Affection

By sourpineapple_

480K 33.9K 449

COMPLETE - FOLLOW SEBELUM MEMBACA Mature Content (18+) so selection ur reading. *** Derana Gangga Mirabelle... More

P R O L O G
BAB SATU
BAB DUA
BAB TIGA
BAB EMPAT
BAB LIMA
BAB ENAM
BAB TUJUH
BAB DELAPAN
BAB SEMBILAN
BAB SEPULUH
BAB DUA BELAS
BAB TIGA BELAS
BAB EMPAT BELAS
BAB LIMA BELAS
BAB ENAM BELAS
BAB TUJUH BELAS
BAB DELAPAN BELAS
BAB SEMBILAN BELAS
BAB DUA PULUH
BAB DUA PULUH SATU
BAB DUA PULUH DUA
BAB DUA PULUH TIGA
BAB DUA PULUH EMPAT
BAB DUA PULUH LIMA
BAB DUA PULUH ENAM
BAB DUA PULUH TUJUH
BAB DUA PULUH DELAPAN
BAB DUA PULUH SEMBILAN
BAB TIGA PULUH
BAB TIGA PULUH SATU
BAB TIGA PULUH DUA
BAB TIGA PULUH TIGA
BAB TIGA PULUH EMPAT
BAB TIGA PULUH LIMA
BAB TIGA PULUH ENAM
BAB TIGA PULUH TUJUH
BAB TIGA PULUH DELAPAN
BAB TIGA PULUH SEMBILAN
BAB EMPAT PULUH
BAB EMPAT PULUH SATU
BAB EMPAT PULUH DUA
BAGIAN EMPAT PULUH TIGA
E P I L O G

BAB SEBELAS

9.6K 825 0
By sourpineapple_

Sedari tadi pandangan Jansen tak bisa beralih dari wanita yang duduk di seberang meja makan, tepat di depannya, tengah menikmati sarapan pagi ini. Dengan gerakan lambat, pemuda itu mengunyah pelan sarapannya, membuat Jean yang duduk di samping Jansen merasa janggal dengan kakak laki-lakinya tersebut.

Sebenarnya, ada sesuatu yang terus mengganggu pikiran Jansen sejak ia bangun pagi tadi, mulai dari posisinya tidur, letak stik playstation yang ia yakini semalam masih ia pegang dan tiba-tiba pagi tadi berpindah di bawah kolong meja tempat playstation-nya berada, tidak mungkin 'kan jika benda bisa berpindah tempat sendiri?

Lalu satu hal lagi yang sangat mengganggu pikiran Jansen adalah mimpi aneh— entah itu mimpi atau bukan, Jansen merasakan kehadiran Dera di kamarnya semalam, wanita itu yang menyelimuti dan membetulkan posisi tidurnya, wanita itu juga yang mematikan lampu kamar, mengusap kepala dan mengecup keningnya, terasa sangat nyata, namun Jansen tak yakin.

Lagipula untuk apa Dera terbangun di jam larut seperti itu, Jansen sendiri ingat jika semalam ia terjaga hingga jam sebelas lantas bermain playstation beberapa menit dan tertidur.

"Jansen?"

Tersentak, Jansen tersadar dari lamunannya, mendongak dengan ekspresi bingung sekaligus terkejut, menatap sang empu yang memanggil namanya.

"Kamu kenapa? Makanannya nggak enak, ya?" tanya Dera, sadar dengan cara makan Jansen yang tak seperti biasa, pemuda itu juga melamun sambil memainkan sendoknya.

Jansen mengerjap, menatap makanan yang masih tersisa banyak di atas piringnya lalu kembali mendongak pada kedua adik serta ibu sambung yang sama-sama menatap padanya.

"Kakak kenapa?" tanya Raiden, mengerjap, menatap Jansen.

Jansen menggeleng. "Nggak apa-apa," jawab pemuda itu, melanjutkan acara sarapan paginya, membuat Jean memicingkan mata, sepertinya benar jika ada yang tidak beres dengan kakak laki-lakinya itu.

"Kenapa lagi?" tanya Jean, mencondongkan tubuhya mendekat pada Jansen, berbisik.

Tanpa mengeluarkan suara, Jansen kembali menggeleng, menyendok satu kali lagi makanan yang ada di piring lalu meneguk air putih yang berada di dalam gelas dan berdiri, membuat kursi yang ia duduki tadi sedikit bergeser ke belakang karena pergerakannya. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Jansen melenggang pergi meninggalkan meja makan dan penghuninya yang dilanda kebingungan.

"Kakak kenapa?" tanya Raiden, menatap Jansen yang tiba-tiba pergi.

Mengembuskan napas pelan, Jean yakin jika ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran Jansen saat ini. "Nggak usah dipikirin, lanjutin aja sarapannya," ujar Jean, tersenyum kecil pada Raiden.

Sedang Dera sendiri masih memperhatikan punggung yang menghilang di balik tembok dapur beberapa menit yang lalu. Semenjak Jayden tak ada di rumah, Jansen memang tak lagi mengatakan sesuatu yang membuat Dera sakit hati seperti sebelumnya, namun sikap dan diamnya pemuda itu justru membuat Dera khawatir. Terlebih lagi, Jansen terlihat sering melamun seperti sedang memikirkan sesuatu beberapa hari akhir ini.

Membuang napas pelan, Dera menuang air ke dalam gelas, lantas meneguknya sedikit, sebelum beralih menatap kedua pemuda yang masih duduk di depannya itu.

"Setelah ini, Mommy akan pergi ke butik sebentar, kalau kalian mau keluar, jangan lupa hubungi Mommy dulu, ya?" ujar Dera, menatap Jean dan Raiden bergantian.

"Raiden nggak punya nomornya Mommy," ujar Raiden membuat Dera mengerjap.

"Iya?" beo wanita itu, lantas segera tersenyum kecil. "Nanti Mommy kasih, sekarang dihabisin dulu sarapannya, ya," ujarnya lagi, dibalas anggukan oleh Jean dan Raiden.

***

"Nona, saya sudah mendapatkan bibit serta bunga mawar yang anda minta, apa perlu saya antarkan langsung ke rumah Nona?" ujar Dania, membuat Dera mendongak, mendengarkan penuturan perempuan itu.

"Ide bagus, kamu tidak keberatan 'kan?" tanya Dera, dibalas gelengan oleh Dania.

"Apapun untuk Nona, kalau begitu, saya permisi." Dania membungkuk tipis dengan sopan, hendak keluar dari ruangan Dera, namun ujaran wanita itu membuat pergerakan Dania terhenti.

"Dania, tunggu dulu," cegah Dera.

"Ada yang bisa saya bantu lagi, Nona?" tanya Dania.

Dera mengangguk. "Sesuai pesan saya kemarin, semua desaigner butik datang 'kan hari ini?"

"Sesuai yang Nona minta," jawab Dania.

Dera kembali mengangguk-angguk. "Baiklah, kalau begitu, beritahu mereka untuk berkumpul, melakukan diskusi terkait event yang akan kita ikuti dua bulan lagi, dan ..." —Dera menggantung kalimatnya dengan tangan yang sibuk menggulir layar iPad, hendak menunjukkan desain baju pesanan klien mereka yang belum sempat ia perlihatkan pada Dania.

"What do you think about this? Ada yang kurang?" tanya Dera, menunjukkan iPad-nya.

Mendekat, Dania melihat apa yang ditunjukkan oleh sang atasan. "Perfect," komentar Dania, tersenyum secara tulus.

"Benarkah?" tanya Dera memastikan.

Dania mengangguk. "Seperti biasa, desain baju yang Nona buat tak pernah mengecewakan," puji Dania, membuat Dera tersenyum.

"Terimakasih atas sanjungannya," ucap Dera, merasa senang karena hasil kerjanya dipuji oleh orang lain. Di sela-sela itu, perhatian Dera beralih secara spontan ketika suara dering ponsel membuatnya sedikit terkejut.

"Oh, kamu boleh keluar, Dania," ujar Dera ketika melihat nama penelepon di layar ponselnya.

Membungkuk singkat, Dania pergi keluar dari ruangan Dera. Menerima panggilan yang masih berdering itu, Dera bangkit dari kursinya sembari mendekatkan ponsel ke telinganya dan menyuarakan sapaan.

"Halo?"

"Oh, halo, Mira, kamu sedang sibuk?" Suara Jessy terdengar setelah Dera melontarkan sapaannya.

Memandangi meja kerjanya, Dera mengangguk-angguk. "Sepertinya iya, ada banyak yang harus aku urus di butik, pesanan klien dan semua yang terkait acara Glamour Fashion Week nanti. Pemasukan butik banyak berkurang, jadi aku rasa ini saatnya untuk melakukan promosi secara besar-besaran," urai Dera.

"Kamu ikut Pekan Mode Glamor juga? Mungkin ada yang bisa aku bantu— oh ya, aku bisa menjadi salah satu model untuk baju yang akan kamu pamerkan nanti, dan mungkin sosial media milikku akan sedikit membantu," usul Jessy.

"Essy, aku nggak mau ngerepotin—"

"Shut up, nggak ada kata 'ngerepotin' dalam kamus kita, Mira. We're best friend, apapun akan aku lakukan untuk dukung dan bantu kamu, jadi jangan nolak, oke?" ujar Jessy, membuat Dera terenyuh.

Kata sahabat saja tak cukup untuk menggambarkan bagaimana Jessy di hidup Dera, wanita itu sudah seperti malaikat. Tuhan memang Maha Baik, karena sudah mempertemukan Dera dengan Jessy sebelumnya.

"Terimakasih, Essy, kamu sudah banyak sekali membantu, suatu saat nanti aku pasti akan balas semua kebaikan kamu," balas Dera, tersenyum.

"Anything for you, Mira, dan ... oh ya, kebetulan banget hari ini aku sedang menganggur, aku akan lekas mandi dan pergi ke butik, see you, Babe!"

Dera tertawa pelan. "See you, hati-hati di jalan ya, Essy."

Tepat saat sambungan telepon berakhir, pintu ruangan Dera kembali terbuka, membuat perhatian Dera spontan beralih.

"Semua desaigner sudah berkumpul, Nona," ujar Dania, pelaku dari terbukanya pintu ruangan.

Menyimpan ponselnya, Dera mengangguk. "Baiklah, mari kita mulai diskusinya."

***

"Raiden! Balikin nggak?!" seruan Jean terdengar menggema di bangunan megah rumah kediaman keluarga Jayden itu.

Tampak kedua anak laki-laki yang tengah berlari, saling mengejar dan menghindar,  memutari ruangan satu ke ruangan yang lain. Dalang dari kerusuhan tersebut adalah si kecil yang namanya berkali-kali diteriakkan oleh sang kakak.

"Raiden!" seru Jean lagi, mulai kewalahan mengejar adiknya yang gesit sekali.

"Kenapa, Kak? Capek, ya?" tanya Raiden, tersenyum penuh ejekan sembari menggoyangkan benda yang ia curi dari Jean beberapa menit yang lalu.

"Awas ya, kamu kalau ketangkep, beneran Kakak smack down!" ancam Jean, kembali mengejar Raiden yang sepertinya tak mempunyai rasa lelah setelah berlari menuruni tangga, hingga memutari beberapa ruang, mulai ruang tamu, ruang keluarga, dan ruangan bersantai.

"Jean, Raiden," tegur Jansen yang merasa terganggu akan teriakan-teriakan Jean memanggil Raiden, saat menghampiri, rupanya kedua manusia itu tengah berlari kejar-kejaran.

"Sen, bantu tangkap, Sen!" ajak Jean tak menghiraukan teguran Jansen barusan, pemuda itu malah menggiring kakak kembarnya untuk membantu ia mengejar Raiden.

"Curang ah, Kak Jean nyari bantuan! Tapi nggak apa-apa, dua lawan satu, pasti aku yang menang!" seru Raiden, meloncat-loncat kecil dengan arah mundur, menatap kedua kakak kembarnya.

"Jean, Raiden, udah, jangan lari-lari di dalem rumah," tegur Jansen lagi, namun masih tak dihiraukan oleh kedua adiknya.

Hingga suara bising itu mengundang kehadiran wanita cantik yang tampak penasaran ketika mendengar keributan dari dalam rumah.

"Jansen, Jean, Raiden, ada apa ini kok teriak-teriak?" tanya Dera, menatap ketiga putranya, dengan Jansen yang diam di tempat, sedang Jean dan Raiden tengah berlari kejar-kejaran.

Mendengar suara sang ibu menginterupsi, Raiden yang tadinya berlari sambil menoleh ke belakang pun beralih cepat mencari sumber suara, namun karena tidak fokus langkahnya tersendat, tersandung oleh kakinya sendiri, membuat tubuh kecil itu terhuyung menubruk rak yang berdiri di sana.

Melihat hal itu pun, baik Dera, Jansen maupun Jean sama-sama terkejut.

"Raiden!" seru mereka segera berlari menghampiri Raiden.

Iris Dera melebar tatkala melihat guci keramik yang berada di bagian atas rak bergoyang seperti hendak jatuh, dengan cepat wanita itu segera menarik tangan Raiden, mendekap tubuh pemuda itu untuk berpindah dari tempatnya berdiri, saat itu pula, guci yang berada di bagian atas rak terjatuh ke lantai hingga suara pecahannya terdengar nyaring, membuat Jansen dan Jean tersentak kaget, berhenti di tempatnya.

Memejamkan matanya, Raiden menenggelamkan kepala di dekapan Dera, tubuh pemuda itu bergetar seketika lantaran mendengar suara pecahan nyaring barusan. Semua kilas balik apa yang pernah terjadi dulu menghantui pikirannya.

Pecahan vas. Tamparan. Pukulan. Makian, dan teriakan.

"A-ampun Mommy ... Raiden nggak sengaja ...," cicitnya pelan dengan suara gemetar, membuat Dera menunduk, menatap tubuh Raiden yang tiba-tiba bergetar di dalam dekapannya.

"Shut ... nggak apa-apa, Mommy di sini, Mommy nggak akan apa-apain Raiden, tenang ya?" hibur Dera, mengusap-usap punggung Raiden, berusaha memberikan ketenangan.

Sedang Jansen dan Jean masih terkejut akan kejadian barusan. Mereka menatap Dera yang memeluk Raiden, menenangkan adik mereka yang nampak ketakutan akibat mendengar suara pecahan keramik barusan.

"Cup, cup, cup, nggak apa-apa, Mommy nggak marah kok, Raiden jangan takut, ya?" ujar Dera lagi, ikut merasa sakit mendengar Raiden yang tiba-tiba terisak sendu seraya mencengkram bajunya dengan kuat.

Hingga perlahan, cengkraman kuat itu mengendur, tangis Raiden juga tak sesendu tadi, anak itu sudah sedikit lebih tenang, walaupun masih belum beranjak dari dekapan sang ibu.

"Nggak apa-apa, nggak apa-apa ...," gumam Dera berkali-kali, sembari mengusap punggung Raiden.

Merasa sudah lebih tenang, Raiden menengadahkan kepalanya, menatap Dera. "Baju Mommy basah ...," cicit pemuda itu dengan suara khas orang yang baru menangis.

Membuat Dera tersenyum, tertawa kecil, mengacak poni Raiden. "Nggak apa-apa, nanti ganti baju lagi. Kamu nggak ada yang luka 'kan?" tanya Dera, melonggarkan jarak antara mereka, memeriksa tangan dan kaki Raiden.

"Akh!" seru spontan Raiden, merasa perih di sikunya, kala tangan Dera menyentuh goresan luka yang masih baru di sana.

Terhenyak, Dera segera mengangkat lengan Raiden, memeriksa bagian siku pemuda itu yang terluka akibat tergores pinggiran rak.

"Ayo, Mommy obatin. Ini biar dibersihin maid nanti. Jansen, Jean, jangan lewat sini dulu ya, hati-hati, bahaya kalau kena kaki," peringat Dera, menatap serakan pecahan keramik di lantai lalu beralih pada kedua putranya, Jansen dan Jean.

"Iya," sahut Jean, sebelum akhirnya Dera membawa Raiden pergi untuk mengobati luka pada siku pemuda itu.

Sedang Jansen masih bergeming, menatap kepergian ibu dan adik kecilnya lalu beralih pada pecahan guci di lantai. Rasanya seperti dejavu, kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya, namun dengan respons serta kondisi yang berbeda.

Menoleh pada Jean yang masih berdiri di sampingnya, Jansen membuka mulut untuk bersuara. "Apa masih belum terlambat buat berharap kalau kita bisa perbaiki semuanya dan mulai dari awal?"

— AFFECTION —

Continue Reading

You'll Also Like

7.9K 411 42
My very first story on wattpad. 'Our Love' Series #1- UNSEEN LOVE - Status : TAMAT - Lydia James Ingatan adalah sesuatu yang berharga bagi setiap or...
64.8K 3.8K 114
Kehidupan masa lalu yang menyakitkan membuat Velicia mengambil keputusan untuk pergi. Ia melarikan diri ke New York untuk mencoba takdirnya sendiri...
4.7K 885 23
Farhan berdiri sambil menundukkan kepala. Ia rasa ia paham bahwa ibunya sedang marah. Beberapa jarak dari Farhan, wanita itu mengamati putranya sambi...
2.3M 12.8K 26
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...