The Boy Who Talked To The Tre...

By ashwonders

1.7K 206 153

Pada suatu hari, Andrea Jacobson membuat keputusan untuk menjauh sejenak dari kehidupannya di Portland. Dia... More

7 Reasons
'Sup?
Cast Aesthetics
1. Cotswolds
2. Hari Pertama Menjadi Senior
3. Cowok Berjaket Kuning
4. Hal-Hal Yang Terjadi
5. Piknik Di Hutan
6. Es Krim dan Memori
7. Lukisan Yang Kosong
9. Cewek Roti
10. Modifikasi
11. Hari Abu-Abu
12. Tanpa Batas
13. Misi Yang Serupa
14. Dua Orang Yang Luar Biasa Mirip
Writer's Note
Bonus (Part 1)
Bonus (Part 2)
Bonus (Part 3)

8. Sir Fergus

65 8 18
By ashwonders

SMA Blackwood, Portland
September, tingkat senior, sembilan bulan yang lalu

"Sebelah sini, Andy!"

Seruan Matt dari salah satu meja di sudut Jefferys terdengar hingga ke pintu masuk. Kedai pizza dan es krim Jefferys tampak cukup ramai malam itu, rupanya di saat-saat terakhir Matt berhasil melakukan reservasi untuk pesta penyambutan anak-anak baru Hawkees di malam Sabtu, yang sepertinya menjelaskan binar cerah di wajah cowok itu ketika Andrea menghampiri meja mereka.

"Sori..." Andrea berkata dengan napas agak terengah, "Pinjam mobil ayahku sehabis dia mengantar Adam ke tempat temannya."

"Dia masih belum punya SIM sendiri?" celetuk Matt, yang hanya mampu dibalas gadis itu dengan gelengan kecil.

Sully pastilah dapat menangkap ketidaknyamanan pada gestur Andrea setiap kali mereka membicarakan Adam Jacobson, kakak laki-laki Andrea, karena cowok itu segera mengalihkan perhatian dengan berseru galak pada anak-anak baru yang duduk di pinggir, "Geser sedikit!"

Ada enam anggota baru yang duduk dengan meja dirapatkan ke meja utama yang bersofa, dan sebagian besarnya bertampang agak kikuk. Rasanya canggung harus menyelip di antara mereka untuk tiba ke meja utama tempat Matt dan Sully berada.

"Trims. Sudah sampai mana?" Andrea duduk di sebelah Sully. Matt masih memandanginya dari seberang meja.

"Ngomong-ngomong kau datang sendiri?" tanyanya dengan gelagat aneh. Andrea mengangkat alis.

"Memangnya aku harus datang dengan siapa?"

"Well..." Matt menggaruk tengkuknya, "...kupikir... oh."

Andrea mengawasi ekspresi salah tingkah Matt perlahan berubah cerah ketika pandangan cowok itu mengarah ke pintu masuk tak jauh di belakang Andrea.

"Maaf telat!" suara jernih yang takkan keliru dikenali Andrea mendadak terdengar, membuat kepala Andrea berputar cepat.

"Pris!" sapa Matt dan Andrea berbarengan. Bedanya, cowok itu menggunakan nada ceria, sementara Andrea menggunakan nada kaget.

"Ngapain kau di sini?" tanya Andrea kebingungan.

"Matt mengundangku. Aku menghubungimu ratusan kali. Sudah coba cek ponsel sejam terakhir?" sahutnya, sementara Matt menepuk-nepuk tempat di sebelahnya untuk Priscilla duduk. Andrea mengeluarkan ponsel dari dasar ranselnya yang dipenuhi kekacauan. Benar saja, lima panggilan tak terjawab dari Priscilla.

"Sori, ku-silent." ujar Andrea.

"Jeff memberi paket diskon tambahan kalau kita pas bersepuluh. Jadi dia kuajak." Matt menjelaskan sembari menunjuk Priscilla.

Oh. Oke.

"Aku agak nggak enak dengan Kylie, tapi waktu kutelepon, flu-nya makin parah." kata Priscilla. Kemudian Matt bangkit dari kursinya. Cowok itu mengangkat kaleng coke-nya dan berdeham.

"Nah, dengan ini kuucapkan selamat datang kepada para anggota baru. Ke depannya, kuharap kalia bisa bekerjasama dengan baik dengan para pengurus baru Hawkees, karena kami sudah resmi pensiun." katanya seraya mengangkat gelas diiringi kekehan Sully, "Silakan nikmati pizza-nya selagi hangat. Es krimnya menyusul. Tapi walaupun setelah ini aku sudah nggak bertugas, jika ada yang ingin kalian diskusikan, aku bisa dihubungi kapan saja, dua puluh empat jam sehari. Well... kurangi lima jam karena aku perlu tidur demi kecantikan."

"Buuuh...!" Sully mengejek, sementara sisanya saling bersulang.

Pesta penyambutan itu berlangsung cukup menyenangkan. Andrea menyesal sempat memandang para anggota baru dengan sebelah mata. Kenyataannya, mereka anak-anak yang cukup menyenangkan, dan walaupun sempat canggung pada awalnya, ternyata mereka sangat asyik diajak ngobrol.

Mendekati pukul sebelas, setelah mendengarkan malas-malasan pidato penutupan dari Matt, kawanan itu akhirnya membubarkan diri. Setelah mengurus pembayaran di konter dengan Sully, mereka bersama-sama berjalan keluar kedai menuju tempat parkir.

Matt mengajak Andrea untuk pulang bareng, karena Sully harus mampir ke supermarket dulu untuk membeli titipan belanjaan yang cukup banyak dari ayahnya. Selagi melambai pada Fiona yang tengah merapikan meja dan kursi di luar kedai, Andrea mendengar Matt berbicara dengan Priscilla.

"Kau juga bisa ikut denganku, Pris." ajak Matt, menyampirkan ranselnya di bahu, "Rumahmu nggak terlalu jauh dari rumahku."

Dekat?

Priscilla mengangkat bahu kasual, "Oh, oke. Trims. Andy, nggak papa kan aku bareng kalian?"

"Itu mobil Matt." Andrea mendengus geli. Setelah berpisah dengan rombongan anak-anak baru yang menuju ke sisi lain area parkiran, Andrea dan Priscilla berjalan mengikuti Matt dan Sully, mereka memarkir mobil di tempat berdekatan. Andrea dan Priscilla hanya diam, sementara Sully menyerocos seru.

"Anak-anak baru itu kayaknya cool." Sully nyengir, "Robert punya koleksi kamera retro yang saking nerharganya sampai harus diasuransikan oleh ayahnya, dan Fonda bisa memulai rubrik fashion-nya sendiri di Hawkess. Aku berani bertaruh pakaian hebatnya adalah hasil jahitan sendiri. Pantas saja--"

"Kemarikan tasmu." Matt berkata.

Tangan Andrea secara otomatis meraih tali ransel di bahunya, hendak menyerahkannya pada Matt. Tapi kemudian dia melihat tatapan cowok itu tertuju pada Priscilla.

"Kursi depan agak sempit. Nggak nyaman kalau tasmu dipangku terus." cowok itu berkata.

"Oh, oke..." Priscilla melepas ranselnya.

Saat itu Andrea tanpa sadar telah menghentikan langkahnya, berusaha memproses serangkaian tindakan yang mencengangkan itu.

"Andy?" Sully ikut terhenti menyadari keanehan sikap temannya.

Apa yang baru saja terjadi?

Matt--yang sudah memegangi ransel Priscilla--tersadar bahwa Andy dan Sully sedikit tertinggal di belakang. Dia berbalik dan mengangkat alisnya, "Ada apa?"

Andrea mengerjap, butuh beberapa detik sebelum dia mampu menguasai dirinya. Di tengah-tengah rasa syoknya, Andrea berputar menghadap Sully, "Kau tahu... kayaknya aku perlu mampir ke supermarket dulu, jadi aku ikut denganmu."

Sully sempat kebingungan karena mendadak ditodong seperti itu. Tetapi untunglah dia terlahir dengan tingkat kepekaan luar biasa, sehingga cowok itu dengan cepat menangkap maksud Andrea.

"Ah... bahan-bahan untuk bikin pai daging yang kau bicarakan itu..." gumam Sully, tampak tak yakin sendiri dengan perkataannya.

"Kalian... um, kalian duluan saja. Sully nanti bakal mengantarku. Sampai besok!" Andrea melambai pada Matt dan Priscilla yang balas melambai. Kemudian dia buru-buru menyeret Sully ke Cadillac-nya.

"Aku nggak menyangka tiba-tiba dipaksa unjuk kemampuan improvisasi dan akting spontan seperti tadi..." Sully menghela napas ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Tak lama mobil Matt berlalu melewati mobil mereka.

Selama sekitar sepuluh menit berikutnya, mereka berkendara dalam diam. Sully sesekali melirik ke sampingnya, menyadari raut Andrea yang agak berbeda dari biasanya. Biar bagaimanapun, dia sudah mengenal sahabat ceweknya itu cukup lama.

"Kepikiran?" cowok itu akhirnya membuka suara.

"...tentang apa?" Andrea balas bertanya.

Sully memutar bola mata, "Mengapa Matt mengajak Pris, di antara begitu banyak pilihan."

Apabila pada situasi-situasi biasa kepekaan Sully sudah cukup hebat, kali ini Andrea harus bilang kepekaan cowok itu sudah sampai hingga level yang mengintimidasi.

"Kau mengerikan." Andrea menghembuskan napas, menyerah.

Kalau dipikir-pikir, Andrea tidak pernah memberitahu siapapun mengenai rasa sukanya terhadap Matt, bahkan Sully. Sully menebaknya sendiri. Priscilla tidak masuk hitungan, dia toh tidak perlu diberitahu karena cewek itu mencari tahu sendiri saat dia membaca jurnal pribadi Andrea musim panas lalu. Andrea teringat percakapannya dulu dengan Sully ketika cowok itu berhasil mengetahui rahasianya.

"Sejak kapan kau tahu?!" Andrea terbelalak syok.

"Bahwa kau naksir berat Matthew Venturi? Please, Jacobson. Kau merendahkanku." kekeh Sully.

Berusaha menepis rasa malunya, Andrea menggertakkan gigi, "Dia bilang rumahnya dekat rumah Pris. Siapapun tahu dia harus melewati rumahnya sendiri dulu sekitar sepuluh blok untuk mengantar Pris pulang."

Dan tas itu, pikir Andrea pahit.

"Jangan berasumsi dulu, Andy. Siapa tahu Matt cuma nggak enak dengan Pris karena dia yang mengajaknya ke sini. Apa namanya... nah, bertanggung jawab."

Andrea merasa suasana hatinya seketika surut. Dia menyandarkan kepalanya dan mengerang, dia menutupi kedua matanya dengan telapak tangan, "Ini benar-benar payah. Mereka bebas saja melakukan apapun yang mereka inginkan... kenapa aku uring-uringan nggak jelas begini...?"

"Kecuali kalau kau memutuskan untuk menyatakan perasaanmu pada cowok bebal itu." Sully menyarankan, "Skenario terbaik, dia punya perasaan yang sama denganmu dan kau diterima. Skenario terburuk... yah... paling tidak hatimu bisa lega sebelum dia jadian dengan cewek lain."

Perkataan Sully sejujurnya sangat tepat dan sangat menohok. Namun Andrea tak mampu menyahut. Dia tak kuasa memikirkan akibat dari tindakannya menyatakan perasaan pada Matt. Dan entah sejak kapan telapak tangannya basah. Andrea buru-buru menyeka matanya.

"Setelah melihat semua itu, aku tidak berani menghadapi konsekuensinya." ungkapnya pada Sully, "Aku tahu. Aku bodoh dan pengecut."

Sully terdiam sejenak sebelum menanggapinya, "Aku nggak berhak menyebut-nyebutmu sesuatu karena itu keputusan yang berkaitan dengan perasaan pribadimu.. dan aku nggak akan menggerecokimu soal itu. Tapi biar bagaimanapun, bagiku kau masih tetap nomor satu. Keren, cerdas, bisa diandalkan, logis untuk ukuran cewek, nggak terbawa arus..."

"Yeah?" Andrea terkekeh sengau, "Terus Kylie nomor berapa?"

"Kau ngerti maksudku." Sully memutar bola matanya, namun dia tersenyum. "Dan jangan benci dirimu. Urusan benci-membenci diri sendiri itu adalah keahlianku. Jangan menyerobot."

Mau tak mau, Andrea jadi tertawa miris mendengarnya. Setelah mobil Sully akhirnya memasuki area parkir supermarket sekitar lima belas menit kemudian, Andrea menatap cowok itu dengan penuh rasa terima kasih. Mereka saling tersenyum, kemudian berpelukan. "Kau yang terbaik."

"Aku tahu. Tisu?" Sully menyodorkan kotak tisu dari dasbornya.

"Trims..." Andrea membersit hidungnya.

"Jangan terlalu bergantung padaku." katanya congkak sambil menepuk-nepuk punggung Andrea, lalu keduanya terbahak, "Ayo masuk dan lebih baik pikirkan bahan-bahan belanjaan untuk membuat pai fiktif yang enak."

🌳

Andrea terbangun dengan rasa pening yang menyergap kepalanya. Semalam dia bermimpi, beberapa adegan acak mengenai masa lalunya yang melibatkan jalanan Portland di malam hari yang basah, lapangan parkir Jefferys, dan tas ransel. Tak banyak yang berhasil diingatnya... kecuali bila dia mau menghubungkannya dengan pesta penyambutan anak baru Hawkees, tak lama setelah Andrea menjadi murid tingkat senior di Blackwood beberapa bulan yang lalu.

Andrea mengecek ponsel dan menggeser notifikasi-notifikasi chat yang diabaikannya. Dari ibunya, Adam, Kylie, Priscilla, Matt.

Jempolnya lalu bergerak membuka aplikasi Instagram, menggulir linimasa dengan iseng. Dia melihat Kylie mengunggah sebuah foto baru kemarin malam. Swafoto dirinya dan Sully yang tampaknya berada di depan sebuah restoran Jepang. Andrea tersenyum dan memberi tanda suka.

Kemudian jari Andrea kembali menggulir linimasa, hingga terhenti di sebuah foto dari akun Matt.

Betapa bodohnya, batin Andrea pahit. Dia tidak terpikir untuk mensenyapkan akun Matt. Cowok itu nyaris tidak pernah mengunggah foto apapun kecuali foto pemandangan, dan itupun hanya terjadi paling-paling sebulan sekali. Namun saat ini, apa yang diunggahnya adalah foto sepasang tangan dengan jemari saling terpaut di atas dasbor mobilnya. Matt menandai salah satu tangan dengan akun priswhite24. Tak ada teks pada keterangan foto itu, hanya memuat sebuah ikon hati berwarna merah. Dan itu semua cukup untuk membuat sakit kepala Andrea bertambah parah.

Kendalikan dirimu, Andrea, gadis itu memberitahu dirinya sendiri sementara dia bersiap dan turun untuk membantu Georgia di dapur. Mereka bahagia dan kau harus melangkah maju.

Masalahnya, Andrea membatin ketika tengah memasuk-masukkan roti ke dalam bagasi skuter, dalam kasus ini, melangkah maju sama sekali bukanlah hal yang mudah.

🌳

"Luke, apa kau punya akun Instagram?"

Lucas mendongak dari kertas gambarnya. Andrea dan Lucas sedang berada di sebuah area tersembunyi di pinggir hutan, tempat mereka menemukan seekor burung alap-alap kawah tempo hari. Cowok itu ingin mencoba peruntungannya hari ini untuk membuat sketsa kasar Sir Fergus--nama yang disematkannya kepada burung itu--dan mengajak Andrea pergi bersamanya setelah pekerjaannya di Brierwood selesai. Namun sayangnya, belum ada tanda-tanda kemunculan Sir Fergus sejak satu setengah jam terakhir.

"Nggak." Lucas menyahut sederhana, menyandarkan punggungnya ke batang pohon terdekat. "Kenapa?"

"Kupikir kau punya, setelah koar-koarmu soal pemasaran digital kepada Georgia tempo hari." Andrea merebahkan diri di atas kain piknik yang mereka lebarkan di balik semak-semak tinggi di antara pepohonan. Mereka sengaja memilih tempat itu untuk berjaga-jaga agar tidak kelihatan oleh pemilik ladang--karena mereka tidak tahu bagian hutan ini termasuk properti pribadinya atau bukan--sekaligus menyamarkan keberadaan dari Sir Fergus bila dia memutuskan untuk hinggap di dekat-dekat sini.

"Aku kan bukan manusia gua yang nggak paham perkembangan teknologi." Lucas mengulum senyum sambil mencoret-coretkan pensil arangnya di atas kertas, "Nggak menggunakan, tapi tahu."

"Kenapa?" Andrea balik bertanya, masih mengamat-amati linimasa dari layar ponselnya sambil tiduran.

"Sejak dulu bukan pengguna ponsel yang berdedikasi."

Andrea mencibir meledek, "Lucas Freewell Yang Otentik."

Lucas tertawa, sejenak lupa bahwa seharusnya mereka sedang dalam mode sembunyi-sembunyi, "Kalau siapapun yang mengenalku di SMA dulu mendengar julukanmu barusan, mereka bakal mengernyit nggak setuju."

"Lalu kau siapa? Lucas Si Seniman Imut?"

"Lucas Si Badut Sirkus. Lucas Si Aneh. Lucas Si Gila. Atau sejenis dengan semua itu."

Andrea terdiam. Dia masih memandangi layar ponselnya, namun dia dapat menangkap nada suara Lucas tidak lagi seringan tadi.

"Aku dulu memang cukup gila, tahu. Berpakaian luar biasa mencolok dan berbeda-beda tema setiap harinya. Membawa-bawa gitar dan menyanyi di depan cewek yang sempat kutaksir. Menghiasi kombiku dengan dekorasi-dekorasi heboh. Beredar di koridor-koridor SMA-ku seolah tidak peduli. Padahal aku peduli. Aku bisa merasakan tatapan-tatapan mencibir mereka. Menganggapku sok nyentrik. Sok berbeda."

Lucas mendongakkan kepalanya, menatap puncak-puncak pepohonan seperti berharap Sir Fergus bisa muncul kapan saja.

"Sampai sekarang aku masih belum sepenuhnya mengerti apakah itu semua adalah aku yang bersandiwara atau hanya... aku." ujarnya, separuh melamun.

Andrea menoleh mengamati Lucas dari tempatnya tiduran. Cowok itu kini kembali terfokus ke kertasnya, sibuk menggoreskan pensil arang.

"Apa yang membuatmu berpikir kau bersandiwara?" tanya Andrea, menyuarakan pikirannya setelah beberapa saat tak ada yang saling bicara.

Lucas menatap Andrea dari atas kertas gambarnya cukup lama.

"Kupikir... aku terobsesi pada ide menjadi cowok ideal demi cewek yang kusuka." dia akhirnya menjawab, "Dia sempat pergi, ketika kami masih kecil. Lalu kembali bertahun-tahun kemudian. Mungkin selama itu pula aku telah membangun 'persona ideal' versiku tanpa sadar. Menjadi seorang gentleman kreatif."

Lucas terkekeh kecil sebelum meneruskan, "Dan sekarang dia sudah pergi. Lagi. Membuat cowok aneh ini kehilangan seorang muse sekaligus jati dirinya."

Sungguh sulit membayangkan Lucas Freewell, cowok pirang bermata biru dengan senyuman manis yang tengah duduk melukis di hadapan Andrea ini memiliki pengalaman percintaan yang begitu... mengibakan. Membuat Andrea merasa bahwa apa yang dia alami dengan Matt dan Priscilla tidak seujung kuku pun sebanding. Karena itulah cowok ini bertolak ke Cotswolds. Bukan hanya gairah melukisnya yang ingin dia temukan kembali. Dia juga ingin menemukan jati dirinya.

"Ngomong-ngomong, Andy." Lucas tiba-tiba menyeletuk.

"Hm?"

"Kau ini bukan pohon."

Andrea tertawa kering.

"Wah, Luke. Terima kasih pencerahannya."

Lucas mengulum senyum, "Maksudku, aku ngobrol dari hati-ke-hati denganmu, seorang cewek. Biasanya aku ngobrol dengan pepohonan. Ini sesuatu."

"Kalau kau merasa terbebani ngobrol denganku, nggak usah diteruskan." Andrea mendadak terbayang insiden jurnal pribadinya, "Aku nggak akan memaksa seseorang bicara bila orang itu nggak kepingin bicara."

"Berbicara denganmu rasanya... menyegarkan." ujar Lucas, "Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa tenang."

Andrea tersenyum. Ponsel yang sedari tadi dipeganginya kini telah teronggok terlupakan di atas rumput.

Gadis itu menyadari bahwa menatap langit di atasnya dan cahaya matahari yang menyusup di antara sela-sela puncak pepohonan jauh lebih berarti dibandingkan memandangi linimasa yang menampilkan kehidupan milik orang lain yang tidak perlu diketahuinya.

Gadis itu menyadari bahwa, hal yang sama berlaku sebaliknya. Berbicara dengan Lucas membuatnya merasa rileks dan... untuk pertama kalinya, dia tidak begitu terganggu dengan hal-hal yang terjadi di Portland.

"Tapi aku punya nomor ponsel, kalau-kalau kau masih kepingin tahu." kata Lucas, kembali ke pertanyaan awal Andrea. Cewek itu tertawa.

"Kurasa aku nggak butuh itu untuk sekarang." Andrea memejamkan matanya, menikmati percikan sinar matahari hangat yang menari-nari di wajahnya, "Untuk apa jika sekarang aku masih bisa bertemu dan mendengarkan suaramu secara langsung? Nanti saja kalau liburan sudah berakhir."

Senyuman Lucas kembali menghiasi wajahnya. Sepasang mata birunya berbinar lembut.

"Andai saja liburan ini nggak pernah berakhir." ucapnya tulus.

🌳

Aspirasiku juga sama; andai liburan nggak pernah berakhir :')

Continue Reading

You'll Also Like

2.7K 512 21
"Semuanya akan baik-baik saja." - Setelah mati dan bangkit kembali sebagai sesuatu yang berbeda, Eka menjalani pemulihan agar bisa kembali sep...
19.4K 5.1K 81
Ketika seluruh negeri menyembunyikan kebenarannya, sejarah akan ditulis oleh mereka yang merasa menang. "Bisa-bisanya ratusan tahun orang-orang terbo...
4K 1.1K 54
[Kumpulan Cerpen] #DWCNPC2021 #DWCNPC2022 Every day is a good day. There is something to learn, care, and celebrate. (Amit Ray) =====================...
32.5K 6.6K 35
Ran hanya menginginkan dua hal dalam hidupnya; bisa melihat hantu, dan tahu rasanya punya kakak. Tumbuh dalam didikan trah Kuncoro, famili Jawa klen...