Waiting for You || Hyouka (Or...

By Mizuraaaa

50.6K 7.6K 3.6K

Menjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku me... More

Note
(A/N)
Author's Side
(Y/n)'s Side (bagian 1)
(Y/n)'s Side (bagian 2)
(Y/n)'s Side (bagian 3)
Oreki's Side (bagian 1)
Oreki's Side (bagian 2)
Oreki's Side (bagian 3)
Fukube's Side (bagian 1)
Fukube's Side (bagian 2)
Fukube's Side (bagian 3)
Waiting for You
After All
After All (2)
After All (last)
Credit Story + Promotion

END

952 90 48
By Mizuraaaa

"Sudah, terima kasih."

(Y/n) mengembalikan gelas yang sudah kosong itu pada Kei seraya mengusap bibir untuk menghilangkan jejak basah. Kei dengan sigap menerimanya, lalu menyimpan gelas yang sama di meja di depannya.

"(Y/n)-chan kau kenapa? Tiba-tiba menangis begitu, buat khawatir saja."

Gadis itu tersenyum tipis mendengar pertanyaan dari Kei. Ia membungkukkan badannya, menahan kepala menggunakan kedua tangan. "Maaf, aku agak sensitif akhir-akhir ini," balasnya. Surai (Y/n) berjatuhan menutupi wajahnya.

"A-ADUHHH!! Kak, mau ngobatin apa bunuh orang, sih?!"

"Jadi cowok bawel amat! Jangan gerak-gerak makanya, kan susah diobatin jadinya!"

"Sumpah ya, Kakak ga cocok jadi dokter deh kalau gini."

"Ha? Bilang apa kau? Aku pencet sekalian lukanya."

"AARRRGHHH, KAK!!!"

Kei dan (Y/n) yang tengah dalam suasana serius tak mengindahkan kericuhan yang terjadi di dapur. Karena mendengar (Y/n) tiba-tiba menangis, tanpa sengaja Oreki menggores tangannya dengan pisau yang sedang ia gunakan untuk mengupas apel.

Karenanya sekarang Oreki tengah diobati oleh Aya, tetapi keduanya tidak bisa akur sama sekali sehingga proses pengobatan semakin lama.

"(Y/n)-chan, apa sebab itu?" kembali pada Kei, ia menopang dagu dengan sebelah tangannya.

Terdengar kekehan yang menyusul. Namun, dibandingkan bahagia, justru suara itu terdengar menyedihkan. "Bagaimana, ya? Memangnya aku harus bersikap seperti apa setelah kehilangan satu-satunya keluargaku yang tersisa?"

Kei memandang (Y/n) sendu, tak bisa berbuat apa-apa. "(Y/n)-chan ..., jangan berbicara seperti itu."

(Y/n) seolah tak mengacuhkan perkataan Kei. Ia mengusap wajahnya kasar, masih frustasi jika harus memikirkan dirinya tak punya siapa-siapa lagi sekarang. "Kei, aku tau aku punya banyak sekali kesalahan, tapi apakah harus sampai Fukube-kun pergi meninggalkanku?"

Menggeleng tegas, Kei berusaha meyakinkan. Ia bergeser supaya tubuhnya sedikit maju dari tempat duduknya. "Jika kau membicarakan tentang kepergian Fukube, kau tidak salah sama sekali, ini memang karena alasan lain."

"Tidak Kei, aku memang salah. Karena itulah aku datang ke sini."

Kei menaikkan sebelah alisnya. "Maksudmu?"

Helaan nafas tampak keluar dari celah bibir gadis itu. (Y/n) mengacak poninya dengan pandangan frustasi yang mengarah pada kedua kaki. "Kau tau kan, hubungan kita sedang buruk sejak terakhir kali kita bertemu."

Kei melebarkan matanya sesaat, seketika teringat dengan kejadian saat itu. Ia membuang wajahnya, tidak sanggup menatap (Y/n), suasana pun menjadi canggung dalam sekejap.

"Aku ingin minta maaf," ungkapnya. "Aku akui dulu pikiranku benar-benar sempit. Aku terlalu terkejut dengan kematian Ibuku sehingga tak bisa berfikir dengan jernih." (Y/n) sekali lagi menghela nafas berat, hatinya tak bisa tenang sejak datang ke sini.

"Kau tau, aku, hanya takut." (Y/n) menggigiti kuku ibu jarinya gelisah, melanjutkan, "Terlalu banyak orang yang meninggalkanku sehingga aku terlalu takut. Aku sudah lelah dengan kehilangan, aku tak ingin merasakannya lagi."

"Tapi aku memang tidak bisa membenarkan apa yang aku lakukan dulu."

"Saat itu aku hanya memikirkan diriku sendiri. Padahal jika dipikir-pikir, dibanding sekarang, saat itu aku benar-benar beruntung karena Fukube-kun masih berada di sampingku. Tapi sedikitpun aku tak pernah mempedulikan keberadaannya."

(Y/n) semakin membungkuk, dadanya kembali bergemuruh seakan membawa rasa sakitnya kembali. "Aku bahkan memakimu, padahal kau hanya berusaha membuatku lebih baik."

"Aku benar-benar bodoh sudah bersikap seperti itu. Maaf."

Sesaat, sunyi hadir dalam jeda yang panjang. Oreki di tempat duduknya memperhatikan mereka berdua, termenung memikirkannya. Oreki tau betul permasalahan waktu itu. Jujur saja, kali ini ia tak bisa memihak. Oreki akui keduanya salah, ini hanya permainan ego yang seringkali menimpa anak muda.

Sementara Aya sendiri sedang sibuk dengan apel yang sudah selesai dikupas Oreki.

Ia tau bahwa (Y/n) dan Kei sempat bertengkar, tetapi ia tidak tau kejadian lengkapnya. Dan lagi, dia tidak terlalu fokus mendengarkan, ia tidak ingin Kei dan (Y/n) menjadi tidak nyaman karena dirinya menguping jelas permasalahan mereka. Maka biarlah kedua orang itu yang menyelesaikannya sendiri.

"Hahhh, (Y/n)-chan, seharusnya kau tidak mengatakan hal itu." Kei mengacak surainya frustasi, dan perkataannya berhasil membuat (Y/n) mengangkat kepala seraya mengedipkan mata bingung. "Maaf, sebagai laki-laki seharusnya aku yang terlebih dahulu meminta maaf."

"Ackkk!!"

"Duh, Kak, apa sih? Jangan berisik."

"Maaf, gak sengaja."

Aya menyentuh luka di lidahnya perlahan. Rasanya sangat sakit, lagipula kenapa juga lidahnya tiba-tiba tergigit? Ah, Aya sempat terkejut karena perkataan Kei tadi. Pasalnya, setelah menjalani hubungan sekian lama, Aya adalah orang yang tidak mau mengalah, dan Kei selalu yang pertama meminta maaf ketika ada suatu masalah.

Aya merasa tersindir.

Kembali pada Kei, ia mengusap tengkuknya ragu. "Apapun yang terjadi, menamparmu adalah suatu tindakan yang salah," lirih Kei dengan suara kecil, memastikan Aya dan Oreki tidak mendengar. "Aku tidak pernah bisa memaafkan diriku sendiri setelah saat itu."

(Y/n) tersenyum mendengarnya. Jika mengingat perkataan-perkataan yang ia layangkan pada Kei, sepertinya itu cukup sepadan. "Tidak, aku memang pantas mendapatkannya," akunya, membuat Kei menatapnya dengan cemas.

"Tidak, kekerasan itu sampai kapanpun tak bisa dibenarkan, aku memang kelewatan saat itu, maaf."

Gadis itu hanya mengangguk mendengarnya.

"Tapi sejujurnya, aku sedikit emosi sehingga tanpa sadar melakukan hal itu."

Kei menundukkan kepala, menautkan jari-jarinya dengan pandangan yang mengarah pada ubin lantai. Satupun diantara keduanya tidak ada yang berani untuk saling menatap. Kecanggungan ini memuakkan.

"Aku teringat Fukube."

"Fukube-kun?" tanya (Y/n) bingung.

Lawan bicaranya mengangguk samar. "Sejak awal, aku tau bahwa Fukube menyukaimu." perkataan Kei membuat (Y/n) melebarkan mata, tanpa sadar menahan nafasnya sendiri. "Saat itu kau berkata seolah tak ada yang peduli padamu, padahal Fukube, dia melakukan semuanya untukmu."

"Aku tidak peduli jika perhatianku tidak dianggap, hanya saja, Fukube," ucapan Kei menggantung, wajahnya tampak menggelap frustasi. "Bagaimanapun juga dia adikku, aku tau seberapa tulusnya ia mengurusmu saat itu. Fukube sampai kurang tidur, kelelahan karena mengerjakan semuanya, ia juga selalu mencemaskan kondisimu setiap saat.  Fukube sepeduli itu padamu."

"Mendengar usahanya tidak dianggap seperti itu, aku sedikit terbawa emosi."

(Y/n) menatap lurus ke bawah dengan pandangan kosong. Tangannya mulai mengacak-acak surai dengan kasar. Ia merasa begitu hampa mendengarnya, rasa sakit seolah tak sanggup menyerangnya lagi.

"Jadi, selama itu," gumam (Y/n) datar. "Selama itu, aku selalu menyakiti Fukube-kun, ya."

Bibirnya terbuka, lantas kembali tertutup. Beberapa kali terjadi, seolah begitu ragu untuk sekedar bersuara. Apa seseorang sepertinya masih pantas berpendapat? Ia pasrah, dirinya memang sebodoh itu.

"Ternyata yang membuatku ditinggalkan semua orang, adalah karena perkataanku sendiri, ya."

Kei terdiam. Ia menatap lekat (Y/n) yang terlihat begitu putus asa. Sorot matanya menunjukkan bahwa dirinya begitu lelah. Semua yang gadis itu hadapi, sudah terlalu berat, ia sudah melewati banyak hal.

"(Y/n)-chan, kepergian Fukube bukan salahmu." Kei sekali lagi mengingatkan. "Dia tak bisa menentang keputusan Ayah. Karena dia satu-satunya harapan Ayah untuk menjadi penerus perusahaannya. Kau juga seharusnya mengerti, kan?"

Menggigit bibirnya kuat, (Y/n) berusaha menahan untuk tidak terisak. "Tapi kenapa harus sekarang?" tanyanya. "Mungkin memang terdengar egois, tapi aku belum siap kehilangan Fukube-kun." ia mengulum bibirnya, menggeleng samar. "Mungkin tidak akan pernah siap."

"Padahal Fukube-kun masih SMA, kan? Paman seharusnya tak membebani Fukube-kun dengan hal itu."

Kei menghela nafas pasrah, tidak tau harus menjawab apa lagi. "Kau tau Ayahku, kan? Perintahnya tak bisa dibantah. Lagipula ini demi kebaikan Fukube juga. Demi masa depannya."

"Tapi Kei, jika ini bukan salahku, kenapa Fukube-kun mencoba menghindar dariku?" tanyanya. Kei mengernyitkan alis, matanya menatap heran. Tetapi kemudian, tatapan itu berubah menjadi penuh rasa bersalah ketika ia menyadari ke arah mana pembicaraan ini.

"Sejak kepergiannya, aku tak pernah bisa menghubungi Fukube-kun. Setiap aku menelpon Bibi Hina dan menanyakan tentangnya, Fukube-kun juga selalu menghindar dengan mengatakan ia sibuk dan tidak bisa diganggu. Bahkan beberapa hari ini, Bibi Hina pun tak bisa dihubungi."

Suara yang dikeluarkan (Y/n) terdengar pelan sebab menahan tangis. Hidungnya tampak memerah, dengan netra yang kembali berkaca-kaca. Kei yang melihat hal itu hanya diam memperhatikannya dengan tatapan sendu.

"Apa kalian benar-benar ingin memutuskan hubungan denganku?" tanya (Y/n) kemudian, berhasil membuat Kei melebarkan mata. "(Y/n)-chan! Mana mungkin kami berfikiran seperti itu."

"Lalu kenapa kalian seolah tak ingin berhubungan lagi denganku? Aku tau aku punya banyak kesalahan, tapi," (Y/n) meremas kain yang membalut kedua pahanya.

"Tapi, jangan tinggalkan aku sendirian."

Ia meringis, sensasi panas pada matanya kian menjadi-jadi ketika ia mengatakannya. Semua ini tak pernah terpikirkan olehnya akan terjadi. Bagi (Y/n), sulit untuk mempercayai bahwa orang-orang yang menemaninya sejak kecil sudah tak tersisa.

Tangan Kei bergerak ke atas, menggaruk kepalanya yang tidak gatal seiring kepala tertunduk. Ia ragu. Dia tidak ingin melihat (Y/n) yang terpuruk seperti itu. Ini seakan ia memperhatikan dirinya sendiri telah melukai adiknya.

Mana mungkin Kei bisa tahan?

"(Y/n)-chan jika kau mau tau," ucapan Kei terhenti, ia menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, "Ini semua keinginan Fukube."

Gadis itu tersentak, seketika mengangkat kepalanya. "Fukube-kun?"

Anggukan kepala diberikan oleh Kei. "Sebenarnya aku sendiri tidak mengerti dengan jalan pikirannya, tapi yang dapat aku tangkap, Fukube ingin menghilangkan eksistensinya dari duniamu."

(Y/n) membatu. Ia menatap Kei dengan mata melebar dan bibir terbuka tidak percaya. Tubuhnya seketika melemas tiada tara, hatinya seolah diremukkan, ia tak lagi bisa berfikir dengan jernih. "... Apa?"

Kenapa Fukube ingin menghilang darinya?

Apa Fukube benar-benar membencinya?

"Fukube ingin membiarkanmu bahagia tanpanya."

"Eh?" (Y/n) mengedipkan matanya berkali-kali, menatap Kei bingung.

"Tanpa sadar, mungkin setiap kau mengingat Fukube, kau akan selalu sedih, bukan?" pertanyaan Kei berhasil membuat gadis itu menundukkan kepalanya, termenung karenanya. "Fukube ingin hilang, supaya kau bisa puas menemukan kebahagiaanmu."

"Dia tidak ingin mengganggu kehidupanmu lagi."

Kei menghembuskan nafas, mengukir senyum di bibirnya. "Kau pasti berfikir Fukube melakukan itu karena dia membencimu, kan?" tebak Kei tepat sasaran. "(Y/n)-chan apa kau masih belum mengerti?"

(Y/n) mengangkat kepalanya, kemudian berpapasan dengan iris mata Kei.

"Fukube itu, tidak akan pernah bisa membencimu."

(Y/n) menutup bibirnya dengan telapak tangan rapat, menggeleng tidak percaya. Rasanya sesakit ini. Apakah Kei berusaha mengatakan bahwa orang sebodoh dirinya, punya tempat sespesial itu di hati seseorang? Apa (Y/n) pantas mendapatkannya?

"Kei," panggil (Y/n) tertahan, tenggorokannya tercekat. "Lalu sekarang aku harus apa?" ia menelan ludahnya dengan susah payah. "Justru kehilangan Fukube-kun lebih menyakitkan bagiku, aku tidak tau harus melakukan apa tanpa kehadirannya."

"Apa Fukube tidak memberikanmu petunjuk?"

(Y/n) menatap Kei bingung. "Apa? Petunjuk apa? Dia tidak mengatakan—"

"Kau harus bahagia, oke?"

Tanpa sebab, secara tiba-tiba perkataan Fukube mulai terlintas dibenaknya. Ia bergumam, "Fukube-kun ..., menyuruhku untuk, bahagia?" dadanya bergemuruh, bersamaan dengan setetes air mata yang meloloskan diri.

Kei menatap gadis yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri dengan hangat, lantas mengulas senyum lembut. "Kalau begitu sudah jelas, bukan?"

"Yang harus kau lakukan, adalah bahagia."

.
.
.
.
.
.
.
.

Derap langkah kaki terdengar tergesa-gesa. Diantara kebisingan yang biasa mengiringi lorong, dirinya berlari cepat untuk menuju ke suatu tempat. Keringat yang bercucuran tak lagi diindahkan, sebab ada sesuatu yang lebih penting dari itu.

"Hahhh... Hah... Harus cepat sampai ke kantin," gumamnya terus menerus dengan suara cemas. Ini semua salah gurunya yang memberikan tugas tambahan sehingga jam istirahatnya menjadi singkat. Yah, salahnya juga sih ketiduran di kelas.

Menggelengkan kepala, gadis itu tak ingin mengingat lagi rumus matematika yang membuat kepalanya panas hingga berasap. Sudah cukup tugas tambahan dari gurunya, tak perlu mengingatnya ketika jam istirahat.

Melihat belokan, senyum di bibirnya terbit dengan lembut. Tak lama setelah belokan itu, maka tempat yang biasa dipanggil kantin akan segera terlihat, itu membuat perutnya terpancing sehingga mengeluarkan suara.

"Ahh, ayolah, lebih cepat, kalau tidak makanannya bisa habis."

Sampai di belokan, ia segera membalik arah, tanpa mengetahui ada sesuatu yang berdiri di hadapannya.

BRAKKK

Kedua orang yang bertubrukan itu sama-sama terjatuh menghantam lantai dengan keras. Orang-orang yang berlalu lalang memperhatikan mereka, tak sedikit yang tertawa dengan hiburan kecil itu.

Sang gadis mengaduh sakit, ia mengusap pinggangnya yang terasa sakit karena benturan itu. Membuka mata, ia mencoba mencari tahu siapa yang baru saja ia tabrak. Dan seketika wajahnya memucat.

"C-Chitanda-san ..."

Wajah Chitanda yang menggelap berhasil membuat sekujur tubuh gadis itu merinding. Melirik ke bawah, ia baru sadar ada sebuah es krim yang tergeletak tak berdaya. Gawat, apa itu es krim milik Chitanda dan jatuh karena tabrakan dengannya?

"(Y/n)-chan ...," desis Chitanda, berhasil membuat (Y/n) menjerit panik karenanya.

"UWAAAAA, KABURRRRRR!!!"

"JANGAN LARI, GANTI ES KRIMKU!!"

Lorong yang sudah berisik semakin bertambah ricuh ketika kedua orang itu mulai berlarian. (Y/n) mengerahkan seluruh tenaganya untuk lari dari amukan Chitanda, sesekali tertawa ketika melihat situasi menguntungkannya.

"YAHAHAHA, KAU TIDAK BISA MENGEJARKU!!" (Y/n) menolehkan kepalanya ke belakang, menjulurkan lidahnya untuk mengejek Chitanda.

"AWAS KAU YAA!!" teriak Chitanda mempercepat langkahnya, sehingga (Y/n) panik luar biasa karena dirinya nyaris terkejar. "AAAAAAA!!!"

Yak, ini adalah hari yang normal seperti biasanya.

Sudah beberapa bulan berlalu sejak saat-saat sulit yang dihadapinya. Hubungan (Y/n) dan Chitanda mulai membaik setelah keduanya menyelesaikan permasalahan mereka. Mereka sadar, bahwa berdamai lebih baik bagi kedua belah pihak.

Kali ini (Y/n) sudah naik ke kelas dua. Dengan kata lain, Aya, kakak kelas tersayangnya sudah lulus dari sekolah ini dan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Gadis berkacamata itu sangat ingin menjadi dokter.

Ketika acara kelulusan kelas tiga, (Y/n) menangis histeris sampai guling-guling karena tak ingin ditinggalkan Aya. Padahal, jika bertemu di luar area sekolah pun masih bisa. Rumah keduanya tidak begitu jauh.

Tapi tetap saja (Y/n) ngeyel.

Akhirnya (Y/n) bisa berhenti menangis setelah ditraktir sekarung makanan oleh Aya.

Setelah sekian waktu yang terlewati, kehidupan (Y/n) selalu membaik setiap harinya. Ia mendapat lebih banyak teman dan melakukan hal menyenangkan setiap saat. Tak ada lagi pembulian, kehilangan, atau saat-saat menyakitkan sebab kisah cinta yang begitu rumit.

Sekarang, hanya kebahagiaan yang menemani gadis bernama Shimizu (Y/n) itu.

Yah, balasan yang setimpal untuk setiap cobaan berat yang ia hadapi. (Y/n) sudah terlalu lelah, sudah waktunya ia bertemu dengan kebahagiaannya sendiri.

Kembali pada situasi awal, gadis itu melebarkan mata ketika melihat sekumpulan gadis tengah berbincang di dekat jendela lantai dua. "Kalian! Kalian!!"

Seruannya membuat kelima gadis itu menoleh hampir serempak. Mereka menatap (Y/n) bingung, bertanya-tanya ketika melihat kondisi (Y/n) yang sudah berantakan karena berlarian.

Setelah sampai di depan teman-temannya, (Y/n) bahkan tak punya waktu untuk mengambil nafas. Ia langsung menyampaikan tujuannya. "Bantu aku! Kalian ngobrol aja kayak biasa, tapi aku ikut sembunyi, ya? Jangan sampai Chitanda-san liat aku!"

Kelima temannya saling bertatapan dengan bingung, tetapi pada akhirnya mengangguk menyetujui. (Y/n) berbinar melihat teman-temannya mampu diajak kerja sama. Dengan itu, mereka pun langsung berdiri melingkar, sementara (Y/n) masuk ke tengah dan berjongkok untuk menyembunyikan dirinya sendiri.

Tak lama setelah itu, terdengar derap langkah yang menghampiri. (Y/n) menahan nafasnya sendiri saking paniknya takut ketahuan.

"Anu, kalian liat (Y/n)-chan lewat sini, gak? Kalian temen kelasnya kan ya?" tanya Chitanda dengan nafas terengah, menyimpan kedua tangannya di pinggang terlalu lelah.

Salah satu gadis, Rin, menggelengkan kepalanya. "Tidak lihat, tuh, ke kantin mungkin? Dia kan doyan makan."

Mendengar jawaban Rin, wajah Chitanda seketika berbinar. "Wah, kau benar! Terima kasih sarannya!" teriak Chitanda sembari berlari menjauh dari tempat itu.

Selepas kepergian Chitanda, (Y/n) baru bisa bernafas lega. Ketika Rin memberi kode bahwa Chitanda sudah tak terlihat, barulah (Y/n) menampakkan diri. Ia langsung menyandarkan punggungnya pada kaca, mengambil nafas dalam.

"Pfftt.. Kenapa lagi? Kok bisa dikejar-kejar?"

(Y/n) menoleh mendengar pertanyaan Akari. Ia membalikkan badannya, membuat ia menghadap ke kelima temannya. "Gak sengaja nabrak dia, terus es krimnya jatuh."

Eri tergelak, tak kuasa menahan geli dalam perutnya melihat penampilan acak-acakan gadis itu. "Makanya, jalan pake mata! Jangan cuma buat natap doi sampai lupa ngedip!" tawa Eri kemudian merambat pada teman-temannya yang lain sehingga membuat (Y/n) cemberut melihatnya.

"Dih, jalan pakai kaki, lah! Yakali pake mata, kelilipan dong dasar gila." (Y/n) melipat kedua tangan kesal.

Teman-temannya hanya tertawa menanggapi gerutuan gadis itu.

Takkk

(Y/n) terperanjat kaget ketika kepalanya tiba-tiba dipukul dengan pelan. Tubuhnya pun berbalik dengan segera, lantas mendapati seseorang berdiri di depannya dengan wajah datar. "Ah, Houtarou?" senyum manis mengembang di bibirnya.

"Jangan lari-lari, ntar jatuh," tegur Oreki, lalu mengangkat tangannya yang tengah menggenggam dua bungkus sandwich buah. "Nih, aku bawain. Untung aku beli, kalau enggak udah keabisan."

Mata (Y/n) berbinar begitu cerah, lalu meraih pemberian Oreki dengan cepat dan menatapnya lekat. "Aaaaa, makasihhhh!! Kau benar-benar penyelamat perutku, jika tidak aku bisa mati kelaparan di jam pelajaran selanjutnya," ujar (Y/n) terharu.

Melihat reaksi (Y/n) yang berlebihan, Oreki terkekeh singkat karena gemas. "Iya, sama-sama."

Ckrekk

Perempatan siku-siku bertengger jelas di dahi kanan gadis itu. Kepalanya menoleh, menatap Kana dengan muak. "Hei, siapa yang memberimu izin mengambil foto kami?!" geramnya emosi.

"Ayolah," ucap Kana santai. Ia memandangi hasil jepretannya dengan bangga, bibirnya membentuk senyum yang begitu lebar. "Buat dokumentasi doang kok, jangan marah." ia berucap seolah tak punya dosa.

Hal itu membuat (Y/n) semakin kesal tiada tara. (Y/n) baru tau baru-baru ini bahwa Kana adalah pakar cinta yang ajib sekali. Dia seringkali mengurusi masalah percintaan orang lain dan punya segunung komik romantis di rumahnya. Menyeramkan.

Bahkan Kana sampai meneror (Y/n) ketika dia tau bahwa gadis itu memiliki kisah cinta yang sedemikian rumitnya. Tapi yah, (Y/n) sedikit bersyukur juga. Berkat Kana lah hubungannya dan Oreki bisa seperti ini sekarang.

Sedikit.

Hanya sedikit.

Orang yang terobsesi dengan cinta itu mengerikan.

"Hei."

Panggilan dari seseorang di belakangnya membuat (Y/n) menoleh, sedikit mendongak karena perbedaan tinggi badan. "Iya?"

Oreki sedikit membungkuk, menaruh bibirnya dekat dengan indra pendengaran sang gadis. "Pulang sekolah nanti, kutunggu, ya."

BLUSHHHH

Gadis itu merona hebat. Dalam seketika temperatur di wajahnya memanas, pula jantungnya yang berdegup tiga kali lebih kencang. Setelah melakukan hal semacam itu, Oreki malah melenggang pergi dengan santainya.

"Cieee, kiw kiw, ada yang mau ngedate."

(Y/n) melirik sinis menanggapi godaan Hotaru. Ia mengangkat tangannya, mencoba menyembunyikan sebagian besar wajahnya yang sudah berubah warna. "Apasih, ngedate apanya, cuma pulang bareng kayak biasa," ungkapnya jujur.

Namun, jawaban (Y/n) tampaknya membuat Rin tidak puas sehingga mengernyitkan alisnya. "Loh? Pulang bareng doang? Tapi kan hari ini ...?"

(Y/n) menoleh, menatap Rin dengan ekspresi polos dan linglung. "Hah? Emangnya hari ini kenapa?"

Kelima temannya dengan serempak menepuk dahi frustasi.

.
.
.
.

"Mau jalan-jalan dulu?"

Gadis itu menoleh cepat hingga surainya terhempas. Berpikir sejenak, ia memutuskan menggelengkan kepala. "Engga deh, aku pengen cepet pulang." ia mengalihkan tatapannya ke bawah, memperhatikan kakinya yang melangkah dengan riang.

Menaikkan sebelah alisnya, sang lawan bicara berekspresi bingung. "Kenapa? Biasanya kan gak betah di rumah."

Sekali lagi gadis itu menggeleng, ia menjawab tanpa mengubah posisi kepalanya. "Aku lagi pesen paket, takutnya pas dateng ga ada di rumah, COD soalnya."

"Paket apa?"

Kali ini, kepala kembali menghadap pada sang lelaki. Dengan cengiran tak bersalahnya, ia membalas, "Nintendo."

"Ih kau ini." Oreki menyentil dahi sang gadis sehingga membuatnya mengaduh sakit. "Kenapa beli yang kayak gitu terus? Kalau ada uang hemat! Lagian ntar lupa belajar, lagi." ia menggelengkan kepalanya tak habis pikir, akhir-akhir ini (Y/n) benar-benar gila bermain video game dan hal semacamnya yang tidak Oreki mengerti.

(Y/n) mengusap dahinya keras, mencebikkan bibir sebal tak Terima. "Abisnya aku pengen banget beli itu dari dulu, tau. Dulu pernah punya sih, tapi rusak gegara nyemplung ke selokan. Langsung gak nyala lagi." ia menggeram emosi jika mengingatnya.

Oreki memiringkan kepala, seketika menahan tawa ketika melihat ekspresi kesal gadisnya. (Y/n) itu memang lucu. Apalagi ketika ia menggerutu dengan bibir yang menggembung besar.

"Ih apa sih? Kok ketawa?!" (Y/n) yang kesal memukul lengan Oreki dengan keras, yang ternyata malah membuat gelak tawa Oreki keluar dengan bebas. Dulu baginya tawa Oreki itu begitu langka, sekarang mendengarnya malah menyebalkan.

Sembari mengusap lengannya yang terkena pukulan, meski tidak sakit sedikitpun, Oreki berusaha menghentikan tawanya. "Iya deh iya, terserah mau beli apa, tapi jangan sampai lupa dunia."

"Siap, Komandan!" canda (Y/n), menaruh tangannya sejajar dengan alis memperagakan sikap hormat. Setelahnya, Oreki dan (Y/n) tenggelam oleh tawa untuk yang kesekian kalinya.

Mereka pun melanjutkan langkahnya yang dilalui dengan lambat, seolah tak ingin segera berpisah satu sama lain. Apapun yang terjadi, kebahagiaan apapun yang datang kepadanya, bagi mereka untuk bisa bersama satu sama lain adalah hal yang paling indah untuk dilalui.

Tes

"Eh?" (Y/n) menengadah. Ketika suatu cairan menetes mengenai hidungnya, ia menyadari rintik-rintik lain mulai berdatangan dengan bergerombol. "Hujan," gumamnya santai, tak sadar bahwa seragamnya mulai basah ketika dijatuhi tetesan hujan.

"E-eh? EeEeEeEEEeeeeh?!"

(Y/n) berseru kaget ketika tangannya tiba-tiba ditarik oleh sesuatu. Menoleh ke samping, ternyata Oreki pelakunya. Ia membawa gadis itu untuk segera menepi ke salah satu toko dan berteduh di bawahnya. Ketika sampai, Oreki langsung menatap (Y/n) tajam.

"Apa?" tanya (Y/n) tak merasa bersalah.

"Apa apa, udah tau hujan, malah bengong sambil natap langit. Berharap yang jatuh uang? Jangan mimpi siang-siang!"

Ceramahan Oreki membuat gadis itu terkekeh kikuk. Ia mengusap tengkuknya ragu, lalu meminta maaf karena pola pikirnya yang memang lambat. Yah, mau heran, tapi dia itu (Y/n). Lupakan saja.

Tak lama setelah itu, air yang menetes dari langit semakin banyak, hujan mengguyur bumi dengan sebegitu derasnya. (Y/n) dan Oreki tak punya pilihan lain selain meneduh sembari menatapi air hujan yang berjatuhan.

Oreki melirik bingung ketika (Y/n) tiba-tiba melangkah maju. Gadis itu mengeluarkan tangannya, membiarkan air hujan membasahi telapak tangannya yang membentuk cekungan. Seketika, senyuman di wajahnya merekah dengan indahnya.

"Kau tak lagi takut dengan hujan?"

Pertanyaan dari Oreki membuat (Y/n) menoleh ke belakang. Ia tersenyum lembut, lalu kembali menatap telapak tangannya yang sudah menampung air. "Tidak," jawabnya singkat sembari menggeleng.

"Sekarang aku tidak lagi menganggap air sebagai sesuatu yang membuatku kehilangan segalanya." (Y/n) menghembuskan nafas lega dari hidungnya. "Tetapi sebagai penghubung antara diriku dan orang-orang yang sudah pergi jauh supaya kita tetap merasa dekat."

"Dimanapun mereka berada, mereka akan selalu ada bersamaku." gadis itu menolehkan kepalanya, menatap Oreki dengan hangat. "Bukankah begitu?"

Oreki bergeming, kemudian senyuman tipis terukir di bibirnya. Ia mengangguk, menatap gadisnya dengan bangga karena berhasil belajar dari semua yang sudah dilaluinya. "Ya, kau benar."

(Y/n) terkikik kecil, lalu membuang air yang menggenang di telapak tangannya. Setelah mengibaskan tangannya beberapa kali supaya sedikit kering, ia kembali ke belakang, berdiri tepat di samping Oreki.

"Aku bangga padamu, kau sudah jadi sedewasa ini."

Gadis itu mengulas senyum, menundukkan kepala ketika bibir terkekeh singkat. "Yah, lagipula aku bisa begini juga karenamu, kan?" ia menatap Oreki sejenak, lalu mengembalikan tatapannya pada jalanan yang sudah basah oleh air hujan. "Aku tidak akan pernah bisa begini jika tanpa bantuanmu."

Dengan perlahan, (Y/n) mendaratkan kepalanya pada bahu Oreki. "Karena itu, aku sangat berterima kasih."

Oreki menatap lekat gadisnya yang tengah menyandarkan kepala lelah. Entah apa yang begitu luar biasa darinya, tapi gadis sesederhana (Y/n) selalu bisa membuatnya tersenyum. Itu membuatnya merasa begitu beruntung memiliki (Y/n). Hidupnya selalu dipenuhi kebahagiaan sejak mereka mulai bersama.

"Aku tidak akan pernah keberatan untuk membantu seseorang yang sangat aku sayangi."

(Y/n) terkekeh geli. Rasanya kata-kata itu sudah biasa sekali di telinganya. Meski begitu, bagi hatinya, tetaplah sesuatu yang luar biasa. (Y/n) tak pernah berhenti merasa istimewa karena Oreki telah memutuskan memilihnya.

"Ah, aku baru ingat," gumam (Y/n) tiba-tiba. "Houtarou, kau ingat ini hari apa?"

"Hari jadian kita yang ke-6 bulan, kan?"

Dalam diamnya, (Y/n) mengernyitkan alis. "Kau mengingatnya? Lalu kenapa kau tidak mengatakan sesuatu untukku?"

"Memangnya ini hari yang penting, ya?"

Hah? (Y/n) menarik kepalanya dari bahu Oreki, lantas menatap lelaki itu dengan tatapan menuntut. "Kenapa kau berkata seperti itu? Kita sudah bersama selama itu, apa itu tidak penting bagimu?" tanya (Y/n) tidak mengerti, menaruh kedua tangannya di pinggang menunggu penjelasan.

Namun, respon yang didapat justru diluar dugaan. Oreki menarik kedua sudut bibirnya, lalu bergerak untuk berdiri tepat di hadapan gadisnya. Membungkuk, ia pun berusaha mensejajarkan wajah dengan sang gadis.

"Kau tidak perlu mengingat hari seperti ini, (Y/n)-chan."

Sebelah alis (Y/n) terangkat. "Kenapa?"

Ia tersenyum, lalu berkata, "Karena aku akan terus mencintaimu, sampai kita tidak akan sanggup menghitung berapa banyak bulan dan tahun yang telah kita lewati bersama." Oreki menaikkan kepalanya, lalu mendaratkan sebuah kecupan ringan pada dahi gadisnya.

"Aku mencintaimu," ungkap Oreki tulus.

Dengan rona tipis yang menghiasi, senyuman malu-malu sang gadis terbit dengan indahnya.

"Aku juga, mencintaimu."

♛   END  

Start : 23 March 2021
Finish : 14 November 2021

Continue Reading

You'll Also Like

209K 22.6K 43
Menyesal! Haechan menyesal memaksakan kehendaknya untuk bersama dengan Mark Lee, harga yang harus ia bayar untuk memperjuangkan pria itu begitu mahal...
36.6K 5.5K 16
"Bukankah membuka aplikasi tanpa melihat cerita buatanku itu sungguh hal yang membosankan? Kemarilah, buat sebuah imajinasi fana bersamaku." [Semua P...
330K 35.6K 71
⚠️BXB, MISGENDERING, MPREG⚠️ Kisah tentang Jungkook yang berteleportasi ke zaman Dinasti Versailles. Bagaimana kisahnya? Baca saja. Taekook : Top Tae...
19K 2.9K 10
|ꜱʜᴏʀᴛ ꜱᴛᴏʀʏ| Di sini, di kota Paris yang indah nan cantik sepertimu, ku ceritakan kembali kisahmu dan kisahku, maukah kau mendengarkannya? Setidakn...