THE SCREAM : Whos Next? ✔

By KangZee_0

2.9K 960 224

🎖 Ambassador's Pick Valentine oleh AmbassadorsID 🎖 The Best Choice's Recommendation Novel with TWT & Asra... More

| Prolog | : To Anyone
| Chapter 1 | : About Dark Sky
| Chapter 2 | : Rain Drop
| Chapter 3 | : Nightmare Surprise
| Chapter 4 | : She is ....
| Chapter 5 | : Someone 'Killer'
| Chapter 6 | : All Afraid 'Anxious'
| Chapter 7 | : Bad Think
| Chapter 8 | : Fall In Love
| Chapter 9 | : Confiused Feeling
| Chapter 10 | : If I ....
| Chapter 11 | : Nothing
| Chapter 12 | : Gift
| Chapter 13 | : Sign to Die
| Chapter 14 | : Galan
| Chapter 15 | : The Day
| Chapter 16 | : You [N]ever Come Again
| Chapter 17 | : Day 1 - Something Bad
| Chapter 18 | : Come Back Home
| Chapter 19 | : Day 2 - The Main Night
| Chapter 20 | : The Game
| Chapter 21 | : 'ONE' Stay A Life
| Chapter 22 | : Euna
| Chapter 23 | : 'TWO' Kill & Bill
| Chapter 24 | : You [N]ever Know
| Chapter 25 | : Yelin
| Chapter 26 | : Yudha
| Chapter 27 | : More Trap
| Chapter 28 | : See Me & Heartbeat
| Chapter 29 | : See You & Heartbreak
| Chapter 30 | : Get Out in Your Nightmare
| Chapter 31 | : Get Into Your Feeling
| Chapter 32 | : Empathy
| Chapter 34 | : Can't Control Myself
| Chapter 35 | : The Dark Wild
| Chapter 36 | : End Soon
| Chapter 37 | : Almost Give Up
| Chapter 38 | : Save E'Xit
| Epilog | : To Forever

| Chapter 33 | : Fearless

22 6 0
By KangZee_0

Hujan turun tidak seperti biasanya. Meskipun rasa gelisah hinggap akan pencahayaan kompleks akan segera lenyap. Listrik di rumahku selalu mati ketika hujan dan cuaca buruk datang. Entah sudah menjadi kebiasaan, semenjak aku bisa mengingat untuk pertama kalinya hujan turun bersamaan dengan kegelapan penuh di setiap rumah-rumah.

Jendela kamarku sudah basah karena terciprati air hujan. Sengaja tirai tidak kutarik karena aku ingin menikmati cuaca yang tidak kusukai ini. Langit terlalu mendung, sehingga malam terlihat akan datang lebih cepat. Masih ada dua jam lagi sebelum pukul delapan belas. Tapi sepertinya bokongku begitu betah dan tubuhku menyukai menghadap ke arah luar. Meskipun perasaan tidak enak ini datang selama berhari-hari. Mungkin biasanya juga seperti itu. Akan tetapi sekarang seolah persentasenya bertambah. Jauh lebih gelisah. Kekhawatiran yang berlebihan.

Ponsel pintar ditanganku seperti benda tak berharga. Entah kapan aku memainkannya. Hanya saja aku bukan tifekal mengutak-ngatik layar licin ponsel. Aku lebih suka tidur.

Sinar dari layar ponsel membuat mataku berkedut sesaat. Tanda bahwa jarang sekali indera penglihatku menatap layar ponsel. Dari menu utama sampai ikon-ikon kecil tidak sama sekali membuatku ingin bermain lebih lama lagi. Hanya ketika dalam urutan nomor yang pernah kusimpan. Nomor ponsel Galan, Euna dan rumah. Tempatnya begitu kosong. Nama Euna tertera paling atas dengan ikon anak ayam berwarna kekuningan mengingatkanku pada tingkah lakunya yang malu-malu. Rasa sedih mengingatkanku bahwa Euna sudah pergi jauh. Sekali saja aku bersikap egois, ketika kugeser nomornya untuk masuk ke dalam panggilan yang sejak awal aku tahu perbuatanku seperti orang bodoh. Dering panggilan masih berlanjut sepersekian menit dan aku menikmatinya sambil berkaca-kaca. Memohon jika dalam sekilas aku bisa mendengar sapaan Euna sama seperti kami berdua berada di sekolah atau pun ke mana saja bersama-sama.

Panggilan masih berlanjut hampir masuk ke menit kedua hingga tanpa kusadari sepersekian detik selanjutnya panggilanku terjawab. Panggilanku masuk!

"Apa?" bisiku sambil menatap layar ponselku dengan gemetar. Panggilan terjawab. Suara panggilan kutambahkan menjadi lebih keras. Meskipun tak bisa kubohongi saat ini jari-jariku bergetar hebat.

Aku bisa mendengar suara berisik seperti suara kertas yang dirobek dan tarikan napas kasar dari seberang sana. Tak ada tanggapan lebih sampai menit ke tiga ada helaan napas yang lebih kasar. Sontak bisikan-bisikan prasangka tanpa tahu malu mengisi kepalaku. Pasti dia!

"Kau menungguku?"

Hampir saja denyut jantungku berhenti sejenak dan mulai dengan ritme menggila. Aku masih menatap layar dengan tak percaya jika nomor Euna berhasil masuk dalam panggilanku dan aku tebak siapa yang mengangkat panggilan ini.

Hadiswa!

"Kenapa diam? Kau percaya suara ini adalah milikku?"

"Kenapa kau menyimpan ponsel Euna?" Suaraku ikut bergetar, sekuat tenaga menahan rasa ingin marah dan takut secara bersamaan. Ternyata menyiksa antara ketakutanmu berbalut amarah, ditambah gambaran jelas teman-teman yang meregang nyawa malam itu.

"Butuh alasan untuk pertanyaamu barusan? Tidak penting sama sekali."

"Di mana kau sekarang?"

Ada tawa renyah setelah aku bertanya demikian. Suara yang paling kubenci mulai sekarang adalah tawa tanpa dosanya itu.

"Kau ingin menangkapku? Oh benarkah! Dengarlah, sebelum itu terjadi, aku akan memberikan pelajaran lebih dulu untuk kekasihmu itu. Ck, dia sungguh mengganggu."

Kedua mataku membelalak tak terima. "Jangan ganggu Galan!"

Lagi-lagi tawa sialan itu pecah di telingaku yang sudah menolak untuk mendengarnya.

"Gadis bodoh, kau ingin tahu sesuatu? Sekarang saja aku tengah memantau kekasihmu itu. Tunggu saja, sebentar lagi dia juga akan tamat."

Belum aku meneriakinya dengan sejuta kalimat kotor, panggilan lebih dulu dimatikan. Aku sibuk memanggil nomor Euna meskipun pada akhirnya sambungan tidak masuk. Dia mematikan ponselnya.

Aku bangkit dengan gelisah, menekan nomor Galan di layar ponsel. Menunggu panggilan tersambung terasa menyiksa. Menit kedua baru layarku berubah. Galan menerima panggilanku.

"Halo? Aria?"

"Galan kau di mana sekarang?"

"Ada apa? Sepertinya kau cemas?"

"Katakan di mana kau sekarang?" Aku geram, seolah waktu menghitung baik-baik sisa hidup Galan di seberang sana. Dan aku harus menyelamatkannya sebelum Hadiswa lebih dulu.

"Di kafe milik cucu Paman Lu. Kau tahu?"

"Baiklah, aku akan segera ke sana dan jangan matikan sambungan teleponnya, mengerti!"

"Ya, tapi kenapa?"

"Nanti saja!"

Hampir saja aku menendang kursi karena beranjak dengan tergesa. Aku tidak peduli lagi. Menyambar jaket tebal karena udara di luar masih terasa dingin sehabis hujan mulai mereda.

Aku menuruni anak-anak tangga tanpa tahu Ibu memperhatikan tingkahku yang jelas ribut.

"Ada apa denganmu?"

Pertanyaan Ibu belum sempat kujawab dengan cepat karena aku sibuk memakaikan jaket ke tubuhku.

"Galan. Aku hendak menemuinya, secepatnya." Dengan hati-hati aku memegangi ponsel di tanganku dan bersyukur sambungan panggilanku belum diputus.

"Kenapa terburu-buru begitu? Di luar masih hujan gerimis kau akan sakit!" ucapnya sambil menahan lenganku.

"Ini darurat! Aku harus sampai sebelum ...." Sontak ucapanku terhenti karena aku hanya tidak ingin Ibu tahu jika sekarang Hadiswa tengah mengintai Galan. Tapi bukan itu saja, karena aku tidak ingin membuat Ibu marah perihal masalah yang belum tuntas ini.

"Jangan bilang kau masih ingin ikut campur dengan Hadiswa?" Bola mata Ibu begitu bulat ketika dia berkata barusan. Aku cukup ngeri melihatnya jika dia memiliki raut se-serius itu.

"Tidak, bukan itu. Ibu selalu saja menyangkut-pautkan masalah itu dengan apa pun yang kulakukan." Setidaknya perasaan bersalah itu kian bertambah ketika aku kembali membohonginya lagi. Maaf, aku harus melakukannya.

Perlahan Ibu melepaskan cekalannya di lenganku. Raut wajahnya berangsur-angsur tenang meskipun ada guratan kasar di bagian atas alisnya.

"Kau jangan berbohong pada Ibu," ucapnya kini jauh lebih mengerikan tertangkap oleh indera pendengarkau karena Ibu berkata dengan nada lebih dalam.

Ragu tapi aku secepatnya mengangguk padanya. "Ibu harus percaya padaku meskipun hanya sekali ini saja."

Kini giliran Ibu mengangguk kemudian berjalan pelan ke arah sudut rumah di mana keranjang tabung dari anyaman rotan kasar itu berada. Payung ungu gelap diambilnya penuh pertimbangan dan diberikannya padaku.

"Jangan sampai air hujan membasahi kepalamu," ucapnya sambil tersenyum tipis. Salah satu hal yang tidak ingin aku lihat adalah raut keterpaksaannya melepaskanku. Tapi mau bagaimana lagi, Galan adalah alasan utamaku membohonginya.

Aku segera menerimanya dan bergerak menuju pintu utama. Sebelum aku menutup pintu, sejenak aku berbalik menatap Ibu masih berdiri sendirian di tengah ruangan. Wajahnya masih sayu bersama senyum tipisnya yang perlahan menyadarkanku betapa senyumnya begitu rapuh. Tapi kepalaku lebih didominasi oleh pemikiran tentang perkataan Hadiswa di telepon. Untuk itu, aku menutup pintu tanpa berniat berbalik lagi lalu membuka payung saat aku melihat langit masih kelabu dan rintik hujan yang perlahan melebat. Entah kapan akan berakhir cuaca yang kubenci ini.

Langkahku terpacu keluar melewati halaman rumah, berlari di tengah ribuan rintik yang membasahi bumi. Meski dengan perasaan terombang-ambing oleh cemas serta rasa takut. Aku kembali mengecek ponsel, menempelkannya ke telinga sambil sibuk berlindung di bawah payung. Sambungan masih tersambung ketika tiba-tiba suara berisik yang nyaring di seberang membuat sambungan telepon terputus begitu saja.

"Galan? Halo, Galan!"

Degub jantungku hampir berhenti bersaman dengan langkah kakiku yang dipacu secepat mungkin. Tidak peduli letak payung yang tidak sepenuhnya melindungi tubuh bagian atasku karena yang terpenting sekarang adalah keselamatan Galan. Jangan sampai orang yang kusayangi di sekitarku kembali pergi dengan cara sama. Jangan lagi.

*****




Kang zeè 2022

Continue Reading

You'll Also Like

187K 5.4K 49
[Wajib VOTE Sebelum Membaca] The Billionaire Prison [Love is Difficult] Sungai Thames, London. 📌 "Bersihkan semua, jangan sampai ada yang tertinggal...
5.2K 805 9
[COMPLETED] Pertemuan singkat yang benar-benar singkat, karena dia hanya ilusi yang datang padaku lalu pergi dengan cara yang paling benar, namun tet...
6.2M 481K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
1.3M 94.4K 58
⚠️SEBAGIAN PART TELAH DI PRIVAT, FOLLOW TERLEBIH DAHULU UNTUK MEMBUKANYA⚠️ [Sedang dalam masa pengembangan cerita dan Revisi] "Heh kuman!" panggil se...