Love Shoot! | Sungsun โœ”

By piscesabluee_

133K 13.1K 1.5K

[COMPLETED] "Fuck a princess, I'm a King." Kenneth Raymond, adalah seorang cucu laki-laki dari pemilik perusa... More

-PROLOG
-Meet The Characters
One
Two
Three
Four
Five
Six
Seven
Eight
Nine
Ten
Twelve
Thirteen
Fourteen
Fiveteen
Sixteen
Seventeen
Eighteen
Nineteen
Twenty
Twenty One
Twenty Two
Twenty Three
Twenty Four
Twenty Five
Twenty Six
Twenty Seven
Twenty Eight
Twenty Nine
Thirty
INFORMATION

Eleven

4K 450 46
By piscesabluee_

Steve baru saja hendak menaiki helikopter ketika pesan masuk di ponselnya membuat langkahnya terhenti.

"Bajingan." desisnya marah dan berbalik menuju kantor Evesky.

Ia tidak menemukan Milla di meja kerjanya.

"Dimana perempuan jalang ini?"

Red kaget melihat kedatangan Steve yang tidak biasa, Vante yang saat itu juga berada disana tidak lebih kaget dari Red.

"Ada apa ini Steve?" tanya Vante.

Belum sempat Steve menjawab, ia melihat sosok Milla yang baru datang dari arah toilet matanya terlihat basah seperti habis menangis.

"KAU!!!!"

Steve mencengkram rahang Milla dengan telapak tangannya yang lebar.

"Katakan apa kau yang menyuruh ayahmu untuk menculik Ray?"

"Apa?" seru Vante tidak percaya.

Milla menggeleng dan kembali menangis. Ia tidak bisa berkata-kata akibat cengkraman tangan Steve, belum lagi sakitnya. Steve sepertinya tidak peduli dia wanita atau bukan.

"Dimana dia huh?" desis Steve dan hanya gelengan Milla yang ia dapat.

"Steve lepaskan. Kau menyakitinya. Jika seperti ini terus kita tidak akan tahu Ray ada dimana." Vante mencoba menarik lepas tangan anaknya.

Steve melepas tangan dan menyentak wajah Milla hingga perempuan itu jatuh tersungkur. Dengan ujung sepatunya Steve mmengangkat dagu Milla. Sedang tangannya ia bersihkan dengan sapu tangan yang selalu ia bawa, Steve bersikap seolah baru saja menyentuh benda kotor yang menjijikkan.

"Katakan dimana ayahmu sekarang?"

Vante membiarkan Steve dan malah menghubungi Felix untuk mencari tahu apakah Ray benar-benar ada dirumah atau tidak. Ia tidak menyangka bahwa Dillbert akan bertindak secepat itu.

"Aku... Tidak... Tahu.." jawab Milla sambil menahan rasa sakit di rahangnya.

"Jangan bohong padaku." Steve mendorong kepala Milla hingga menapak lantai dan menginjaknya, meski tidak cukup kuat ia menginjak tapi Milla tetap menangis. Ia tidak menyangka akan diperlakukan seperti ini oleh orang yang ia cintai.

"Aku tidak suka ada yang membawa-bawa orang yang tidak bersalah dalam urusan kita. Dalam hal ini adalah Ray, dia tidak tahu apa-apa tapi dia malah menanggung semuanya. Kau dengar itu jalang?"

Milla mengangguk patuh. Ia belum pernah melihat sisi Steve yang seperti ini.

"Dimana ayahmu?"

Lagi-lagi Milla menggeleng, "sumpah... Aku tidak... Tahu.. Steve."

"Lalu apa maksudnya dia menculik Ray?"

Milla kembali menggeleng.

"Lepas Steve. Mungkin Milla benar-benar tidak tahu apa-apa." seru Vante.

Steve mengangkat kakinya dari kepala Milla, dan berjongkok di dekat tubuh wanita itu.

"Kau punya nomor ayahmu? Hubungi dia."

"Ponsel.. Ku di... Meja."

"Ambilkan dan berikan padanya Red. Aku tidak sudi menyentuh nya lagi."

Red melaksanakan perintah Steve dengan segera, dibawah pengawasan Steve, Milla mulai mencari nomor kontak ayahnya.

"Ambil ponsel nya Red dan hubungi bajingan itu."

Lagi-lagi Red hanya mematuhi kemauan Steve, ketika telepon tersambung Steve memerintahkan untuk melakukan mode loudspeaker.

"Iya sayang.... "

"Bajingan brengsek. Dimana kau sekarang?" sentak Steve membuat Dillbert tertawa.

"Seinchi saja kau menyakiti Ray, aku akan mengejar mu bahkan sampai ke neraka sekalipun."

Dillbert masih tertawa, "Coba kau temukan tempat ini Smith."

"Kau lupa kalau anakmu ada disini?"

"Calon suamimu juga ada disini Smith. Mau dengar suaranya... "

Steve terdiam cukup lama sampai terdengar suara tamparan dan makian Ray.

"Bajingan kau Anthony." maki Steve.

Sambungan telepon langsung terputus, Steve langsung bergegas pergi meninggalkan lantai ruang kerjanya.

"Steve... Steve.. " Vante mengejar putranya yang sudah masuk kedalam lift.

"Red, tolong awasi miss Millagros sampai aku kembali." perintah Vante.

"Baik tuan."

Milla menyaksikan itu semua dalam diam. Dia sudah tidak ada harganya lagi di mata Steve.

Ray didorong masuk ke dalam sebuah rumah mewah yang dindingnya penuh dengan kaca. Hal ini sangat menguntungkan baginya, karena Axel akan lebih mudah untuk mengintai. Sebisa mungkin Ray menjauhi jendela kaca, ia tidak mau Axel salah sasaran nanti, sepertinya Ray harus merelakan diri untuk menyerahkan tugas menembak pada Axel. Belum lagi menggunakan Barrett .416 atau Barrett m99, sudah pasti saat ini Axel sedang kegirangan karena berhasil memegang senapan sniper tersebut.

"Wah.. Wah... Wah... "

Lamunan Ray buyar saat melihat Dillbert Anthony turun dari lantai dua.

"Kenneth Raymond..."

Ray menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menerjang pria ini, rasanya darahnya mendidih mengingat malam berdarah belasan tahun silam. Bagaimana ibunya berlari padanya dan menyuruhnya bersembunyi di dalam lemari tidak boleh bergerak dan tidak boleh bersuara. Ibunya juga yang meletakkan sebuah headphone pada telinga Ray.

"Ray diam disini dan dengarkan lagunya. Jika lagunya habis Ray boleh keluar. Tapi ingat, mesti pelan-pelan. Jika setelah diluar Ray tidak melihat mama atau papa, Ray harus memakai ini."

Sebuah pistol kecil buatan Raymond Company, Vionna selipkan pada telapak tangan Ray yang kecil.

"Ray bisa menembakkan?"

Ray mengangguk, "Tapi kata papa Ray gak boleh main ini sembarangan mama."

"Tidak apa-apa nak. Mulai sekarang Ray boleh memegangnya. Jika ada orang yang tidak Ray kenal didalam rumah ini, tembak saja mereka. Mengerti?"

Ray ragu sejenak sebelum mengangguk.

"Sudah.. Ray tunggu disini. Ingat tidak boleh keluar sampai lagunya habis."

Ray kecil menunggu dalam diam didalam gelapnya kemari kecil yang dibuat senyaman mungkin oleh ibunya. Ia tidak tahu bahwa diluar sana terjadi pertumpahan darah dan pelecehan.

Begitu Ray keluar satu jam kemudian, keadaan rumah tetap hening dan hanya terdengar beberapa suara tawa dari lantai bawah. Ray menghadap keluar dan melihat kearah bawah melalui sela-sela tangga. Dan hampir berteriak saat melihat mayat ayahnya yang bersimbah darah dan juga mayat ibunya yang telanjang dengan lubang rapih di dahi. Salah satu perampok itu menyadari keberadaan Ray dan mengejarnya sampai lantai atas, Ray yang ketakutan mulai mencari tempat persembunyian, tapi suara si penculikan membuat Ray panik hingga menarik pelatuk pistol yang sedari ia pegang. Suara tembakan itulah yang menarik dua perampok lain untuk naik keatas juga, dan bisa dipastikan keduanya tewas di tangan Ray.

Lima belas menit kemudian kakek Ray tiba dan menemukan Ray yang sudah ada di sebelah mayat ayah dan ibunya menangis dalam diam setelah menutup tubuh keduanya dengan taplak meja makan. Ray harus menjalani terapi trauma selama kurang lebih dua tahun sebelum akhirnya Grayson mengirim Ray pada keluarga Nerithone.

"Dillbert Anthony, right?"

Dillbert tertawa dan duduk pada single sofa yang terletak disana.

"Ini pertemuan pertama kita, aku tidak tahu ada masalah apa sampai aku di bawa paksa kemari."

"Aku hanya ingin kita berbincang-bincang cantik. Duduklah."

"Aku lebih suka berdiri."

Dillbert tertawa melihat keberanian Ray, "Sepertinya kau tidak tahu siapa aku."

"Kau bukan orang penting sehingga aku perlu tahu."

Dillbert mulai menyeringai dan memindai Ray dari atas ke bawah dengan matanya yang tajam yang ingin sekali Ray colok.

"Kau punya tubuh bagus seperti ibumu."

Ray mengepalkan tangannya sebagai bentuk pengendalian diri. Ia tidak boleh gegabah, mungkin saja Axel belum menemukan tempat yang tepat untuk membidik. Ia harus sabar dan cerdik, menggali informasi tentang kejadian malam berdarah belasan tahun lalu. Apa tujuan Dillbert menghabisi kedua orang tuanya.

"Kau kenal ibuku?"

Dillbert tertawa, "Tentu saja. Setiap pria memujanya. Tapi ibumu sombong, maafkan aku, tapi dia layak mati."

"Kau tahu mengenai kematian ayah dan ibuku?"

"Iya manis. Aku sahabat ayahmu dulu, kami pernah bekerja sama untuk membuat pabrik senjata yang luar biasa. Tapi ibumu ikut campur dan menghasut ayahmu untuk menjauhi ku."

"Itu berati kau memang tidak cukup baik bagi ayahku."

Salah seorang anak buah Dillbert menghampiri Dillbert dan menyerahkan sebuah ponsel.

"Kami sudah mendapatkan nomor ponsel Smith tuan. "
Dillbert menerima ponsel itu dan mulai merekam keberadaan Ray yang memicing curiga.

"Ada hubungan apa semua ini dengan Smith?"

Dillbert mulai mengirim tiga detik sosok Ray tersebut pada ponsel Steve dan mulai menjawab pertanyaan Ray.

"Aku hanya ingin memberinya pelajaran karena sudah mempermainkan putriku."

Ray ternganga tidak percaya. Dia diculik hanya karena Steve mempermainkan perasaan Milla, lalu bagaimana dengan perasaan Ray saat kedua orang tuanya dibunuh secara tidak manusiawi dulu?

"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Smith."

Dillbert mengibaskan tangannya seolah tidak percaya, "Aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu seberapa besar nilaimu di kata Smith sehingga menolak lamaran ku. Dan lagi, ala yang terjadi delapan belas tahun lalu disaat orang tuamu terbunuh? Kenapa kau masih hidup tapi para perampok itu mati?"

Ray menyeringai, untuk sesaat Dillbert tidak menyangka bahwa lelaki submissive seperti Ray bisa memiliki ekspresi wajah menyeramkan seperti itu.

"Kau percaya kalau aku membunuh mereka?"

"Dillbert tertawa terbahak-bahak mendengar nya. Ia tidak bisa membayangkan bocah perempuan seperti Ray membunuh tiga orang perampok.

"Kau lucu juga ya cantik."

Mata Ray menyipit saat melihat setitik cahaya merah muncul di dinding. Sepertinya Axel sudah menemukan tempat yang tepat untuk membidik.

Dan hal itu juga disadari oleh anak buah Dillbert, namun sebelum orang itu memberi tahu bosnya, telepon di tangan Dillbert berbunyi.

Ray bersumpah bahwa ia seperti tersiram air dingin saat mendengar suara Steve dari sana. Rasanya sudah berbulan-bulan tidak bertemu pria itu. Ray bahkan tidak sadar bahwa kini Dillbert menunggunya bicara, melihat ketidak sabaran Dillbert, anak buah Dillbert menampar Ray cukup keras.

"Brengsek... " maki Ray.

Dillbert tertawa dan mematikan sambungan telepon.

"Sepertinya kau sangat berharga bagi Smith. Bagaimana kalau dia melihat kekasihnya ini digilir ramai-ramai?"

Wajah Ray memucat mendengar hal itu.

"Sepertinya menarik ya. Kamu pun akan tahu apa yang ibumu rasakan belasan tahun lalu."

"Biadab. Bajingan kau."

Ray sudah hilang sabar ia menerjang maju dan menonjok muka Dillbert hingga pria itu mental ke belakang. Belum sempat Dillbert sadar tendangan Ray bersarang pada lehernya hingga membuat ia jatuh.

Ray lupa jika ada anak buah Dillbert di belakangnya, dalam sekejap tubuhnya sudah ditangkis dan dihajar pada bagian perut hingga Ray terduduk.

"Wah... Aku tidak tahu kalau kau bisa beladiri."

Dillbert memutar lehernya hingga berbunyi dan menusap darah yang keluar dari hidungnya.

Tubuh Ray didorong oleh anak buah Dillbert hingga tiarap di lantai, tangannya dikunci tapi Ray masih bbisa melihat sosok Dillbert dengan penuh kebencian.

"Submissive tetap saja Submissive. Tugasnya hanya menungging pasrah di bawah dominan."

Dillbert menginjak kepala Ray hingga membuat Ray merintih. Ia tidak boleh pingsan sekarang atau Axel tidak akan pernah menarik pelatuknya.

"Tuan..." panggil anak buah Dillbert. Telunjuk orang itu mengarah pada sinar merah yang muncul di dada Dillbert.

Dillbert tahu apa itu hingga ia melonjak mundur, tapi sinar laser merah itu terus mengikutinya. Dillbert meraih ponselnya dan menghubungi sebuah nomor.

"Hentikan ini Smith. Ini tidak lucu."

"Apa maksudmu Anthony?"

"Kau pikir Smith yang melakukannya." ucap Ray dengan pelan, kini ia sudah bisa berdiri tegak sambil memegangi perutnya yang terasa perih. Ia sendiri mengabaikan pusing di kepala nya akibat ulah Dillbert.

"Aku." ucap Ray pelan.

Anak buah Dillbert mundur secara perlahan dan langsung ambruk. Dillbert menyaksikan itu dalam ketakutan.

"Proyektil m50 untuk Barrett .416 atau Barrett m99 adalah proyektil yang bisa ditembak dari jarak 2400 meter dengan kecepatan 834meter perdetik. Proyek ini bisa menembus baja dan dinding. Menurutmu bagaimana rasanya jika proyektil ini menembus tengkorakmu atau jantung mu?"

Dillbert dihinggapi rasa dingin yang tidak wajar saat mendengar suara Ray.

"Kau... "

"Kau tidak Terima karena ulah putrimu disia-siakan begitu saja. Lalu bagaimana denganku? Aku melihat kematian ayah dan ibuku sendiri dan hampir mati karenanya. Menurutmu apa aku salah jika aku menginginkan kematian mu?"

Dillbert tidak bisa berkata lagi. Pasalnya saat Ray berbicara sinar laser itu tetap diam tepat di jantung nya. Dillbert takut bergerak jika ia bergerak semili saja, ia akan bernasib sama seperti anak buahnya tadi.

"Aku sengaja berlatih keras untuk bisa menghadapi mu suatu hari nanti. Tapi setelah pertemuan ini aku jadi tidak berselera untuk bertarung untuk bertarung dengan mu. Jadi akan kurelakan tugas mulia ini pada temanku."

Ray mengulur kan tangannya hingga membentuk sebuah pistol dan....

"Pyyiiuuu.."

Tashh...

Suara peluru menembus jantung Dillbert bagaikan lonceng kematian di telinga Ray.

Dengan mata terbelalak Dillbert langsung jatuh di depan Ray.

"Kau membunuh orang tuaku dan aku yang merasakan sakitnya. Kini setelah aku membunuh mu, anakmu yang akan merasakan sakitnya."

"Eye for eye."

Vante mengejar Steve yang hendak keluar dari lobby.

"Jangan gegabah Steve."

"Ray dalam bahaya pa."

Vante menarik putranya kembali masuk, "Kita tidak tahu mereka berada dimana, tenanglah dan berpikir. Papa akan melacak keberadaan Dillbert melalui ponselnya."

Steve akhirnya mengikuti kepergian papanya menemui salah satu orang kepercayaan Vante di Evesky. Sampai ponselnya kembali berbunyi. Ia ingat ini adalah nomor Dillbert yang sempat ia lihat pada ponsel Milla tadi.

"Hentikan ini Smith. Ini tidak lucu."

"Apa maksudmu Anthony?" balas Steve sambil menhampiri komputer terdekat.

Steve seperti tersengat listrik saat mendengar suara Ray di seberang sana. Ia sampai lupa pada tujuannya untuk melacak keberadaan Dillbert. Akhirnya Vante lah yang turun tangan sedangkan putra yang satu itu mendengar itu mendengarkan sesuatu hingga wajahnya memerah. Bukan merah karena marah.

"Proyektil m50 untuk Barrett .416 atau Barrett m99 adalah proyektil yang bisa ditembak dari jarak 2400 meter dengan kecepatan 834meter perdetik. Proyek ini bisa menembus baja dan dinding. Menurutmu bagaimana rasanya jika proyektil ini menembus tengkorakmu atau jantung mu?"

Steve bersumpah bahwa ia langsung bergairah saat mendengar Ray mengatakan hal itu. Gila. Disaat seperti ini bisa-bisanya ia mengingat percintaan panas mereka kemarin.

Benarkah kemarin?

Rasanya sudah berabad-abad Steve tidak bertemu dengan Ray dan ia merindukan lelaki itu dengan sangat.

Sepertinya setelah kejadian ini beres Steve harus berkonsultasi pada psikiater, karena disaat seperti ini yang ja pikirkan hanyalah bercinta dengan Ray dan memberikan hukuman kenikmatan pada lelaki itu.

Sudah pasti Steve akan menikahinya segera.

"Perbatasan Denver-Colorado." kata Vante menyentak putranya keluar dari lamunan gak senonoh nya.

Steve tahu titik itu, titik koordinat yang baru saja Vante perbesar hingga membentuk sebuah pemukiman. Kesanalah akhirnya mereka menuju, sekitar lima belas menit dari Evesky.

Steve menyeringai saat mendengar bisikan Ray.

"Eye for eye."

Iya sayang. Tunggu aku. Akan kuberikan mereka padamu.


Sorry for typos and thanks for reading, i hope you enjoyy. (づ ̄³ ̄)ˣₒˣₒ.

See you ditahun depan:) karena sy ingin rest sebentar terimakasih~

Continue Reading

You'll Also Like

18.4K 2.5K 29
Menurut Sunghoon, Jake itu buta. Iya buta, karena bagi Jake semua orang akan memperlakukannya sama baik seperti dirinya memperlakukan orang lain. La...
19.3K 1.5K 8
Seokmin tidak ingin tahu terhadap apa pun yang sedang terjadi saat ini. Yang ia tahu Kwon Soonyoung adalah miliknya. Sampai kapan pun akan tetap mili...
1M 87K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
121K 18.6K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...