Rea mengkedip-kedipkan matanya, menunggu jawaban yang akan di lontarkan oleh suaminya.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Kelvin malah menjawabnya dengan pertanyaan balik.
"Mas, kalau ada orang bertanya itu di jawab, bukannya malah di kasih pertanyaan balik. Jangan berusaha mengalihkan perhatian dong," balas Rea kesal.
"Ya sudah, mungkin karena saya gak makan siang tadi, lalu pekerjaan saya sebetulnya banyak hari ini, beberapa kali rapat di luar kantor juga. Bahkan sekarang saja saya bingung, bagaimana nasib pekerjaan saya yang harus di selesaikan hari ini," adunya dengan wajah memelas.
Memang tadi siang Rea makan sendiri di ruangan karena dia membawa bekal dari rumah. Jadi dia tidak tahu apakah suaminya makan siang atau tidak.
"Kok gitu, besok lagi jangan lupa makan siang. Sok-sokan mau diet lagi."
"Siapa yang mau diet? Saya gak bilang seperti itu. Hanya tidak sempat saja, bukan berarti mau diet, Rea." Kelvin tidak terima.
"Hm hm." Rea hanya menanggapinya dengan deheman saja.
Dia melirik ke arah meja, di sana ada sterofom makanan.
"Mas, itu kok gak di makan? Katanya belum makan siang," tanya Rea pada sang suami.
"Ya nunggu kamu nyuapin saya lah."
Jawaban Kelvin jujur sekali ya, sampai-sampai membuat Rea melongo. Padahal kan Pak Kelvin juga bisa makan sendiri, namun malah menunggunya.
"Hm, manja banget," ejek Rea.
"Rea ingat, tugas istri apa?"
"Melayani suami."
"Nah, itu tahu, kenapa harus protes?"
Rea tidak bisa menjawab apapun lagi, karena nyatanya dia sudah kalah telak. Rea mengambil sterofom itu dan membukanya. Ternyata isinya adalah bubur, Rea segera menyuapkan ke sang suami.
"Serasa punya bayi besar," gumam Rea yang mampu Kelvin dengar, tapi tidak di tanggapi oleh Kelvin.
"Besok lagi jangan lupa makan siang, gak usah gaya-gayaan. Pokoknya harus ingat, makan itu penting, Mas. Di balik pekerjaan yang menumpuk, kita juga harus makan, sayangi diri kita sendiri," ujar Rea memberikan nasihat kepada suaminya.
"Rea, kenapa kamu kalau sama saya banyak bicara? Kalau sama orang lain kenapa jadi pendiam?"
Pertanyaan macam apa yang di lontarkan Pak Kelvin padanya.
"Ya, soalnya kalau saya sudah nyaman sama seseorang, udah kenal deket gitu bisa akrab, Mas. Tapi kalau enggak akrab banget ya ngrasa kayak gak nyaman atau canggung gitu kalau mau ngobrol. Selain itu, kalau saya sama Mas gini itu kayak gak usah mikir mau bicara apa, tapi kalau sama orang lain harus mikir mau bicara apa. Lalu yang kita bicarakan itu benar atau berkenan di hati mereka enggak. Jadinya malah gak jadi bicara apa-apa dan cuman diem aja."
Kelvin mendengarkan dengan seksama dan dia mengangguk. Ya sudahlah, dia harus bisa memahami istrinya.
"Btw, ini bubur yang beliin siapa?" Entah mengapa Rea malah bertanya hal yang tidak penting seperti itu.
"Dea yang beli."
Rea menganga, sedekat itu kan suaminya dengan Mbak Dea. Sampai-sampai untuk urusan makanan saja Mbak Dea yang membelikan. Rea memberengut, dia menatap lekat ke arah Pak Kelvin.
"Sebenarnya, Mas ada hubungan apa sama Mbak Dea?" tanya Rea curiga.
"Hubungan rekan kerja, antara atasan dan bawahan." Kelvin menjawab dengan jujur.
"Beneran bukan yang lain?" Rea masih tidak percaya.
"Iya, untuk apa saya berbohong. Kamu tidak suka kalau sekertaris saya Dea?" tanyanya sembari menaikan satu alisnya.
"Memangnya kalau saya bilang gak suka, Mas mau langsung ganti sekertaris gitu?"
"Ya enggak juga."
Rea melotot, dia pikir Pak Kelvin langsung berkata iya saat dia bertanya tadi. Memang semua itu tidak sesuai dengan ekspektasi.
"Mbak Dea cantik ya, Mas."
"Cantikan kamu kalau menurut saya."
"Body-nya juga bagus ya, tinggi, langsing lagi, kayaknya idaman banyak pria."
"Iya memang idaman."
Rea melotot, suaminya kenapa berkata seperti itu?
"Tapi bagi saya yang lebih idaman itu kamu."
Sekarang pipi Rea jadi merona karena perkataan suaminya. Tidak apa serasa di jatuhkan di awal tapi ternyata di terbangkan di akhir.
"Mbak Dea udah punya pacar belum?"
"Ya mana saya tahu, untuk apa saya ngurusin orang lain. Ngurusin kamu saja terkadang saya pusing."
Rea mengerutkan bibirnya, jadi itu kejujuran yang dikatakan oleh sang suami.
"Ya sudah gak usah ngurusin saya lagi aja," ujar Rea ketus.
"Saya bercanda, Sayang." Kevin tampak tersenyum tipis karena melihat istrinya merajuk.
"Gak usah ketawa, entar giginya copot," cletuk Rea kesal.
"Mana ada, jangan mengada-ada."
Rea tidak membalas, jika dia berbicara dengan suaminya itu, pasti ada saja yang akan di jawab oleh suaminya. Seolah-olah Pak Kelvin tidak mau kalah dengannya.
"Mas, tadi itu para cewek-cewek pada iri sama Mbak Dea tahu, karena dia sendiri yang boleh masuk ke unit kesehatan buat nemuin Mas Kelvin, sedangkan cewek-cewek yang lain gak boleh," adu Rea.
"Termasuk kamu kan yang iri," cletuk Kelvin.
"Eh, gak gitu ya."
Kenapa jadi Rea yang di tuduh juga, tapi sebenarnya dia tidak iri. Hanya kesal saja, karena kan dia isterinya tapi tidak boleh menjenguk suaminya sendiri. Sedangkan Mbak Dea yang hanya sekertarisnya saja boleh menjenguk Pak Kelvin.
"Gak mau ngaku, kan, ya sudahlah. Ayo pulang, saya sudah kangen sama rumah."
Kelvin bangkit dari ranjang dan memakai kembali sepatunya. Sedangkan Rea terdiam, ternyata yang di kangeni hanya rumah saja.
"Oh iya, yang tadi saya katakan itu gak bercanda sebenarnya," ujarnya ketika dia sudah berjalan.
"Yang mana, Mas?"
"Yang ngurusin kamu juga sudah membuat saya pusing." Kelvin dengan santainya langsung keluar dari ruangan ini.
Rea melotot, jadi yang dikatakan suami itu memang benar adanya? Dia selalu membuat suaminya pusing begitu?
***
Malam ini Kelvin sedang menatap istrinya yang sedang asik memainkan ponselnya sembari duduk di kasur dan bersandar. Tapi bukan itu masalahnya, Rea sedang merajuk padanya karena perkataan dia tadi sore. Sedari tadi Rea bahkan tidak mau berbicara padanya.
"Hm." Kelvin berdehem, tapi tidak mendapatkan jawaban dari Rea.
"Rea, lagi apa?" tanyanya dan di balas lirikan dari Rea.
Kelvin tidak bisa tinggal diam seperti ini saja. Dia pun ikut mendudukan dirinya di samping sang istri.
"Kamu marah?"
"Untuk apa? Mas gak usah ngurusi saya deh, nanti pusing lagi," sindir Rea.
Kelvin menghela napas, padahal kan tadi dia tidak benar-benar serius. Memang terkadang Rea sangat sulit untuk di ajak bercanda.
"Katanya kamu udah akrab sama saya, kalau bicara gak perlu di pikir lagi. Tapi kenapa kalau saya yang berbicara gak di pikir kamu jadi yang marah?"
"Ya pokoknya Mas yang salah."
Kelvin menghela napas, memang perempuan itu selalu benar dan laki-laki yang selalu salah. Mungkin memang sudah seperti itu nasibnya.
"Rea," panggil Kelvin lembut.
"Udah ah sana pergi, ganggu aja deh." Rea kesal, dia menyingkirlah tangan suaminya yang sedang merangkulnya.
Kelvin harus sabar, memang menangani anak kecil tidak semudah yang di bayangkan. Masalahnya kan jarak dia dengan Rea juga sangat jauh.
"Kamu kok sensitif banget, jangan-jangan kamu." Kelvin mengkedip-kedipkan matanya.
"Hamil gitu? Enggak ya, Mas, orang tadi aja saya datang bulan."
Rea tidak sepolos itu ya, dia tahu apa maksud dari suaminya. Walaupun untuk pemikiran yang lain terkadang dia masih polos.
"Yah." Kelvin menghela napas beratnya.
"Hari pertama lagi, sakit," adu Rea memelas.
Kelvin langsung menyenderkan kepala Rea ke bahunya, dia mengusap perut Rea dari balik bajunya.
"Pantesan dikit-dikit marah, mana curigaan banget sama Dea lagi. Biasanya juga cuek-cuek aja."
Rea tidak menanggapinya, dia lebih memilih untuk menyerahkan ponselnya ke Kelvin agar di taruh di meja. Ternyata berdua bersama sang suami seperti ini lebih asik daripada sekedar membaca wattpad. Karena tadi Rea memang sedang membacanya.
"Re, gimana udah dapat banyak teman di kantor?"
Rea yang awalnya memejamkan mata kini membuka matanya.
"Belum," jawabnya pelan.
"Kenapa? Kan saya udah bilang kamu harus belajar bersosialisasi. Punya banyak teman itu enak, setidaknya kamu tidak selalu merasa kesepian."
"Kan saya sudah bilang, Mas, buat saya bersosialisasi itu sulit."
"Itu hanya pemikiran kamu saja, cobalah keluar dari zona nyaman. Bagi saya, tidak ada orang yang introvet, hanya dia mau tidak keluar dari zona nyamannya, karena semua itu perlu terbiasa dan memang harus di paksakan di awal."
Rea tidak suka pembahasan yang seperti ini. Seolah-olah dia di tuntut untuk bisa memiliki banyak teman. Padahal kan tidak semudah itu agar punya banyak teman.
"Mas bisa bilang seperti itu karena Mas gak pernah ngerasain hidup seperti saya. Di bully terus semasa sekolah, dari TK sampai SMK, jadi buat saya takut buat menjalin pertemanan. Hidup saya itu terasa sulit, Mas, entah kapan bisa benar-benar bahagia."
"Kamu salah jika berpikir seperti itu, Rea. Berpikirlah jika hidupmu itu selalu bahagia, maka akan di pastikan kamu akan merasakan kebahagiaan. Tapi, jika kamu selalu berpikir hidupmu menderita, pasti kamu akan selalu merasa terus menderita di hidupmu. Jadi, banyak-banyaklah berpikir positif daripada negatif. Jangan lupakan orang-orang yang hidupnya lebih menderita daripada kamu."
Rea berpikir sejenak, kenapa rasanya dia tidak terima dengan perkataan suaminya?
"Kalau kamu bilang saya bisa bicara seperti ini karena saya gak pernah ngerasain jadi kamu maka kamu salah, Rea. Saya itu hidup lebih lama daripada kamu, saya sudah pernah merasakan seumuran kamu tapi kamu belum pernah merasakan seumuran saya." Kelvin menjeda ucapannya.
"Kehidupan itu banyak rintangannya, Rea, dimasa kamu sekarang ini, belum benar-benar bisa melihat dunia secara luas. Memang di masa umur kamu sekarang, masih banyak insecure, overthinking, ngrasa hidupnya banyak beban, menderita, ngrasa gak bahagia. Tapi yang harus kamu tahu, semakin kamu dewasa maka kamu akan semakin bijak dan mengerti akan dunia secara luas. Semua pikiran negatif itu akan sirna seiring bertambahnya usiamu, kamu akan berpikir semua itu tidak penting kamu pikirkan, karena yang terpenting adalah bagaimana mengadapi tantangan hidup yang semakin sulit."
"Tapi kan saya juga masih belum dewasa, jadi gak papa dong kalau berpikiran seperti itu." Rea tidak mau kalah.
"Dewasa bukan perkara umur, Rea, tapi bagaimana kamu bersikap. Apa kamu akan terus berpikir seperti anak-anak? Kan tidak. Satu lagi, jangan pernah berpikir jika kamu di tuntut dewasa oleh keadaan. Karenanya nyatanya, itu semua adalah proses dari pendewasaan dan kamu harus bisa menerimanya mengingat umur kamu yang semakin bertambah. Sudahlah, kamu pasti akan paham sendiri jika umur kamu sudah seumuran saya."
Inilah yang Rea senang dari Pak Kelvin, karena sang suami lebih dewasa 9 tahun darinya maka pemikirannya juga sudah lebih dewasa daripada dia. Pak Kelvin selalu bisa memberikan dia motivasi dan pengarahan, agar pemikirannya lebih terbuka.
"Mas, makasih, entah kenapa mendengar semua itu hati saya jadi adem. Mas mau kan jadi pendengar saya selalu? Sekarang saya sudah memutuskan, bahwa buku diary saya itu adalah Mas Kelvin saja. Saya gak perlu beli buku diary."
Kelvin malah terkekeh saat mendengar penuturan Rea.
"Iya, saya mau jadi buku diary kamu." Kelvin memberikan satu ciuman ke puncak kepala istrinya.
"Yaudah yok tidur, udah ngantuk."
"Saya jadi ngerasa mendongengin kamu tadi."
"Eh enggak ya, gak salah maksudnya," ujar Rea dengan cengengesan.
"Rea!" Pak Kelvin menatapnya tajam.
"Ampun Mas, gak lagi-lagi deh." Rea mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya menjadi huruf V.
"Yaudah ayo tidur, ngantuk." Kelvin langsung merebahkan tubuhnya di kasur dan diikuti oleh Rea.
***
Next gak nih?
Jangan lupa share cerita ini ya, vote dan komen juga.