We Come And Go

By meynadd

1.4K 279 24

Di antara arak-arakan payung orang yang berlalu lalang, mereka bertemu lagi. Tak ada tegur dan sapa yang mend... More

Prakata
01. Dihujani Rasa Sakit
02. Pindah Rumah
03. Di Atas Hidup dan Mati
04. Tahun Ajaran Baru
05. Lebih Dekat dari Teman
07. Dua Saudari, Satu Emosi
08. Alasan Tersembunyi
09. Musuh Lama
10. Tetap Menjadi Rahasia
11. Gara-Gara Contekan
12. Kawan Bisa Jadi Lawan
13. Demi Hidup Ayah
14. Trik Musuh dan Dua Orang Konyol
15. Yang Ingin Dibahas
16. Kepekaan Jihye
17. Adu Debat di Meja Panjang
18. Umpan Pembalasan
19. Sudahi dan Akhiri
20. Polaroid dan Si Penengah

06. Perkara Seungbin

63 15 0
By meynadd

- Jihye

     Sekitar satu menit yang lalu, aku, Yeonji dan Seungbin sempat mengusuli siapa yang pulang dengan siapa. Awalnya, Seungbin menawari adiknya untuk pulang bersama, akan tetapi Yeonji menolak, dia tidak ingin pulang naik motor melainkan bus. Dia juga beralasan kakak laki-lakinya itu terlalu ngebut-ngebutan di jalan raya (ini benar karena aku hampir saja mati tertabrak).

     Sepanjang adu mulut di antara mereka, aku hanya bisa menyimak, (kurang lebih mereka mirip denganku dan Kak Minhee kalau sudah beradu argumen). Di sela-sela itu, aku unjuk diri mengusuli ide, Seungbin pulang sendiri lalu biar aku dan Yeonji yang pulang menggunakan bus. Hitung-hitung agar terbiasa pulang dan pergi bersama. Dan mereka akhirnya menyetujui usulan tersebut.

     Saat ini, kami berdua sudah berada di dalam bus dan mengambil tempat duduk paling tengah. Yeonji duduk sebelah kanan, dekat dengan jendela bus. Sementara aku berada di sampingnya.

     Begitu memperhatikan Yeonji yang terdiam sambil menatap kosong ke arah jendela, aku bisa menebak suasana hatinya sedang tidak baik. Mungkin karena Seungbin, kurasa. Dan beberapa saat yang lalu pun kami berdua tidak berbicara apa-apa lagi. Sangat canggung bagiku.

     Lalu aku mencoba untuk memecah keheningan di antara kami. Tidak baik, jika salah seorang sepupu yang kau kenal sedang kesal atau bersedih tapi kau tidak berusaha mencoba menghiburnya dan membuat relasi yang baik dengannya bukan?

     "Ya, Yeonji." Dia menoleh kemudian kembali menatap ke arah jendela.

     "Apa kau suka makanan manis?"

     Lantas aku merogoh-rogoh ranselku barangkali ada cokelat batangan atau permen loli yang selalu kubawa untuk cemilan, ini justru bisa meningkatkan mood seseorang. Dan tips ini juga berhasil padaku. Kemudian mengulurkan batangan cokelat itu padanya. Yeonji melirik sebentar lalu menatap kembali ke jendela.

     "Tidak, terima kasih. Aku alergi dengan cokelat, onnie."

     Aku ber-oh rendah. Ada rasa malu yang menjalari lalu memasukkan kembali batangan cokelat itu ke dalam ransel. Aku pun mencoba cara lain yang lebih halus.

     "Yeonji-ssi. Aku ada tebak-tebakan. Apa yang nembak ke lantai lalu nusuk ke hidung?"

     Yeonji menoleh sekilas lalu mengidikkan bahu. Walau kurasa dia tidak tertarik, tapi dia bisa mendengar apa yang kukatakan.

     "Kau tahu apa? Ya jawabannya adalah kentut. Karena kalau kau sudah duduk di lantai lalu menembaknya. Maka orang di belakangmu akan tertusuk bau busuknya itu."

     Setelah aku menyebutnya, Yeonji sama sekali tidak tertawa. Padahal Kak Minhee saja sampai tertawa terbahak-bahak, menggeliat-liat tak karuan. Ternyata selera humornya tidak serendah itu ya?

     "Hei. Ada apa? Kau bisa menceritakannya padaku kalau itu membuatmu lebih baik," saranku sambil mengelus kepangan rambutnya setelah usaha yang telah kucoba tidak berhasil. Yeonji akhirnya menoleh dan menatapku lekat-lekat dan aku melihat dari kedua netranya, ada berupa semacam kekecewaan yang begitu dalam.

     "Onnie pasti dengar kan, kalau Oppa tadi bilang dia akan pulang terlambat?"

     Aku mengangguk setuju. Lalu Yeonji meneruskan, "Itulah yang tidak kusuka darinya. Tidak seperti dirinya yang dulu. Aku juga sudah bilang pada onnie kalau dia belakangan ini menutup diri, terutama pada keluarganya sendiri."

     Aku menaikkan satu alis, tidak bisa membayangkan bagaimana Seungbin enggan terbuka dengan mereka. Pernyataan Yeonji barusan serius membuatku tercengang lantaran tadi pagi di sekolah Yeonji tidak mengatakan semuanya dari awal.

    "Aku tidak tahu kenapa dia bisa begitu. Setiap kali aku bertanya, kenapa oppa pulang terlambat? Dia sama sekali tidak menjawab." Aku tertegun sejenak usai mendengar penuturan Yeonji, sesaat aku bertanya.

     "Memangnya Seungbin dulunya seperti apa?"

     Yeonji menghela napas, kemudian berujar, "Dia orang yang jujur, terbuka dan mudah bersosialisasi terhadap siapa saja. Kalau pulang, dia selalu paling awal. Dan kalau telat, dia akan mengabari dan memberitahu alasannya. Sekarang saja kalau dia pulang cepat itu pun Appa atau Eomma yang memintanya."

     Sekarang aku mengerti. Jika aku berada di posisi Yeonji, mungkin aku bersikap hal yang serupa kepada Seungbin. Namun, dipikir-pikir sangat aneh kalau pemuda itu tiba-tiba berubah tanpa ada alasan ataupun motivasi sehingga dia bisa bertindak demikian.

     Aku jadi penasaran. Kalaulah ada kesempatan, aku akan mencoba mencari tahunya sendiri. Malah, yang ku tak mengerti, di sekolah tadi. Seungbin seketika membuka relasi dan ingin sekali mengobrol-ngobrol bersamaku. Apa karena surat itu kah? Entahlah, ini justru semakin membingungkan.

     "Ngomong-ngomong. Sudah sejak kapan kalian berdua pacaran?" Kali ini Yeonji balik bertanya padaku sambil terkekeh rendah. (Aku bersyukur, setidaknya Yeonji mulai merasa baikan setelahnya).

     Oh ya ampun, apakah di matanya aku dan Seungbin terlihat seperti sepasang kekasih? Yeonji benar-benar salah paham. Jika kudiamkan, semakin lama semakin menjadi-jadi dan bisa saja sampai ke telinga keluarganya.

     "Bukan, Yeonji. Kami tak ada hubungan secara khusus," bantahku dengan tenang.

     "Oh ya? Bagaimana onnie jelaskan, yang telah kalian berdua lakukan malam itu?" tanyanya lagi sambil menyeringai nakal sekaligus kedua alisnya naik-turun bersamaan diriku yang kalang kabut untuk membuka mulut. Aku merasa sedikit kesal disebut yang tidak-tidak.

     "Ya! Bukan seperti itu! Dia hanya ...."

     Aku berseru dengan sedikit tersendat dan kini beberapa pasang mata dalam bus melirikku risih. Yang kulakukan adalah membalas tatapan mereka dengan senyuman terpaksa sekaligus mengangguk dengan sopan. Kali ini aku benar-benar jengkel begitu Yeonji semakin berulah. Tenangkan dirimu, Jihye. Dia hanya seorang gadis, sama sepertimu, Bathinku

     "Hanya apa?"

     "Ah sudahlah Yeonji! Yang terpenting kami tidak ada hubungan apa-apa selain sepupu!" Bisikku tepat di telinganya. Agar dia semakin paham, paham, dan paham. Kalau bisa, sampai gendang telinganya pecah pun tak masalah.

     "Bagaimana kalau kalian akhirnya berkencan dan menjalin hubungan?"

     Aku menghela napas gusar. Pasrah dengan segala omong kosongnya. Coba saja malam itu aku langsung menjelaskannya pasti tidak ada kesalahpahaman begini. Entah dia sedang memancingku dalam gurauannya atau dia benar-benar keliru menyimpulkan. Satu hal, itu sangatlah tidak lucu.

     Yang bisa kulakukan adalah, "Terserah kau sajalah."

     (Sebenarnya, aku tidak terlalu suka mengalah dalam perdebatan. Hanya saja, ini berada di dalam bus. Area publik. Bisa-bisa aku dicap tukang gaduh nanti). Sesaat kemudian, Yeonji tertawa renyah. Aku ikutan senang. Senang sekali ketika harga diriku dijatuhkan. Dalam artian sebaliknya. Hingga deruan bus yang kami tumpangi perlahan menjadi hening dan memberhentikan kami di tempat tujuan.

***

***

- Seungbin

     Seperti yang telah kuduga, Dosan memintaku untuk menemuinya siang ini setelah dia menelpon beberapa saat yang lalu usai pulang sekolah. Tak lain tak bukan, urusan uang taruhan itu. Motor sport hitam yang kukendarai memberhentikan tepat di sebuah gang sempit yang diapit dua gedung bertingkat, tempat dimana kami berdua memulai taruhan.

    Dari sini saja, aku bisa melihat si kepala plontos itu berkumpul bersama kawanannya di ujung gang, tengah membicarakan sesuatu hingga mereka menoleh begitu aku sudah tiba di depan mereka. Si kepala plontos itu lantas menghampiri. Bertepuk tangan sekaligus tertawa penuh kemenangan. Aku mendecih.

     "Jadi mana uangku, Seungbin? Kau tidak lupa membawanya padaku kan?"

     Ya, aku tahu dia pasti bertanya begitu setiap kali melakukan taruhan terhadap pemain-pemain lainnya. Asal kau tahu, ini adalah taruhan pertamaku bersamanya lantaran tergoda akan jumlah uang yang ditaruhkan.

     Kemudian Dosan tertawa kecut sesaat aku tidak merespons permintaannya. Lalu dia mendekat, menepuk pundakku pelan.

     "Seungbin, kau kan salah satu bagian dari kami. Bagaimana mungkin kau tak melakukannya untuk boss-mu ini?" bisiknya ke telingaku.

     Harus kuakui, Dosan merupakan salah satu ketua dari satu hingga dua puluh ketua geng motor yang ada di Seoul. Sebenarnya, perkumpulan ini sangat rahasia dan tertutup dari dunia luar. Mengingat bahwa mayoritas warga Korea Selatan banyak yang mengendarai mobil ketimbang motor. Lebih-lebih image para pengendara motor dipandang buruk di sini.

     Aku masih diam. Membiarkan dia meneruskan obrolan sambil merangkulku dan melambaikan tangan ke para anggota geng yang ada di sana.

     "Lihat. Kami menganggapmu sebagai keluarga. Jadi kau jangan merasa segan ke kami ya? Dan berikan saja uang itu padaku."

     Bagaimana bisa aku memberikannya uang sementara aku tidak memilikinya sepersen pun? Rencanaku bergabung dengan geng motor mereka hanya ingin mendapatkan uang taruhan itu bukan malah sebaliknya. Dari awal bergabung pun, enggan untuk menjalin relasi dengan mereka apalagi menganggap mereka sebagai keluarga. Terkadang mereka ini sungguh melucu.

     "Aku datang ke sini bukan untuk memberimu uang, Dosan,"gerutuku.

     Dosan melepas rangkulannya lalu menatapku penuh intimidasi. Disusuli beberapa kawanannya yang mulai mendekat, (tentu saja mereka semua mendengarkan percakapanku dengan Dosan sejak tadi).

     "Apa katamu?"

     "Aku ke sini hanya ingin kita balapan ulang."

    Sedetik kemudian, Dosan tergelak. Aku masih menahan kendali. Kedua tangan terkepal kuat. Jika ada kesempatan, ingin sekali ku patahkan tulang rahangnya agar dia tak dapat lagi tertawa. Namun, tak bisa. Aku terjebak oleh belasan pasang mata mengintaiku penuh rasa kesal dan benci, mengelilingi atmosfer di sekitarku. Aku menelan ludah pahit.

     Dosan menggeleng-geleng. "Seungbin ... Seungbin ... Seungbin ... Tidak pernah ada aturan payah itu berlaku di geng kami ini."

     Sesaat Dosan menyeringai, mundur beberapa langkah, bergabung dalam formasi kawanannya. Gejolak dalam diriku seakan mengamuk, tidak terima.

     "Itu tidak adil! Bukankah kau pernah bilang saat merekrutku, ketika terjadi kecelakaan terhadap pemain, pemain tersebut boleh mengajukan tanding ulang?!?"

     Dia kembali tergelak. "Wah, lihat semuanya!"

     Dosan berseru sambil menunjuk-nunjukku. "Anak tak tahu diri ini, sungguh mengada-ngada. Bilang saja kau tidak memiliki uangnya, payah! Dan kutebak kau bergabung ke geng ini semata-mata ingin mendapatkan uang taruhan dariku kan? Seharusnya kau bersyukur karena aku merekrutmu karena kau punya kemampuan dan potensi dalam balapan. Ternyata aku salah, yang kulihat sekarang adalah kacang lupa kulit!"

     Sekelilingku riuk penuh tawa mengejek. Menggelora di sepanjang gang sempit ini. Aku tak tahan lagi, kedua tungkai melangkah sigap, berusaha untuk menghadang Dosan.

     Akan tetapi, dua anggota Dosan lebih dulu mengambil sikap, langsung menjerat tubuh dan mengunci kedua lenganku ketika aku hendak memukul si kepala plontos itu.

     Dengan menaikkan dagu tinggi, dia menghampiriku sambil berdecak-decak begitu aku mengerang-ngerang untuk melepaskan diri. Napas mulai naik turun tak karuan. Jantung berdegup cukup kencang. Keringat dingin bercucuran membasahi kedua pelipisku.

     Dosan kembali berkata, "Mungkin kau salah mendengar apa yang kubilang waktu itu. Aku bilang, pemain boleh saja mengajukan tanding ulang jika kedua pemain mengalami kecelakaan secara bersamaan."

     Dosan kali ini menyeringai sangat menakutkan. Tertawa renyah. Aku tak bisa berbuat banyak. Semakin aku melawan, semakin erat pula kedua orang ini mengunciku.

     Gigi-gigi bergemeretak. Rahang mengeras. Dan secara spontan pula aku mendesis, "Dasar licik kau, Dosan!"

     Sambil menatapnya tajam, berusaha tetap tegar walau aku merasa sedikit kesakitan.

     "Urusan kita masih belum selesai, Seungbin," ujarnya.

     Lalu Dosan melayangkan pukulan ke wajahku, mengenai bagian pipi, dagu, dan hidung berkali-kali sehingga membuat kepalaku berguncang hebat, hingga aku merasa pusing. Pemandanganku mulai kabur pelan-pelan.

     Sepertinya ada sesuatu yang mengalir di bagian hidungku. Bau amis yang sangat menyengat. Sebelum di sekitarku menjadi gelap, perutku dihantam sesuatu sangat keras kemudian tubuhku ambruk, menyentuh permukaan kasar aspal jalanan bersamaan pemandangan sekitar yang kian menggelap.


Jangan lupa untuk menekan tombol [⭐️] bintang sebelum bergulir bab ya?

Copyright ©2021 - Mey Nadd

Continue Reading

You'll Also Like

356K 19K 27
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
1M 103K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
2.4M 36.8K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1M 42.8K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...