Cicatrize ✔️

By chocokiiim

48.5K 5.7K 1K

Dia hadir dan memperbaiki semuanya, menjadikanku sosok tangguh yang lebih baik. Dia datang dengan cinta, dan... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43 - Fin
Epilog
Bonus Chapter - 1
Bonus Chapter - 2

Chapter 20

951 123 18
By chocokiiim

Gelap. Setiap sudut ruangan berukuran empat kali lima ini tampak suram. Tak ada sedikitpun cahaya berani memasuki ruangan ini, walau hanya setitik. Tepat di atas ranjang, seorang gadis tengah duduk memangku lututnya di tengah gelap ditemani hening. Kepalanya tertunduk, bersandar nyaman di atas lutut yang tertekuk di depan dada. Sudah berjam-jam ia bertahan dalam posisi ini dan tak ada pula tanda-tanda untuk mengubah posisinya.

Detak jarum jam mengisi ruangan, mengiringi deru napas stabil sang gadis. Tak ada yang salah dengan suasana ini. Hal seperti ini harusnya layak untuk mengisi hari di pukul tiga pagi. Namun yang tak biasa adalah, gadis itu setia terjaga. Ia tak tertidur. Ia masih bangun, tetapi ia tak melakukan apapun- lebih tepatnya tak berminat melakukan apapun walau hanya sekedar memejamkan mata.

Bayangan sosok pemuda raven yang telah lama ia rindukan terluka di depannya, membuatnya cukup merasa terusik. Bagaimana sosok itu berbicara terbata-bata, napas yang tersendat, dan tubuh yang sudah tak lagi mampu tertolong terus menghantui pikiran gadis itu. Tak ada alasan bagi Sakura untuk terpejam, sementara pikirannya masih terbayang akan kejadian beberapa jam yang lalu. Saat itu adalah hal yang paling berat baginya setelah kematian kedua orangtuanya. Di mana dengan isak tangis, ia mengumumkan kematian sosok rekan satu tim sekaligus pujaan hatinya sejak kecil.

"Nama pasien- Uchiha.. Sasuke. Meninggal di pukul- satu lewat- enam belas menit. Penyebab.. Peradangan pada.. alveolus.. dan.. syarafnya.."

Astaga, kalimat itu. Bagaimana bisa bibirnya menyuarakan rangkaian kata tak berguna seperti itu? Bagaimana mungkin ia bisa sanggup mengucapkan kalimat itu kepada rekannya?

"Aaarrghh!!"

Sakura menjambak surai merah mudanya. Ia hancur. Ia hancur tak terbentuk. Kehilangan sosok yang dicintai bukanlah hal yang mudah. Ia sudah kehilangan kedua orangtuanya. Mengapa Tuhan masih juga merenggut nyawa orang yang begitu ia cintai sepenuh hati? Mengapa Tuhan begitu ingin melihatnya menangis dan terpuruk untuk kedua kali?

Sejak dulu, takdir berjalan dengan begitu congkak padanya. Saat ia masih genin, takdir telah membawa Sasuke pergi menjauh darinya. Bahkan ketika mereka bertemu kembali beberapa tahun kemudian, Sasuke masih saja tidak bisa dijangkau. Hingga akhirnya mereka dipertemukan kembali di Perang Dunia Shinobi Keempat, bertarung bersama demi mewujudkan perdamaian yang diidamkan oleh semua orang. Namun setelahnya mereka kembali berpisah, di mana Sasuke berkelana sebagai penebusan dosanya dan Sakura tetap saja setia menunggu di desa.

"Mungkin lain kali."

"Terima kasih."

Ketukan lembut di dahinya masih terasa nyata baginya. Rasanya baru kemarin pemuda itu melakukan kontak fisik yang sukses membuat jantungnya berdebar kencang. Mungkin lain kali. Kalimat itu terdengar seperti sebuah janji dimana Sasuke akan kembali padanya lalu mengajaknya untuk berkelana bersama, menatap dan menikmati dunia luar, menghabiskan waktu yang panjang berdua.

Ia pikir, ia sudah selangkah lebih dekat untuk bisa bersama Sasuke, perasaannya terbalas dan mereka menempuh sisa hidup mereka bersama.

Ya, awalnya Sakura berangan-angan seperti itu. Tapi takdir kembali mempermainkan keduanya. Tak puas mereka dipisahkan oleh jarak, kini mereka harus dipisahkan oleh maut.

"Aku mencintaimu, Sakura. Sangat mencintaimu."

Sakura kian terisak. Gadis itu memukul kepalanya beberapa kali, berharap jika suara parau Sasuke yang semakin lemah di setiap waktu hilang di dalam pikirannya. Sakura tak tau harus apa untuk melampiaskan perasannya sekarang. Mengabaikan kepalanya yang semakin memberat, gadis itu terus menyakiti diirnya sendiri, tak lagi mempedulikan jika hal tersebut bisa berdampak buruk untuknya.

Kenapa? Kenapa kau mengatakan itu sekarang, Sasuke-kun?

***

Semburat awan tipis menghiasi langit yang masih kelam, perlahan melewati sang rembulan tanpa permisi. Nyanyian jangkrik yang diiringi desir angin malam menyapa telinga pemuda yang baru saja keluar dari mini market. Pemuda itu mendudukkan diri di kursi panjang yang tersedia di depan toko, menyesap kopi kaleng yang ia beli barusan.

Sepasang jade itu berkilat, memantulkan cahaya lampu jalan yang tak jauh dari posisinya. Pikirannya melayang nakal, bersamaan dengan kehadiran sosok merah muda yang memasang wajah kosong sejak kepergiannya dari rumah sakit.

Haruno Sakura.

Hatinya berbisik lirih, menghantarkan rasa yang cukup mengganggu di dalam dada. Tak bisa dipungkiri jika saat ini ia mengkhawatirkan gadisnya. Sedang apa dia saat ini? Apakah Sakura tidur nyenyak? Atau mungkin apakah gadis itu masih menangis?

Kira-kira begitulah pertanyaan yang mengelilingi pikirannya saat ini.

"Kazekage-sama?"

Pemuda itu menoleh kala suara lembut itu mengudara. Gaara mengerjapkan mata, memastikan jika ia tak salah lihat saat ini.

"Kau ini- Hinata, kan?"

Hyuga Hinata, atau lebih tepatnya Uzumaki Hinata tersenyum tipis menanggapi. Wanita itu segera menghampiri Gaara yang masih terduduk di tempatnya. Ia memasang wajah heran, tak menyangka jika ia bertemu dengan Gaara di jam segini.

"Ini masih terlalu pagi untuk minum kopi, Kazekage-sama," seloroh wanita itu. Gaara tersenyum samar, tidak menyalahkan Hinata sepenuhnya. Lagipula orang aneh mana yang tengah menikmati kopi kaleng di jam empat pagi seperti dirinya? Tentu saja tidak ada.

"Aa. Aku butuh sedikit kafein saat ini. Kau sendiri sedang apa berkeliaran di jam segini?"

"Ah itu, aku baru saja ke apotek di rumah sakit dan membeli obat untuk Naruto-kun. Dia demam tiba-tiba."

"Naruto?"

Gaara membulatkan mata setelah mendengarnya. Masih segar di ingatannya bagaimana raut penuh duka di wajah sahabat kuningnya itu. Pemuda itu menangis tanpa ragu di depan batu nisan yang bertuliskan nama sahabatnya. Beberapa gumaman yang ia lontarkan menambah suasana kelabu di pemakaman tadi sore. Kendati demikian, Gaara tetap tidak menyangka jika Naruto akan mengalami shock hingga membuatnya sakit seperti ini.

Namun dibandingkan itu, bayangan Sakura terlintas begitu saja di dalam benaknya. Mengingat jika keadaan Sakura tak berbeda jauh seperti Naruto saat berada di rumah sakit tadi, apakah Sakura juga mengalami hal yang sama? Apa gadis itu juga shock sampai sakit seperti Naruto saat ini?

"Bagaimana keadaannya?" tanya Gaara pada wanita di hadapannya. Hinata menatap sendu tanah yang tengah mereka pijaki. Wanita itu mengeratkan genggamannya pada plastik berisi obat, terlihat jelas jika ia sedang menguatkan dirinya.

"Naruto-kun sangat terpukul. Bagaimanapun, Sasuke-kun itu adalah sahabat Naruto-kun. Dia sudah menganggapnya seperti saudara. Tentu saja kepergiannya membuat Naruto-kun bersedih."

"Dia berulang kali mengingau, menyebut nama Sasuke-kun bahkan ayah dan ibunya. Bahkan suhu tubuhnya mendekati empat puluh satu derajat saat terakhir kali kuperiksa," sambung Hinata.

Gaara menudukkan kepala. Tentu saja ia mengerti bagaimana rasa sakitnya. Walau ia sendiri tidak akrab dengan Sasuke, pemuda itu juga turut bersedih. Kehilangan seorang teman adalah hal yang menyakitkan. Apalagi bagi Naruto, Sasuke begitu istimewa. Ia adalah saksi hidup bagaimana kerasnya Naruto untuk membawa Sasuke pulang, menariknya dari jalan kegelapan. Hal itu sudah cukup membuktikan bahwa si bungsu Uchiha itu memanglah sebegitu spesial bagi Naruto.

"Bagaimana keadaan Sakura-chan, Kazekage-sama? Apakah dia baik-baik saja?"

Ah, ini dia pertanyaan sulitnya. Jujur saja Gaara tak tau apapun soal itu. Tadi Sakura langsung pergi setelah menyelesaikan beberapa urusannya di rumah sakit. Gadis itu pergi begitu saja, bahkan Gaara sendiri tak tau kapan ia beranjak. Lalu saat upacara pemakaman berlangsung di sore hari, Sakura tak kunjung menampakkan diri. Ia sempat bertanya kepada Ino namun dijawab dengan gelengan kepala oleh gadis pirang itu. Ingin bertanya kepada Naruto pun rasanya sangat tidak mungkin, mengingat betapa kacau wajah sahabatnya itu di sisi istrinya.

"Kupikir dia butuh waktu sendiri."

Jawaban itu membuat Hinata mengangguk paham. Tanpa dijelaskan lebih pun, Hinata tau jika pemuda yang menyandang status Kazekage ini belum ada menemui kekasihnya itu.

"Ne, Hinata. Aku ingin bertanya."

Wanita bersurai indigo itu segera menoleh, menunggu pertanyaan dari sang Kazekage.

"Menurutmu, apakah Sakura masih mencintai Sasuke?"

Iris lavender itu mengerjap, sedikit bingung mengapa Gaara menanyakan hal itu tiba-tiba. Meski demikian, ia tak berkomentar. Ia menekan rasa penasarannya untuk menghormati Gaara.

"Ah, sudahlah. Lupakan saja," ujar Gaara setelahnya. Pemuda itu mendecih dalam hati, merutuk sikapnya yang terlihat cukup tidak pantas untuk ditunjukkan di tengah masa berkabung seperti ini.

Hinata tersenyum tipis. Ia sendiri juga tau jika Gaara bukan tipe orang yang terbuka, yang mau membagi cerita kepada orang lain. Namun terkadang, manusia bisa melakukan segala sesuatu secara refleks berdasarkan keinginan hati, bukan? Maka wanita yang baru saja menyandang marga Uzumaki itu bisa mengerti dan memaklumi keadaan Gaara saat ini.

"Apa ada yang mengganggumu, Kazekage-sama?" tanya Hinata dengan hati-hati.

Gaara menghela napas kecil. Tak ada gunanya jika ia menutupi hal yang sudah terlanjur ditunjukkan. Kendati demikian ia menolak untuk memberi penjelasan lebih dan hanya menjawab, "Begitulah."

Hinata setia mempertahankan senyumnya. Ia menatap jauh langit yang masih kelam di atas sana. Wanita itu mengerti bagaimana perasaan Gaara, karena ia pernah merasakan hal ini. Dulu, ketika ia baru saja memulai hubungan asmara dengan Naruto, Hinata pernah mengkhawatirkan hal yang sama. Dulu ketika mereka masih kecil, pemuda kuning itu mengumumkan dengan lantang jika ia menyukai Sakura. Ketika ia menjalin hubungan bersamanya, Hinata sempat berpikir jika Naruto masih memiliki rasa pada gadis merah muda itu. Bukannya bermaksud untuk cemburu. Hanya saja jika benar adanya Naruto masih mencintai Sakura, maka Hinata tanpa ragu akan melepaskan Naruto. Baginya, persahabatannya dengan Sakura lebih berarti dibandingkan cintanya untuk pemuda bermarga Uzumaki tersebut.

Gadis itu mengingat ungkapan yang pernah ia baca di sebuah novel. Cinta tak harus saling memiliki. Jika memang ia ditakdirkan untuk memperhatikan Naruto dari jauh, maka dengan senang hati Hinata akan melakukannya. Meski harus menahan sesak, setidaknya Hinata bisa melihat Naruto bahagia bersama wanita pilihannya.

Benar, begitulah pemikiran naifnya dulu.

Beruntung kesalahpahaman tersebut bisa teratasi dengan baik. Pernyataan Naruto tentang betapa berharganya Sakura membuat Hinata lega. Antara Hinata dan Sakura, keduanya memiliki posisi yang sama pentingnya namun di tempat yang berbeda. Sama halnya dengan hubungan antara Hinata bersama rekannya -Kiba dan Shino, hal itu juga berlaku pada hubungannya dengan Sakura. Tidak bisa dipungkiri jika keduanya menghabiskan hampir separuh hidup mereka bersama sebagai tim. Setelahnya Hinata kembali mendapat keyakinannya kembali dan mempercayai Naruto seutuhnya.

"Mencintai itu bukanlah tentang siapa yang lebih dulu memasuki hatimu, melainkan siapa yang mampu bertahan hingga akhir, Kazekage-sama."

Perkataan Hinata sukses membuat Gaara tersentak. Pemuda itu melirik Hinata dari ekor matanya, menunggu wanita itu melanjutkan kalimatnya.

"Mau tak mau, suka tak suka, Sasuke-kun tetaplah bagian dari masa lalu Sakura-chan. Setiap orang memiliki kisahnya tersendiri di masa lalu, bukan? Oleh karena itu, kau hadir sebagai masa kini Sakura-chan untuk memperbaiki masa lalunya."

Gaara tertegun mendengarnya, seolah ada sesuatu yang menyentak hatinya ketika mendnegar perkataan Hinata. 

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan apa yang sudah dilewati oleh Sakura-chan. Semua kisah di masa lalunya telah berhasil ia lewati. Kau hanya perlu membimbingnya di masa kini agar Sakura-chan tidak mengulangi kejadian di masa lalu untuk kesekian kalinya, Kazekage-sama."

"Aku mengatakan ini bukan semata-mata untuk mengatakan jika kau adalah pengganti Sasuke-kun. Setiap orang akan datang dan pergi dari kehidupan orang lain. Tentang bagaimana Sasuke-kun datang dan pergi dari Sakura-chan juga berlaku padamu. Tetapi bagaimana caramu untuk pergi darinya nanti, hanya takdir yang tau," ujar Hinata kembali dengan nada lirih.

Hinata menoleh ke arah sang Kazekage. Manik lavender miliknya mendapati wajah Gaara yang menatapnya serius. Wanita itu tersenyum tipis lalu menambahkan, "Jika kau benar-benar ingin tau, kau bisa menanyakannya langsung kepada Sakura-chan. Setelah itu kau bisa menilai sendiri melalui jawabannya."

"Satu hal yang pasti, apapun yang dia katakan, kau harus bisa percaya padanya," sambungnya.

Seulas senyum tipis tercipta di bibirnya. Pemuda itu merasa lega sekarang. Akhirnya ia menemukan jawaban yang tepat atas segala bimbang yang menyerang hatinya. Pemuda itu menegakkan tubuhnya, menatap Hinata lalu membungkukkan badannya sedikit.

"Terima kasih, Hinata."

"E-eh? A-apa yang kau lakukan, Kazekage-sama?"

Tentu saja Hinata gugup. Pasalnya, Gaara ini memiliki kedudukan yang lebih tinggi darinya. Wanita itu merasa canggung, tak pantas mendapatkan penghormatan seperti ini.

"Tidak, aku hanya ingin berterimakasih padamu. Ayo kita pergi."

Gaara sempat menawarkan diri untuk mengantar Hinata. Namun jangan salah paham. Pemuda itu hanya ingin memastikan Hinata sampai ke rumah dengan selamat. Bagaimanapun, hari masih sangat gelap dan sangat tidak etis jika ia membiarkan seorang wanita berjalan sendiri di tengah kelam malam sementara ia bisa membantu. Namun Hinata menolak halus tawaran itu. Wanita itu tersenyum, menatap Gaara dengan tatapan teduh khas dirinya.

"Lebih baik kau menemui Sakura-chan, Kazekage-sama. Dia sedang membutuhkanmu saat ini."

***

Gaara menuruti perkataan Hinata untuk mengunjungi Sakura. Pemuda itu berdiri di depan pintu apartemen gadisnya. Ia menghela napas pelan, tak yakin jika ia bisa masuk karena saat ini fajar belum menyingsing. Meski demikian ia tetap mengulurkan tangan, mengetuk lembut pintu papan di depannya.

"Sakura. Ini aku, Gaara."

Pemuda itu terus mengetuk pintu namun tetap saja tak ada jawaban. Satu-satunya alasan logis yang dapat menjawabnya adalah Sakura yang masih terlelap. Namun entah kenapa, ia meragukan itu. Tanpa menunggu waktu lama, ia berlari lalu melompat ke atap, beranjak ke sisi yang berlawanan dari pintu kayu tadi.

Benar dugaannya. Jendela kamar Sakura yang terbuka sedikit. Gaara segera menghampirinya. Betapa terkejut nya ia ketika melihat figur seorang gadis yang menyandang status sebagai kekasihnya itu tengah duduk meringkuk di atas ranjang. Tanpa basa-basi, Gaara melebarkan jendela kaca itu lalu masuk begitu saja tanpa permisi.

"Sakura!"

Pemuda itu melepas sandalnya dengan asal lalu menghampiri gadis itu di atas ranjang. Ia menyentuh pundak gadisnya yang tampak rapuh. Sakura segera mendongak ketika merasakan sebuah sentuhan pada tubuhnya. Gadis itu tak memberikan ekspresi berarti ketika meniknya mendapati presensi sang kekasih di hadapannya. Gaara menatapnya sendu. Maka tanpa-basi, ia menarik tubuh gadis itu dan membuatnya tenggelam dalam pelukannya.

"Menangislah, Sakura," bisik pemuda itu.

Sakura bergeming, tidak merespon perkataan maupun tindakan pemuda itu.

"Kau bisa menangis di hadapanku. Mulai sekarang, kau hanya boleh menangis di depanku. Katakan padaku jika kau merasa sakit. Jujurlah padaku jika kau sedang putus asa. Aku akan selalu ada untuk menampung semuanya."

Kalimat itu seolah menjadi mantra mujarab bagi gadis itu. Satu sekon setelahnya, Gaara dapat merasakan tubuh gadisnya bergetar, seiring dengan bajunya yang mulai basah akibat air mata. Perlahan tapi pasti, gadis itu terisak dalam pelukannya. Sakura membalas pelukan Gaara tak kalah erat, seolah tengah memberitahu pemuda itu jika ia tidak bisa lagi menahan dirinya lebih lama lagi. Pertahanan gadis itu runtuh. Tangisan gadis itu terdengar pilu, yang kemudian menggema dan keluar dari jendela kemudian membiarkan angin menerbangkannya ke belahan dunia lain, memberitahu sang penguasa jika salah satu bunganya tengah layu saat ini.

*

*

*

Tbc...

Chapter 20, updated!!

Heyyowww sayangg! Gimana kabar kalian, nih? Ada yang nungguin notif dari aku si cantiknya Jimin ga nih, ngueeheheh.

Okey, untuk beberapa saat ini kita tuntaskan kegalauan Sakura dulu yess hahaha. Mungkin untuk beberapa chapter ke depan, bakal ada scene yang bakal menguras emosi kalian, entah itu marah atau sedih aku gatau lah ya hueheehe /ketawa setan.

Tau gaa siii, tadinya aku tuh mau update tadi siang, tapi sejak tadi pagi di rumah aku gaada jaringan huhu:( mungkin ada masalah sm tower jaringan habis hujan tadi malem. Untung aja sore ini uda bagus jd aku bisa up hihi. Semoga kalian suka yakkk.

Okede aku rasa sekian untuk chapter ini. Seperti biasa, aku mengharapkan vote dan komen dari kalian karena satu vote dan komentar kalian adalah semangat aku buat lanjut nulis. See you on next chapter and bye bye!!

Salam

Ilaa.


Continue Reading

You'll Also Like

466K 31.5K 47
♮Idol au ♮"I don't think I can do it." "Of course you can, I believe in you. Don't worry, okay? I'll be right here backstage fo...
210K 4.4K 47
"You brush past me in the hallway And you don't think I can see ya, do ya? I've been watchin' you for ages And I spend my time tryin' not to feel it"...
306K 9.2K 100
Daphne Bridgerton might have been the 1813 debutant diamond, but she wasn't the only miss to stand out that season. Behind her was a close second, he...
8.1K 1.3K 9
Di hari itu, ketika kristal-kristal salju turun dan membawa warna putih dan dingin ke bumi, Scorpius berbalik dan melambaikan tangan.