The Little Redhood and The Va...

By Swan_Odette

3.2K 319 560

"Saat purnama bersinar, hutan akan menghasilkan jeritan nanar." Di kedalaman hutan, terdapatlah seorang gadis... More

Prolog
Chapter 1 : Nona bertudung merah
Chapter 2 : Putri Angsa
Chapter 3 : Misi pertama
Chapter 4 : Mage
Chapter 5 : Eternal Love
Chapter 6 : Elf dan Orc
Chapter 7 : Pangeran yang Dicuri
Chapter 8 : Bertemu Teman Lama
Chapter 9 : Cahaya Fajar
Chapter 11 : Kencan Teraneh
Chapter 12 : Sisi Lain
Chapter 13 : Manusia Setengah Serigala
Chapter 14 : Umpan
Chapter 15 : Penyusup
Chapter 17 : Pertarungan Terakhir (2)
Chapter 16 : Pertarungan Terakhir (1)
Chapter 18 : Pertarungan Terakhir (3)
Chapter 19 : Pertarungan Terakhir (4)
Chapter 20 : Pertarungan Terakhir (5)
Chapter 21 : Pertarungan Terakhir (6)
Chapter 22 : Pertarungan Terakhir (7)
Epilog

Chapter 10 : Mimpi Buruk yang Lolos

140 13 22
By Swan_Odette

"Hei, kumohon bangunlah!" teriak gadis itu dengan isak tangisnya dengan laki-laki yang telah sekarat di pangkuannya.

"Kau... hikss... kau bilang akan menemaniku hingga akhir hikss... dimana janjimu itu?!"

"Ma...af..." ucap laki-laki itu tersenyum lemah sambil mengelus pipi dan mengusap airmata gadis itu dengan tangannya yang bersimbah darah.

"Tidak! Tidak! Kumohon jangan tinggalkan aku!" gadis itu masih setia dengan tangisnya. Ia benar-benar tak rela jika laki-laki itu pergi dari sisinya.

"Jangan tinggalkan aku... hikss... Kumohon...."

Tangan laki-laki tersebut yang berada dipipi gadis itu kini terjatuh, kini tak ada lagi tenaga didalam tubuhnya, matanya pun terpejam.

Gadis itu tercengang, ia mengguncang tubuh laki-laki itu dengan kuat berharap laki-laki itu akan bangun.

Tapi ternyata, laki-laki itu tetap diam. Tak menunjukkan reaksi apapun.

"Hei, hei, hei, kenapa kau tak bangun?! Hikss jawab aku!!"

Gadis itu menangis meraung-raung. Ia tak bisa hidup seperti ini, jika laki-laki yang ia cintai sepenuh hati— tidak sepenuh jiwanya kini meninggalkannya.

Dengan air mata yang bercampur dengan darah di pipinya, ia mengambil senjata kesayangannya yang terletak disampingnya.

Ia meraih senjata itu, kemudian mengayunkannya keatas, lalu menusuk dirinya sendiri dengan senjata itu.

Darah bercucuran dimana-mana, kini gadis itu mulai ambruk disebelah laki-laki itu.

Dengan kata-kata terakhirnya. "Aku akan selalu mengikutimu, kemanapun kau berada."

Dan sampai akhirnya, kelopak matanya pun terpejam.

Menyusul orang yang telah meninggalkannya tanpa pamit.

"Aku harap, aku berkesempatan untuk menemui lagi di kehidupanku selanjutnya...."

.
.
.
.

"!"

Ruby terkesiap dari tidurnya hingga ia langsung terduduk di atas ranjang empuk. Kepalanya pusing, dan peluhnya meluncur deras dari pelipisnya.

Cahaya matahari menerangi wajahnya yang pucat sehingga membuat gadis bersurai pirang itu menghalangi akses cahaya yang menyentuh netra hijau terangnya.

Dadanya terasa sesak, udara pagi ternyata tidak membuatnya merasa lebih baik setelah mengalami mimpi buruk itu. Dia melihat lelaki...

Dia melihat Granger meninggalkannya--

Tidak! Itu hanyalah mimpi!  Ya, hanya mimpi. Karena Granger tengah berada di hadapannya saat ini sembari terlelap di sofa kecil yang terletak di sudut ruangan.

Ruby baru saja ingin menggerakkan tubuhnya untuk turun dari ranjang, tapi rasa sakit di lengan kanannya seketika menusuk sehingga membuat gadis itu meringis dan sontak mencengkram kain selimut putih yang telah setia menghalangi hawa dingin menyentuh kulitnya.

Pergerakan ringan Ruby membuat Granger membuka matanya sehingga iris merah terpampang ketika kelopak mata lelaki itu terangkat.

Tanpa aba-aba lagi, Granger mendekati gadisnya kemudian berjongkok di depan Ruby yang tengah duduk di pinggiran ranjang sembari tertunduk.

Diraihnya tangan gadis itu yang dingin, kemudian mendongak untuk menghadapnya.

"Kau sudah baikan?" tanyanya tenang.

Manik matanya tak lepas dari iris hijau terang yang redup itu yang tengah mengalihkan perhatian ke arah lain.

"Di...." Ruby membuka mulutnya untuk berbicara, namun alhasil suaranya tercekat. Ia menarik napas, kemudian kembali berbicara. "Dimana... kita?" lirihnya.

"Rumah Lesley. Aku awalnya ingin membawamu pulang ke rumahmu, tapi tak tahu di mana."  Granger menjawab, namun ia masih belum mendapatkan respon dari pandangan Ruby.

Ruby akhirnya menatap Granger yang sedari tadi memandanginya. Ia harus memastikan satu hal.
"Dimana Pale Tusk? Dia sudah mati, kan?"

Pertanyaan itu, berhasil membuat Granger terdiam. Sudah pasti, hal itu akan ditanyakan oleh Ruby.

Tiga hari sudah berlalu sejak kejadian mengerikan itu, dan selama itulah Granger menahan kekesalannya ketika Ruby terbaring lemah dan terserang demam tinggi yang parah.

Ia... benar-benar tak terima akibat perbuatan dari pemimpin para serigala itu.

Flashback on

Granger mendapati Ruby telah menutup mata dalam pelukannya, tenaga gadis itu pun telah lenyap hingga ia harus menahan bobot tubuh gadisnya.

Tapi sebelum itu, sebuah suara di belakangnya membuat ia terusik hingga ia memutar kepalanya.

Granger terkesiap ketika mendapati sosok yang baru saja terbaring dengan perut berlubang yang sudah ia tembak menghilang bak debu. Cahaya fajar menyingsing tetapi tak dapat merekam jejak mahluk itu.

Pale Tusk baru saja melarikan diri darinya. Mahluk itu belum kalah, dan sudah pasti akan kembali menagih balas dendam.

Granger ingin bergerak mengejar mahluk itu yang mungkin jaraknya belum jauh dari sini.

Tapi, melihat keadaan Ruby yang sama sekali tak berdaya dengan darah kering yang menempel di tubuhnya, membuat lelaki itu mengurungkan niatnya.

Dia lantas mengangkut Ruby dengan menyelipkan tangannya di belakang tengkuk lutut gadis itu dan juga tengkuk lehernya.

Terutama, keselamatan kekasihnya adalah prioritasnya saat ini.

Flashback off

"Jawab. Apa Pale Tusk sudah mati?" Ruby mengulangi pertanyaannya ketika mendapati Granger yang terdiam mengatup bibirnya.

Pagi yang dipenuhi kicauan burung dan cahaya yang masuk melalui jendela tak bisa menghangatkan suasana di antara mereka. Situasi tidaklah sama seperti waktu-waktu yang lalu.

"Dia lolos."

Ruby membeliakkan matanya terkejut bukan main. Tangan kanannya semakin kuat mencengkram kain sprei yang ada di bawahnya. Harapannya dan usahanya seakan tengah dipermainkan saat ini.

Pale Tusk lolos? Setelah ia hampir saja kehilangan kewarasannya malam itu dengan trauma yang mencekiknya? Seusai mahluk itu melukai teman-temannya? Mahluk itu... tidak mati?

"Jangan bercanda," Ruby menggeram kesal. Granger dapat merasakan cekalan gadis itu meremat tangan miliknya dengan sangat kuat sehingga rasanya tulang-tulang jarinya akan patah saat ini juga.

Namun lelaki bersurai hitam itu hanya diam tak bersuara.

"Jangan bercanda! Bagaimana dia bisa lolos?! Padahal seharusnya dia sudah mati!" teriaknya menggema di ruangan itu. "Jika begini, bagaimana caraku menepati janjiku terhadap ibu, ayah, kakek, dan nenek? Bagaimana?" lirihnya menjatuhkan buliran air dari matanya.

Penutup mata sebelahnya kini menjadi basah karena isakan halus.

"Sudah... tidak ada yang bisa kulakukan. Aku lemah... aku tidak sebanding dengannya.... Aku... tidak bisa menepati janjiku.... Mereka semua... telah meninggalkanku."

Ruby menarik tangannya dari genggaman Granger kemudian menutupi wajahnya yang tengah menangis dengan kedua telapak tangannya.

"Ada aku," jawab Granger sembari menarik kedua tangan gadis itu sehingga wajahnya terpampang jelas. "Ada aku, Lesley, Gusion, dan teman-temanmu yang lain. Mereka semua masih bersamamu."

Ruby mengangkat kelopak matanya yang terasa berat karena bulumata lengasnya, ia kemudian menatap Granger dengan bibirnya yang terkatup.

"Kau tidaklah lemah, dan kau masih bisa berusaha untuk mengalahkannya. Kami akan membantumu, aku akan membantumu. Kita akan mengalahkannya bersama-sama," papar Granger.

Ruby mulai menghentikan tangisannya, kemudian ia menatap Granger yang ada tepat di hadapannya. "Kau tidak akan meninggalkanku, bukan?" desaknya.

"Tidak akan," Granger menjawab cepat.

Sebuah lengkungan senyum kini mulai tertarik dari kedua sudut bibir Ruby. Ingatannya tentang mimpi itu dan kekesalannya ketika mendapati Pale Tusk masih saja belum terbunuh, hilang seketika.

"Kau janji, ya? Sebagai lelaki kau tak boleh mengingkari janjimu," Ruby memaksa dengan iris hijau terangnya yang mulai menghangat.

"Tentu saja, Nona pendek," Granger berdiri kemudian mengusap pucuk kepala gadis bersurai pirang tersebut.

"Baiklah, aku juga berjanji kalau aku akan mengikutimu kemana pun kau pergi!" Ruby kini berdiri tegak dan mulai mendekap kekasihnya dan tersenyum manis.

"Heh? Kalau begitu kau juga akan mengikutiku ketika aku hendak mandi?"

"Tentu saja tidak, bodoh!" Ruby menolak dengan cepat dan membungkam mulut lelaki di hadapannya ini yang telah mengatakan hal yang memalukan.

Tak lama, mereka berdua tertawa setelah sekian lama terhadap satu sama lain. Granger menunduk kemudian menangkup wajah Ruby dan menghapus airmata gadis itu yang sudah mulai mengering.

Di luar ruangan, seorang gadis bersurai merah berkepang yang tengah bersedekap sembari menguping pembicaraan pun ikut tersenyum dalam diam.

"Teruslah tertawa, selalu," gumamnya menatap dalam manik hijau yang besar itu.

Ruby menjinjit untuk meraih bibir yang telah menenangkannya dari masa masa lalu yang kelam. Sedikit lagi... gadis itu bahkan telah mengalungkan tangannya di tengkuk Granger dan menutup mata--

Blam!!

"Selamat pagi!! Apa kabar kalian? Pagi ini sangat cerah bukan? Ayo kita sarapan bersama-sama!!" seru Lesley.

Ia membanting pintu dengan keras sehingga membuat kedua manusia yang awalnya berdekatan pada satu sama lain kini menjauh terpental karena kaget.

"Aku tidak mengganggu waktu kalian, kan?" tanyanya jail tak lupa dengan sendok sayur kayu di tangannya yang ia arahkan ke bibirnya.

Matanya kini terpelotot ketika melihat ke arah tangan kanan Ruby. "Ruby, tanganmu!!" kagetnya.

Ruby kini melihat lengan kanannya yang dibalut perban putih. Ternyata lukanya kembali terbuka dan hal itu menyebabkan darah mulai mengalir ke ujung jarinya.

"Hoi, kenapa kau tidak bilang apa-apa?!" Granger langsung beranjak untuk mengambil kain dan air hangat beserta perban baru untuk luka di tangan Ruby.

"Astaga kau ini, bagaimana bisa kau tidak sadar tanganmu terluka?" Lesley pun mendekatinya karena khawatir.

Itu karena aku ingin sekali ciuman tadi, batin Ruby.

❤️

"Lesley, aaa~" Gusion bersiap menerima suapan bubur dari Lesley.

Gadis berambut merah kepang itu dengan telaten menyuapi kekasihnya karena Gusion beralasan bahwa ia tidak bisa menggerakkan tangannya karena bahunya masih terasa sakit.

Ruby terpaksa memasukkan sesendok bubur di mulutnya dengan tangan kirinya. Hambar.

Padahal sebenarnya bubur yang dimasak Lesley tergolong enak, tapi entah kenapa Ruby malah merasakan hambar.

"Hei, kenapa tidak kau coba suapi aku seperti dia?" Ruby bergumam sambil menatap makanannya tak selera.

"Tanganmu masih berfungsi, tak ada alasan untuk menyuapimu," Granger menjawab sama-sama  fokus dengan makanannya.

"Tapi tanganku sakit," keluh Ruby mulai menghadap lelaki bersurai hitam itu.

"Pakai tangan kiri," balas Granger.

"Tapi tangan kiriku terasa kaku."

"Lenturkan."

"Ck!" Ruby berdecak kesal kemudian kembali memakan semangkuk bubur di tangannya dengan cepat hingga habis tak bersisa.

Lesley terkekeh, kemudian ia pun menyodorkan sesuap bubur ke arah Ruby. "Ruby, aaa," ujarnya mengode.

Ruby lantas membuka mulutnya dan melahap sesuap bubur yang diberikan Lesley.

"Lesley! Kenapa kau berikan padanya?! Itu bagianku, kau tidak boleh-- ump!" Gusion langsung terbungkam dengan suapan bubur yang Lesley berikan padanya.

"Hei! Kau menggunakan sendok bekas miliknya untuk menyuapiku?! Kau tega--"

"Tentu saja tidak, Gusion. Aku menggunakan sendok lain saat menyuapi Ruby. Tidak mungkin juga aku menyuapinya dengan sendok bekas milikmu, atau Ruby bisa tertular oleh kegilaanmu," cecar Lesley.

Ruby tergelak mengejek Gusion.

"Cih, membuatku kesal saja," Gusion berdecih. Lelaki berambut coklat itu lantas bersedekap.

"Oh iya, bagaimana keadaan di istana Moniyan, Granger? Apa para pasukan Dark Abyss sudah menyerah? Bagaimana keadaan Putri Silvanna?" Lesley bertanya.

"Pasukan Abyss tidak lagi menyerang istana, namun keadaan Putri Silvanna sepertinya tengah buruk," jawab Granger.

Putri Silvanna? batin Ruby.

Entah kenapa ia rasanya tidak asing dengan nama itu. Di mana dia pernah mendengarnya?

Ruby mencoba mengingat-ingat di mana dia melihat nama itu, dan seketika ia baru sadar.

Ya, putri Silvanna adalah orang yang mengirim surat pada Granger ketika mereka berpisah untuk melakukan tugas masing-masing.

Ternyata Lesley juga mengenalnya? Atau hanya dirinya saja yang selama ini ketinggalan kabar karena tak terlalu peduli?

Entahlah.

"Buruk? Putri Silvanna terluka?" Lesley menopang dagunya di atas meja makan setelah selesai menyuapi Gusion.

"Bukan itu. Pemimpin Dark Abyss ternyata benar adalah pangeran yang hilang. Adik putri Silvanna," jelas Granger.

"Serius?!" tanya Lesley dan Gusion bersamaan.

"Ya, sepertinya dia dipengaruhi oleh pasukan Dark Abyss lain menggunakan sebuah permata."

"Permata? Bagaimana cara memengaruhi orang melalui sebuah permata?" Ruby heran.

"Aku tidak tahu jelas. Tapi aku melihat ujung tombak putri Silvanna ketika menghancurkan permata yang tertempel di dada pangeran itu, pangeran itu seakan kembali ke sisi manusianya."

"Lalu apa yang terjadi? Apa pangeran itu sudah kembali ke istana?" Gusion bersandar di kursi makannya.

"Tidak, dia justru kembali ke Abyss. Dan aku yakin mereka pasti akan kembali untuk merebut Moniyan," Granger menyeruput tehnya.

"Jadi apa yang akan dilakukan Moniyan mulai sekarang? Jika pangeran itu masih berpihak pada Abyss, maka bukankah dia harus disingkirkan?" Ruby membuka suara.

Sontak, ketiga dari mereka sontak menoleh ke arahnya.

"Menyelamatkan Moniyan... atau menghabisi darah daging mereka sendiri, yang mana yang akan dipilih oleh pihak kerajaan mulai sekarang?"

🎻

Setelah beberapa hari beristirahat dan memulihkan lukanya, Ruby akhirnya bisa merasa sehat dan segar kembali.

Ia dan Granger baru saja pergi dari rumah Gusion dan Lesley untuk melanjutkan misi mereka selanjutnya.

Ruby menarik tangannya ke atas dan meregangkan tubuhnya, sembari menghirup udara segar yang bertebaran. Seperti biasa, ia kembali menenteng sabitnya di punggungnya.

"Hiya, akhirnya aku benar-benar merasa bertenaga kembali," ujarnya dengan senyum lebar.

"Tentu saja, kau selalu menghabisi sisa makanan yang dibuat oleh Lesley," celetuk Granger.

"Itu karena masakan Lesley sangat enak, jadi sayang jika tidak dihabiskan," balas Ruby.

Ia kemudian menatap pemandangan langit biru dengan netra hijaunya. Suasana pagi sangat menenangkan, sangat berbeda dengan malam.

Ya... malam panjang yang menyesakkan... sama seperti malam berdarah di mana musuh terbesar belum terkalahkan--

Tidak, untuk sekarang Ruby tak ingin memikirkannya. Ia hanya ingin menghabiskan hari dengan suasana hati yang baik. Ia tidak akan membiarkan hal buruk menodai waktu berharganya.

"Jadi, kita sekarang akan pergi ke Azrya Woodlands untuk melapor pada Raja Estes?"

"Ya, itu rencanaku sebelumnya," Granger menjawab.

"Sebelumnya?" Ruby menoleh ke arah lelaki yang tengah berjalan di sampingnya sambil menutupi pucuk kepalanya dengan tudungnya.

"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, jika kau mau."

Ruby mengangkat satu alisnya, "memangnya kau mau membawaku ke mana?"

Granger menyingkap dahan pohon yang menghalangi jalannya sehingga cahaya matahari tanpa izin menyentuh netra merahnya.

"Jalan-jalan ke kota Lumina."

.
.
.
.
.

End of chapter 10
Publish, 7 November 2021.

Entah kenapa sekarang perasaan waktu cepat banget berlalu, ya?

Eh, kok curhat :')

Btw, cuman mau nanya nih sama temen-temen.

Kalian tim yang suka Granger sama Ruby doang atau terserah Granger sama siapa aja?

Kalau kalian tertarik ngejawab, tulis di komen aja hehe. Soalnya pengin denger pendapat kalian :)

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Semoga hari kalian menyenangkan! ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

2.1K 1.6K 31
Budidayakan follow dan vote sebelum membaca yaaww Rank #3 in rembulan 28-12-2023 Rank #2 in rembulan 09-01-2024 Rank #1 in rembulan 13-01-2024
3.5K 804 41
Seo Ra tetap mampu bertahan ditengah rasa sakit dan banyaknya hinaan yang selama ini ia terima. Hanya karena ia terlahir berbeda, lantas banyak sekal...
304 199 4
Terjebak dalam sebuah dunia dalam restoran. Arin memikirkan cara mencari jalan keluar tuk pulang, bertahan hidup mati-matian dengan tenggat waktu yan...
16.2K 1K 24
Tim 7 dan Tim 10 pergi ke masa lalu karena sebuah gulungan yang dibuka oleh Boruto. Mereka datang ke zaman pemerintahan godaime hokage. saat mereka s...