The Thing Between Us

By Janeloui22

50K 4.6K 854

A collection of Jaerose's short fanfiction. [You may read or leave] More

•Before You Go•
[1] Amore
[2] Fallen Angel(s)
[3] Tiga Tingkat
[4] Perfectly Match
[5] Meet You at September
[6] Scattered Heart
[7] Through The Basketball He Plays
[8-1] Fail Play
[8-2] Fail Play
[8-3] Fail Play
[9-1] Anomali Rasa
[9-2] Anomali Rasa
[9-3] Anomali Rasa
[10] Platonic Love
[11] Carnations
[12] Soulmate
[13] 47 Street
[14] MSG
[15] Wishlist
[16] Monster
[17] Ideal Life
[18-1] Aksara
[18-2] Aksara

[9-4] Anomali Rasa

1.1K 135 30
By Janeloui22

This will be the last for this arc. Enjoy~

•Anomali Rasa•

Dulu sempet pingin ganti ibu, sampai nanya ke guru di bangku kelas tiga perihal cara penukaran ibu karena saya nggak tahan diomeli terus-terusan. Tentu saja, pertanyaan itu cuma ditanggapi sama tawa canggung dan bingung. Dikenal sebagai anak jenius ngebuat guru-guru selalu menjaga perkataan tiap berada di dekat saya karena nggak mau mendapat terlalu banyak pertanyaan tiap kali nemuin hal yang ganjil.

Tapi ya, sepintar-pintarnya juga anak kecil, tetap aja nggak cukup pintar buat memecahkan kode maupun alasan yang dapat memicu amarah ibu. Misalnya aja, alasan ibu selalu ngomel itu sebenarnya kecil, cuma karena saya sering bolak-balik keluar-masuk rumah waktu ibu lagi ngepel. Juan kecil selalu ngira itu hal enteng yang nggak patut dijadiin alasan turunnya hujan omelan dari mulut ibu. Hati saya sakit karena selalu diomeli. Mengadu ke bapak juga nyaris nggak ada gunanya, dia selalu ada di pihak ibu. Lucu benar kalau mengingat dulu sempat berpikir buat kabur supaya ibu rindu dan berhenti marah-marah.

Tapi, sewaktu tinggal sendiri di Leiden, saya baru sadar kalau lagi bebersih dan ada orang yang tiba-tiba masuk dengan kaki dan tangan kotor itu aduhai kampret sekali. Sungguh membagongkan. Saya sampai kapok dan nggak mau lagi serumah dengan mahasiswa Indonesia yang sama-sama menimba ilmu di Leiden karena dia jorok dan suka seenaknya. Susah payah saya mencari alasan paling sopan dan nggak menyinggung supaya dia setuju buat berpisah dan hidup dengan cara masing-masing. Alhamdulillah, alasannya cukup sopan dan berhasil, buktinya sampai sekarang saya dan Bambang masih berkawan kendati niat untuk tinggal satu atap lagi nggak pernah terlintas. Berkawan baik bukan berarti harus tinggal satu rumah.

Lalu ada satu lagi cerita yang cukup menarik buat disampaikan. Ini terjadi waktu saya baru lulus dan lagi nyari kerja. Sebelum bekerja di kantor media dan publikasi, saya sempat mengajukan lamaran ke sejumlah tempat yang berkaitan dengan ranah hukum. Seperti biasa, saya merasa percaya diri, spesifikasi yang saya tawarkan bagus dan menjanjikan. Bahkan saya juga nggak menuntut gaji kelewat tinggi—selama nggak dibayar di bawah UMR dan tetap diberi tunjangan seperti asuransi tenaga kerja dan upah lembur.

Idealnya saya langsung diterima bekerja; tapi pada kenyataannya idealisme seringkali nggak sejalan dengan dunia faktual. Setelah melewati tiga tahapan seleksi, lamaran pertama saya ditolak. Dan alasan penolakannya sempat ngebuat beberapa orang rumah tercengang: Saya ditolak karena dianggap terlalu pintar sehingga nggak cocok buat mengisi jabatan yang dilamar. Alih-alih diterima, saya malah dianjurkan buat bekerja di perusahaan BUMN sebagai langkah awal buat menyalurkan kepintaran yang terpendam.

Sebenarnya saya termasuk tipe orang yang sadar betul dengan kemampuan sendiri bahkan sejak usia dini. Kesadaran itu justru sempat ngebuat saya tersiksa karena kesulitan menemukan teman yang bisa mengimbangi nalar dan cara berpikir yang dianggap nyeleneh. Memang kurang tepat, anak dengan kecerdasan di atas rata-rata seperti saya seharusnya dimasukkan ke sekolah khusus, bukan sekolah reguler. Tapi ibu dan bapak keukeuh memasukkan saya ke sekolah reguler dengan harapan saya bisa mendapat banyak teman dan berkembang seperti anak lainnya.

Sayangnya, jangankan mendapat teman yang satu frekuensi, mendapat teman yang bisa bertahan sebagai teman sebangku selama satu semester saja sulit. Mereka nyaris nggak pernah ngajak saya main karena selalu dikalahkan dan respon yang saya kasih juga ngebosenin. Sekolah jadi tempat paling membosankan karena nggak banyak hal baru yang bisa saya pelajari; bahkan mendapat nilai maksimal udah bukan hal asing dan nggak bisa serta merta ngebuat saya senang. Dua belas tahun jadi siswa nomor satu di sekolah bahkan di kampus pun jadi mahasiswa berprestasi secara alami ngebentuk saya jadi manusia egois yang julid dan merasa bisa melakukan semuanya sendiri.

Hal itu turut mempengaruhi hubungan romansa yang pernah saya jalani. Semua hubungan itu selalu kandas dalam waktu singkat. Alasan yang diberikan cuma satu: saya egois, nggak terlalu suka menerima saran, nggak suka hubungan yang menye-menye, nggak bisa menyesuaikan pembicaraan, nggak bisa selalu ngasih kabar 24 jam (saya bukan klinik 24 jam yang selalu siap sedia memberikan layanan), dan nggak paham konsep jatuh cinta. Masalahnya murni ada di saya. Padahal semua perempuan yang pernah saya pacari punya kepribadian baik; sayangnya kami nggak bisa menyelaraskan perbedaan sifat yang terlalu ekstrem.

Mungkin untuk alasan itu pula saya punya sedikit kekhawatiran saat berniat mendekati Rumi. Jangankan dengan perempuan yang lebih muda, dengan yang seumuran pun masih tidak bisa menyelaraskan visi dan misi. Tapi kali ini saya nggak mau membiarkan gelora ketertarikan padam gitu aja; saya ingin mengenal Rumi dan kalau bisa mau membuatnya jatuh cinta. Saya bukan penggemar cinta bertepuk sebelah tangan dan bukan tipe yang pasif. Kalau tertarik, ya diperjuangkan. Lagipula Rumi dengan sangat jelas menunjukkan kalau dirinya tipe yang senang berjuang dan diperjuangkan. Kalau dilihat sekilas, sepertinya kami cocok.

“Maaf ya karena nyita hari libur A Juan,” kata Rumi begitu masuk ke dalam mobil—menebar aroma harum bunga yang ngasih kesan lembut dan feminin.

Untuk beberapa saat saya meluangkan waktu buat memperhatikan Rumi: gaun biru panjang dengan kardigan hitam, tas selempamg yang menjuntai ke samping, dan rambut yang dikepang. Senyum saya merekah saat bilang, “Cantik.”

Rumi tersipu. Dia selalu ngebuang muka tiap kali salah tingkah, selalu menutup setengah mukanya dan selama beberapa detik nggak akan ngomong apa-apa. “Makasih,” katanya setelah cukup tenang. “My morning can’t be better than this.”

“Oh iya, tolong ambilin paper bag di jok belakang dong,” pinta saya ke Rumi.

“Ini?” kata Rumi sambil nyodorin barang yang saya maksud. Dia ngelirik lagi ke belakang, ngelihat satu ikat bunga yang nggak tersentuh sama sekali.

“Coba dibuka,” tutur saya sekali lagi.
Rumi nurut aja, ngebuka paper bag dan ngeluarin satu box dark chocolate dengan mata berbinar.

“A little treat for the girl that works really hard on her thesis,” ucap saya sambil ngasih senyum. Saya sedikit balik badan buat ngambil bunga di belakang, merapihkan tepian bucketnya sebelum ngasih ke Rumi dengan cara yang kurang romantis—sejujurnya saya nggak terlalu tahu caranya bersikap romantis. “Ini juga buat kamu; kebetulan waktu di jalan lewat toko bunga.”

“Ini kali pertama ada yang ngasih bunga ke aku, makasih A Juan!” Rumi nyaris memekik, terlalu antusias ngebuat sikap manisnya keluar semakin jelas.

“Wah, ternyata emang ada ya orang yang lebih cantik dari bunga,” spontan saya ngomong gitu. Fokus saya kembali ke depan, masih belum tancap gas kendati mesin udah dinyalain sejak beberapa menit lalu. “Kamu pernah punya pacar?”

“Eh? Tiba-tiba nanya gitu,” sahut Rumi dibarengi tawa ringan. Kepalanya menunduk, mengamati dua hadiah kecil yang saya kasih buat dirinya. “Belum. Kenapa nanya gitu? Emangnya A Juan mau jadi yang pertama?”

“Iya,” jawaban itu keluar tanpa ragu. “Saya bisa jadi yang pertama dalam berbagai hal kalau kamu mau. Nggak harus buru-buru, kita nggak lagi dikejar deadline. Lagipula semuanya punya waktu masing-masing kan.”

“Kalau sekarang waktu yang tepat buat pacaran gimana?” tanya Rumi sambil nelengin kepala. Dia nunggu jawaban, terlihat sabar meskipun antusiasmenya udah di ubun-ubun.

Lagi-lagi tatapan saya tertuju ke Rumi, memandangi wajahnya yang cantik dengan khidmat. “Saya nggak romantis dan bawel, kamu bersedia ngedengerin semua keluh kesah saya setiap hari?”

“Aku nggak pandai ngasih saran dan banyak nanya, A Juan nggak masalah kalau pacaran sama perempuan kayak aku?” Rumi ikut mengajukan pertanyaan.

“Perempuan kayak kamu itu sempurna,” ucap saya tulus.

“Kalau gitu deal!” Rumi ngejabat tangan saya, ngasih senyum paling manis yang ngebuat kedua ujung bibir otomatis terangkat naik.

“Deal,” cetus saya ringan.

“Nggak harus pakai semacam surat persetujuan dan tanda tangan kan?” Rumi kembali ngelempar pertanyaan.

Saya ngasih gelengan, “We don’t need that.”

“Huft… deg-degan, ternyata ditembak sama orang yang disukai tuh kayak gini ya,” kata Rumi nyaris tanpa sesadarnya. “Let’s work together to build a good relationship A Juan!”

“Yep. Let’s work on it, Rumi.”

“What a nice kick off. I get myself a handsome boyfriend that I adore so much. I’m the real lucky girl!” katanya berbunga-bunga.

“Then I must be the luckiest guy ever,” saya ngomong gitu sambil ngelirik Rumi. “Satu hadiah lagi, saya udah ngumpulin berkas yang kamu butuhin buat sumber skripsi. Untuk berkas Bahasa Belanda juga udah diterjemahin.”

Rumi cuma ketawa, tahu betul kalau saya orangnya sangat ekstra. Meski agak ragu, tangannya yang ramping terulur cuma buat nepuk punggung tangan saya, kelihatan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan.
“Makasih,” katanya dilengkapi senyum manis.

“All pleasure on me.”

Saya menutup percakapan pagi itu dengan satu kecupan di punggung tangan Rumi. Memberinya waktu buat bersuka cita sebelum melajukan mobil dan mendengar ocehan riangnya di sepanjang jalan menuju kafe.

Fin

(Caption Juan kalo posting foto di atas: Bandung dingin, tapi sekarang ada yang bikin anget #cantik)

One of the most nggak jelas story I've ever made. Bahkan diunggahnya pun seenaknya. Heuheu

By the way kalian suka cerita pendek kayak gini?

Makasih yang udah mampir. Have a nice weekend! Love you!

💜💙💘🧡💛💝💚❤💖🍑🌹

Continue Reading

You'll Also Like

316K 23.9K 108
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
55.1K 8.5K 52
Rahasia dibalik semuanya
51.2K 3.7K 52
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...
497K 5.3K 88
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...