N O R M A L ✓

By loviendlolo

16.5K 3.8K 748

[LENGKAP] Yumna itu cewek cantik dan pintar dari SMA Mentari. Beberapa cowok pun berusaha mendekat, tetapi ha... More

1. Jangan NGATUR!
2. Cowok Minimarket
3. Masalah Baru
4. Datang Lagi
5. Butuh Perhatian
6. Siapa Sangka
7. Malam yang Panjang
8. Mungkin nggak?
9. Risih
10. Nggak Ada Rencana
11. Akan Membaik
12. Lupakan Saja
13. Cukup
14. Birthday
15. Panggilan Video
16. Clubbing
17. Pernah Bertemu
18. Kelas Dua Belas
19. Ancaman
20. Kelilipan
21. Latihan Gabungan
22. Foto Bareng
23. Kelemahan yang Kesekian
24. Khawatir
25. Dia ke mana?
26. Tersebar
27. Kita (pernah) terluka
28. Si Penyebar
29. Tuntas
30. Berani
31. Dia Datang
32. Ikatan
33. Sepakat
34. Tidak mau mati
36. Permohonan
37. Ungkap
38. Kalah
39. Gerak
40. Belum utuh.
41. Hangat
42. Terkabul
43. Buang Sial
44. Kekuatan
45. Fakta
46. Normal || End
Extra Part 1 - Penyelesaian
Extra Part 2 - Perasaan
Promosi shayy

35. Kisah

275 70 4
By loviendlolo

Note : sebelumnya baca part ini mungkin bisa baca part sebelumnya. Ada di part 4, 23, 26, 33 (walau cuma dikit-dikit tapi itu udah kode)

***

Empat tahun yang lalu...

Di pantulan cermin besar itu, sesosok gadis tersenyum puas melihat penampilannya. Seperti biasa, ia menggerai rambut panjangnya dengan gaya belah tengah. Hanya saja, rambut yang biasanya tidak dihiasi apa-apa kini diberikan sebuah jepit berbentuk bunga yang tampak cantik. Gadis itu membungkus tubuh dengan tunik lengan panjang magenta-nya, sementara betisnya dibiarkan terbuka. Disemprotkannya parfum aroma stroberi, memberikan kesan segar pada tubuhnya. Setelah memastikan penampilannya terasa sempurna, barulah ia keluar dari kamar.

"Kak, Na, mau ke mana?"

Kakinya belum menyentuh lantai satu rumah ini, tetapi adiknya yang lagi menonton televisi itu langsung bertanya begitu mengetahui keberadaannya.

"Kerjain tugas."

"Hari ini mau imunisasi Arra, setelah itu makan malem bareng lho, Kak." Papa menyahut dari arah dapur.

Gadis itu menyusul ke dapur, duduk di salah satu kursi meja makannya. "Aku nggak ikut. Mau ngerjain tugas sekalian cari sponsor buat OSIS, Pa."

"Aku ikut Kak Na." Anak laki-laki yang tadi menonton televisi kini juga ikut ke dapur.

"Nggak bisa, Bian," tolaknya. "Nanti kamu capek. Mendingan sama Mama Papa, di mobil adem."

"Sampe malem, Kak? Kamu nggak bisa izin pulang duluan?" tanya Mama dengan adik bayinya di gendongan yang sibuk meminum ASI itu.

Gadis itu menggeleng, "Aku perwakilan dari divisi Sponsorship. Papa Mama kalo mau pergi setelah itu nggak apa-apa, aku jaga rumah."

"Berani?" Sang Papa terlihat nggak yakin, tetapi dibalas dengan anggukan mantap gadis itu.

"Kamu nyusul aja, Kak," saran sang Mama. "Tetangga sebelah lagi pulang kampung, serem."

Tidak mau membantah, gadis itu mencoba mengangguk. "Lihat nanti."

***

Pukul empat sore, kumpulan dari anak SMP yang baru saja membahas mengenai festival di sekolahnya membubarkan diri. Sekolah mereka termasuk unggulan, sehingga segala acara dipersiapkan dengan benar oleh siswa-siswi pilihan. Gadis yang mendapat kesempatan itu nggak bisa menahan kegirangannya. Terlebih, laki-laki yang memberikan jepitan ini --hadiah tempo hari-- juga berpartisipasi. Bahkan, ia enggan beranjak dari tempatnya walau sebenarnya sudah bisa pulang atau menyusul keluarganya seperti kata mama.

Dia menyelipkan anak rambut di belakang telinga, matanya nggak lepas dari seorang lelaki di depan sana yang tengah membereskan barang bawaan. Laki-laki yang merasa diperhatikan itu menoleh, membuat gadis itu terperanjat karena tertangkap basah memergoki seseorang.

"Kenapa belum pulang?" Suara rendah dari lelaki itu terdengar. Tiap perlakuan kecil yang dilakukan oleh orang itu berdampak besar bagi hatinya. "Lo cantik pake jepitan itu."

Sontak saja hal itu semakin membuat hatinya nggak karuan. "Ma--makasih. Ini kan dari lo."

"Mau pulang bareng?"

Kesempatan itu tidak dibiarkan terbuang sia-sia. Sebagai remaja yang pertama kali merasakan hal semacam ini, dia merasa cintanya akan dibalas. Banyak tindakan-tindakan kecil dari orang ini yang selalu membuatnya menghangat. Seperti sekarang, dirinya berada di belakang pundak lebar sang lelaki. Menyusuri jalanan Jakarta yang menggelap dengan motor yang dikendarai Airlangga --nama cowok itu.

"Mampir makan dulu, ya, Na, gue laper."

"Oke."

Pada akhirnya mereka tidak sekedar makan. Setelah itu lanjut menjelajahi pusat perbelanjaan. Tidak banyak yang dilakukan, hanya melihat-lihat toko buku, keluar-masuk toko baju, dan menikmati siaran musik di pusat mall. Walau sederhana, hal itu cukup membuat si gadis tak henti-hentinya menahan senyum.

Gadis itu menikmati momen ini. Sampai tidak membuka ponselnya sama sekali, melupakan keluarga yang menunggu kabarnya di salah satu restoran.

"Mau langsung pulang?"

Barulah ia ingat sesuatu karena pertanyaan yang terucap. Dia melihat jam tangan yang melingkar, cukup lama memikirkan untuk menyusul keluarganya atau tidak. Sampai akhirnya dia berkata, "Iya, pulang aja."

Lagipula, dirinya sudah makan dan ia juga yakin keluarganya sama sepertinya sehingga lebih baik pulang ke rumah daripada menyusul.

Air mengantarnya sampai di depan gerbang komplek lantaran harus menjemput sang ibu. Gadis itu nggak masalah, setelah mengucapkan terima kasih dan melambaikan tangan, ia melangkah menuju kediamannya. Langkahnya terasa ringan karena baru saja menghabiskan waktu yang berharga. Dia menganggap dirinya adalah orang paling bahagia di bumi untuk saat ini sampai-sampai masih menyunggingkan senyum paling cantik sepanjang perjalanannya menuju rumah.

Tibalah ia di depan rumahnya sendiri. Senyum yang terukir tiba-tiba hilang begitu saja. Pagar rumahnya tidak tertutup sempurna, begitu masuk di garasi, jendela utama rumahnya terbuka. Gadis itu sempat terpatung, sebelum akhirnya mengirimkan pesan pada sang Papa.

Aku di rumah. Pa, kayaknya ada orang lain di sini.
Papa bisa pulang? Aku takut.

Bodohnya, gadis itu malah melangkah masuk. Ia membuka pintu dengan kunci cadangan yang dibawa, bukannya memilih menjauh. Di benaknya, ia hanya ingin memastikan sesuatu --siapa tau keluarganya lupa menutup pagar dan jendela, kan?

Padahal, sesuatu buruk menantinya di dalam.

***

"Kayaknya Papa lupa matiin keran di bathup."

Pria yang tengah menyantap makan malam itu bersuara. Wajahnya seperti mengingat-ingat sesuatu yang ia tinggalkan di rumah, seperti ada yang mengganjal di hatinya.

"Papa tumben banget, tadi salah belok, lupa naruh tiket parkir, sekarang bak mandi?" Mama mengunyah makanannya dengan kasar. "Lumayan jauh dari rumah, biarin aja."

"Kak Na mana, Ma?" tanya anak laki-laki mereka.

"Kakak lagi belajar, mungkin pulangnya malam. Bian, abisin makanannya, ya?"

Mendengar permohonan dari mama yang terdengar lembut itu membuat Bian mengangguk. Sebetulnya tadi mereka ingin langsung pulang, tetapi dokter anak terlambat hadir membuat jam makan mereka terlewat. Bian mengeluh lapar saat perjalanan pulang.

"Yumna nggak hubungin kamu, Pa?" Mama bertanya, pertanyaan sama yang ketiga kali.

"Mungkin repot, Ma. Papa pulang sebentar, ya?"

"Bareng kita aja, Pa." Mamanya menolak karena merasa alasan Papa tidak penting.

Papa menggeleng, "Sebentar aja. Ke rumah cuma setengah jam kok."

Melihat sang suami yang begitu keras kepala membuat mama nggak punya pilihan lain selain menyetujui. Makanan yang disentuh papa bahkan belum ada setengahnya, tetapi pria itu sudah beranjak keluar dari tempat ini untuk menuju rumah.

Ketika ia sampai di mobilnya, saat itu lah ponselnya bergetar. Dua pesan singkat dari anak sulungnya membuat perasaan yang tadi mengganjal kini berubah menjadi kekhawatiran. Mobil dikendarai dengan kecepatan tinggi, ia sempat menghubungi polisi untuk memeriksa kondisi rumahnya segera. Sayangnya polisi yang dihubungi itu tidak langsung bergerak.

Mobilnya bahkan sampai lebih dulu dalam waktu lima belas menit --dari yang seharusnya setengah jam itu.

Dengan perasaan yang kalut, pria itu hanya memarkirkan mobilnya asal di depan rumah. Suasana sekitar komplek rumahnya sepi, entah ke mana tetangga-tetangga yang lain atau satpam yang berkeliaran. Pria itu keluar dari mobil, bahkan tidak memedulikan mesin yang belum dimatikan.

Pintu dibuka dengan kasar, menampilkan keadaan rumah yang tidak baik. Vas bunga kesayangan istrinya pecah disertai perlengkapan rumah lain yang turut berjatuhan di lantai. Matanya juga menangkap sebuah toples garam yang sudah bertumpahan di lantai.

Memorinya mengingatkan pada saran yang selalu ia berikan kepada anak-anaknya, "Kalau ada orang jahat dan kamu gak bisa berantem, kasih benda-benda yang bikin mata pedih ke penjahat. Contohnya garam atau cuka."

Jika garam yang berceceran ini digunakan untuk melindungi diri, berarti putri sulungnya ada di sini.

"Kak!"

Suaranya bergema di seluruh lantai satu rumahnya. Tidak asa sahutan sama sekali. Ia mulai mengitari area yang luas ini, memeriksa tempat yang mungkin dikunjungi dengan perasaan cemas. Sampai akhirnya kegaduhan di kamar mandi menyita seluruh atensinya.

Melangkah dengan pasti, pria itu mulai mendekati kamar mandi. Telinganya mulai mendengar suara-suara yang membuat darahnya naik. Decitan tertahan anaknya dan juga desahan pelan yang menjijikan. Satu kali tendangan, pintu kamar mandi berhasil terbuka. Amarahnya sudah tak dapat dibendung lebih jauh melihat semua yang terjadi di depan mata.

"Jangan sentuh."

"Jangan sentuh dia sembarangan. Saya patahin tanganmu."

"Berhenti, saya nggak main-main. Jangan sentuh dia."

Pria berkepala botak di depannya tertawa remeh. Masih asyik menodai kesucian gadis remajanya. Pria itu maju, memberi sebuah bogeman mentah tepat di pipi pria plontos ini.

"Pa--pa." Rintihan pelan, hampir seperti bisikan keluar dari mulut anaknya. Suaranya terlewat lemah dari biasanya, tubuh anaknya sudah basah kuyup akibat penuhnya bathup yang ia lupa matikan itu.

Gadis itu mencoba bangkit, tetapi tubuhnya menolak. Ia hanya dapat menyaksikan lewat tangisan. Papa sedang berusaha melawan pria botak dengan tangan kosong, padahal dia tahu papanya nggak jago bela diri. Dari tempatnya, ia melihat keadaan papa terbilang sangat buruk. Berkali-kali tubuhnya terhuyung ke kanan-kiri disertai darah yang mulai keluar dari sudut bibir dan hidungnya.

Tangisan itu terdengar semakin histeris. Papa nggak tahu kalau ada dua orang lagi di rumahnya. Melawan satu orang kondisinya sudah seburuk ini, gadis itu tak membayangkan jika dua orang yang tadi sempat ia serang juga datang.

"ANAK LO NYERANG DULUAN MAKANYA GUA KASIH PELAJARAN, ANJING!" hardik si botak yang sudah menyudutkan papa di tembok kamar mandi. Dia bisa menyerang si pemilik rumah dengan bebas karena orang ini sudah tidak bertenaga.

"Ber--hen--ti." Meski rasanya sudah tidak karuan, gadis itu mencoba bersuara walau suaranya itu nyaris tak terdengar dan juga diredam oleh dentuman lain.

Tidak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Dua orang yang matanya diserang segera masuk dengan wajah marah. Penglihatan gadis yang ada di dalam bak mandi itu perlahan mulai mengabur. Sehingga adegan-adegan di depannya tidak terlalu jelas jika dilihat. Namun yang pasti, telinganya masih mendengar cukup jelas.

Sungguh di luar dugaan ketika indranya mendengar suara tembakan beberapa kali bersamaan dengan kesadarannya yang semakin menipis itu.

***

"SEHARUSNYA KAMU DENGERIN SAYA, YUMNA!"

Gadis itu bahkan belum sepenuhnya sadar saat membuka mata pertama kali. Di depannya sosok yang biasa ia sebut 'Mama' terlihat begitu menyeramkan. Namun, ia juga dapat melihat lelehan air mata di pipi mama sampai matanya membengkak. Rambut mama kelewat berantakan, mama sangat kacau.

Tubuhnya bergetar ketakutan saat terlintas di benaknya kejadian beberapa saat yang lalu. Napasnya mulai terengah-engah. Keningnya ikut berkerut menatap orang-orang yang mengelilinginya.

"SEHARUSNYA KAMU NYUSUL KITA BUKAN PULANG KE RUMAH."

"SEHARUSNYA KAMU PANGGIL SATPAM BUKAN KIRIM PESAN KE SUAMI SAYA!"

"SEHARUSNYA KAMU IKUT DARI AWAL BUKAN PENTINGIN TUGAS KAMU YANG NGGAK JELAS!"

Mama menunjuk-nunjuk ke arahnya dengan jari telunjuk. Yumna --gadis itu-- terasa ingin meledak sekarang juga. Orang-orang menatapnya iba, beberapa ada yang menenangkan mamanya sementara dia masih menerka-nerka, tentang kebodohannya yang mungkin saja...

"Papa mana?" lirihnya.

Kemudian yang ia lihat hanya wajah-wajah kesedihan yang menyimpan air mata. Seluruh energi terasa disedot habis, gadis itu melemas sambil menggelengkan kepalanya kuat. Kondisi papa yang ia lihat, suara terakhir yang ia dengar, suara tembakan itu seolah menyerangnya bertubi-tubi menjadi sebuah hal yang membuat seluruh raganya tak berkutik.

Otaknya sudah memikirkan suatu hal yang pasti terjadi. Penyebab mama membentaknya barusan, penyebab orang-orang menatapnya iba, dan penyebab tidak adanya sosok yang ia cari di antara orang-orang di sini.

Benar, bentakan yang mama katakan padanya. Sebuah kebodohan yang berdampak pada kesalahan besar.

Hal itu terjadi hanya karena dirinya yang baru pertama kali jatuh cinta dengan temannya. Serasa dibodohi oleh debaran hatinya sendiri. Padahal itu semua nggak sebanding dengan kasih sayang yang ia dapatkan selama ini. Melupakan jutaan cinta yang diberi dari sosok yang pernah ada; yang melindunginya sampai akhir. Keluarga.

Semua kesengsaraan di kehidupan berikutnya memang salahnya sendiri. Sampai kapan pun rasanya sulit memaafkan diri sendiri.

Memang sudah seharusnya, lebih baik ia tidak mencintai atau dicintai oleh siapa-siapa lagi.

***

hoho yang bertanya-tanya keluarga Yumna jadi benci banget sama dia mungkin udah kejawab 😶


Airlangga si cinta pertama Yumna

eh tanggal cantik

-211221-

Continue Reading

You'll Also Like

766K 56K 33
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
BAD JERRY By asem

Fanfiction

219K 39.3K 86
[17+] Jerry, sepuluh tahun hidupnya hanya berfokus pada pekerjaan, kedua putrinya, dan teman-temannya. Istri? Jerry sudah menduda sejak sepuluh tahun...
2.3M 125K 61
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
158K 17.5K 36
Terjebak dalam pilihannya sendiri, Cassandra Park, mencoba berusaha untuk mendapatkan hati suaminya, Jung Jaehyun