Rea sungguh malas, karena ini hari Senin dan dia harus berangkat kerja. Pasalnya Pak Kelvin tidak membiarkan dia untuk cuti nikah, mengharuskan mereka berdua berangkat ke kantor pada pagi hari ini.
"Pagi-pagi itu yang semangat, masih pagi gini kok udah loyo," tegur Kelvin ketika dia melihat istrinya duduk di meja makan dengan wajah lesu.
Rea tidak menggubris perkataan Kelvin, dia memang sedari tadi menunggu pria itu untuk datang ke meja makan agar mereka bisa makan bersama. Karena biasanya jika di rumah dulu Rea selalu sarapan bersama dengan kedua orang tuanya dan juga Bang Rio.
"Kayaknya tadi saya ada ngomong sama manusia, kenapa rasanya lagi ngomong sama tembok, ya." Kelvin nyindir, Rea tahu soal itu.
"Iya, selamat pagi, Pak." Rea terpaksa menyapa pria itu.
Sekarang Rea paham, tidak semua bos itu galak, cuek dan dingin. Buktinya Pak Kelvin, dia banyak bicara, jail dan ramah bukan. Tetapi Rea tetap tidak bisa menaruh perasaan kepada pria itu sekarang, walaupun kata orang cinta akan datang karena terbiasa. Entah itu benar adanya atau hanya kata orang saja.
"Kok, Pak, sih, manggilnya itu sa -" Kelvin memancing Rea untuk memanggilnya sayang.
"Sa? Namaku Rea bukan Sa," balas Rea cuek, membuat Kelvin melongo.
Kelvin seketika menepuk jidatnya sendiri, kenapa dia bisa memiliki istri se polos Rea begini? Tapi tidak apa, itu adalah hal unik untuk Kelvin.
"Di kening Pak Kelvin ada nyamuknya? Kok tadi saya gak lihat," cletuk Rea.
Kelvin terdiam, padahal dia tadi menepuk keningnya sendiri itu karena gemas dengan Rea, eh ini malah dikira ada nyamuk di keningnya.
"Iya kayaknya, coba kamu lihat ini bekas gigitan nyamuknya benjol apa enggak." Pak Kelvin berdiri dan mendekatkan tubuhnya ke Rea.
Rea menatap intens kening Pak Kelvin untuk memastikan. Tapi sepertinya baik-baik saja, tidak ada yang benjol sama sekali.
"Gak papa itu kok, Pak."
"Beneran? Kok saya gak percaya, sih. Coba kamu cek sekali lagi deh."
Kelvin pun semakin mendekatkan wajahnya ke arah Rea, bahkan sekarang jarak wajah mereka hanya beberapa centi saja.
Rea yang awalnya fokus ke kening Pak Kelvin kini malah fokus ke wajahnya. Mereka tiba-tiba saja saling melemparkan tatapan mata masing-masing. Saling menyelami pandangan yang membuat mereka berdua gugup sendiri.
"Ini Pak Kelvin mau ngapain, ya," gumam Rea dalam hati.
Beberapa detik kemudian, Pak Kelvin mendaratkan ciumannya ke kening Rea sekilas. Membuat Rea langsung melotot saking kagetnya.
"Ada baiknya, suami itu mencium kening istrinya dipagi hari sebelum berangkat bekerja dan istri mencium punggung tangan suaminya sebelum kerja." Pak Kelvin mengarahkan tangannya ke Rea.
Entah sadar atau tidak, Rea menyambut uluran tangan itu dan menciumnya pelan. Membuat sudut bibir Kelvin terangkat seketika.
"Nah, ini harus di biasakan," ujar Pak Kelvin sembari senyum-senyum.
Rea seperti orang linglung, dia merasa tadi itu seperti sebuah mimpi belaka. Tolong bangunkan Rea jika semua ini memang hanya mimpi saja.
"Rea," panggil Kelvin lembut.
"Iya, Pak," balas Rea dengan tatapan kosong.
"Manggilnya Sayang atau Mas dong malau di rumah itu." Entah sudah berapa kali Kelvin mengingatkan istrinya itu seperti ini.
"Iya, Sayang." Rea sepertinya masih belum sadar dengan apa yang dia katakan.
Pandangan Rea benar-benar masih kosong, semua ini rasanya seperti mimpi yang membahagiakan untuknya.
Karena perkataan Rea tadi, membuat Kelvin senang. Memang seharunya jika di rumah tidak perlu memangilnya dengan sebutan Pak.
"Tapi kok saya merasa ada yang aneh dengan adegan kita tadi ya, Pak."
Padahal baru saja Rea memangilnya benar dengan sebutan sayang. Tapi kenapa sekarang berubah lagi dengan sebutan Pak. Kelvin langsung mendudukan dirinya di kursi dengan lemas.
"Aneh gimana?" Walaupun dia agak sedikit kesal, tapi dia tetap menanggapi perkataan Rea.
"Kan kita belum sarapan, sedangkan adegan tadi kan buat pamitan kalau udah mau berangkat kerja. Kebalik gak, sih? Harusnya kita sarapan dulu baru pamitan. Ini malah pamitan dulu baru sarapan." Rea mengaruk kepala yang tidak gatal karena bingung.
Kelvin kita ada apa, ternyata Rea hanya membingungkan hal yang tidak penting saja.
"Itu kan hanya contoh istriku sayang!" Kelvin menekan kata terakhirnya.
"Oh contoh, berarti nanti di ulangin lagi kan pamitannya? Terus kita sekarang sarapan dulu gitu?"
Kelvin menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Dia harus ekstra sabar untuk menghadapi Rea yang polos ini.
"Iya, sekarang kita sarapan dulu, yah. Kalau sarapan itu harus anteng, jangan banyak bicara biar gak keselek."
Rea menuruti perkataan Pak Kelvin untuk duduk kembali. Padahal ini belum sampai ke kantor, tapi Kelvin sudah pusing sendiri sekarang.
***
Sarapan mereka telah usai, memang yang memasak adalah Bi Lastri karena Rea belum bisa memasak. Kemarin saja sewaktu belajar masak dengan Bi Lastri, Rea malah membuat Bi Lastri gemas. Bagaimana tidak gemas jika saat Rea di suruh untuk mengulek bumbu tapi daun salam juga Rea ulek, padahal kan tidak perlu.
"Mas Kelvin," panggil Rea ketika mereka sudah berada di garasi rumah.
Kelvin yang hendak masuk ke dalam mobilnya pun tidak jadi dan lebih memilih untuk menatap ke arah Rea. Apa barusan dia tidak salah dengar jika Rea memanggilnya Mas? Sepertinya tidak, karena sebelum menikah kupingnya sudah dia bersihkan lebih dulu.
"Iya Rea, kenapa?"
"Kalau di rumah saya manggilnya Mas aja ya, gak usah Pak."
Bukannya Kelvin juga sudah mengatakannya begitu berulang kali untuk memanggilnya Mas atau sayang ketika di rumah.
"Iya," jawab Kelvin, daripada dia menjawab panjang-panjang dan membuat mereka berdua malah berdebat seperti waktu tadi saat sarapan.
"Mas tega biarin saya pergi ke kantor naik motor sendirian? Masalahnya saya gak tahu jalan dari sini ke kantor, Mas." Rea menampakan wajah melasnya.
Lagian Pak Kelvin sampai segitunya, masak dia di suruh untuk berangkat sendiri dengan motor sedangkan dia berangkat pakai mobil. Padahal tujuan mereka berdua itu sama-sama pergi ke kantor.
"Kan ada google maps."
"Masalahnya saya itu gak bisa baca maps, Mas. Kalau nanti saya nyasar gimana?"
"Memangnya kamu benar-benar gak tahu jalan?" Kelvin sepertinya belum sepenuhnya percaya.
"Iya, orang saya aja jarang banget main. Bisa di bilang kayak keong, karena tiap hari cuman di dalam rumah terus, eh di kamar doang maksudnya. Sampai ni ya, tentang saya aja ada yang gak tahu kalau saya itu anaknya Ayah dan Bunda. Saya juga gak begitu kenal dengan tentang saya sendiri, tapi kalau yang deket-deket rumah saya tahu." Rea malah curhat sekarang.
"Parah, kamu itu kurang bersosialisasi, Rea." Kelvin mengeleng-gelengkan kepalanya.
"Tapi kalau saya nyaman begitu gimana, Mas? Saya lebih nyaman berada di tempat yang sepi daripada yang ramai. Mas benar, saya kurang bersosialisasi, tapi tidak semudah itu buat saya lakuin, Mas."
Sepertinya Kelvin harus lebih jauh menyelami kehidupan Rea.
"Ya sudah, berangkat bareng saya saja sekarang. Kalau nanti kamu nyasar, saya juga yang repot buat nyariin." Kelvin mengalah, dia membukakan pintu untuk Rea sekarang.
Mereka sekarang sudah berada di dalam mobil, Kelvin hendak menyalahkan mesin mobilnya dan hendak melajukan mobilnya. Tapi dia urungkan karena Rea memanggilnya.
"Mas Kelvin," panggil Rea yang membuat Kelvin menoleh.
"Ada apa lagi, Rea?"
"Punya Antimo gak? Saya suka mual kalau naik mobil."
Kelvin melongo saat mendengarnya, kenapa Rea tidak bilang dari tadi? Lagian kan Rea sendiri yang menginginkan untuk berangkat bersama.
"Gak punya, AC saja matiin aja ya." Kelvin membuka jendela mobilnya sedikit dan mematikan Ac-nya. Semua ini dia lakukan agar Rea nyaman berada di dalam mobil.
"Makasih, Mas Sayang," ujar Rea pelan, tapi mampu Kelvin dengar dan membuat Kelvin tersenyum tipis.