Untukmu Imamku

By Bintang_Evirs

228K 7.6K 530

Cerita tentang gadis manis yang dulu selalu dipandang rendah oleh orang. Gadis sederhana yang terlahir dari k... More

01. Tidak jadi?
02. Sakit Hati
03. Melamar?
04. Lamaran
05. Sweet Sebelum Halal
06. Pesan Sweet
07.Pernikahan
08. Keluarga Baru
09. Hari Sweet
10.Rumah Kak Abi
11. Mantan
12. Pernikahan Nabila
13. Balado
14. Ngambek
15. Penyuka Malam
16. Pondok
17. Satu mobil dengan mantan
18. Kalakuan Safira
20. Perdebatan Pertama
21. Berlaku Kasar
22. Ulah Lisa
23. Titik Terang
24. Berduka Kembali
27. Keberangkatan Ibu
29. Hal Mengejutkan juga menyakitkan!
30. Kembali ke rumah
31. Berbaikan
32. Fakta Bahagia
33. Perubahan Sikap
61. M. Akselion Arviandra
62. Retakannya sebuah hubungan
63. Ayah, Albi Rindu
64. Ayo Kembali
Promosi Bintang😈
Harga Pdf (Untukmu Imamku)
Extra Part UkMu
INFO TERBIT!!
Karyakarsa!!

28. Mimpi buruk

2.4K 184 8
By Bintang_Evirs



"Mas Arbi?" 

Dengan mataku aku melihatnya, mereka yang saling tertawa di atas ranjang dengan satu balita ditengah-tengah mereka, seperti keluarga bahagia. Hatiku mencolos saat sesekali Mas Arbi mencium tangan dan dahi Mbak Safira juga balita itu yang aku tak tau siapa dia.

Mereka menoleh padaku yang masih berada di ambang pintu, bimbang antara masuk atau berhenti tapi apa yang aku takutkan? Mas Arbi adalah suamiku dan aku berhak untuk marah.

Mbak Safira berdecak. "Sayang, kamu urus dia gih aku malas berurusan dengannya, cepetan ih anak kita mau tidur kayaknya."

Mas Arbi terlihat mengangguk dia kembali mencium dahi balita itu juga bibir Mbak Safira, yang dibalas lumatan oleh Mbak Safira, emosiku hadir saat itu juga.

"Mas!" Dia terlihat menoleh tajam padaku, saat suaraku berhasil membuat balita itu menangis Mbak Safira juga menoleh tajam dan dia segera menenangkan balita itu agar tenang.

Sedangkan Mas Arbi berjalan ke arah ku dengan wajahnya yang terlihat marah, apa aku salah? Aku terkesiap saat Mas Arbi mengenggam tanganku kuat ah tidak lebih tepatnya mencengkram dan membawaku keluar kamar itu.

Bruk!

"Kamu gila hah?! Gara-gara suaramu anakku terbangun!"

Aku terkejut dengan tiga hal, pertama Mas Arbi menghempaskan tubuhku ke lantai hingga terjatuh, kedua karena bentakannya yang keras dan yang ketiga adalah ... Saat dia bilang anak, maksudnya apa?

"Apa maksud kamu mas?"

Air mataku sudah turun, rasa sakit dibadan juga dihati melihat Mas Arbi yang seperti orang asing bagiku, tatapannya yang seakan menyerat kebencian amat dalam padaku.

"Kamu tuli? Saya bilang KAMU MENGANGGU TIDUR ANAKKU!"

"Dia bukan anak kita Mas!" Ku balas berteriak, tak peduli satu rumah ini dengar, tak peduli bila di cap kurang sopan di rumah mertua, dan tak peduli kalau didepanku ini adalah suamiku.

"Yang bilang anakmu siapa? Dia anakku juga Mas Arbi, iya 'kan sayang?"

Mbak Safira keluar kamar dan lansung memeluk lengan Mas Arbi manja, yang tadinya tatapan Mas Arbi tajam padaku berubah lembut saat melihat ke arah Mbak Safira, tatapan itu menyirat sejuta cinta ala Mas Arbi dengan tatapan itu semua orang bisa percaya bila lelaki itu sangat mencintaimu, tatapan yang biasanya tertuju padaku tapi kenapa sekarang berubah?

"Kamu ngak lupa 'kan kalau kamu itu mandul? Mas Arbi itu pengen punya anak dan dipanggil Ayah, sedangkan kamu—?" Mbak Safira berhenti sambil menatap remeh padaku.

"Tidak bisa memenuhi itu! Saya muak dan tersiksa menikah dengamu yang tak kunjung hamil, tingkahmu yang kadang kekanak-kanakan membuat saya jengah dan ingin menjauh! Mulai saat ini saya talak kamu!"

"Hahh!"

Itu mimpi 'kan? Kenapa terasa nyata? Ku meraup wajah yang basah akan keringat, tidak itu hanya mimpi, iya mimpi yang mengerikan!

Kalimat istigfar keluar dari bibirku dengan nafas yang tak beraturan, dadaku sakit karena terkejut dan jantung yang berdetak dua kali lipat, keringat pun sudah ada di mana-mana padahal malam ini cukup dingin.

Kepalaku menoleh pada di sisi ranjang di mana ada Mas Arbi yang tidur dengan kalem-nya, rasanya aku ingin menangis kencang mengingat mimpi itu lagi, tatapannya, bentakannya juga perlakuan kasarnya. Aku ketakutan, takut mimpi itu jadi nyata dan Mas Arbi benar-benar ... Akh! Aku tidak bisa membayangkannya! Mentalku terlalu lema hingga tak sadar mulai menangis.

Ku lirik Mas Arbi yang bergerak memunggungiku, aku membekap mulut takut Mas Arbi mendengar isakan yang keluar tanpa diperintah, ku pandangi punggung kokoh itu dengan perasaan campur aduk yang tak bisa aku jelas, semuanya abstrak untuk dijabarkan!

Aku tidak kuat, ku peluk tubuhnya dari belakang dengan air mata yang tambah deras, akhir-akhir ini aku mudah menangis dan kembali takut kalau Mas Arbi merasa jengah dengan tangisanku yang tak tau alesannya.

"Emh?" Mas Arbi mungkin sadar kalau aku memeluknya erat juga air mataku yang ia rasakan, dia ingin berbalik namun aku makin mengeratkan pelukan, takut kalau Mas Arbi melihat air mataku dan dia marah karena jengah seperti mimpi itu.

"Hey, ada apa? Jangan buat Mas khawatir." Tenagaku kalah kuat dengan Mas Arbi, dia dengan gampangnya membalik tubuhnya walau sudah aku peluk erat, tapi karena aku tidak ingin Mas Arbi melihat air mataku agar dia tidak jengah atau marah, bergatian aku yang membalik tubuh memunggunginya.

"Dek, kamu bangun apa enggak? Mimpi 'kah?" Ya mungkin Mas Arbi berpikir aku bermimpi menangis, namun ini lebih dari itu aku menangis dalam mimpi juga dunia nyata, aku masih takut kalau Mas Arbi berubah seperti di mimpi itu hingga tak sadar isakanku yang ku tahan matian-matian keluar dengan hebat hanya karena suara khwatir milik Mas Arbi, bahuku gemetar membuat pergerakan di belakangku.

Seperti dugaanku Mas Arbi menengok ke arahku, menarik paksa bahuku untuk memerlihatkan wajahku yang berusah setengah mati aku tutup, berhasil dia berhasil membalik tubuhku dan wajahnya yang kini berada di atas wajahku, juga tangannya yang juga ikut mengunci pergerakan ku agar tak berbalik lagi.

"Kenapa hm?" Air mataku semakin deras keluar, mendengar suara halusnya juga tangannya yang telaten membersihkan air mataku, aku tak bisa lagi menutupinya mangka dari itu ku buka mata dan lansung tepat melihat ke arah wajahnya yang baru bangun tidur dengan rambutnya yang berantakan.

"Mimpi buruk?" Aku mengangguk membenarkan, Mas Arbi membawa kepalaku ke dadanya untuk dia peluk dengan erat, tangisan ku lagi-lagi pecah mengingat mimpi itu juga sikap Mas Arbi yang sekarang. Tanganku mencengkram erat baju yang ia pakai menyalurkan perasaan takut dan bimbang dalam hati.

"Sst ... udah ya, seburuk itu kah?" Lagi aku mengangguk membenarkan, Mas Arbi mengehela nafas sambil tersenyum. "Udah dong nangisnya, Mas udah bilang 'kan Mas ngak suka liat kamu nangis, tapi apa sekarang? Mas gak maksa kamu cerita karena katanya mimpui buruk itu gak baik diceritain, pamali."

Seperkian menit isakanku mulai reda, masih diposisi sama Mas Arbi tetap mengelus rambutku dengan sayang, sedikit tenang aku medongak melihat wajah tampannya yang lelah karena pekerjaan tapi harus terjaga karena tangisanku. "

"Maaf," kataku pelan.

Mas Arbi tersenyum lagi, senyum teduh yang selalu berhasil membuatku tenang, lalu berkata. "Untuk? Jangan bilang karena menangis dan menganggu Mas?"

"Dek, buang jauh-jauh rasa bersalah itu, Mas gak merasa keberatan dan malahan Mas seneng kamu melibatkan Mas dalam segala hal, apa lagi untuk yang satu ini, Mas gak pengen ada pria lain yang menghapus air matamu karena Mas bukan pria bodoh yang cuman mau dilihat tanpa mau melihat, berhenti keberatan dan izinkan Mas tau kalau kamu sedang kecewa, sakit hati, menangis, marah atau merasa nyaman dan bahagia, bagi semua itu sama Mas, ya?" Aku mengangguk sekali lagi.

"Mas ... Gak akan cari perempuan lain 'kan? Kalau-kalau misal aku gak bisa punya ana—" Ucapanku terhenti karena ciumannya yang diberi sedikit lumatan olehnya, aku memejamkan mata menikmati bibir lembut dan sedikit tebalnya terlalu lembut hingga aku terbuai.

"Ngomong sekali lagi kayak gitu, Mas bener-bener buat kamu gak bisa jalan selama dua hari." Tatapannya buka menunjukan marah, hanya mengertakku saja atau itu, melihat wajahnya yang sok diseriusin tapi ingin tersenyum.

Aku balik menantang. "Coba aja, Mas juga bakal rugi nantinya, setelah dua hari itu Mas gak boleh minta—" Lagi-lagi ucapanku terpotong gara-gara ciuman Mas Arbi yang sedikit lumatan, dia tak peduli jam berapa sekarang juga tak peduli kalau kita belum cuci muka dan sikat gigi, tetap tak peduli dan meneruskan ciuman itu kakinya yang terbalut sarung melingkar di badanku membawa tubuhnya untuk menindihku.

Dia berhenti, melepas ciuman itu. "Mas beneran loh, gak peduli jam berapapun sekarang." Beginilah kalau Mas Arbi sudah nafsu tak melihat waktu, tapi tak papa aku akan melayaninya apa lagi melihat tatapan tulusnya yang selalu ia tunjukan padaku, tatapan yang menunjukan betapa sayangnya dia padaku tatapannya yang tertuju pada Mbak Safira di mimpi itu, tapi kembali aku dapatkan sekarang dari Mas Arbi.
Rasa tenang menyelimuti hatiku melihat Mas Arbi yang masih menjadi milikku, Mas Arbi yang hanya nakal dan mesum padaku, Mas Arbi yang menunjukan sisi lainnya hanya padaku wanita satu-satunya yang mungkin ia cintai.

Tak terasa aku kembali menangis karena merasa tersentuh, membuat dia yang berpindah mencium leherku harus berhenti karena merasakan air mataku, diatas wajahku dia menatapku keheranan juga terkejut.

"Kenapa nangis lagi? Mas terlalu kasar ya gigitnya? Atau tubuh Mas keberatan dibadan kamu? Yaudah gak usa—" Saat dia asik mengoceh aku lansung mencium bibirnya dengan cepat, melumat bibir atasnya dan bawah bergantian juga tanganku yang meremas rambut belakang Mas Arbi.

Yang tadinya Mas Arbi terdiam kaku kini lansung menangkup wajahku juga ikut dalam permainan ini malahan lebih dominan, itu karena rambut belakangnya yang aku remas-remas lembut, titik lemah seorang M. Aroyyan Arbian.

Aku tau sangat tau kalau ciuman yang kembali dimulai olehku itu akan membawaku terjaga semalaman, membuat badanku akan lemas dan lelah karena Mas Arbi, walau begitu dia tetap mengajakku untuk merasakan surga dunia yang sangat membuat candu, secara bersama meraih itu.

•••
(Arbi Pov)

Sudut bibirku terangkat ke atas melihat wajahnya yang cemberut karena kalah main ular tangga bersama Arka diruang keluarga, menggemaskan! Sudah dua hari ini aku dan Dek Evi menginap dirumah Umi untuk kamaren membantu pengajian empat puluh harinya Alm. Mbak Amel.

"Udah cocok banget jadi ibu ya Bi." Kepalaku menoleh ke samping di mana Umi baru saja duduk, aku tersenyum membenarkan, Dek Evi sangat cocok sekali menjadi Ibu dia suka anak kecil dan penyayang.

"Umi berdoa semoga kamu dan Evi cepet dikasih momongan, Umi gak sabar mau momong." Sama aku juga Umi, malahan lebih. Disetiap doaku sudah aku panjatkan semoga kekasih halalku itu cepat hamil anakku, tak sabar rasanya melihat perutnya membesar, meminta ini itu karena permintaan sang calon anak yang dinamakan ngidam.

"Doain aja ya Umi, Arbi lagi berusah kok." Umi menoleh padaku, wanita yang cantik walau umurnya sudah tak muda lagi, lalu dia berujar. "Yang pastinya bikin kamu suka karena caranya enak ya."

Aku tergelak mendengarnya Umi sedang menggodaku! Mungkin telingaku memerah sekarang apa lagi teringat semalam yang rasanya Dek Evi mulai liar, ya walau kurang puas karena tidak memakai baju yang aku haruskan pakai setiap malam, baju yang aku tetapkan jadi favorit, baju dinas pemberian sahabatnya Dek Evi itu, ya mana mungkin aku menyuruhnya memakai di rumah Umi.

"Eh, kalau diliat-liat Evi gemukan ya Bi, daerah bokong sama payudaranya," ujar Umi sambil menepuk pahaku.

"Sering diremes kali Mi, ya ngak Bi?" Mbak Risma datang dan lansung menyeletuk, membawa Anin digendongannya yang lansung aku ambil alih, anak itu suka bila gendong pamannya yang ganteng ini, ceilah.

"Dih, dateng-dateng nyeletuk." Aku kembali melihat Dek Evi yang kini bersorak karena menang dari Arka, aku tertawa melihatnya benar kata Umi Dek Evi gemukan, apa lagi daerah yang sering aku 'kunjungi itu.

"Dek, kamu kok gemukan ya?"

"Terus kenapa kalo aku gemukan? Gak suka?! Yaudah cari yang lain aja! Cari yang lebih lansing sana!"

Aku menggelengkan kepala saat mengingat sepenggal ingatan itu muncul, tertawa geli mengingat dia lansung ngambek karena aku bertanya tentang berat badannya. "Eh tapi Umi, gak usah ditanya atau singgung soal itu ke Dek Evi ya Mi."

Umi mengerutkan dahi lalu bertanya. "Kenapa Bi?" Dan aku pun lansung menjawab. "Dia lansung bete kalau bahas soal itu, Arbi udah bahas sama dia eh dia malah lansung marah-marah, dan nyuruh Arbi cari yang lain yang lebih lansing katanya."

Umi dan Mbak Risma tertawa mendengarnya karena terdengar lucu, begitulah Dek Evi yang selalu membuat suasana hangat dan lucu dalam satu waktu, sejujurnya aku merasa heran dia gemukan, tapi akhir-akhir ini dia jarang nafsu makan dan berujung muntah dan lemas juga wajah yang pucat, membuatku tak tega untuk meninggalkannya mengajar.

Mod-nya pun naik turun kadang marah-marah gak jelas juga kesal sendiri dan juga kadang nangis dengan hal-hal receh disekitarnya yang paling parah kadang dia uring-uringan sendiri memikirkan hal yang tidak penting, seperti orang datang bulan saja.

Ah iya datang bulan, aku baru ingat kalau 'jatah ranjangku' sangat lancar sekarang, malahan lebih bila ada waktu luang dan Dek Evi terlihat menggoda, eh emang kapan sih Dek Evi tak terlihat menggoda? Selancar itu dalam hampir dua bulan ini.

Mau berharap Dek Evi hamil dan menyuruhnya tes, tapi aku takut dia kecewa dan berakhir menangis yang susah untuk dibujuk, apa lagi akhir-akhir ini mood-nya terlihat buruk.

"Istrimu emang lucu Bi, Umi seneng bisa kenal apa lagi jadi mertuanya sekarang, pilihanmu memang tepat." Aku tersenyum manis, se-sayang itu Umi pada Dek Evi.

"Tapi gemuknya cuman dibeberapa bagian loh Bi, cuman di payudara, bokong sama pipinya yang tambah embem itu, lainnya enggak tuh masih sama emang ya bentuk tubuh Dek Evi bagus banget sama kayak Mbaknya si Eva, sekarang dia terlihat kayak orang kota beneran setelah nikah sama sumainya yang sekarang, Eva sama Evi bener-bener kayak orang korea."

Iya, aku menyadarinya kalau Dek Evi yang gemuk hanya diberapa bagian saja, lainnya masih sama seawal menikah dulu, apa mungkin bener karena sering diremes ya?

"Om-om! Pergi ke toko yuk, beli jajan!" Tiba-tiba Vino datang bersama Mas Zidan yang mungkin selesai mandi itu, dia datang bersemangat ke arahku mengajak jalan-jalan.

"Arka ikut!" Satu lagi anak yang datang padaku dengan ceria, ku letakan Anin pada Mbak Risma dan mulai memandang kedua anak kecil yang kini menampilkan raut menggemaskan.

"Eh gak boleh! Kamu kalau beli-beli suka banyak 'kan kasian Om-nya." Larangan itu dari Mbak Risma untuk Arka anaknya, anak itu mengerucut bibir membuat semakin menggemaskan dan tak bisa aku tolak.

"Tanya gih Ate-nya, minta dia ikut kalau mau ayo kita ke toko." Dua anak itu mengangguk semangat dan berlari memeluk Dek Evi yang bermain ponselnya ada yang dari belakang juga depan secara tiba-tiba, membuat dia terkejut dan hampir terjungkal bila tak bertumpu dengan tangannya, mataku melotot, bar-bar sekali anak-anak itu.


[B E R S A M B U N G]

Yok awali malammu dengan baca cerita Mas Arbi! Biar halunya lancar😆 juga siapa tau 'kan tiba-tiba nanti malam Mas Arbi datang dimimpimu😁

Spam emot😈 biar Kak Bi cepet Up!

Jangan sider dong🔪‼

Ajak temen kalian semua buat baca cerita ini juga ya (: Biar tambah banyak pembacanya dan Kak Bi cepet Up!

Share juga ke medsos kalian bila suka sama ceritanya ;) Kak Bi seneng kok kalau cerita ini sampai di mana-mana>_<

Follow
Ig: qn_vhi17
    : vinbi_17

Salam Manis💋
Kak Bi😈

Continue Reading

You'll Also Like

292K 21.8K 34
Namanya Camelia Anjani. Seorang mahasiswi fakultas psikologi yang sedang giat-giatnya menyelesaikan tugas akhir dalam masa perkuliahan. Siapa sangka...
5.1M 382K 54
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
692K 32.4K 47
selamat datang dilapak ceritaku. 🌻FOLLOW SEBELUM MEMBACA🌻 "Premannya udah pergi, sampai kapan mau gini terus?!" ujar Bintang pada gadis di hadapann...
1.4M 67.3K 24
semua part pendek. "JIKA MENCINTAI TAK HARUS MEMILIKI, MAKA BOLEHKAN SAYA MENGHAMILIMU TANPA MENIKAH" Bimanuel Dirgantara. "GUE BUKAN HOMO BANGSAT"...