja padaku, onnie. Aku siap mendengarkan keluh kesahmu walau itu akan membuatku sakit. Tak masalah. Karena aku sangat menyayangimu," ucapku tersendat-sendat.

     Kami mengurai pelukan, Kakak tersenyum getir, tak kuasa membalas. Sedang berusaha mengontrol diri supaya tidak meneteskan air mata. Lalu kami berdua saling berangkulan menuju belakang, karena Ibu tengah menunggu agar kami segera ke meja makan.

***

***

     Selesai makan malam, aku memutuskan untuk ke kamar Kakak, agar dia bisa menceritakan semuanya. Duduk menyimak di pinggir kasur. Sementara Kakak duduk berkaca di depan cermin sambil memoles wajah dengan berbagai macam jenis skincare yang ku tak tahu apa namanya.

     "Jadi ... Bisakah kau menceritakannya dari awal?"

     Kakak berhenti memoles, berbalik badan. Dari awal kami bertengkar, Kakak sama sekali tidak bertanya bagaimana aku bisa tahu hal itu. Kemungkinan dia menduga kalau Ibulah yang sudah menceritakannya lebih dulu. Di lain sisi, aku tidak puas dengan hanya mendengar perkataan dari Ibu.

     Setiap orang pasti selalu membicarakan orang yang mereka maksud. Namun, mereka tidak selalu memaparkannya secara rinci dan jelas. Terkadang mereka sedikit mengarang sehingga apa yang sebenarnya terjadi pada orang yang dimaksud menjadi sesuatu yang sulit disingkap.

     "Ceritanya panjang. Kuharap kau tidak akan mengantuk saat mendengarkanku," oceh Kakak. Yang sudah jadi kebiasaan. Aku mengiyakan, malas.

     "Awal mula kami berpacaran saat ketika aku mendatangi cafe ...."

     "Tunggu ... tunggu ... tunggu ... Onnie sudah menceritakan bagian itu sebanyak dua belas kali! Bisa tidak langsung loncat ke inti masalahnya saja?" ketusku.

     Aku merasa jengkel dengan pengulangan tersebut. Sampai hapal bagaimana mereka bisa jadian. Agak klise menurutku. Singkat cerita, Baekhyun dan Kak Minhee adalah teman dekat sejak SMA. Mereka secara kebetulan bertemu lagi di sebuah cafe setelah beberapa lama tidak bertemu. Dari situ, hal yang tidak di duga-duga muncul.

     Baekhyun menyatakan perasaannya dan mengatakan bahwa selama lima tahun dia memendam perasaan terhadap Kak Minhee. Hebat betul. Lalu tak lama berselang, mereka berkencan dan jadian. Walau aku tidak menyukai pria itu aku tetap mendukung hubungan mereka, Ibu juga. Hingga tak menyangka akan berakhir seperti ini.

     "Baiklah. Tiga hari lalu, pada malam hari. Aku dan Baekhyun sedang berada di mobil pribadinya. Tujuan kami adalah Namsan Tower karena dia yang mengajakku ke sana. Impian aku sejak kecil. Dan dia ingin mewujudkan hal itu. Selama perjalanan, kami diam saja. Kulihat wajahnya dari samping, tampak kelelahan dan sedikit tertekan."

     "Aku kemudian bertanya, 'Sepertinya kau sangat lelah karena bekerja di kantor seharian ya? Kita bisa pergi lain kali, Baekhyun-ah. Kau harus istirahat.' Dia tersenyum kikuk dan berkata. 'Tidak-tidak. Aku baik-baik saja, Minhee-ya. Kau tidak perlu khawatir begitu.' Justru yang dikatakannya tidak sesuai dengan wajahnya."

     Kakak berhenti sejenak. Tinggal memoles bagian perawatan wajah terakhir lalu melanjutkan.

     "Tak lama, ponselnya berbunyi. Ketika dia menjawab telepon, aku tidak sengaja menguping pembicaraan. 'Yeobseo?' Setelah itu dia terdiam cukup lama. Sepertinya si penelepon sedang berbicara panjang lebar. Lalu kulirik lagi, keningnya mulai tertekuk. Tampak serius. "

     "Hingga dia membalas, 'Mwo? Yang benar saja! Kenapa Eomma tidak bilang padaku! Eomma tahu tidak, Appa itu mencuri penghasilan dari Eomma untuk berjudi! Mabuk-mabukkan ke diskotik bersama para pelacur! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.' Baekhyun meninggikan suara, kemudian mematikan ponselnya dan meletakkan dengan sembarangan."

     "Dia mengumpat-ngumpat sepanjang perjalanan sambil berkali-kali membanting setir."

     "Gara-gara itu, aku sontak syok dibuatnya. Lalu Baekhyun melirikku, berkata. 'Eum, mianhae, Minhee-ya. Aku pasti membuatmu syok.' Hatiku jadi tak karuan. Bagaimana bisa kami berdua pergi berjalan-jalan. Sementara dia memiliki masalah dengan keluarganya, Jihye!"

     "Aku lantas berkata, 'Baekhyun, lain kali saja kita kesana ya? Kumohon. Aku jadi tidak enak dengan keluargamu.' Dan kau tahu apa kelanjutan dari situ? Baekhyun malah menggertakku, 'Tidak! Aku sudah bilang akan mengajakmu kesana!' Dan tiba-tiba mobil berhenti."

     "Karena aku tak terima diperlakukan seperti itu. Aku pun melawan, 'Bagaimana bisa kau mengajakku kesana ha? Aku sudah bilang lain kali saja kenapa kau keras kepala? Dari dulu kau juga seperti ini, Baekhyun! Sadarlah, ada yang lebih penting yang harus kau lakukan sekarang.' Dia menyorot mataku dengan tajam. 'Memangnya kenapa denganku? Kau ini kenapa? Padahal kau menginginkan kesana bukan?' Muak. Memang memuakkan."

     "Baekhyun betul-betul keras kepala dan itu yang membuatku tak tahan lagi. Bahkan dia sama sekali tidak sadar diri. 'Sebaiknya kau perlu istirahat.' Kataku."

     "Dia mengerang frustrasi. 'Dasar Jalang! Kau benar-benar membuatku sakit kepala. Kita akhiri saja hubungan ini. Dan turun dari mobilku!' lalu aku bergegas keluar dari mobil sebelum dia meluapkan seluruh amarahnya."

     Kakak meneteskan air mata begitu menceritakannya. Aku lantas bergegas menghampiri lalu memeluknya. Kurasakan air matanya menyentuh pundakku.

     "Dia menyebutku jalang, Jihye! Menyebutku jalang! Seharusnya aku tahu dan Seharusnya aku tidak pergi bersamanya malam itu," ujar kakak setengah memekik. Isakannya semakin kencang. Aku merengkuh erat. Turut terisak, tak kuasa melihat kakak menahan rasa sakit itu sendirian.


Jangan lupa untuk menekan tombol [⭐️] bintang sebelum bergulir bab ya?

Copyright ©2021 - Mey Nadd

Continue Reading

You'll Also Like

310K 2.7K 18
WARNING 21+ **** Jeriko mesum, Jeriko sangean, Jeriko nafsuan. Jeriko sudah memiliki lebel yang sangat buruk dalam otak Keyna. Tapi, kenyataan dunia...
627K 56K 54
⚠️ BL LOKAL Awalnya Doni cuma mau beli kulkas diskonan dari Bu Wati, tapi siapa sangka dia malah ketemu sama Arya, si Mas Ganteng yang kalau ngomong...
8.8M 109K 44
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
1.3M 83.6K 37
"Di tempat ini, anggap kita bukan siapa-siapa. Jangan banyak tingkah." -Hilario Jarvis Zachary Jika Bumi ini adalah planet Mars, maka seluruh kepelik...