~Happy reading~
Jenderal merebahkan tubuhnya diatas lantai yang tak beralaskan apapun dengan kedua kelopak mata terpejam. Laki-laki itu memijit pelipisnya lalu setelah itu satu tangannya menutupi wajah guna menghalau sinar matahari yang seakan ingin menusuk kedua bola matanya.
Istirahat siang itu dihabiskan oleh Jenderal diatap sekolahnya bersama Laras yang kebetulan ada disana, gadis itu sibuk bermain game diponselnya.
Jenderal menarik nafas pelan ketika ia menghembuskannya ia merasakan sesuatu yang kental dan berbau anyir mengalir bebas dari kedua lubang hidungnya.
"Lagi?" gumamnya pelan sekali sambil mengusap darah yang mengalir dari hidungnya mengunakan ibu jarinya.
Bulan ini ia sudah mimisan beberapa kali dan ia sama sekali tidak tau apa penyebabnya, lagipula Jenderal terlalu sibuk untuk sekedar peduli.
Laki-laki itu lalu menegakkan tubuhnya setelah menyambar sapu tangan yang ada dikantung celananya, Jenderal tidak ingat betul sejak kapan ia jadi rajin membawa sapu tangan kemana-mana tapi yang jelas hal itu sudah menjadi kebiasaan sejak ia sudah mulai mengalami mimisan.
"Hei, Jen!"
Suara Laras yang tiba-tiba menarik atensi Jenderal lalu laki-laki berdeham kecil.
"Hm?"
"Mau Nanya."
"Paan?"
"Dulu lo pasti pernah suka sama gue kan?" tanya Laras namun ditelinga Jenderal itu terdengar seperti sebuah tuduhan.
"Itu sebuah pertanyaan, pernyataan atau tuduhan?" lantas tertawa kecil. "Kenapa coba lo bisa berpikiran kalo dulu gue suka sama lo?"
"Ya, soalnya kan kita udah temenan dari kecil, Jen."
"Cuma karena kita temenan dari kecil lo berpersepsi kalo gue pernah suka sama lo?" kata Jenderal.
Gadis disampingnya itu terlihat menarik napas panjang. "Ya gue pernah denger aja sih Jen katanya kalo cewek sama cowok udah temenan dari kecil, dari kecil udah bareng-bareng pasti salah satu diantara mereka ada yang memiliki perasaan lebih dari seorang teman."
"Ya bukan berarti itu gue bisa aja lo yang pernah suka sama gue, yakali Ras lo yang item buluk yang selalu gue anggap adik bisa-bisanya gue suka sama cewek pecicilan kayak lo!"
"yeu kalo enggak yaudah sih enggak usah ngatain segala!"
"Lagian lo denger dari mana coba?"
"Shaka."
"Lah? Kok? Jangan bilang Shaka pernah cemburu lagi sama gue?" tanya Jenderal
Setelahnya laki-laki itu menengadahkan kepalanya sambil menekan hidungnya dengan sapu tangannya hal itu membuat Laras yang ada disampingnya terjingkat ketika melihat cairan merah yang ada disapu tangan laki-laki itu.
"Ya mung——Jen lo mimisan?" tanya Laras, ada kerutan samar-samar didahi gadis itu.
Laki-laki itu menggeleng pelan.
"Nggak usah bohong lo sama gue!" Ujar Laras setelah meletakan ponselnya disaku kemeja sekolahnya.
"Enggak mimisan cuma-"
"Cuma apa?"
"Keluar darah dikit doang dari hidung."
Laras berdecak keras mendengarnya sementara Jenderal hanya menyengir.
"Gue oke kok cuma lagi kecapekan doang akhir-akhir ini."
"Sejak kapan?" tanya Laras tiba-tiba hanya untuk membuat dahi Jenderal berkedut.
"Apanya?" laki-laki itu menjeda kalimatnya hanya untuk kembali menekan hidungnya dengan tisu yang diberi oleh Laras beberapa detik yang lalu. "Mungkin gue kebanyakan belajar kali ya!"
"Sejak kapan sih Jen orang bodoh kayak lo rajin belajar, gue ngerasa impossible tau gak!"
"Justru karena gue bodoh Laras makanya gue belajar! Udahlah, biasa, paling gue cuma kecapekan doang kok sama kurang tidur lagian akhir-akhir ini gue juga banyak pikiran."
"Kecapekan sama banyak pikiran karena apa lo? Karena Lana?"
"Apasih Ras?! Bukan!"
"Sejak kapan, Jen?" tanya Laras.
Jenderal terlihat menghela nafas gusar, laki-laki itu sama sekali tidak peduli dengan pertanyaan temannya itu dan enggan untuk menjawab pertanyaan tersebut lalu laki-laki itu kembali merebahkan tubuhnya diatas lantai namun, sebelum punggungnya benar-benar menyentuh lantai Laras telah lebih dulu menarik tangan laki-laki itu dan membawanya turun dari atas rooftop.
****
"Kayak enggak ada waktu lain aja sih, Ras. Nanti-nanti 'kan bisa!"
Laras merotasikan bola matanya malas, gadis itu tampak berdecak keras. "Iya, nanti-nanti tuh kapan?! Tunggu matahari terbit dari barat? "
Ttukkk
Jenderal menyentil dahi gadis didepannya itu lantas berdecak pelan. "Lambehmu kalo ngomong difilter dulu ya nder, entar kalo beneran kejadian ketar-ketir!"
Si gadis yang disentil terlihat meringis pelan. "Makanya ayo sekarang gas! Jom hospital! "
Si laki-laki yang diajak mengeleng pelan membuat si gadis berkacak pinggang seraya berdecak keras.
"Mau jalan sendiri atau gue seret?"
"Entar aja ye?!" Jenderal menjeda kalimatnya yang justru mendapatkan tatapan tajam dari teman masa kecilnya itu.
"Pulang sekolah deh." lanjutnya. Laras terlihat mengelengkan kepalanya. "Lagian napa harus sekarang sih?"
"Biar sekalian, Jen!"
"Sekalian apa?"
"Bolos, gue males belajar kimia."
Tttuukk
Jenderal menyentil dahi Laras untuk kedua kalinya membuat gadis itu mengaduh kesakitan. Lalu Jenderal menghembuskan napasnya panjang.
"Ternyata ada niat lain diselubung niat baik lo ye!"
"Ibaratnya ya kayak berenang sambil minum air."
"Sendiri aja nder, gue balik ke kelas ye!"
"Susah amat sih Jen ikut gue lagiankan niat gue baik!"
Jenderal menggeleng keras lalu laki-laki itu membalikkan tubuhnya kebelakang, berniat kembali ke kelasnya namun saat tubuhnya berbalik kebelakang hal yang pertama kali ia temukan adalah sosok laki-laki bertubuh bongsor berdiri menjulang dengan jarak dua meter didepannya.
Itu Rean, Reano Aldebaran.
****
"Ternyata kamu disini, dicariin daritadi!"
Jenderal menoleh mendengar sebias suara yang lembut itu. "Kenapa nyariin aku?"
"Kangen."
Gerakan tangan Jenderal yang sibuk berkutat dengan gitarnya terhenti lantas laki-laki itu tertawa kecil. "Baru tadi malem kita ketemu,"
"Tapi, aku udah kangen lagi!"
Laki-laki itu mengulas senyuman yang paling indah. "Tadi malem sebelum aku pulang ada yang janji sama aku."
"Siapa?"
"Orang itu janji bakal nemuin aku pukul tujuh disekolah tapi dia baru nampakin batang hidungnya pukul satu siang, ngaretnya keterlaluan banget gak sih?" kata Jenderal yang hanya membuat Lana yang ada disampingnya tersenyum kikuk sambil meringis.
"Enggak nepatin waktu banget sih tuh orang! Orang kayak gitu jangan dimaafin, Jen. "
"Jadi orang yang kayak gitu gak pantes dimaafi, ya?"
"Eum——"
"Yaudah aku gak mau maafin orang itu deh!" kata Jenderal membuat Lana terjingkat.
"Jen, aku bercanda. Maaf ya."
"Loh emangnya kamu? Tadi kata kamu orang yang kayak gitu gak usah dimaafin 'kan?"
"Tadi aku beneran bercanda loh,"
"Ya terus?"
"Maafin!"
"Aku pernah bilang apa deh, Lan?"tanya Jenderal membuat Lana tersenyum tipis lalu berujar.
"Tadi pagi aku temenin Rean dulu check-up terus telat kesekolah makanya gak bisa nepatin janji aku buat ketemu sama kamu pukul tujuh disekolah." katanya, lantas kedua sudut-sudut bibir gadis itu tertarik sempurna keatas membentuk senyumanan manis. "Alih-alih kata maaf aku lebih suka kamu berikan senyuman, iya kan?"
Jenderal tersenyum tipis sambil mengangguk. "Tadi aku ketemu Rean."
"kalian ngobrol?"
"Enggak. Cuma ketemu sekilas, sama saling senyum doang." laki-laki itu menjeda kalimatnya sebelum akhirnya menghela napas pelan. "Dia gimana?"
Lana diam sesaat terlihat menarik napas pelan. "Dia itu udah dibilang jangan capek-capek tapi tetep aja ngeyel dan akhirnya kambuh lagi 'kan, tapi untungnya akhir-akhir ini penyakit lupus dia gak separah dulu karena rajin diobatin, tapi..."
"Tapi, apa?" tanya Jenderal lalu sepersekian detik kemudian laki-laki itu menarik napasnya panjang lantas berujar. "Hati nya?"
Lana terdiam untuk beberapa detik Sementara Jenderal masih menunggu jawaban gadis itu lalu untuk sepersekian detik kemudian Jenderal tercekat mendengar seruan Lana.
"Rean butuh transplantasi hati secepatnya!"
Bersambung...