Affection

By sourpineapple_

480K 33.8K 449

COMPLETE - FOLLOW SEBELUM MEMBACA Mature Content (18+) so selection ur reading. *** Derana Gangga Mirabelle... More

P R O L O G
BAB SATU
BAB DUA
BAB TIGA
BAB EMPAT
BAB LIMA
BAB ENAM
BAB TUJUH
BAB DELAPAN
BAB SEMBILAN
BAB SEPULUH
BAB SEBELAS
BAB DUA BELAS
BAB TIGA BELAS
BAB EMPAT BELAS
BAB ENAM BELAS
BAB TUJUH BELAS
BAB DELAPAN BELAS
BAB SEMBILAN BELAS
BAB DUA PULUH
BAB DUA PULUH SATU
BAB DUA PULUH DUA
BAB DUA PULUH TIGA
BAB DUA PULUH EMPAT
BAB DUA PULUH LIMA
BAB DUA PULUH ENAM
BAB DUA PULUH TUJUH
BAB DUA PULUH DELAPAN
BAB DUA PULUH SEMBILAN
BAB TIGA PULUH
BAB TIGA PULUH SATU
BAB TIGA PULUH DUA
BAB TIGA PULUH TIGA
BAB TIGA PULUH EMPAT
BAB TIGA PULUH LIMA
BAB TIGA PULUH ENAM
BAB TIGA PULUH TUJUH
BAB TIGA PULUH DELAPAN
BAB TIGA PULUH SEMBILAN
BAB EMPAT PULUH
BAB EMPAT PULUH SATU
BAB EMPAT PULUH DUA
BAGIAN EMPAT PULUH TIGA
E P I L O G

BAB LIMA BELAS

9.8K 761 5
By sourpineapple_

Sedari sore tadi cuaca di kota metropolitan ini tak bersahabat, hujan dengan deras mengguyur bumi bersama dengan kilat-kilat sambaran petir yang terdengar, membuat para manusia enggan untuk sekadar keluar rumah, memilih untuk menetap, menikmati suasana dingin dengan secangkir minuman hangat serta acara televisi.

Seperti sekarang ini, Dera tengah sibuk berkutat di pantry untuk membuat cokelat panas, sesekali wanita itu memperhatikan ke luar ventilasi dapur dimana cahaya kilat petir nampak nyata menyala-nyala.

Mengeratkan kate silk-nya, wanita itu mengusap lengan. Niat untuk membawa cokelat panasnya terurungkan begitu ia mendengar suara panggilan dari ambang dapur.

"Mommy."

"Hm?" sahutnya spontan bersamaan dengan kepalanya yang menoleh. Begitu melihat siapa yang memanggil, kedua sudut bibirnya langsung mengulas sebuah senyuman.

Teringat jika dua minggu ini, ia sudah bisa dekat dan akrab dengan anak-anaknya, secara perlahan mereka mulai menganggap keberadaan Dera di keluarga ini sebagai seorang ibu, mereka juga tak lagi sedingin dulu, dan Dera amat sangat bersyukur akan hal itu, berharap jika keadaan akan semakin membaik seiring berjalannya waktu nanti.

"Mommy lagi bikin apa?" tanya Raiden yang datang dari depan dengan piyama abu-abu motif beruang.

"Oh, ini lagi bikin cokelat panas. Kamu mau juga?" tawar Dera.

Mengembangkan senyumnya, Raiden mengangguk. "Mau!" sahut pemuda itu antusias, berlari kecil untuk mendekat.

Pada saat yang sama, kilat petir kembali menyambar, terdengar keras dan begitu menggelegar membuat ruang yang tadinya tampak terang itu gelap seketika lantaran seluruh penerangan di rumah padam.

Dera sampai terkesiap lantaran terkejut, sedang Raiden mematung di tempat dengan napas tersendat, ketika berusaha melihat sekitar dan yang ia dapati hanya kegelapan membuat dada pemuda itu seperti ditimpa beban berat hingga kesulitan untuk bernapas, tubuhnya meluruh dengan kedua tangannya yang mencengkram kepala.

"Raiden? Kamu masih di situ 'kan?" panggil Dera, berjalan pelan, meraba sekitarnya untuk mencari sang putra, suara hujan yang kian deras seolah menambah suasana mencekam dari gelapnya malam.

"Raiden! Raiden! Kamu dimana?!" Teriakan memanggil yang sayup-sayup terdengar membuat pemuda bertubuh kecil itu kian meringkuk dengan kelebatan ingatan buruk yang terus bermunculan di kepalanya tiap kali ia terjebak pada keadaan seperti ini.

"K-kakak ... t-takut ...," lirih pemuda itu dengan napas kian tak beraturan ia mulai terisak.

"Raiden? Kamu dengar Mommy 'kan?" panggil Dera lagi, merasa bingung lantaran Raiden tak membalas panggilannya. Berjalan pelan, Dera tersentak ketika langkahnya tertahan karena sesuatu yang menghalangi jalan.

Samar-samar suara isakan dapat ia dengar, membuat rasa khawatir datang menghampiri. "Raiden?" panggil Dera sekali lagi, menekuk lututnya dengan perlahan, meraba seseorang yang tengah meringkuk di sana dengan tubuh gemetaran.

"Takut ... Kakak ... Raiden takut ...."

Mendengar rintihan itu pun, Dera segera mesejajarkan tingginya. "Raiden? Hey, kamu kenapa nangis? Jangan takut, ada Mommy di sini."

Alih-alih merasa aman, isakan Raiden justru kian deras. Karena tak tega, Dera segera kembali membuka suara untuk membujuk. "Shhtt ... cup, cup, jangan nangis, ayo kita ke depan, sini pegangan sama Mommy," ujar wanita itu, membawa Raiden untuk berdiri, mendekap pemuda itu dan berjalan pelan meninggalkan dapur.

Langkah Dera terhenti mendadak, wanita itu menyipitkan matanya ketika sebuah cahaya terang dari senter mengarah padanya, diikuti teriakan panggilan oleh Jansen dan Jean.

"Raiden!" Mereka berdua berlari mendekat, menghampiri Raiden yang tengah didekap oleh sang ibu.

"Mana Raiden?" Suara Jayden menyusul, pria itu berlari mendekat, mendapati putra bungsunya yang menangis tersendu-sendu tampak sekali jika sedang ketakutan, membuat Jayden tertegun melihatnya.

Beralih pandangan pada istrinya, Jayden langsung melontarkan pertanyaan. "Dera, apa yang terjadi? Kenapa anak saya menangis?"

"Aku tidak tau, Jay, mungkin Raiden takut gelap, atau jika bukan karena petir barusan," jawab Dera yang juga tak tahu penyebab kenapa Raiden tiba-tiba meringkuk dan menangis.

Jansen dan Jean saling berpandangan. Itulah sebabnya mereka segera mencari Raiden ketika listrik tiba-tiba padam, karena mereka tahu jika adik kecilnya itu sangat takut dengan gelap, akibat pengalaman buruk yang pernah mereka alami dulu.

"Ya sudah, bawa Raiden ke kamarnya, saya akan menghidupkan genset dulu untuk menyalakan lampunya. Jansen, Jean, temani Raiden di kamar selagi lampunya belum hidup, tetap nyalakan senter dan jangan kemana-mana, paham 'kan?" ujar Jayden, segera dibalas anggukan oleh kedua pemuda itu.

"Jay, akan lebih baik untuk di ruang tengah terlebih dahulu, kamar Raiden ada di atas, pasti akan terdengar jelas suara dan kilatan petir," usul Dera, membuat Jayden yang hendak pergi pun mengurungkan diri.

Pria itu mengangguk. "Kamu benar, kalau begitu pergi ke ruang tengah lebih dulu," ujar Jayden.

Dera segera mengangguk, membawa Raiden yang masih ia dekap untuk pergi ke ruang tengah, diikuti oleh Jansen dan Jean.

Setelah beberapa menit menunggu Jayden selesai menghidupkan genset, akhirnya semua penerangan di rumah kembali menyala, dan karena sudah ditenangkan oleh ibu serta kedua kakaknya pun, tangis Raiden tak lagi terdengar, hanya saja pemuda itu masih diam, enggan melepaskan diri dari pelukan ibunya.

Mereka yang berada di ruang tengah pun dapat bernapas lega karena akhirnya lampu kembali menyala.

"Udah, nggak apa-apa, lampunya udah hidup lagi, Raiden jangan takut, ya? Kan ada Mommy di sini, ada kakak kamu juga," ujar Dera, mengusap lembut surai Raiden.

"Raiden cengeng ya, Mommy?" tanya Raiden, mendongak pada Dera dengan mata berkaca-kaca.

Dera tersenyum, mengusap poni Raiden yang basah. "Enggak tuh. Siapa coba bilang anaknya Mommy yang pinter ini cengeng, hm?"

"Siapa aja boleh kok buat nangis, mau laki-laki atau perempuan. Menangis itu salah satu tanda kalau kita punya solusi lain untuk menghadapi masalah tanpa berniat untuk lari dari masalah itu sendiri. Jadi, kita kalau mau nangis, nangis aja, nggak usah ditahan, jangan takut dibilang cengeng, oke?" ujar Dera dengan bubuhan senyum di setiap ucapannya, menatap ketiga putranya bergantian.

Raiden mengangguk-angguk dan tersenyum, tanpa melepaskan pelukannya, pemuda itu menoleh pada sang kakak.

"Kak Jansen pernah nangis, nggak?" tanyanya tiba-tiba, membuat Jansen terkejut.

Menoleh pada Jansen, Jean mengulum senyumnya, terlebih saat wajah Jansen memerah secara tiba-tiba.

"Kenapa nanya begitu?" tanya Jansen balik, pura-pura membuang muka karena malu, teringat ia pernah menangis tersendu-sendu di pelukan Dera kala itu.

"Pernah, malah Kak Jansen kalau nangis, kerasnya ngalahin kita," ujar Jean, membuat Jansen menoleh kilat padanya.

Raiden tersenyum. "Bener ya, Kak?" tanyanya pada Jansen.

"Enggak. Kak Jean sendiri yang nangisnya paling keras, tapi malah nuduh Kakak, tanyain coba sama orangnya," ujar Jansen, giliran menuding Jean balik, membuat Jean membelalak, segera menggeleng cepat, mendorong tubuh Jansen dengan lengannya.

"Nggak boleh memutar balikkan fakta!" seru Jean, membuat Raiden tertawa, sedang Jansen mendesis kesal.

Seolah menular, Dera ikut tertawa melihat ketiga remaja itu kembali bercanda dan tertawa, namun tawa mereka perlahan mereda kala Jayden datang menghampiri.

"Daddy kenapa lama?" tanya Jean, mendongak, menatap sang ayah.

Jayden tersenyum kecil. Ia sudah kembali daritadi, hanya saja ia memilih untuk menguping sebentar pembicaraan ketiga putranya dengan sang istri tanpa mereka sendiri ketahui.

"Nggak apa-apa, Daddy cuci tangan dulu tadi, banyak tikus di gudang," jawab Jayden, membuat ekspresi ketiga anaknya berubah seketika begitu mendengar kata 'tikus di gudang'.

Namun Jansen dan Jean segera menguasai diri, sedang Raiden memilih untuk menunduk, menyandarkan kepalanya di bahu sang ibu.

Menyadari ekspresi aneh ketiga putranya barusan, Jayden mengernyit tak kentara. Mengambil duduk di salah satu sofa, Jayden menatap Raiden, melontarkan pertanyaan.

"Kamu tadi kenapa? Bilang sama Daddy, kamu beneran takut gelap? Atau takut petir keras tadi?" tanya Jayden, membuat Jansen dan Jean menelan ludah, menatap sang adik, menanti jawaban yang akan pemuda itu berikan pada ayah mereka.

Tak merasa takut ataupun gugup karena pertanyaan sang ayah, Raiden mengangguk dan menjawab dengan tenang. "Takut gelap. Maaf ya, Raiden bikin Daddy khawatir, tapi Raiden nggak apa-apa kok, untung ada Mommy juga di dapur," jawab Raiden, tersenyum menatap Dera.

Kendati demikian, jawaban itu tak membuat Jayden yakin, malah pria itu merasa jika ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh anaknya, ada sesuatu yang masih belum mereka katakan secara jujur pada Jayden. Ketika hendak melontarkan pertanyaan lagi, kalimat Jayden tertahan di kerongkongan lantaran suara Jean lebih dulu menginterupsi.

"Daddy, itu ... di pundaknya Daddy ada- LABA-LABA!" teriak Jean, berakhir dengan jeritan ketika hewan berkaki delapan yang ia lihat di pundak Jayden berlari turun menuju punggung.

Karena teriakannya barusan, Jansen, Dera dan Raiden pun terkejut dan spontan segera menjauh.

"Mana?" tanya Jayden, menoleh dan menyapu kedua pundaknya, namun tak mendapati laba-laba di sana.

"Tadi lari ke belakang! Daddy coba berdiri terus balik!" seru Jean sambil memeluk bantal sofa.

Menurut, Jayden berdiri dan berbalik, hingga mereka dapat melihat seekor laba-laba kecil di punggung Jayden.

"Itu! Itu! Di punggung Daddy laba-labanya!" seru Raiden menunjuk-nunjuk.

"Mana?" tanya Jayden berusaha untuk menebah punggungnya, menyingkirkan laba-laba yang mereka maksud.

"Laba-labanya lari lagi! Itu, Dad! Itu di pinggulnya Daddy!" Jansen ikut berseru, membuat Jayden bingung sendiri.

"Mana? Tunjuk yang benar, Daddy nggak bisa lihat," ujar Jayden, merasa seperti sedang dikerjai.

"Itu! Laba-labanya lari terus, Daddy nggak cepet-cepet sih!"

"Kalian ini mengerjai Daddy, ya?" tuding Jayden, membuat ketiga putranya menggeleng.

"Daddy kok malah nuduh sih, kita beneran tau! Tanya Mommy aja kalau nggak percaya!"

Dera mengulum senyumnya sambil menggeleng-geleng melihat keributan ayah dan anak itu hanya karena seekor laba-laba.

Karena gemas, akhirnya Dera memilih untuk berdiri, mendekati Jayden. "Sebentar, Jay, diam dulu," ujar wanita itu, menebah laba-laba yang hinggap di punggung lebar Jayden.

"Wah keren! Mommy hebat!" puji Raiden, ketika melihat laba-laba kecil tadi melayang karena sapuan tangan ibunya.

Dera hanya tertawa pelan, membersihkan sarang laba-laba yang entah bagaimana bisa sampai mengotori rambut Jayden itu.

"Pasti banyak sarang laba-laba di gudang, rambut kamu jadi kotor," ujar Dera, membuat Jayden spontan meraba kepalanya hingga tak sengaja memegang tangan Dera.

"Ekhem." Deheman Jean membuat Dera dan Jayden terkesiap pelan, segera menarik kembali tangan mereka dan kembali duduk ke tempatnya.

"Kenapa menatap Daddy seperti itu?" tanya Jayden saat Jansen, Jean, dan Raiden menatapnya dengan aneh.

Sama-sama mengulum senyum, mereka menggeleng. "Nggak ada apa-apa, kok," jawab mereka.

Jayden hanya menggeleng kecil dan menghela napas pelan, menoleh pada Dera yang kebetulan tengah menatapnya sembari tersenyum dan mengendikkan kedua bahunya pelan.

— AFFECTION —

wah udah sampai di
pertengahan cerita 😀

Continue Reading

You'll Also Like

290K 19.7K 43
Ayu tidak pernah menyangka dirinya akan tinggal di kota setelah dijodohkan oleh anak dari keluarga Lihong. Seorang old money berpengaruh. Alih-alih...
64.7K 3.8K 114
Kehidupan masa lalu yang menyakitkan membuat Velicia mengambil keputusan untuk pergi. Ia melarikan diri ke New York untuk mencoba takdirnya sendiri...
93K 8.7K 56
Pengkhianatan adalah hal yang paling dibencinya. Dan ia sangat menghindari itu. Tapi apa jadinya jika kekasih yang sangat dicintainya melakukan hal t...
566K 54.1K 122
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...