Me vs Papi

Por Wenianzari

39.8K 5.4K 1.6K

Kisah sederhana namun rumit dari mereka yang menjadi satu-satunya. Tentang Asterion Helios yang menjadi orang... Más

Pulang
Satu April
Peluk Untuk Pelik
Sebuah Harap
Ketika Durenes Baper
Minggu Manis
Kenapa - Karena
Hari Bahagia
Pundak Ternyaman Kedua
Dua Pagi
Menjenguk
Jealousy
Tujuan
Kencan
Don't Leave Me
Welcome to My House
Moment Langka Rion
Dinner
His Everything
Telling a Secret
Pengakuan
Bitter - Sweet
Perasaan Membingungkan
Karena Papi Berhak
Hallo Om Ganteng
Double Date?
Lost Control
Promise me
Terima Kasih dan Maaf
Ketakutan Terbesar
Don't Mess With My Daughter
Crying Sobbing
Last Chapter; Me vs Papi
Bonus; Belum Terbiasa

Morning Drive

671 105 41
Por Wenianzari

Pukul lima pagi. Langit masih sedikit gelap, tapi Adrastea sudah siap dengan seragam lengkap.

Gadis itu mengendap-ngendap seperti maling, ketika keluar dari kamar nya. Bahkan, sepatunya pun tidak langsung digunakan. Hal itu dia lakukan supaya derap kaki nya tidak terdengar. Dia ingin pergi sekolah diam-diam, supaya Papi tidak bisa melihatnya pagi ini. Iya, setelah kejadian kemarin, dia benar-benar enggan melihat Papi. Dia takut, sekaligus marah pada Papi nya.

"Shit!" Tea meringis ketika kakinya---yang hanya dibalut kaus kaki, menabrak guci besar dengan keras. Kontan Tea mendudukkan diri sejenak, karena rasa ngilu tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhnya.

Seandainya dia tidak ingat dengan peristiwa menyakitkan kemarin, Tea pasti akan berteriak kencang untuk memanggil Papi.

Usai mendiamkan diri sampai rasa sakit mereda, akhirnya Tea bangkit dan pelan-pelan mulai menuruni anak tangga. Tidak ada derap langkah yang terdengar, bunyi grasak-grusuk seperti pagi-pagi pada biasanya pun tidak ada, tapi entah kenapa tiba-tiba lampu menyala, membuat semua aktifitas yang Tea lakukan diam-diam rasanya percuma, sebab ketika dia menoleh ke belakang, Papi muncul disana dengan wajah datarnya.

Tea kontan meneguk salivanya seraya menunduk dalam-dalam. Rasa takut kembali menyelimutinya tatkala derap kaki Rion terdengar semakin dekat.

"Ini masih terlalu pagi untuk pergi ke sekolah, Adrastea." Padahal Rion mengucapkan nya biasa saja, tapi entah mengapa di telinga Tea terdengar seperti Papi sedang memarahinya.

"Atau mau jalan pagi terlebih dahulu?"

"Lihat sunrise? Sepertinya masih bisa. Mau?"

Tea masih tetap diam, tanpa sedikitpun niat untuk membalas ucapan Papinya.

Baiklah. Sepertinya Rion harus banyak bersabar demi meluluhkan hati anak gadisnya yang masih enggan berhadapan dengan nya.

"Oke. Papi tunggu di mobil." Akhir kata, hanya itu yang Rion ucapkan sebelum berjalan mendahului putrinya yang masih bergeming di tengah-tengah tangga.

"Tahu gini mending nggak usah bangun pagi!" Gerutunya kesal, sebab semesta tidak memihaknya. Alhasil---meskipun sedikit terpaksa, Tea tetap berada di satu mobil yang sama dengan Papi nya. Hanya saja, dia memilih duduk di kursi belakang. Sudah menjadi kebiasaan nya kalau sedang marah dengan Papi.

"Yakin mau duduk di belakang?" Lagi, Tea masih tetap diam.

"Padahal kalau di depan bisa lihat sunrise lebih jelas." Rion berusaha merayu, meskipun dia yakin putrinya akan tetap keukeuh.

"Adrastea?"

"Adrastea Aiona Helios?" Biasanya Tea akan cepat menyahut kalau Rion sudah memanggil nama lengkap nya. Tapi kali, berbeda. Ketika Rion meliriknya dari rear mirror, gadis itu hanya diam sembari memalingkan wajahnya ke samping.

Sudahlah, kalau tetap tidak ada respons, Rion memilih untuk menyerah. Dia pun lantas menyalakan mesin mobilnya, kemudian menginjak pedal gas, sehingga kini mobil audi berwarna kuning yang pria itu kendarai berhasil membelah jalanan.

Hawa dingin langsung merasuk pada tubuh Tea, begitu atap mobil terbuka. Cewek itu melirik sekilas pada Papi nya melalui rear mirror, dan kebetulan Papi nya juga sedang melakukan hal yang sama, sehingga untuk beberapa detik manik hitam mereka bertubrukan.

"Papi buka atap nya biar kamu bisa lihat sunrise." Katanya nya menjelaskan.

"Tapi kalau kamu kedinginan, Papi tutup---"

"Gak." Meski hanya satu kata yang terucap dari bibir Tea, Rion tetap senang mendengarnya. Karena sungguh, pria itu benar-benar rindu dengan suara Tea.

"Di samping kamu ada jaket Papi. Pakai aja kalau dingin." Dan setelah itu hanya ada suara angin saja yang memenuhi perjalanan pagi mereka.

Perjalanan singkat yang tanpa di rencanakan terlebih dahulu. Berbeda dengan beberapa bulan lalu yang sempat di rencanakan melihat sunrise tapi berakhir gagal.

Kadang memang, sesuatu yang mendadak lebih mungkin terjadi daripada yang sudah direncanakan.

"Adrastea," ujar Rion memecahkan keheningan.

Hingga tanpa sengaja, netra hitam legam ayah dan anak itu bersitatap untuk beberapa saat, sampai kemudian terputus begitu saja, ketika Adrastea memilih untuk memalingkan wajah ke sembarang arah.

Kalau boleh jujur, Rion sedih dengan bagaimana anak gadisnya merespons ucapan nya. Tapi tetap saja, duda anak satu itu tidak bisa menyalahkan Adrastea sepenuhnya, sebab tidak akan ada asap kalau tidak ada api.

Sampai pada akhirnya dia mengesah, sebelum kemudian melanjutkan ucapan nya.

"Papi minta maaf karena belum bisa jadi Ayah yang baik buat kamu."

"Tapi ada satu hal yang perlu kamu tahu,"

"Kamu adalah alasan buat Papi bertahan sampai saat ini."

***

Pagi ini kembali hangat seperti pagi-pagi sebelumnya untuk keluarga Lakeswara. Mereka sedang menyantap sarapan bersama, sambil sedikit berbincang-bincang mengenai hal konyol yang telah terjadi.

"Ma, Papa udah cerita belum sih kejadian di lokasi syuting yang bikin gempar para staff dan crew?" Tanya Evan yang membuat kening Jeni mengernyit.

"Yang mana? Yang salah satu artinya kesurupan?" Tanya Jeni memastikan. Karena Evan pernah menceritakan hal itu.

Evan menggeleng seraya menaruh gelas kosong yang isinya sudah dia tenggak sampai tandas. "Bukan itu, ini kejadian lucu. Kayaknya belum ya?"

"Yang mana sih? Coba cerita deh." Ucapan Jeni langsung diangguki Gaby yang saat itu sedang mengunyah roti tawar nya.

"Jadi gini, kemaren kan Papa sama crew lagi fokus kerja kan,"

"Iya terus?"

"Terus tiba-tiba ada yang teriak kencengggg banget. Papa panik dong?"

"Ho'oh. Terus-terus?" Jeni semakin antusias mendengarnya, sampai-sampai roti yang ada di tangan nya langsung diletakkan di piring. Sementara Gaby, cewek itu masih sibuk mengunyah sambil menyimak, tanpa minat merespons nya sama sekali.

"Papa kira ada yang kesurupan lagi dong? Tapi ternyata---" Kalimat Evan menggantung diudara saat tawa renyah nya keluar.

"Ternyata?"

"Ternyata ada stuff yang di kejar bencong sampai lari ketakutan. Hahahahahha sumpah Ma, itu kacau lucu banget. Papa sampai sakit perut." Tawa Evan menular pada anak dan istrinya sampai ruang makan jadi bergema. Padahal hanya bertiga, tapi rasanya seperti ada banyak orang.

"Bakalan lebih lucu lagi kalau Papa yang di kejar tuh." Celetuk Gaby yang menyempurnakan tawa Jeni jadi renyah.

"Eh kamu nggak tahu aja, Gab. Dulu Papa kamu pernah tuh sok-sok an godain bencong di pinggir jalan sama Papi Rion. Terus giliran di samperin malah lari pontang-panting sampai sendal ketinggalan."

"Beneran Ma? Ya ampun Papaaaa. Gaya banget hahahahahaha."

"Iya, mana posisinya waktu itu lagi double date. Mama sama Papa, Papi Rion sama mendiang Mami Lala."

"Oh iya? Terus Mama sama Mami Lala gimana tuh?"

"Ya ditinggalin lah."

"Astaga Papaaaa. Tega banget, loh. Lagian ngada-ngada aja deh pake segala godain bencong. Ide siapa sih?"

"Papi Rion tuh." Dusta Evan.

"Apaan. Itu ide kamu. Tapi bencong nya naksir sama Rion kan ya hahahahaha jadinya di kejar."

"Iya kan? Coba kalo waktu itu aku nggak sama Rion. Udah pasti aman-aman aja."

"Lebih aman lagi kalau kamu nggak pernah godain bencong nya." Dan kemudian suara tawa mereka kembali terdengar renyah.

Jalan kehidupan memang tidak pernah terduga. Boleh jadi kemaren berliku bahkan sampai dipenuhi dengan air mata. Tapi esok hari, tidak ada yang bisa menebak akan seperti apa keadaanya.

Seperti keluarga Lakeswara ini. Kemaren memang hari yang tidak mudah. Tapi ketika terus berusaha untuk memperbaiki semuanya, keadaan berbalik hingga menjadi seperti sekarang. Bahkan terasa lebih hangat dari sebelum-sebelumnya.

***

"Kamu kelihatan pucat? Kamu sakit Nou?" Ujar Valdo yang baru saja sampai pada meja Noushin.

Noushin mengesah seraya menyingkirkan laptop di hadapan nya. Ini sudah kesekian kalinya wanita itu mendengar kalimat tersebut sejak dia memasuki kantor.

Ya, hari ini Noushin memutuskan untuk pergi ke kantor, sebab kemaren Valdo merasa kewalahan karena ketidakhadiran bos nya dan juga dirinya. Tugas Valdo jadi berkali-kali lipat, disamping mencari keberadaan bos nya yang kemaren menghilang entah kemana.

"Saya baik-baik aja."

"Seriously? Tapi kamu pucat banget." Valdo jadi sedikit khawatir dibuatnya.

"Saya baik-baik aja. Ah iya, ini laporan kemaren?"

Meskipun khawatir, tapi Valdo hanya bisa pasrah karena pernyataan wanita itu yang kokoh menyatakan dirinya baik-baik saja.

"Oke kalau kamu baik-baik aja. Oh iya, ini tolong kamu salin, terus yang ini, kamu minta persetujuan Pak Rion."

"Uhm... Pak,"

"Ya?"

"Gimana kalo Pak Valdo aja yang minta persetujuan Pak Rion?" Valdo mengernyit. Heran dengan wanita di depan nya. Noushin tidak biasanya menolak pekerjaan, sekalipun pekerjaan itu benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Tapi ini, hanya meminta persetujuan saja... Kenapa wanita itu nampak enggan?

"Soalnya saya.... Saya harus menjadwalkan ulang pertemuan dengan sekretaris dari inverstor yang kemaren gagal Pak Rion temui."

"Memang nggak bisa lewat telepon?"

"Saya merasa bersalah Pak, jadi tidak sopan kalau hanya lewat telepon."

"Ah... Okay. Kalau begitu biar saya yang temuin Pak Rion."

Dapat dilihat kalau Noushin bernapas lega setelah mendengar penuturan Valdo.

"Terima kasih Pak." Valdo hanya mengangguk seraya mengulas senyum singkat, sebelum kemudian bergegas pergi.

Kepergian Valdo membuat Noushin bernapas lega. Wanita itu sontak melanjutkan pekerjaan nya yang sempat terhenti. Tapi baru beberapa menit, tiba-tiba kepala nya dihantam pusing. Noushin pun bangkit hendak mengambil air putih, akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, tubuhnya oleng sampai menabrak furnitur kantor sebelum kemudian kesadaran nya benar-benar hilang, dan dia tergelatak di lantai.

"Noushin!"

***

Adrastea Aiona Helios. Selain dikenal sebagai putri konglomerat, dia juga dikenal sebagai primadona di sekolah karena kecantikan dan juga prestasinya yang luar biasa. Dulu, Radha sempat insecure dengan cewek itu sampai enggan menjadi teman sebangku nya. Tapi ada satu insiden yang akhirnya membuat Radha sadar, kalau Adrastea hanyalah manusia biasa seperti dirinya, yang tidak akan bisa menjadi sempurna.

Iya, saat Radha tahu kalau Adrastea tidak punya seorang Ibu. Saat Radha tahu kalau kehidupan nya lebih berwarna daripada kehidupan Adrastea yang terdengar monoton dari cerita yang dia dengar langsung. Sampai kemudian saat kenaikan kelas, akhirnya dia dan Adrastea menjadi teman sebangku. Mereka sangat dekat, dan tidak di sangka bisa menyukai laki-laki yang sama, Alijendro Daniel Lee atau yang biasa di juluki Jeno. Ah... Tapi cerita itu agak keliru. Radha baru menyukai Jeno setelah Adrastea benar-benar tidak dekat lagi dengan cowok blasteran Korea itu. Lagian, kisah Tea dan Jeno sudah benar-benar berakhir di kelas sepuluh. Sebuah akhir tanpa prolog terlebih dahulu. Begitu kalau kata Jeno ketika ditanya hubungan nya dengan Adrastea seperti apa.

Bisa dibilang, Radha sudah benar-benar memahami Adrastea. Pun sebaliknya. Maka dari itu, ketika melihat Adrastea hanya diam sejak masuk sekolah sampai jam istirahat tiba, Radha dibuat gusar. Cewek itu ingin menanyakan kenapa, tapi Adrastea nampak tidak ingin diganggu oleh apapun, terlihat dari earphone yang terpasang di kedua telinganya.

Sampai akhirnya Radha menyerah. Dia membiarkan Adrastea hanya duduk menyendiri di kelas, sementara dia dan teman-teman yang lain bergagas keluar untuk makan, karena waktu makan siang sudah tiba.

"Kamu lagi ada masalah sama Tea?" Tanya Jeno memastikan, ketika dia dan Radha sudah sampai di koridor. Karena heran aja Tea dan Radha hanya diam-diaman sepanjang hari. Padahal ketika Radha mengonfirmasi hubungan nya dengan Jeno pun, Tea tidak marah sedikitpun.

Radha menggeleng frustasi. "Nggak. Dari pagi sampe sekarang aku ngajak ngobrol juga cuma jawab seadanya."

Jeno memicing. "Kenapa tuh anak?"

"Iya makanya. Aku khawatir deh. Apa lagi ada banyak masalah kali ya?"

"Mungkin?"

Sementara itu, ketika menyadari kelas sudah sepi, Tea melepaskan earphone nya. Dia terdiam tanpa niat untuk melakukan apapun. Entahlah apa yang membuatnya seperti ini, mungkin karena ucapan Papinya tadi pagi, atau karena foto yang dia lihat di instagram.

Ngomong-ngomong foto di instagram, itu adalah foto Sean dan juga Arista yang diunggah di akun sekolahnya, untuk promosi kegiatan sekolah. Dulu Arista adalah duta lingkungan sekolah, lalu jabatan itu turun ke Sean ketika dia duduk di kelas sebelas. Itulah mengapa sekolah memakai foto mereka.

Tea mengesah. Tidak habis pikir dengan masalah yang terjadi akhir-akhir ini. Padahal masalah dengan Papi saja belum selesai, tapi sudah ditambah masalah lainnya.

"Tea." Kontan gadis itu menoleh ke sumber suara, dan seketika mematung ditempat saat sosok yang sedang dia pikirkan berjalan ke arah nya.

Iya, itu Sean. Laki-laki itu duduk di hadapan Tea. Pandangan nya lurus ke depan, hingga iris mata keduanya bertemu.

"Aku minta maaf." Ucap Sean yang membuat Tea langsung mengalihkan pandangan nya.

"Kamu nggak perlu minta maaf. Kita sama-sama salah, Sean."

"Nggak. Itu salah aku sepenuhnya."

Tea kembali memfokuskan pandangan nya pada bola mata Sean yang sedang menatapnya sungguh-sungguh. Dia kontan menggeleng.

"Aku juga salah. Dan sepertinya... kita emang salah ada dalam hubungan ini."

"Tea---"

"Ayo putus." Bak petir di siang bolong. Ucapan Tea benar-benar mengejutkan Sean sampai cowok itu tidak bisa berkata-kata lagi.

"Tea."

"Sean," kali ini, Sean tidak suka bagaimana Tea memanggil namanya. Sebab, ada nada frustasi yang cowok itu tangkap dari indera pendengaran nya. Sehingga kemudian, Sean mengangguk mantap.

"Kita putus."

***

Kantor gempar ketika melihat bos besar mereka membopong tubuh seorang wanita yang tak lain adalah sekretaris nya sendiri. Tentu saja hal ini menjadi topik hangat, sebab, ada banyak saksi mata yang melihat betapa paniknya bos mereka.

Selain anak gadisnya, tidak ada satu pun wanita yang membuat Rion sepanik ini. Jadi, bisa dibilang... Ini kejadian sangat langka. Dan tentu saja, sulit untuk tidak dicurigai kalau tidak ada apa-apa diantara mereka.

"Gue nggak pernah lihat Pak Rion sepanik itu sebelumnya."

"Eh pernah tau, waktu Adrastea di kabarin sakit?"

"Oh iya. Tapi selama ini cuma Adrastea kan? Perempuan lain nggak ada yang bisa bikin Pak Bos kita panik."

Iya, kurang lebihnya begitu topik perbincangan para karyawan setelah melihat Rion membopong tuh Noushin.

Sementara itu, jauh dari kebisingan desas-desus yang ada, Rion termenung seraya memandangi wajah pucat Noushin yang terbaring lemah di sofa ruangan nya. Wanita itu masih belum sadar.

Well, Rion sudah memanggil dokter pribadi dan katanya Noushin hanya kelelahan. Meskipun begitu, Rion tetap takut kalau wanita di depan nya kenapa-napa.

Rion mengesah seraya mengusap wajah dengan frustasi, ketika kejadian semalam terputar di kepala nya.

"Saya minta maaf, Noushin." Saat itu Rion tidak tahu harus mengatakan apa selain permintaan maaf.

Noushin juga hanya diam. Mungkin lebih tepatnya berpasrah? Entahlah, malam itu Rion terlalu kalut sampai tidak bisa menyimpulkan nya.

Lama berada dalam posisi berpelukan tanpa kata yang terucap, akhirnya Rion merenggangkan nya, untuk kemudian menatap lekat pada manik yang terlihat sayu itu. Rion membelai kepala Noushin pelan, penuh sayang. Tapi kemudian Noushin menghentikan nya dengan cara memegang tangan pria itu.

"Nou---"

"Sebaiknya Pak Rion istirahat."

"Saya minta maaf." Noushin sempat termenung mendengar penuturan tulus pria di hadapan nya. Tapi hanya sebentar, sebelum kemudian dia bangkit.

"Pak Rion istirahat."

"Nou---"

"Eza udah jemput di depan. Saya pamit."  Tidak ada bantahan lagi dari Rion saat itu, meskipun sebenarnya dia ingin sekali mencegah wanita---yang sudah berbaik hati mau menjaga putrinya itu, untuk pergi meninggalkan nya. Tapi apa daya, Rion tahu kalau Noushin ingin ruang untuk dirinya sendiri. Maka terpaksa dia tetap diam seperti yang Noushin mau. Iya, hanya diam. Bukan istirahat sesuai apa yang wanita itu sarankan. Lagian, mana bisa untuk beristirahat sementara hati dan pikiran sedang kacau? Bahkan semalam Rion tidak tidur sama sekali.

"Pak Rion?" Gumam Noushin dengan suara paraunya, yang kontan membuat Rion langsung memfokuskan diri pada wanita itu.

"Syukurlah kamu udah sadar." Ucap Rion yang kemudian langsung mengambil tangan wanita itu untuk dia cium.

"Saya... Kenapa?" Ah, rupanya Noushin masih belum sadar sepenuhnya.

"Kamu pingsan."

"Pingsan?"

"Hm. Kamu sakit, kenapa nekat masuk kerja?" Kali ini nada bicara Rion terdengar mengintimidasi, sehingga lawan bicaranya hanya bisa diam.

"Saya baik-baik saja."

"Bahkan sudah tumbang pun, kamu masih bisa bilang baik-baik saja?" Rion sedikit meninggikan suaranya. Itu semata-mata karena dia khawatir.

"Nou, sesekali kamu harus jujur sama diri kamu sendiri. Kamu sakit, bilang. Kamu marah, bilang. Apapun itu, bilang. Jangan dipendam sendirian. Kamu punya saya untuk berkeluh kesah." Mendengar itu, Noushin langsung tertawa sumbang, membuat Rion mengernyit heran.

Hingga kemudian wanita itu memilih untuk bangkit dan duduk berhadapan dengan Rion.

"Pak Rion sendiri gimana?" Entah datangnya dari mana, Noushin berani mengatakan ini dengan nada yang cukup tinggi.

"Maksudnya?"

Hening.

Lensa mereka bersitatap, lama dan dalam, seolah-olah sedang menyelami satu sama lain untuk mencari jawaban lewat sorot yang terpancar. Sampai kemudian Noushin bersuara.

"Pak Rion punya saya buat berkeluh kesah, tapi kenapa memilih pergi untuk meredam semuanya? Kenapa memilih berbicara dengan yang sudah tidak ada, ketika ada saya yang siap mendengarkan semuanya?" Ada nada marah dan juga kecewa yang Rion tangkap dari untaian kalimat jujur yang Noushin katakan. Bahkan terlihat genangan air mata di kedua mata cantik wanita itu, sehingga membuat Rion hanya diam membeku ditempatnya.

"Saya tahu, memang sulit melepaskan kepergian seseorang. Apalagi seseorang itu amat sangat berarti bagi hidup Pak Rion."

"Tapi jika Pak Rion akan terus seperti itu, saya pikir... Untuk apa saya ada di hidup Pak Rion?" Genangan di mata Noushin berhasil turun membasahi pipinya.

"Saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk masuk ke dalam hidup Pak Rion, tapi kalau begini akhirnya..." Noushin menghela napas sejenak seraya menyeka air mata nya, lantas menatap jari manisnya yang terikat cincin berlian pemberian Rion.

Indah. Pikirnya.

Tapi bukan kah percuma jika keindahan itu ternyata menyakitinya? Hingga pada akhirnya, Noushin memilih untuk melepaskan nya. Dia mengambil tangan Rion, lalu mengembalikan cincin itu pada pemiliknya.

"Maaf Pak, saya nggak bisa." Ada kesedihan yang tidak bisa Noushin jelaskan ketika dia mengucapkan itu. Bahkan air matanya pun kembali membasahi pipinya, dan kali ini lebih deras dari sebelumnya.

Tapi, bukan kah begini lebih baik? Karena bertahan pun menyakitkan. Noushin tidak bisa jika harus hidup dengan seseorang yang masih dihantui masa lalu nya.

"Saya harus bagaimana supaya kamu bisa percaya lagi sama saya?" Ucap Rion setelah sekian lama hanya diam. Pria itu nampak gusar jika dilihat dari sorot matanya.

Noushin menggeleng pelan. Dia lantas menggenggam kedua tangan Rion erat-erat.

"Jangan memaksakan diri terlalu keras, hanya untuk kebahagiaan orang lain, Pak."

"Pak Rion berhak hidup dengan pilihan Pak Rion sendiri."

Memang, saat mengucapkan nya senyuman Noushin terlihat. Tapi perlu kalian tahu bahwa, hati nya terasa menyakitkan. Rasanya seperti patah sampai berkeping-keping.

Dan untuk mengembalikan nya ke bentuk semula, Noushin tidak tahu harus bagaimana.

Melepaskan memang tidak mudah. Tapi jika itu cara satu-satu nya yang membuat Rion tidak terbebani, Noushin tidak keberatan. Selama pria itu baik-baik saja, dia juga akan merasa demikian.

Bonus;

Noushin's diary;

I love you!!!♡♡♡

Tapi.... Bulan dan bintang tidak akan pernah bisa bersatu dengan matahari. Jadi, cukup sampai disini saja.









Kamar, 17 Mei 2022.

Seguir leyendo

También te gustarán

570K 10.1K 19
suka suka saya.
1.1M 113K 54
Ketika menjalankan misi dari sang Ayah. Kedua putra dari pimpinan mafia malah menemukan bayi polos yang baru belajar merangkak! Sepertinya sang bayi...
534K 34.8K 56
Cover by: google Entah dosa apa yang Tania lakukan sampai-sampai dunia mencampakkan Tania sesuka hati ke dunia asing yang bahkan Tania tidak tahu te...
66.8K 4.9K 25
menceritakan tentang remaja yang di usir oleh warga desa karena di fitnah mencuri oleh keluarga kandungnya sendiri. mampukah ia melewati masa sulitny...