Jendela Joshua (End)

Oleh meynadd

4.9K 1.1K 658

Di saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda ceri... Lebih Banyak

Prakata
Bab 01 - Kedai Sejahtera
Bab 02 - Menumpang
Bab 03 - Setahun Yang Lalu
Bab 04 - Pak Budi, Joshua dan Ayahnya
Bab 05 - Urusan Hendra
Bab 06 - Ingin Membantu
Bab 07 - Traktiran
Bab 08 - Dugaan Mengenai Pakde
Bab 09 - Lima Menit Bersama
Bab 10 - Adaptasi Baru (Lagi)
Bab 11 - Boss dan Anak-Anak Buahnya
Bab 12 - Shakespeare versus Dryden
Bab 13 - Ruang Temu Asa
Bab 14 - Masalah Yang Ganjil
Bab 15 - Perihal Ayah
Bab 16 - (Masih) Tanda Tanya
Bab 17 - Kecewa
Bab 18 - Vespa Ijo Tua
Bab 20 - Hengkang dari Zona Nyaman
Bab 21 - Kepastian
Bab 22 - Di Ambang Keputusasaan
Bab 23 - Sang Legenda
Bab 24 - Bertemu
Bab 25 - Ruang Pemimpin Redaksi
Bab 26 - Prioritaskan Siapa?
Bab 27 - Kedatangan Tamu Penganggur
Bab 28 - Kembali Ke Rencana Awal
Bab 29 - Tujuan dan Impian
Bab 30 - Pulang
Bab 31 - Merepet Di Pagi Buta
Bab 32 - Tersesat
Bab 33 - Kebenaran Di Atas Kertas
Bab 34 - Dorongan
Bab 35 - Perbincangan Berbalut Luka
Bab 36 - Yang Namanya Selalu Disebut
Bab 37 - Jendela Joshua
Penutup

Bab 19 - Harapan Yang Tak Sia-Sia

60 22 0
Oleh meynadd

Joshua menjatuhkan rahang begitu mereka tiba di tempat tujuan. Hingga tanpa sadar Joshua mengulas senyum lebar. Kaki jenjang dia tapakkan perlahan melewati pintu kaca otomatis kemudian menginjak permukaan lantai marmer yang mengkilap, lalu sejenak tiupan-tiupan hawa sejuk menerpa wajah.

Setelahnya, dia merasakan kesejukan tiada tara di sepenjuru ruangan ber-AC tersebut. Dia menghirup dalam lalu diekori bau-bau yang sejak lama dia rindukan, yaitu bau lembaran-lembaran kertas baru.

Kemudian dia merotasi ke sekeliling, terlihat beberapa rak dan meja dipenuhi tumpukan buku dengan sampul beraneka ilustrasi dan warna memenuhi atensinya.

Joshua tertarik pada bagian rak yang berlabel buku-buku puisi. Menggapai sembarang buku testern, sekadar mengintip isi, membolak-balikkan halaman kemudian menghirup dalam aroma khas pada setiap lembarannya.

Dia teramat merindukan momen ini setelah sekian lama tidak berkunjung ke toko buku.

Terakhir kali dia ke toko buku, sejak berusia lima belas tahun. Jangan lupakan bahwa ayahnya pertama kali mengajaknya ke toko buku.

Setiap kali dia ingin membeli buku, sudah menjadi tradisinya untuk melakukan hal-hal yang disebutkan di atas. Karena sibuk sendiri, dia tidak menyadari kalau wanita itu sedang bersama dengannya.

Kartika berdeham di belakang punggung Joshua diselingi kekehan kecil.

"Saya nggak tahu, ternyata kamu semaniak itu dengan buku ya?"

Joshua cengingiran sambil menggaruk tengkuknya. Lalu meletakkan kembali buku di genggaman pada tempat semula.

Kartika lantas melihat-lihat dari satu judul puisi ke judul puisi yang lain kemudian terhenti pada buku yang berilustrasi jejak kaki, buku yang berwarna dasar merah menyala dan tak lupa judul yang dibubuhi warna aksen jingga. Sangat cantik.

"Tirto Koesno."

Seketika Joshua terhenyak, mengalihkan perhatian dari rak buku lalu memandang Kartika di sampingnya yang sedang menggenggam buku tersebut dengan tatapan yang sulit Joshua artikan.

"Tirto siapa?"

"Dia adalah penyair fenomenal dan merupakan salah satu penyair favorit saya. Banyak karya-karyanya terjual hingga berkali-kali naik cetak. Semua orang suka dengan keterampilan dia dalam merangkai puisi."

Dari nada bicara yang terdengar sendu, Joshua pastikan bahwa Kartika sangat sedih lantaran tak lepas menatap buku yang ada digenggamnya.

Kemudian wanita itu tersenyum tipis lalu menyerahkannya pada Joshua.

Joshua langsung mengambilnya lalu menatap judul besar yang terpampang.

"Tapak Tilas," gumam Joshua yang nyaris didengar oleh Kartika.

Setelah itu, kedua netra mengarah pada bagian bawah sampul buku, tertulis Tirto Koesno.

Joshua mengernyitkan dahi.

Kedua suku kata itu terdengar asing bagi Joshua jika dia menyebutnya seorang penulis.

"Sangat disayangkan, sejak beliau menerbitkan Tapak Tilas, nggak ada lagi terdengar kabar Tirto Koesno masih lanjut menulis karyanya."

Kartika menambahkan. Lalu menunjuk buku di genggaman Joshua melalui dagunya.

Semakin lama menyimak, Joshua semakin tidak mengerti kenapa Kartika membahasnya.

"Buku itu adalah karya terakhirnya, Josh. Terbit setahun yang lalu. Padahal dia sudah banyak berjasa dalam bidang sastra terutama meningkatkan literasi di negeri ini."

Lagi-lagi Joshua terhenyak.

Enggan merespon bagaimana.

Dia memilih untuk meletakkan kembali buku tersebut pada raknya.

Yang Joshua ingat adalah, penulis sekaligus penyair lokal seperti Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, W.S Rendra, Sutardji Calzoum Bachri dan terakhir Joko Pinurbo, yang pernah Joshua baca karya mereka pada beberapa media lokal surat kabar dan majalah bahkan setelah membaca biografi mereka Joshua sendiri cukup terpukau.

Untuk Tirto Koesno, belum termasuk di antaranya.

"Kamu tahu, Josh. Dari dulu saya berharap agar saya bisa menjadi salah satu orang yang menangani naskahnya yang fenomenal itu."

Sejenak Kartika terkekeh.

Sementara Joshua ternganga apa yang dikatakan Kartika barusan. Entah itu gurauan atau semacamnya? Yang pasti kali ini Joshua kelihatan menunggu-nunggu apa yang dikatakan wanita itu selanjutnya. Dalam batinnya, wanita ini ternyata penuh kejutan.

"Andai saja, dia mengajukan naskah di penerbit yang sama dengan saya. Malah saya bisa menjadi satu-satunya saksi atas segala kesuksesannya itu."

Kartika terkekeh dengan tatapan berbinar-binar, pikirannya mulai melayang kemana-mana.

Joshua langsung syok. Lalu dengan jari-jari yang bergetar, menunjuk Kartika dengan tidak percaya.

"Mba ... Mba Tika ... Seorang e-editor naskah?" gagap Joshua, mundur selangkah dari Kartika.

Kartika terkekeh geli akan reaksi Joshua lalu balas mengangguk.

"Lalu ... tujuan Mba ngajak saya kemari apa?"

"Untuk memperlihatkan buku-buku apa saja yang pernah saya edit. Kenapa? Kamu nggak suka, Josh?"

Joshua lantas menggerak-gerakkan kedua telapak tangan ke kiri dan ke kanan. Dengan ekspresi sama syoknya.

"Kenapa Mba Tika nggak ngomong dari awal ketemu kalau mba itu seorang editor naskah?!"

Seruan bodoh itu keluar dari mulut Joshua seraya memegang kepalanya dengan kedua telapak tangan.

Berharap bahwa ini bukan ilusi ataupun kehaluan yang tiba-tiba menyapa. Malah ini terasa sangat nyata jika disebut sebagai halu.

Joshua tertawa hambar kemudian kembali menetralkan rasa euforia yang menggebu-gebu dalam relung hati. Dia mengusap wajah sambil senyam-senyum tidak jelas bagaikan orang gila yang baru saja dapat cek 100.000.000 dolar dalam semalam.

"Mba Tika. Saya juga seorang penulis sekaligus penyair puisi. Saya juga sedang menyiapkan naskah saya untuk diajukan ke penerbit, Mba!" jelasnya histeris sesaat kemudian menggeleng-gelengkan kepala.

Joshua mengatur napas yang memburu-buru saking semangatnya menerima kenyataan tersebut.

Kartika sama tidak percaya dengan Joshua.

Setelah beberapa saat, sambil mengibas-ngibas tangan ke udara Kartika berujar dengan tidak yakin.

"Tunggu. Kamu benar seorang penulis, Josh?"

Hanya anggukan menyakinkan yang diterimanya sebagai respons.

Dari situ, Kartika sudah menduga ketika mereka mengobrol di kedai bakso tempo hari. Seakan-akan dia sedang berhadapan dengan penyair yang sedang mencari tempat untuk memantaskan diri.

Namun, Kartika meragukan pemuda di hadapannya tersebut. Tak ada kata-kata yang pas untuk melanjutkan percakapan yang berakhir menggantung ini.

Dengan cepat, Kartika mengalihkan topik. Tak kuasa menatap Joshua yang tampaknya tersirat sedang berharap.

"Josh, gimana kalau kita lihat-lihat buku yang saya maksud tadi."

Kartika melenggang dari satu rak ke rak yang lain, meninggalkan Joshua yang masih berdiam di tempat.

Pemuda tersebut kehilangan kata-kata. Perasaannya bercampur aduk jadi satu. Meratakan semua angan-angan kosong tadi. Lalu mengikuti wanita itu dari belakang.

Kartika menunjuk beberapa buku yang berbeda dari berbagai genre yang berbeda pula. Dia juga mulai menceritakan bahwa dia merasa bahagia bisa mengambil kesempatan untuk menyunting naskah dari beberapa buku tersebut yang kemudian akhirnya laku dan laris manis di pasaran.

Sampailah dimana Kartika membincangkan soal dia bisa bergabung bersama penerbit yang telah lama diincar-incarinya. Penerbit yang boleh dikatakan loyal terhadap para pegawai dan karyawan terutama terhadap para cebolan penulis yang kemudian mengikat kontrak dengannya.

Tak khayal, penerbit itu telah melahirkan penulis berbakat berkat kinerja orang-orang yang bekerja di dalamnya. Sehingga Joshua harus berpikir dua kali sebelum bisa menawarkan diri.

***

***

"Mba ...." lirih Joshua di kala hujan terus-terusan merintih di sepanjang jalanan beraspal. Tempat dimana mereka berdua sekarang berteduh, yaitu di sebuah tenda angkringan.

Bukan secara kebetulan pula, mereka berdua ingin mampir untuk mengisi perut kosong.

Kedua netra Kartika setia menyoroti air-air itu mendentum hebat ke permukaan aspal, menjerit-jerit keras yang nyaris memekakkan kedua telinga.

Dia juga melihat beberapa pengendara rata-rata berjas hujan mulai mendekat ke arah tenda angkringan entah sekedar berteduh ataupun menunggu amukan hujan mereda.

Tidak seberuntung Kartika dan Joshua yang terlanjur lembab dan basah.

"Mba ...," panggil Joshua berusaha menyaingi suara derasan hujan setelah beberapa saat menyadari bahwa Kartika tidak menyambut.

"Mba Tika?"

Sekelebat rangsangan muncul tiba-tiba, membuat Kartika tersentak begitu Joshua memanggilnya untuk ketiga kali.

"Oh ... ya kenapa Joshua?"

"Mba mau pesan apa? Biar saya pesankan sekalian," imbuh Joshua tersenyum tulus.

Sebuah angkringan dengan beberapa macam makanan terhidang di sana, tinggal memilih sendiri menu yang mau dipesan. Tak jauh dari meja yang mereka berdua tempati sekarang.

Lampu-lampu neon kuning yang terpasang pada tenda, berpendar kekuningan di bawah mereka begitu keadaan di luar semakin minim cahaya.

Padahal waktu menunjukkan jam tiga sore, tapi hujan masih akan berlangsung lama ketika langit-langit masih bergemuruh.

"Nggak apa, Josh. Biar saya aja. Takutnya nanti kamu ngulang kejadian salah ambil pesanan waktu itu."

Kartika tersenyum simpul kemudian beranjak dari kursi, meninggalkan Joshua yang tak kuasa menahan malu.

Dipikir-pikir lagi, percakapan mereka terasa canggung setelah apa yang mereka bicarakan tadi di toko buku.

Seharusnya Joshua tidak bersikap selayaknya anak kecil yang beruntung mendapatkan permen loli gratis. Reaksi yang sangat berlebihan dan Joshua baru menyadarinya. Kalau ingin, Joshua bisa saja membanting kepala pada meja sambil merutuki kebodohannya. Namun dia urungkan.

Selagi Kartika memesan, Joshua memilih untuk menumpahkan segala pikiran ke dalam lembaran tisu yang tersedia di atas meja. Bolpoint yang selalu dia bawa kemana-mana pun turut serta merangkai kata-kata artistik. Lalu tersusunlah menjadi empat sampai lima bait puisi sederhana tapi cukup menarik.

Tanpa Joshua sadari, Kartika memerhatikanya dengan seksama dari kejauhan. Hingga menyunggingkan senyum manis ketika Joshua tercenung sesaat lalu buru-buru mencoretkan sesuatu di selembaran tisu kedua.

"Oh iya, Josh. Saya nggak tahu mana yang kamu suka, jadi saya pesankan semua," tegur Kartika sehingga membuat Joshua tersentak dan bergegas menaruh hasil tulisan ke dalam saku celana.

Kartika menenteng dua piring besi bermotif lalu menyajikan salah satunya kepada Joshua.

Pemuda itu menelisik isi dalam piring yang berbalut daun pisang, di dalamnya terdapat bermacam makanan yang ditusuk dengan lidi.

"Ini apa, Mba?" tanya Joshua begitu melihat sajian di hadapan tampak asing.

"Oalah, saya kira kamu sudah tahu. Itu namanya sate angkringan, Josh. Di situ ada telur puyuh, jeroan, usus ayam, kerang sama bakso bakar."

Joshua hanya menelan ludah pahit. Sedikit jijik begitu mendengar kata usus. Terutama pada kerang, Joshua sangat-sangat enggan memakannya lantaran dia memiliki alergi terhadap itu.

"Coba aja, mungkin kamu suka."

Awalnya Joshua ragu kemudian dia memilih sate telur puyuh kecoklatan lalu mencobanya pelan-pelan.

Tak berselang lama, kedua mata berbinar-binar lalu melahapnya sampai habis seperti halnya orang kelaparan.

Sementara Kartika hanya bisa terkekeh melihat reaksi Joshua yang demikian. Lantas Kartika meminta kepada "mas-mas angkringan" untuk bawakan dua gelas wedang jahe hangat untuk menetralisir suhu tubuh mereka begitu hujan turun begitu lebatnya.

"Terima kasih," ujar Joshua sambil menampilkan senyum terbaiknya yang membuat Kartika turut tersenyum lalu mengangguk pelan.

Wanita muda itu menatap manik teduh Joshua dengan yakin.

Ada berupa dorongan positif dari dalam yang membuat Kartika tanpa berpikir panjang untuk memutuskan sesuatu supaya percakapan di toko buku tadi menjadi lebih jelas.

"Coba buktikan kalau kamu benar-benar seorang penulis sejati, Josh. Maka saya dengan senang hati menjadi orang pertama yang membantu agar naskahmu dapat diterbitkan."

Seketika Joshua berhenti makan. Menatap kedua mata Kartika sejenak.

Tak perlu mengeluarkan sepatah kata. Dari tatapan mata saja, Joshua seolah berujar, "Mba serius? Mba nggak main-main kan?"

Kini, rasa euforia itu kembali muncul. Lalu pemuda tersebut langsung merengkuh Kartika tepat berada di sampingnya dengan erat.

Sedangkan Kartika sendiri, tiba-tiba kaget hingga dia rasakan lengan kemeja putihnya kembali basah akibat pemuda itu membenamkan wajah pada pundaknya.

Dia pastikan bahwa Joshua tengah menangis, dalam artian tangis bahagia.

Lantas Kartika mengusap-ngusap bagian punggung Joshua lalu balas merengkuh, menciptakan sensasi nyaman dan menghangatkan di kala hawa sejuk akibat hujan terus menerpa keduanya.

Satu hal lagi, harapan yang Joshua tanamkan sedari awal bukanlah suatu hal yang sia-sia. Ditambah Joshua sama sekali tidak menyangka bahwa Kartika sangat mengerti betul apa yang dia inginkan saat itu walau Kartika tidak mengatakannya secara langsung.



Hlm 19 | Jendela Joshua

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

With You Oleh //

Fiksi Remaja

261K 17.3K 31
Menjadi yang pertama baginya memang manis, menjadi yang terakhir untuknya memang indah. Tetapi betapa indah dan manisnya jika kamu menjadi satu-satu...
110K 20.7K 35
Revel merencanakan kematiannya tiga minggu dari sekarang. Ada lima hal yang ingin dia lakukan sebelum mati. 1. Makan lima ayam goreng sekaligus 2. Me...
1M 115K 52
[PRIVATE ACAK! SILAHKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "NENEN HIKS.." "Wtf?!!" Tentang kehidupan Nevaniel yang biasa di panggil nevan. Seorang laki-laki yan...
620K 5.2K 17
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...