Hearing Cafe

بواسطة noquiyea

90 9 2

Kehidupan yang selalu tidak terduga, membawa Cherry yang sudah bertekad untuk tidak jatuh cinta malah jatuh s... المزيد

2. Espresso
3. Saingan
4. Elang
5. Surat Curhat
6. Hug You

1. Hari Senin

32 3 2
بواسطة noquiyea

Pertemuan adalah awal dari perpisahan. Dan perpisahan adalah awal dari pertemuan yang baru. Seseorang datang tak selamanya tinggal. Ada yang sekedar singgah, ada pula yang sekedar menetap hingga kita sendiri yang memilih pergi. Hidup senantiasa beputar sebagaimana mestinya. Yang selalu menjadi pasti adalah setiap satu kehidupan berhenti maka akan ada kehidupan lain yang baru dimulai.

-Johnny-

***

Johnny

Pagi yang dingin di hari senin. Dinding kaca di luar masih berembun meskipun tipis. Memburamkan pandanganku melihat kehidupan di luar bangunan ini. Pusat kota yang senantiasa sibuk, hari ini pun masih sibuk seperti biasa. Terlebih karena ini adalah awal minggu, meskipun banyak yang merasa bosan, lelah, penat, dan masih ingin bergelung di tempat tidur kesayangannya. Mereka terpaksa memulai harinya untuk melanjutkan kehidupan.

Jam yang menggangtung di salah satu dinding kafe menunjukan pukul tujuh pagi. Biasanya kafe tidak akan terlalu sibuk pada jam ini. Terkadang hanya ada satu atau dua orang yang mampir. Itupun untuk menikmati sarapan ala kadarnya seperti roti bakar asin atau telur yang digoreng maupun di buat sup hangat. Atau jika mereka terburu-buru, ada kalanya mereka memesan kopi atau coklat panas untuk dibawa ke tempat kerjanya. Namun pagi ini, aku benar-benar tidak sibuk. Kafe masih sepi dan aku hanya sibuk bersama kopi dan juga Cherry.

Jangan salah sangka. Cherry yang kumaksud bukan buah dengan rasa manis dan berwarna merah yang bisa kita jumpai di pasar swalayan. Memang, keduanya sama-sama manis. Tapi Cherry yang kumaksud ini tidak berwarna merah. Dia cantik, dia ramah, dia bisa berjalan, dan bahkan tersenyum padaku.

Namanya Cherry Nadiva. Dia adalah sahabat selama tujuh tahun sekaligus rekan kerja selama kafe ini di buka. Cherry dan aku mengenal sejak aku tinggal di luar negeri untuk melanjutkan S2. Kami kenal secara tidak sengaja kemudian menjadi dekat dan bersahabat.

Cherry itu, bagaimana aku harus menggambarkannya?

Rambutnya sebahu dan selalu diikat rapi di belakang kepala. Poninya menyamping menutupi sebagian kening. Dia selalu mengenakan sapu tangan motif bunga yang diikat di leher. Pakaiannya tidak terlalu mengikuti mode. Kuncinya hanya sesuatu yang nyaman ia kenakan, berwarna tidak mencolok dan cenderung warna pastel, denim, atau hitam putih yang sangat dasar. Ia tidak suka menggunakan motif yang terlalu heboh dan banyak warna. Mungkin hanya bunga, itupun hanya beberapa. Seperti hari ini, ia hanya menganakan celana denim warna biru dan kemeja polos berwarna putih. Sepatunya juga tipe sepatu lari yang nyaman di kaki. Sebab ia tahu, pekerjaan menuntutnya bergerak dengan lebih bebas.

Kafe dengan nama "Hearing Café" ini merupakan usaha rintisan kami berdua. Kafe yang menjadi impian serta harapan bagi kami yang lelah akan harapan yang tak kunjung dapat terwujud. Tempat yang selalu kami yakini bahwa setiap sudutnya selalu memiliki cerita sendiri dan menjadi pendengar bagi cerita para pelanggan.

Hearing Café menjadi sebuah pijakan baru untukku dan Cherry. Kami berdua tidak berasal dari dunia bisnis yang mumpuni untuk menjalankan sebuah usaha seperti ini. Aku yang awalnya sangat pesimis terhadap kemampuanku meracik kopi, terpaksa pergi ke negara lain untuk kembali mempertajam dan mengasah kemampuanku dalam meracik kopi. Mendapatkan lisensi resmi sebagai seorang barista dan akhirnya kuberanikan diri untuk mewujudkan salah satu mimpi lain yang tak hampir terlupakan, yaitu menjadi seorang barista profesional.

Aku ingat betul, papaku terutama. Dia sangat berharap anaknya yang tumbuh besar di lingkungan akademis dapat mengikuti jejak langkahnya menjadi seorang dosen. Aku pun dulu tidak memiliki tujuan lain selain mengikuti jalan yang papaku sudah buatkan untukku. Kuliah hingga sarjana di salah satu Universitas bergengsi di Indonesia, lanjut S2 di London, dan lulus dengan predikat yang cukup membanggakan. Dan setelahnya tawaran-tawaran mengajar itu mulai berdatangan.

Tidak aku pungkiri bahwa menjadi dosen terdengar cukup mapan. Sebuah Universitas Negeri cukup bergengsi yang sering mengundangku sebagai pemateri tambahan untuk mata kuliah yang aku kuasai, secara terang-terangan menunjukan ketertarikannya. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatku sulit untuk menerima tawaran itu. Ada semacam rasa kosong, hampa, dan tidak ada gairah sama sekali. Seperti hidup ini hanya dijalani, bukan dinikmati.

"Hidup itu harus pakai logika," begitu kata papa di satu sore yang masih aku ingat jelas.

"Jika hanya mengejar kepuasan pribadi, semua orang juga bisa. Tapi mengejar sesuatu yang pasti, belum tentu semua mampu. Kamu memiliki hak istimewa itu. Mendapatkan apa yang orang lain inginkan dengan mudah tanpa kamu repot mengejarnya. Apa salahnya menjalani kehidupan seperti Papa? Papa seperti ini pun yang ternyata jauh lebih masuk akal untuk memberikan kamu apapun yang kamu butuhkan."

Aku tersenyum kecil mengingat ucapan papa saat itu. Papa seseorang yang logis dan masuk akal. Enggan untuk membuka diri terhadap pilihan lain yang belum pasti untuk anaknya. Terutama semenjak mama memilih meninggalkan kami berdua untuk mengejar impiannya, papa mendidikku untuk menjadi sepertinya. Seseorang yang logis dan lebih terpaku pada sesuatu yang sudah pasti. Papa membenci ketidakpastian, papa membenci harapan. Karena baginya, percuma berharap jika nanti tetap saja harus menelan kekecewaan.

"Johnny!" suaranya membuyarkan lamunanku. Ia mengibaskan telapak tangan di depan wajahku dan menatap dengan mata bulatnya. "Kamu melamun?" dia bertanya.

"Sedikit. Dan kamu membuat lamunanku berantakan," ucapku disertai senyuman.

Ia terkekeh, terdengar ceria dan ringan seperti biasa.

"Pagi-pagi ngelamunin apa?"

"Ada," jawabku. "Yang jelas bukan ngelamunin Tangled kapan rambutnya berubah jadi ungu."

Ia tertawa lagi mengingat kartun kesukaannya, Tangled. Kami selalu berdebat setiap kali menonton kartun itu. Aku selalu berkata bahwa rambut Tangled akan lebih keren jika berwarna biru, mugkin ia bisa jadi salah satu bagian dari Avatar. Dan dia mengatakan bahwa akan lebih baik jika warnanya ungu, sebab belum ada karakter Disney yang memiliki rambut berwarna ungu. Sungguh perdebatan yang tidak berguna, tapi entah kenapa itu terdengar menarik untuk kami.

"Mungkin aku bisa mengirim surat untuk Disney supaya membuat karakter kartun dengan rambut berwarna ungu. Mereka pernah membuat karakter Ariel dengan rambut berwarna merah. Aku rasa, karakter dengan warna ungu cukup menarik," ujarnya sambil berjalan ke meja kasir dan memeriksa catatan di sana.

"Kopi?" tawarku.

Cherry menoleh sekilas kemudian menggeleng. "Coklat," jawabnya.

Aku pun mengangguk dan membuatkannya secangkir coklat hangat. Ia tampak mengambil sebuah map dan membawanya ke sudut depan kafe dekat jendela dan deretan bunga-bunga kecil berada. Membolak-balik kertas yang ada di dalamnya dan sesekali menggoreskan tinta pulpan di atas kertas di depannya. Wajahnya tampak serius namun di saat yang sama ekspresi itu terlihat menawan.

"Coklatmu," ucapmu meletakkan secangkir coklat panas untuknya.

Wangi bunga peony segar menguar dari tubuhnya. Membuatku dapat mencium aroma itu ketika aku berdiri di belakang kursinya. Ikut memeriksa kertas yang sedang ia teliti. Sepertinya ia baru mengganti parfum, atau mungkin parfum itu adalah hadiah dari seseorang? Sebab seingatku, Cherry jarang mengganti aroma parfumnya. Ia akan selalu menggunakan parfum dengan aroma yang sama, merk yang sama, dan ia akan membelinya di tempat yang sama pula. Sebuah toko parfum langganan yang dikelola sahabat dari mendiang ayahnya.

"Ada apa? Catatannya berantakan lagi?"

"Iya," jawabnya masih fokus dengan deretan angka yang tercetak di sana. "Pemasukan kemarin sepertinya sedikit salah hitung. Aku pikir Miko akan memperbaikinya segera, tapi kemarin dia buru-buru pergi. Jadi aku terpaksa melakukannya sendiri.

"Kamu kelelahan kemarin, wajar jika angkanya salah," ucapku kemudian mengusak puncak kepalanya. "Minum dulu supaya lebih tenang."

Ia menoleh padaku dan tersenyum. "Terima kasih," lalu ia seruput coklat hangat itu sambil lanjut memeriksa pekerjaannya.

Penasaran, aku pun duduk. Menatapnya kemudian menopang dagu, "Kamu ganti parfum?"

Ia mengangkat wajahnya dan tersenyum manis padaku. "Iya. Hadiah dari seseorang," jawabnya.

Aku pun mengangguk saja. Sudah dapat kutebak itu dari siapa. Ya, seseorang yang baru datang di kehidupan Cherry dan seolah mengambil porsi paling banyak di hatinya.

"Seperti bukan kamu," komentarku kemudian beranjak dan kembali ke meja bar. Aku berusaha mulai sibuk. Mengelap cangkir yang baru di cuci kemudian menatanya di rak dengan rapi. Enggan untuk memikirkan perkara Cherry dan orang itu lebih jauh.

[]

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

ALZELVIN بواسطة Diazepam

قصص المراهقين

5.7M 315K 35
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
282K 16.8K 35
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
Love Hate بواسطة C I C I

قصص المراهقين

3.1M 216K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
470K 50.8K 22
( On Going + Revisi ) ________________ Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum lay...