Wasana

By kangcilok

763K 92.4K 19.7K

[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tungg... More

Prakata
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
a/n
Bab 6
Bab 7
Bab 8
a/n
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
daripada gak update
Bab 13
Bab 14
daripada gak update vol. 2
Bab 15
Bab 16
Bab 17
BAB 18
Bab 19
?
Bab 20
Bab 21
vote
Bab 22
Bab 22 (2)
Bab 23
Bab 23 (2)
Bab 24
Question
Answer
Bab 25
Bab 26
pengakuan dosa
support me, please
Bab 27
Bab 28
Bab 28 (2)
Bab 29
Bab 29 (2)
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab Tiga Puluh Empat
Bab 34
Bab 35
Bab 36 (1)
Bab 36 (2)
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
tolong dibaca dan dicermati
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Bab 54
Bab 55
Bab 56
Bab 57
Bab 58
Bab 59
Bab 60
Bab 61
Bab 62
Bab 63
Bab 64
Bab 65

Bab 53

5.4K 914 138
By kangcilok

Suara bel istirahat berbunyi. Di tempatnya, Aji mengeluarkan buku materi dan mulai mempelajarinya. Buku yang telah ia sulap menjadi berbahasa asing itu telah setia menemaninya sejak tiga hari lalu.

"Aji, ayo." Fanya menghampiri kekasihnya.

Tanpa menoleh, lelaki itu menjawab. "Nggak dulu, ya."

Dengan kesal, gadis di depannya itu menghentakkan kakinya dan balik kanan. Sudah hari ke empat Aji tidak memerhatikannya. Bahkan pesan yang ia kirim hanya dibalas dengan singkat oleh kekasihnya itu.

Tak lama kemudian, Damar datang. "Ayo, ke kantin."

"Lagi belajar," jawab Aji tanpa menoleh sedikit pun.

"Lanjut nanti aja. Ayo."

Masih tanpa menoleh, lelaki yang masih disibukkan dengan bacaan di depannya itu berkata, "gak punya duit."

"Mana dompet lo?"

Aji memberikan dompetnya. Dengan cepat, Damar memeriksa benda berwarna hitam itu. Hanya ada beberapa kartu dan kertas nota pembelian. Tanpa permisi, ia mengecek isi tas milik sahabatnya.

"Gak bawa makan?"

Aji menggelengkan kepalanya. "Nggak."

Damar pun melangkah meninggalkan ruang kelas, membiarkan sahabatnya kembali berkutat dengan materi yang telah disampaikan oleh guru. Lima menit kemudian, ia datang dengan sepiring nasi dan sepotong ayam kremes.

"Makan," ucap Damar.

Aji melirik. "Nggak usah."

"Gak usah sok nolak. Gue bawa piring kanting, loh."

Sudah menjadi peraturan sekolah bahwa siswa tidak diperbolehkan membawa peralatan makan milik kantin ke luar dari kantin.

"Ini makanan kesukaan lo. Yakin gak mau?"

Aji menutup bukunya. Tersenyum menatap sahabatnya. "Kenapa gak dari kemarin?"

Damar tertawa. "Tumben gak cerita."

Lawan bicaranya itu hanya tersenyum tipis. "Gue makan dulu."

***

Setelah selesai, Aji menemani Damar mengembalikan peralatan makan. Di perjalanan, Damar melontarkan beberapa pertanyaan.

"Nilai lo jelek?"

"Iya."

"Lo dihukum, gak dibawain makan siang?"

"Nggak."

"Lo dihukum, gak dikasih duit jajan?"

"Nggak juga."

Damar menghentikan langkah kakinya. "Duit lo mana?"

Aji mengeluarkan gawainya. Ia menunjukkan notifikasi sejumlah uang yang masuk. Uang yang baru diterimanya pagi tadi.

"Dari Kakek." Ia menunjukkan notifikasi yang lain, sejumlah uang masuk dengan nominal yang berbeda. "Ini duit jajan tambahan dari papa."

Damar tertawa kecil. "Lebih banyak duit dari kakek lo."

"Kakek duitnya banyak, gak tau buat apa." Aji ikut tertawa. Tawa pertamanya sejak empat hari lalu.

"Duit lo banyak, kenapa gak dijadiin cash?" Damar kembali melangkahkan kakinya.

"Duit jajan mingguan dari mama udah gua jadiin cash."

"Dompet lo kosong."

"Waktu Kaela ke sini, gak bawa uang. Jadi pake duit gua."

"Aji, kok kamu di sini? Tadi aku ajak ke kantin, gak mau." Dengan segelas es di tangannya, Fanya menghampiri sang kekasih.

Aji menoleh ke arah Damar yang baru selesai membayar. Pandangannya pun kembali pada kekasihnya. "Aku lagi sedih, Fan. Nanti, ya."

Iapun melangkah pergi meninggalkan kantin. Langkahnya disusul oleh Damar.

"Mar, kadang ada hal yang gak gua ngerti di dalem rumah. Menurut lo, itu wajar?" tanya Aji ketika keduanya telah kembali berada di dalam kelas.

"Menurut gua, itu hal wajar. Karena emang ada hal yang belum kita ngerti. Gak di rumah doang, di dunia juga. Makanya kita harus sekolah, supaya ngerti." Damar duduk di atas meja.

Aji menghela napasnya. "Gua pernah liat Kafi yang sifatnya kayak anak kecil. Terus waktu nilai rapor gue jelek, Kaela marah. Bukan ke gue, tapi ke Opa yang waktu itu nampar gue."

Damar mendengarkan dengan ekspresi serius di wajahnya.

"Kafi itu dewasa, Kaela gak pernah marah. Tapi pada saat itu, gue kayak gak kenal sama kakak-kakak. Gue terus bertanya-tanya, kakak gue kenapa? Atau emang gue yang gak ngerti apa-apa?"

"Reaksi orang tua lo gimana?"

"Papa bilang, Kaela harus minum obat supaya bisa tenang. Mungkin maksudnya supaya Kaela normal, tapi di mata gue, Kaela itu normal. Kafi juga. Satu-satunya orang yang gak normal ya cuma gua, Mar. Mana ada anak yang bikin kecewa semua orang, kecuali gue?"

Damar menunjukkan ekspresi tak sukanya. "Ngomong gitu lagi, gue tonjok lo. Gak takut gue sama orang-orangnya bokap lo."

Aji terkekeh.

"Tenang aja masalah nilai. Punya gue juga jelek. Tahun ajaran baru gue mau pindah sekolah."

Kedua mata Aji membulat sempurna, terkejut. "Kemana? Kenapa?"

"Ke SMK. Rasanya, SMA bukan tempat yang cocok buat gue."

"Emang bisa?"

"Bisa. Ngulang dari awal."

Detik berikutnya, Aji tidak bisa menutupi ekspresi sedihnya. "Kita masih temenan, kan?"

Damar terkekeh. "Masih. Kalau lo gak bisa ngehubungin gue, minta tolong aja orang-orang bokap lo itu buat nyari gue."

Refleks, Aji memeluk sahabatnya itu dengan erat. Baru satu semester saling mengenal, keduanya sudah menjalin hubungan yang sangat erat.

***

Bel pulang sekolah terdengar. Dengan tergesa, Aji merapikan isi tasnya dan berjalan meninggalkan ruang kelas.

"Aji! Ayo, jalan bareng ke depan." Fanya menyamakan langkah kakinya dengan milik sang kekasih.

Lelaki itu tersenyum. "Kamu pulang naik apa?"

"Ojek."

"Hati-hati, ya."

Fanya tersipu. "Iya."

Meski sering kali dibuat kesal oleh perlakuan Aji yang tak menentu, tetapi Fanya tak menyangkal bahwa tiap perlakuan kecil dari kekasihnya itu kini mulai berhasil membuatnya merasa senang.

"Itu kakak kamu?" tunjuknya pada arah dua orang pria berjas dan kacamata hitam di dekat gerbang sekolah.

Aji menatap arah tunjuk Fanya. Dilihatnya Qila yang berdiri di antara dua pria dengan tubuh ideal yang ia yakini adalah orang-orang yang dipekerjakan oleh Gio.

"Aku duluan ya, Fan." Tanpa menunggu jawaban, Aji melangkah menghampiri sang kakak.

"Kaela!"

Senyum di wajah Qila terukir.

"Ayo, pulang." Aji melangkah lebih dulu. Iapun kembali dikejutkan oleh dua pria berpakaian serupa yang kini berdiri di samping mobil keluarga yang terparkir di seberang sekolah.

Menyadari kehadiran anak atasannya, seorang pria yang berdiri di samping mobil, membukakan pintu. Aji menatap kesal pada Qila yang seolah sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.

"Kita jemput Fiqa, ya," ucap Qila ketika pintu mobil telah tertutup

"Iya, Kak," jawab pria yang duduk di balik setir.

Kakak.

Sejak dulu, Qila tidak ingin mendapatkan panggilan khusus dari para pekerja di rumahnya. Karena sering dibahas saat sedang acara keluarga, Aji sangat tahu hal ini.

Dua pria berjas rapi yang duduk di depan dan dua pria berpakaian serupa yang duduk di belakang membuatnya merasa tak nyaman dan tak bebas berbicara dengan kakaknya sendiri.

"Kaela, Pak--"

Belum sempat Aji menyelesaikan kalimatnya, Qila sudah menjawab. "Kata Papa, kalau masih mau keluar rumah, pake sopir yang sekarang."

Aji mencoba menutupi rasa kesalnya. Ia sudah nyaman dengan sopir yang biasa mengantarnya. Sejak malam itu, Qila memang selalu menjemputnya di sekolah. Jika libur, Fiqa akan ikut kemanapun saudara kembarnya pergi, tetapi jika sedang bekerja, ia akan dijemput oleh Qila.

"Kenapa kita ditemenin, Kak?"

Qila yang mengerti maksud pertanyaan sang adik pun menjawab, "Dari kemarin juga ditemenin. Tapi beda mobil."

Aji menatap jalanan di depannya. "Besok, Kaela sama yang lain tunggu di mobil aja, ya?"

Gadis itu menatap sang adik. "Kenapa?"

"Aku takut temen-temen takut. Terus aku juga bisa buka pintu mobil sendiri, jadi gak usah dibukain. Oke?"

Qila tersenyum manis. "Oke."

"Kaela udah minum obat?" Aji menatap lembut sang kakak.

"Udah."

"Kaela, kalau mau bisa main terus sama aku, sama Kafi, jangan telat minum obat, ya." Aji mengusap puncak kepala Qila.

Qila tersenyum. "Iya."

"Kaela mau tidur? Nanti kalau udah sampe kantor, aku bangunin."

Gadis itu menunjukkan deretan giginya. Detik berikutnya, ia merebahkan kepalanya di atas pangkuan sang adik. Tak lama kemudian, kedua matanya terpejam.

Aji menatap wajah Qila yang terlihat damai. Ada sesak yang ia rasakan. Fakta bahwa kakak kesayangannya tidak baik-baik saja sungguh membuat dirinya hancur berkeping-keping.

Bagaimana bisa ia telat mengetahui bahwa selama ini sang kakak butuh obat untuk tetap bisa hidup dengan normal seperti orang lain? Tidak ada waktu untuk protes kepada keluarganya yang seolah merahasialan hal sepenting ini darinya.

Sejak malam itu, ia selalu mempelajari cara untuk berkomunikasi dengan Qila. Hal ini tentu terdengar sangat miris. Sejak dulu, Qila selalu menenangkan Aji, membuat anak laki-laki itu merasa nyaman. Faktanya, bukan Aji yang harus dibuat tenang dan merasa nyaman dengan lingkungan.

Rasa takut mulai menghantui Aji. Bagaimana jika ia pergi dan tak bisa menjaga Qila? Bagaimana jika ada pria jahat yang menyakiti Qila? Bagaimana jika kakak kesayangannya itu salah memilih pasangan?

Perlahan, ia mulai mengerti mengapa Gio sangat melarang anak pertamanya itu untuk menjalin hubungan. Karena kini, keduanya memiliki ketakutan yang sama.

Satu pertanyaan yang masih tertahan di benak Aji. Mengapa Qila bisa seperti ini?

Apakah ini adalah cobaan dari Tuhan untuk kedua orang tuanya? Karena ia tahu bahwa setiap orang tua, memiliki cobaan yang berbeda tentang anaknya.

"Kaela harus sehat, ya. Kaela gak boleh sakit, nanti aku sedih."

Tanpa sadar, air mata Aji menetes.

***

"Kaela..." Aji mengusap rambut sang kakak.

Mobil yang mereka tumpangi sudah terparkir di pakiran kantor.

Qila membuka matanya. "Ini di mana?"

"Parkiran, Kak."

Refleks, Qila mengubah posisinya menjadi duduk. "Kenapa di parkiran? Nanti Fiqa marah."

***

Waktu menunjukkan pukul setengah lima sore. Jam pulang kantor sudah berlalu sejak tiga puluh menit lalu. Kerjaan yang tak begitu banyak dan penting, entah mengapa membuat Bu Mega selaku pimpinan divisi meminta Fiqa dan teman-temannya untuk lembur.

Gawainya yang mati membuatnya merasa panik. Takut jika Qila telah menunggu. Pandangannya beralih pada sosok pemilik perusahaan yang sedang berbincang di ruangan sebelah. Sekat antar ruangan yang terbuat dari kaca, membuatnya dapat dengan mudah melihat apa yang sedang terjadi di ruangan lain.

Fiqa berdiri, melangkah meninggalkan ruangan.

"Pak Gio!" panggilnya ketika melihat pria itu baru keluar dari sebuah ruangan.

Gio yang sedang berbincang dengan pimpinan divisi sebelah pun menoleh.

"Baik, kalau ada perlu apa-apa, gak usah sungkan untuk ke ruangan saya," ucapnya pada pria yang menjadi lawan bicaranya.

Fiqa memerhatikan pria yang ia yakini adalah karyawan baru.

"Bisa tolong tinggalkan kami?" tanya Gio pada pria itu yang langung kembali masuk ke ruang divisinya.

"Papa."

Senyum yang sejak tadi Gio perlihatkan pada karyawannya pun pudar. Tergantikan oleh tatapan dingin.

"Aku lembur hari ini, Pa."

"Terus?" jawabnya dengan nada dingin.

"Tolong bantuin aku, Pa. Aku gak mau lembur malam ini. Please."

"Gak mau lembur karena udah ditunggu sama sopir di parkiran?" Gio menunjukkan layar gawainya yang memberitahu posisi mobil yang kini berada di parkiran kantor. "Saya bukan ayah kamu. Di kantor, saya atasan kamu."

Detik berikutnya, Gio melangkah pergi menuju lift. Meninggalkan Fiqa.

"Sore, Pak," sapa beberapa karyawan yang berada di dalam lift.

Gio mengangguk, tersenyum ramah. "Sore."

Lift telah berhenti di parkiran tempat biasa ia memarkirkan mobil. Ekspresi terkejutnya tak bisa ia tutupi ketika melihat Qila yang bediri di depan pintu, ditemani oleh dua orang pria suruhannya.

"Mari, Pak," ucap para karyawannya yang meninggalkan lift.

Qila dan kedua pria itu masuk ke dalam dan menekan tombol tempat di mana lobby berada.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Gio dengan lembut.

"Papa?" Gadis itu menunjukkan gawainya. "Fiqa gak bisa dihubungin."

Ekspresi Qila terlihat sangat khawatir. Gio pun menekan tombol di mana parkiran berada.

"Kamu tunggu aja, ya? Papa kasih tau Fiqa supaya pulang."

Qila mengangguk. "Iya."

"Kamu ke sini sama siapa?" Gio merapikan rambut anaknya yang terlihat berantakan.

"Dedek."

Pintu lift terbuka. Kini mereka telah berada di parkiran.

"Bye, Pa." Qila melangkah keluar, melambaikan tangannya.

Gio tersenyum, membalas lambaian tangan.

Tepat saat pintu lift tertutup, pria itu membuka aplikasi yang ia gunakan untuk melacak keberadaan mobil yang ditumpangi oleh keluarganya. Iapun memeriksa riwayat berpergian mobil yang kini terparkir di pakiran kantor.

Menyadari jika mobil itu ditumpangi oleh Qila, ia menepuk keningnya. Mengapa ia dengan mudah beprasangka buruk kepada Fiqa, mengira anak itu meminta sopir untuk menjemputnya? Padahal, Qila yang sengaja menjemput adik-adiknya.

***

Dengan kesal, Fiqa masuk ke dalam mobil.

"Maaf, Kak. Seharusnya saya yang bukain pintu mobilnya," ucap pria yang duduk di balik setir.

"Kenapa parkir di sini?! Aku udah bilang, parkir seratus meter dari kantor!" ucapnya pada Qila.

"Aku gak tau...."

"Bohong! Gimana kalau temen-temen tau siapa aku?! Kamu mana ngerti rasanya jadi aku!"

"Kak, udah." Aji yang duduk di sisi kanan, berusaha menenangkan kedua kakaknya.

"Aku cuma minta kamu parkir di luar kantor, kenapa kamu gak ngerti?!" Fiqa menaikkan kedua kakinya ke atas jok, kemudian melipat kedua tangannya di atas lutut, menenggelamkan wajahnya dan menangis.

"Fiqa jangan nangis, nanti aku dimarahin Papa...." Detik berikutnya, Qila menangis.

Fiqa merasakan hatinya teriris ketika mendengar ucapan Qila yang sama persis seperti saat keduanya masih kecil. Saat Gio masih menjadi ayah terburuk yang pernah ada.

"Kafi, tadi Kaela tidur. Sopirnya baru." Aji mencoba menjelaskan.

"Aku tetep marah!" bentak Fiqa.

Tidak. Ia tidak marah pada saudara kembarnya. Ia marah pada sang ayah yang selalu luluh pada Qila.

Apa bedanya ia dengan Qila? Mengapa dunia sangat tidak adil?

***

Hai guys, maaf ya baru bisa update.

Sebenernya aku lagi sakit, terus gak bisa tidur. Jadi ngetik ini aja deh hehe

27 Desember 2021

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 273K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
1.1M 107K 57
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
782K 35.2K 48
selamat datang dilapak ceritaku. 🌻FOLLOW SEBELUM MEMBACA🌻 "Premannya udah pergi, sampai kapan mau gini terus?!" ujar Bintang pada gadis di hadapann...
401K 42.2K 19
*Spin off Kiblat Cinta. Disarankan untuk membaca cerita Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengetahui alur dan karakter tokoh di dalam cerita Muara Kibla...