Rea dan Kelvin saling menatap satu sama lain. Bagaimana caranya mereka bisa menjelaskan kepada Dicky jika ikannya sudah di goreng oleh Rea tadi malam?
"Gimana nih, Mas?" bisik Rea.
"Mana saya tahu, ini kan juga salah kamu," bisik Kelvin balik.
"Ini kalian malah main bisik-bisikan, udah mana ikan gue sekarang?" Dicky bertanya.
Kelvin mengaruk tengkuknya yang tidak gatal karena dia bingung harus menjelaskan bagaimana. Sedangkan Rea hanya bisa meremas rok yang dia pakai sembari menunduk.
"Kok kalian kayak orang bingung gitu malahan? Gak terjadi apa-apa sama ikan gue, kan?" Dicky sudah mulai curiga.
"Dic, tenang dulu lah. Jadi gini —"
"Ikannya saya goreng tadi malam," potong Rea cepat, karena dia tidak mau bersembunyi di balik kesalahannya.
"WHAT??!" Dicky kaget bukan main.
"Udeh deh jangan bercanda, gak lucu." Dicky masih belum percaya jika ini nyata.
"Kita gak bercanda, Dic, memang benar kalau ikannya semalam di goreng sama Rea." Kelvin mencoba menyakinkan.
"Kalian berdua gila? Itu ikan pesenan pacar gue!! Dia pasti bakalan marah besar sama gue ini!" Dicky tidak tenang.
Rea semakin menundukan kepalanya, sedangkan Kelvin tampak menatap cemas ke arah istrinya. Perlahan-lahan, tangan Kelvin megenggam tangan Rea yang terkepal kuat. Mau bagaimana pun Rea semalam hanya ingin membuatkannya kejutan, walaupun berakhir fatal.
"Gue bakal ganti, tapi mungkin dengan uang. Karena gak mungkin juga hari ini gue beli itu ikan, karena kan ngedapetinnya juga susah." Kelvin merasa dia yang harus bertanggung jawab atas kesalahan istrinya.
"Lo itu tahu kalau ngedapetinnya susah. Gue juga tahu, Vin, kalau uang segitu gak ada apa-apanya bagi lo, tapi ikan itu ibarat buket bunga indah untuk pacar gue. Lo bisa dengan gampang menggantinya dengan uang, tapi masalahnya pacar gue maunya itu ikan," ujar Dicky dengan wajah kekecewaan.
"Iya gue tahu, kalau gitu gue bakalan usahain buat beli ikan kayak itu. Secepatnyalah, gue bakalan kerahin para anak buah gue buat beli itu ikan. Kalau nanti udah dapat, gue bakalan hubungin lo secepatnya. Lo tunda dulu ngasih ikannya ke pacar lo itu, ya kasih alasan apa gitu biar ngasihnya gak hari ini."
Dicky mengacak rambutnya frustasi, membuat Rea semakin meremas tangan Pak Kelvin yang menggenggamnya erat.
"Masalahnya gue udah bilang kalau udah dapat itu ikan dan mau ngasih sekarang. Tapi ya sudahlah." Dicky langsung bangkit dari sofa dan berjalan keluar dari rumah Kelvin.
"Dic," panggil Kelvin yang tidak direspon sama sekali oleh Dicky.
Sekarang tinggal mereka berdua di ruang tamu. Rea benar-benar merasa amat bersalah, seharunya semalam dia tidak sok tahu agar kejadiannya tidak seperti ini.
"Mas, saya cuman biasanya nyusahin ya? Temennya Mas Kelvin jadi marah sekarang." Rea mengerucutkan bibirnya dengan wajah memelas.
"Jadikan semua ini pembelajaran, Rea. Jika tidak tahu itu bertanya, bukan malah sembarangan berbuat." Kelvin bukannya menenangkan Rea malah membuat Rea semakin merasa bersalah.
"Iya, saya benar-benar menyesal, Mas." Rea menghela napas beratnya.
Kelvin menatap wajah istrinya sejenak, tanpa aba-aba dia langsung membawa Rea ke dalam pelukannya.
"Sudah tidak apa, tidak usah terlalu di pikirkan," ujar Kelvin sembari mengusap punggung isterinya.
Rea kan jadi baper jika langsung di peluk seperti ini oleh Pak Kelvin. Apalagi suara Pak Kelvin barusan sangat lembut dan menenangkannya.
"Tapi Mas yang harus ganti ikannya, padahal kan mahal itu," balas Rea sembari mengusap-usapkan wajahnya ke dada bidang Pak Kelvin.
Yang paling Rea suka adalah bau badan Pak Kelvin yang memabukkan. Membuat dia seolah tidak mau melepaskan pelukan itu.
"Tidak apa, setidaknya kamu sekarang sudah tahu bagaimana bentukan ikan yang mahal dan yang biasa."
Rea mengangguk, tapi seketika dia tersadar jika Pak Kelvin barusan sedang mengejeknya.
"Mas Kelvin!" teriak Rea sembari melepaskan pelukannya.
"Gimana, hm?"
Suara Pak Kelvin terdengar berat dan membuat Rea langsung tersipu.
"Memang benar ya, kata hm yang keluar dari mulut cowok itu bikin baper," batin Rea.
"Gak usah senyum-senyum, ayo kita berangkat ke kantor, keburu telat."
Rea melotot, apa tidak bisa membiarkannya larut dalam senyuman sejenak. Sekarang Pak Kelvin sudah berdiri dari sofa dan berjalan ke kamar untuk mengambil tas kerjanya dan juga kunci mobil.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 10.00, Rea yang sedang berkutat dengan komputernya dan tangan yang menari-nari lincah di atas keyboard terpaksa terhenti karena dia ingin buang air kecil.
Rea berjalan keluar dari ruangannya, tidak ada juga yang bertanya dia hendak pergi kemana. Karena semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Setelah selesai buang air kecil, Rea memilih langsung kembali ke ruangannya. Tapi saat dia berjalan di lorong dekat kamar mandi, ada Mbak Cindy yang menghadangnya.
"M–mbak, Cindy," sapa Rea gugup.
"Kenapa kok kayak takut gitu, Re?"
"En–enggak kok, Mbak." Rea mengeluarkan senyum palsunya.
Padahal dia sudah ketar-ketir, karena kan Mbak Cindy waktu itu mengatakan kepadanya jika dia ingin balas dendam. Tapi apa yang akan Mbak Cindy lakukan kepadanya sekarang? Rea merasa situasinya sedang tidak baik, dia merasa Mbak Cindy sudah merencanakan sesuatu hal yang jahat kepadanya.
"Santai lah, Re, gue cuman mau ngomong empat mata sama lo doang, kok." Mbak Cindy melemparkan senyuman mengerikan.
Rea ketakutan, dia bukanlah perempuan yang pemberani. Perkataan Mbak Cindy barusan mengandung banyak makna yang tidak bisa di jelaskan.
"Bicara apa memangnya?" tanya Rea semari menatap ke arah tangan kanan Mbak Cindy yang seperti sedang membawa sesuatu, karena dia menyembunyikan tangan itu di belakang tubuhnya.
"Udah gak usah sok polos deh. Gue tahu kok kalau lo itu aslinya licik. Lo cuma mau carmuk di depan manajer dan Pak Kelvin, kan? Karena selama ini lo yang di puji-pujian sama mereka. Sedangkan gue yang di tuduh mau korupsi," ujar Cindy dengan mata berapi-api.
"Enggak, saya gak cari muka di hadapan mereka kok, Mbak. Kalau mau, biar saya ngejelasin ulang sama manajer keuangan kalau laporan waktu itu yang buat itu saya, bukan Mbak Cindy. Biar permasalahan kita juga cepat selesai, Mbak." Rea memberikan solusi.
"Halah basi, bilang aja biar manajer semakin kagum sama lo. Gue tau, tujuan lo carmuk biar lo bisa diterima sebagai karyawan tetap di sini, kan. Sedangkan lo sekarang kan cuman karyawan training biasa," tebak Mbak Cindy meremehkannya.
Sebenarnya buat apa juga Rea melakukan semua itu. Karena kan ini adalah perusahaan milik suaminya, yang berarti dia juga pemilik dari perusahaan ini sekarang. Rea juga bisa kan jika hendak memecat Mbak Cindy sekarang juga. Lagian jika dia mau pun, dia tidak langsung menjadi karyawan tetap tanpa harus traning seperti ini dulu.
"Enggak ya, selama ini saya bersikap biasa saja kok, Mbak."
"Halah, rasain nih." Mbak Cindy mengeluarkan sesuatu yang tangan kanannya yang ternyata adalah saus satu botol.
"AAAAAAA!!" Rea berteriak ketika Mbak Cindy mengarahkan saus itu ke wajahnya, karena kalau kena mata kan sangat berbahaya.
Tapi tiba-tiba Rea merasa ada seseorang yang memeluknya. Rea langsung membuka matanya dan terkejut takala yang memeluknya adalah Pak Kelvin.
"P–Pak Kelvin," gumam Cindy ketakutan, karena saus yang dia arahkan ke Rea malah mengenai kemeja mahal milik Pak Kelvin.
Rea terpaku di tempat, di lihatnya ke sekeliling, ternyata ada beberapa karyawan yang berhenti dan menatap ke arahnya.
Apa yang mereka semua pikirkan sekarang? Pak Kelvin dengan terang-terangan memeluknya di depan umum seperti ini? Padahal Pak Kelvin sendiri yang melarangnya untuk membongkar tentang pernikahan mereka.