The Little Redhood and The Va...

By Swan_Odette

3.4K 327 619

"Saat purnama bersinar, hutan akan menghasilkan jeritan nanar." Di kedalaman hutan, terdapatlah seorang gadis... More

Prolog
Chapter 1 : Nona bertudung merah
Chapter 2 : Putri Angsa
Chapter 3 : Misi pertama
Chapter 4 : Mage
Chapter 5 : Eternal Love
Chapter 6 : Elf dan Orc
Chapter 7 : Pangeran yang Dicuri
Chapter 8 : Bertemu Teman Lama
Chapter 9 : Cahaya Fajar
Chapter 10 : Mimpi Buruk yang Lolos
Chapter 12 : Sisi Lain
Chapter 13 : Manusia Setengah Serigala
Chapter 14 : Umpan
Chapter 15 : Penyusup
Chapter 17 : Pertarungan Terakhir (2)
Chapter 16 : Pertarungan Terakhir (1)
Chapter 18 : Pertarungan Terakhir (3)
Chapter 19 : Pertarungan Terakhir (4)
Chapter 20 : Pertarungan Terakhir (5)
Chapter 21 : Pertarungan Terakhir (6)
Chapter 22 : Pertarungan Terakhir (7)
Epilog

Chapter 11 : Kencan Teraneh

169 11 13
By Swan_Odette

Mereka telah sampai di depan pintu masuk gerbang kota Lumina, yang mana mereka disambut oleh suasana ricuh yang menenangkan hati.

Para pedagang berteriak mempromosikan dagangan mereka, para pemusik di jalanan melantunkan melodi indah yang beraturan, dan banyak sekali orang-orang yang mana membuat penduduk di kota Lumina semakin padat.

Ruby dan Granger baru saja sampai beberapa detik lalu menggunakan spell arrival yang dipakai oleh lelaki itu.

"Sebenarnya darimana kau dapatkan spell teleportasi ini?" tanya gadis bertudung merah itu mengamati area sekitarnya.

Suasana di sini ... benar-benar hidup.

"Putri Silvanna memberikan spell itu kepada seluruh anggota kesatria Moniyan," Granger menjawab.

"Ah, begitu. Lalu, kau bisa berkeliaran semaumu dan kau bisa kembali kapan saja ke istana?"

"Ya."

Ruby mengangguk seraya mereka yang tengah berjalan santai menikmati pemandangan.

Netra hijau terang gadis itu kini terpaku kepada musisi yang tengah memainkan seruling dengan merdu.

Sebuah senyuman lebar kini tercetak di bibir gadis itu, lantas ia pun mengalihkan pandangan ke biola yang tengah ditenteng oleh lelaki di sampingnya.

"Hei, kenapa kau tidak coba mainkan biolamu?" usul Ruby.

"Biolaku?" beo Granger kini mengamati biolanya.

"Ya, meskipun biolamu adalah senjata, tapi masih bisa dimainkan sebagai alat musik, bukan?"

"Aku tak pernah kepikiran untuk memainkannya di tepi jalan. Tapi aku rasa idemu cukup cemerlang," lelaki berjubah hitam itu menyetujui.

"Kau bisa mengikuti alunan orang yang memainkan seruling di sana, pasti akan sangat bagus jika dipadukan dengan permainan biolamu," Ruby berantusias.

Binar di matanya membuat gadis itu terlihat sangat manis.

"Baiklah, lebih baik kau pasang telingamu baik-baik untuk mendengar permainan musikku yang sempurna."

Granger kini mendekati pemusik yang masih setia melainkan seruling kemudian membuka sarung biolanya.

Dikeluarkannya benda mungil berlekuk yang indah itu, kemudian menaruhnya di antara dagu dan bahu kirinya.

Ruby mendekati kedua pemusik itu yang akan memulai permainan mereka. Tak lupa awalnya gadis itu menaruh uang koin di kantong kulit milik pemusik yang memainkan seruling.

Tangan kanan Granger kini telah memegang stik biola dan bersiap-siap menggeser senarnya.

Harapan Ruby memuncak, telinganya sudah tidak sabar mendengar alunan nada irama yang indah berasal dari biola kekasihnya.

Sying!!

"Eh?" Seketika Ruby terperangah, mendengar suara gesekan pertama yang terlontar dari stik dan senar biola tersebut.

Kresek!!

Seketika, harapan Ruby hancur lebur seperti potongan-potongan puzzle yang berserakan.

Realita kini menghantamnya keras. Permainan Granger tidak seindah yang ia bayangkan.

Alunan irama lelaki itu malah mirip seperti bunyi kursi kayu yang ditarik di lantai, membuat sang pemusik di sebelah lelaki bersurai hitam itu menghentikan permainan serulingnya yang seketika rusak.

Lantas pemusik tersebut menyimpan serulingnya dan membawa kantong berisi uangnya pergi menjauh,
sembari kesal dengan pemuda yang seenaknya saja merusak permainannya.

Tak butuh waktu lama, Granger menghentikan permainannya dan melemparkan tampang bangga tanpa ada rasa malu sedikitpun.

"Pastikan kau merekam seluruh alunannya di otakmu," ujar Granger kemudian merapikan biolanya dengan memasukkan kembali ke tempatnya.

"Kemana pak tua itu pergi?" celetuknya dengan raut tak bersalah sembari menghampiri Ruby.

Gadis itu terpaku tak bergerak. Ia masih terguncang dengan kenyataan.

Imajinasinya yang membayangkan bahwa alunan indah akan menggema ketika kekasihnya memainkan sebuah lantunan melodi indah untuknya, hancur berkeping-keping.

Ruby malah merasa ... dia tengah mendengarkan musik yang akan menyambutnya di neraka. 

"Oi, kenapa diam?" Granger menyentuh pucuk kepala gadis bersurai pirang tersebut.

"Hei ... apa kau bisa mengecek telingaku?" pinta Ruby.

"Hah? Memangnya kenapa telingamu?" Granger lantas menunduk untuk memeriksa telinga gadis di hadapannya itu. Namun tidak ada yang salah dengan telinganya.

"Aku rasa... telingaku berdarah," sarkas Ruby dengan halus.

Granger lantas menangkap maksud kekasihnya kemudian ia tergelak singkat. "Memangnya seburuk itu?"

"Ya!! Aku tak bisa menyangkal! Aku merasa seperti tengah mendengarkan melodi kematian, tahu?!"

Ruby masih kesal dengan ekspektasinya yang tak sesuai dengan realita.

"Darimana kau tahu?" Granger bertanya.

"Maksudnya?" Ruby bertanya balik karena tak mengerti maksud lelaki yang ada di hadapannya.

"Aku menamai musik tadi dengan nama 'melodi kematian'. Aku sering menggunakannya agar musuhku kehilangan fokus."

Seketika Ruby mendengus. "Oh, Ya Tuhan."

❤️

Sedari tadi, Ruby sibuk melahap permen buah yang dibelinya selang beberapa waktu lalu.

Mata hijaunyya pun kini sibuk berkelana mengamati seluruh bentuk dan wujud kota Lumina yang megah.

Saat ini, mereka lagi sibuk berjalan mengamati patung-patung monumen pahlawan yang telah berjasa kepada Moniyan.

Berbagai bentuk lekuk dan pahatan tercetak sempurna sehingga menyerupai penampilan sang pahlawan yang sebenarnya.

Ini adalah pertama kalinya ia berada di kota Lumina, kota terbesar yang ada di wilayah Moniyan.

Ruby terkagum dengan bangunan-bangunan mewah dan berukiran rumit yang di tinggali oleh para bangsawan-bangsawan.

Dan cahaya matahari yang menyinari kota Lumina lebih cerah dibandingkan dengan tempat tinggal asalnya yang cukup gelap dan redup karena dihinggapi banyak pohon yang menghalangi akses cahaya.

Diliriknya Granger yang berada di sampingnya, berjalan dengan tenang. Pandangannya berputar kesana kemari dengan seksama, mengamati lingkungan sekitarnya.

Netra merah lelaki itu kini menangkap Ruby yang tengah meratapinya.

"Ada yang salah dengan penampilanku?" ujarnya. 

"Tidak, hanya ingin menawarkanmu permen ini." Ruby menyodorkan permen buahnya yang hanya tersisa satu.

"Kau saja yang makan."

"Oh ayolah, ini enak." Ruby memaksa.

Granger hanya menghela napas kemudian mengambil sisa satu permen buah yang tertusuk di sebuah lidi dari genggaman Ruby, kemudian memakannya hingga tak bersisa.

"Aku sebenarnya bingung ... karena kau tiba-tiba mengajakku jalan-jalan santai seperti ini," celetuk Ruby membenarkan letak penutup matanya.

"Untuk sesekali, kita perlu beristirahat dari kegiatan kita," jawab Granger menatap langit biru yang terbentang luas. "Kau tahu ... menenangkan pikiran ketika baru saja melawan musuh terbesarmu."

Seketika Ruby tersentak. Perasaan asing mengambang di dalam dirinya. Lekuk senyumnya tak dapat ia tahan. Jadi semua ini ternyata untuk dirinya?

Secara diam-diam, Granger ternyata memperhatikannya dan memahami dirinya. Hal tersebut ... tentu bisa membuat hati gadis mana saja mencair.

Karena tak dapat menahan perasaannya, gadis bersurai pirang itu lantas mendekap lengan kekasihnya tanpa peringatan. "Terima kasih ... untuk semuanya."

Granger hanya tersenyum. "Suatu kehormatan bagiku."

Ruby kini mendongak. "Kalau begitu sekarang sebaiknya kita ke mana?"

"Sebenarnya aku ingin mengajakmu melihat festival kembang api. Tapi acaranya baru akan dimulai jam tujuh malam nanti."

"Kalau begitu, kita masih punya kurang lebih tiga jam tersisa," ucap Ruby melirik jam sakunya yang ia keluarkan dari saku roknya. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" gumamnya.

Granger terdiam menatap langit berpikir seraya bersedekap. "Ah, aku terpikir hal yang menyenangkan."

Netra Ruby mengerling. "Oh ya?"

🎻

Ruby memajukan kedua bibirnya. "Hoi, kau sebut ini menyenangkan?" gerutunya membungkukkan badan.

Granger tak menghiraukan, masih setia memegang pancingannya. "Memancing melatih kesabaran," celetuknya.

"Ya tapi tidak seperti ini juga!!" Ruby berteriak kesal karena mereka sudah hampir dua jam menunggu, tapi tak ada ikan yang menyangkut di kail pancingnya. "Ini buang-buang waktu namanya!" kesalnya.

"Bukankah tujuan awal kita memang menghabiskan waktu?" Granger menyahut, matanya lurus ke depan menatap laut biru yang terbentang luas.

Mereka berdua duduk di atas jembatan kayu dengan dua kursi yang memiliki sandaran. Jembatan kayu tanpa pembatas tersebut pendek dan mengarah langsung ke laut yang luas.

Sudah cukup lama mereka menunggu dan termenung, yang mana membuat Ruby sangat kesal karena kesabarannya habis. Tapi tidak untuk Granger, lelaki itu tetap setia menunggu.

Bahkan hari pun sudah mulai gelap, dengan matahari yang mulai tenggelam di ujung cakrawala. Tetapi tak satupun mahluk laut yang menghampiri pancingan mereka.

"Menghabiskan waktu dengan hal tidak bermanfaat, begitu maksudmu?"

"Sudah kubilang, memancing melatih kesabaran, itulah manfaatnya."

Ruby menarik tudung yang menutupi kepalanya kasar. "Terserahlah."

Gadis itu menepis helai pirangnya yang menghalangi pandangannya dengan geram.

Kencan --menurut Ruby ini adalah kencan-- pertama mereka yang sangat berharga kini terisi dengan hal tidak berguna dan tidak berkenang, membuat gadis itu jengkel.

Ia lantas menyilangkan kakinya dengan tangan kanannya yang masih setia memegang pancingan.

Tangan kirinya kini ia gunakan untuk menopang dagu dengan sikunya yang menyentuh pahanya.

Bosan menyerang Ruby, membuat gadis itu menghela napas panjang dengan ekormatanya yang mulai melirik ke arah Granger.

Dirinya hanya berharap semoga festival kembang apinya cepat dimulai, supaya ia bisa melihat ribuan kembang api meluncur dan meledak di langit memercikkan pijar-pijar beragam yang berbaur dengan bintang.

Oh iya! Mengingat-ingat soal festival kembang api itu, Ruby mendapatkan alasan yang mungkin bisa mengubah pola berpikir kekasihnya.

"Festival kembang api itu, tentu sangat ramai, bukan?"

Granger menoleh sekilas. "Ya."

"Bukankah sekarang sebaiknya kita mencari tempat agar bisa melihat kembang apinya secara jelas?" celoteh Ruby. "Makanya, lebih baik kita segera tinggalkan pancingan sialan ini dan langsung pergi mencari tempat strategis--"

"Ruby, diamlah sejenak," potong Granger membuat Ruby terkesiap.

Gadis itu mendapati nada keseriusan di kata-kata milik kekasihnya.

"Dia sudah datang. Mahluk yang akan mengubah malam kita. Diamlah dan jangan bersuara," peringat Granger membuat gadis di sebelahnya bungkam.

Lantas, Ruby menajamkan pendengarannya. Apa jangan-jangan ... ada musuh di belakang kami? batinnya.
Ia kemudian melirik sekitarnya dengan hati-hati, lalu pandangannya terhenti menatap wajah Granger.

Lelaki yang tengah menatap lurus tajam ke depan itu masih setia menggenggam erat pancingannya.

Ruby mengernyit bingung. Ini aneh, jika ada musuh di sekitar mereka ... kenapa Granger malah tidak meraih senjatanya sama sekali?

Saat itu juga, Ruby menyadari bahwa maksud perkataan Granger ternyata tidak selaras dengan maksud yang ia pikirkan.

Tali pancing Granger yang panjang kini tertarik dengan sangat cepat dengan lelaki itu yang mulai mundur menarik pancingannya yang terasa berat.

"Jadi 'dia' yang kau maksud itu ikan?" Ruby mendengus, kemudian meletakkan pancingannya.

Ia lalu menonton Granger yang tengah bermain tarik ulur dengan sang ikan yang tengah berusaha memperjuangkan hidupnya.

Entah kenapa tiba-tiba hal yang membosankan menurut Ruby kini menjadi menyenangkan ketika melihat Granger yang tengah melakukan aksi yang lelaki itu jarang lakukan.

Tapi pada satu momen, Granger hampir saja tercebur ketika tenaganya kalah dengan sang ikan. Lantas Ruby dengan sigap berdiri dan langsung mengelungi perut lelaki itu sembari menahan tubuhnya.

"Apa-apaan, kau kalah dengan seekor ikan?" Ruby berucap namun mengejek.

"Kau belum merasakan tenaga terkuatnya," jawab Granger menarik sudut bibirnya.

"Ap-- whoa!!"

Ruby terkejut ketika tubuh mereka berdua tertarik hampir terseret ke arah laut jika kaki kanan Granger yang sedikit maju dari kaki kirinya tidak menahan bobot tubuh mereka di ujung jembatan.

"Hei! Apa kau yakin yang kita tangkap ini benar-benar ikan?! Tenaganya hampir sebelas dua belas dengan Pale Tusk!!" seru Ruby terus membantu Granger dengan menarik tubuh lelaki itu.

"Entahlah, lebih baik kita cari tahu," balas Granger mengeratkan genggamannya pada pancingannya agar tak terlepas.

Keringat kini bercucuran di masing-masing dahi mereka. Beberapa saat telah berlalu, namun lawan mereka tetap pantang menyerah.

Oleh karenanya, Ruby geram sehingga ia berteriak. "Granger, kerahkan seluruh tenagamu dalam hitungan ketiga."

Granger berkedip, kemudian ia tersenyum. "Baiklah, Nona Pendek."

"Satu...!"

"Dua...!"

"Tiga...!" teriak Ruby keras bersamaan dengan mereka yang mengerahkan seluruh tenaga mereka dalam satu tarikan.

Alhasil, akhirnya mahluk yang terus melawan mereka menampakkan wujudnya yang panjang dan besar di udara.

Cipratan air menyertai ikan besar tersebut yang kini telah terjatuh di atas kayu jembatan mereka berada sembari berkecipak menyipratkan buliran air.

Ruby bernapas terengah-engah sembari mengelap peluhnya, kemudian langsung terjatuh dan terduduk mengatur napasnya. "Hah ... hah .... Gila, ternyata ada ikan sebesar ini," engahnya.

Granger berjongkok di depan ikan tersebut dengan napas yang juga terengah, kemudian mengamati hasil perjuangan mereka dalam menunggu dan juga mengerahkan tenaga.

Panjang ikan itu sekitaran seratus sentimeter dengan berat yang berkisaran kurang lebih lima puluh sampai enam puluh kilogram.

Yah ... tak heran tenaganya sangat kuat.

"Cukup untuk membayar rasa bosanmu?" Granger menyilangkan kedua tangannya di depannya.

Ruby mengalihkan pandangan dengan wajah cemberut. "Yah, kuakui itu tadi cukup menyenangkan," ia tersenyum. "Terlebih pada saat kau hampir terjerembab ke laut," gelaknya.

"Kalau begitu kau ingin mencoba terjerembab ke laut?" tawar Granger.

"Tidak, terima kasih," kata Ruby tersenyum manis.

"Sekarang sudah masuk waktunya," ujar Granger.

Ruby lantas menaikkan alisnya masih setia dengan tubuhnya yang duduk tergeletak di atas jembatan kayu.

Granger kini mengangkat kepalanya menatap ke atas. "Lihatlah ke langit."

Tanpa komando, Ruby mendongakkan kepalanya dan saat itu juga letusan bunga api menyebar di langit malam. Banyak kembang api yang kini menyusul menimbulkan suara yang memekakkan telinga.

Dari tempat mereka, langit terlihat sangat jernih dengan kepingan pijar berserakkan seperti kebahagiaan yang meletus. Ruby terpana, sehingga ia tak menggerakkan tubuhnya sama sekali.

Bahkan sang ikan juga sepertinya menikmati pijar kembang api yang terpantul di matanya.

Granger yang awalnya menatap ke arah langit, kini melirik ke arah Ruby.

Netra hijau yang besar dan bersinar itu mematulkan pemandangan indah sang kembang api. Granger mendaratkan bokongnya duduk di samping gadis itu mengangkat kedua lututnya yang terbuka lebar.

"Bagaimana menurutmu kencan pertama kita?" celetuk lelaki bersurai hitam bercampur perak itu.

Ruby tersenyum manis, dengan kebahagiaan meluap yang mengisi hatinya. Ia kemudian menoleh dan menatap ke arah kekasihnya. "Kencan teraneh yang pernah ada."

Mereka kini tergelak singkat, kembali menatap langit, saling mendekat dan menempelkan bahu mereka.

Ruby menyergap tangan Granger yang berada di sebelahnya kemudian mengenggamnya erat, sembari kepalanya yang bersandar di bahu lelaki tersebut.

Terakhir, keduanya membisu dengan suara ledakan kembang api yang masih menaburkan keindahan bagi pasang mata yang melihatnya.

Tapi, kedua manusia itu tidak lagi menikmati kembang api.

Bertopang pada satu sama lain, mereka saling menyalurkan kehangatan melalui genggaman mereka dan mendalami kenyamanan tanpa harus saling bersetatap.

.
.
.
.
.

End of Chapter 11.
Publish, 6 Desember 2021.

Semoga hari kalian menyenangkan! ❤️

Story by Swan_Odette

Continue Reading

You'll Also Like

14.3K 1.6K 26
‼️REMINDER PLEASE‼️ (CERITA INI BROMANCE NOT BOYSLOVE. Karena bromance versiku hanya sekedar moment manis antara teman, sahabat, saudara. Romans? ada...
151K 21.6K 54
Setelah kelompok Cale hidup bahagia dan bebas dari para pemburu. Mereka pergi satu persatu karna umur mereka. Cale yang sudah memperkirakan meski dia...
15.1M 1.9M 71
[ π™‹π™šπ™§π™žπ™£π™œπ™–π™©π™–π™£! π˜Ύπ™šπ™§π™žπ™©π™– π™¨π™šπ™¨π™–π™©! ] . Amanda Eudora adalah gadis yang di cintai oleh Pangeran Argus Estefan dari kerajaan Eartland. Me...
1K 120 8
keseharian anak kost-an pak surya doang.