Feeling Perfect

By diaryalna

2.6M 405K 39.3K

Gimana sih rasanya dijodohin sama cowok ganteng, paham agama, lemah lembut, cintanya tulus banget, tapi tunan... More

PROLOG
BAGIAN 1 : CALON ISTRI
BAGIAN 2 : KELULUSAN
BAGIAN 3 : DIJODOHIN?
BAGIAN 4 : HARI H
BAGIAN 5 : PINDAH RUMAH
BAGIAN 6 : MALAM PERTAMA
BAGIAN 7 : SISI LAIN QIA
BAGIAN 8 : UNGKAPAN CINTA
BAGIAN 9 : PERTEMUAN PERTAMA
BAGIAN 10 : CEMBURU?
BAGIAN 11 : SAKHA MARAH?
BAGIAN 12 : HADIAH DARI SAKHA
BAGIAN 13 : UNDANGAN PESTA
BAGIAN 14 : TELEDOR
BAGIAN 15 : UJIAN MENTAL
BAGIAN 16 : ORANG GILA!
BAGIAN 17 : SUNNAH HARI JUMAT
BAGIAN 18 : IMPIAN
BAGIAN 19 : SAKHA KENAPA?
BAGIAN 20 : PENJELASAN
BAGIAN 21 : MAAF
BAGIAN 22 : HAMIL?!
BAGIAN 23 : KESERUAN
BAGIAN 24 : USTADZ SAKHA
BAGIAN 26 : BERITA PERJODOHAN
BAGIAN 27 : BUNUH DIRI?
BAGIAN 28 : PERMAINAN
BAGIAN 29 : KADO PERNIKAHAN
BAGIAN 30 : TEROR?
BAGIAN 31 : DONOR MATA
BAGIAN 32 : HUJAN
BAGIAN 33 : KUE KERING
BAGIAN 34 : KECELAKAAN
BAGIAN 35 : TUGASNYA SELESAI
BAGIAN 36 : JANGAN PERGI
BAGIAN 37 : KENAPA BISA?
BAGIAN 38 : MERASA BERSALAH
BAGIAN 39 : MENGHILANG
BAGIAN 40 : PENYESALAN SESUNGGUHNYA
BAGIAN 41 : SEDEKAT NADI
EPILOG
SPECIAL PART

BAGIAN 25 : RAISA NEKAT

38.8K 7.6K 863
By diaryalna

Sebenarnya ini bisa jadi dua part, sih, tapi karena males ngedit dua kali, jadiin satu gapapa, kan?🤣

Bacanya pelan-pelan aja yaa, panjang soalnya. Hehe.

Mohon maaf sebelumnya kalau ada salah ketik di part ini maupun part sebelum-sebelumnya. Terima kasih banyak yang sudah bantu koreksi, ya 😊🙏🏻

Sayang kalian❤️

Selamat membaca!

Ambil baiknya, buang buruknya, ya⚠️

Bismillahirrahmanirrahim.

Bagian 25 : Raisa Nekat
____

Qia tak habis pikir sekaligus kesal. Awalnya ia ingin membantu Fatma memasak makanan atau mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Namun, baru juga membuka pintu, suara seseorang yang bukan merupakan anggota keluarga terdengar jelas di telinganya.

"Anaknya Ceu Ipeh pinter banget, lho, Ummah. Udah hafal tiga juz kalau Raisa gak salah."

"Oh, ya?"

"Iya, Ummah. Sama anaknya yang besar sudah mau nikah."

"Terus kamu udah ada calon belum?"

"Ya ... belum Ummah. Udah ada sebenarnya, tapi ya ... gitulah."

Setelahnya terdengar dua suara tawa yang saling bersahutan. Qia menghela napasnya. Menutup pintu kamar, tak jadi keluar.

Gadis dengan gamis polos dan hijab di kepalanya itu membalikkan badan menatap suaminya yang sedang mendengarkan sesuatu dengan earphone yang terpasang dengan alat perekam suara. Qia dapat menebak, jika laki-laki tengah belajar atau mengulang pelajaran.

Qia mendekati dan duduk di dekat Sakha yang bersandar di kepala kasur. Gadis itu memanyunkan bibirnya dengan tatapan melas. Detik berikutnya, ia mengambil bantal dan tanpa aba-aba meletakkannya di pangkuan Sakha.

Qia membenarkan posisinya dan rebahan dengan nyaman. "Mas Sakha hari ini ada agenda apa?" tanyanya manja, tidur terlentang memandangi wajah Sakha yang menawan.

Sakha terkekeh kecil. Melepas earphonenya kemudian menaruh seperangkat alat tersebut di atas nakas yang ada di sampingnya. Sakha mengusap ubun-ubun Qia dan tangan lainnya mengelus pipi.

"Dek Qia mau jalan-jalan lagi, hm?" Sakha balik bertanya, menunduk tapi tak sepenuhnya mengarah pada Qia.

"Mau, tapi capek."

"Kalau gitu Dek Qia istirahat aja."

"Pengen bantu Ummah, tapi ada Mbak Raisa."

"Raisa?" Sakha mengernyitkan dahinya, heran.

Qia mengangguk. Wajahnya amat menunjukkan raut tidak suka. "Gak tahu kenapa bisa sama Ummah. Qia, tuh, curiga sama dia."

"Curiga gimana? Ada buktinya gak?"

Qia bangun dari tidurnya. Ia menekuk wajahnya memandangi Sakha. "Gak ada, sih. Tapi, hati Qia kayak ada yang ganjel, terus gak enak aja gitu."

Sakha tersenyum tipis. "Perbanyak dzikir, Dek. Sering-sering ingat Allah biar hati kita tenang. Kalau kita ingat Allah, Allah akan ingat kita."

"Mungkin emang Qia kurang dzikir kali, ya, Mas?" Qia menaruh kembali kepalanya di atas kaki Sakha yang bersila dengan bantal sebagai alasnya.

"Iya." Sakha mengangguk sekali dan tetap tersenyum.

"Qia mau---"

Tok! Tok! Tok!

Ucapan Qia terpotong dengan suara ketukan pintu kamar. Keduanya menoleh ke asal suara. Setelah itu, Qia izin kepada Sakha untuk membukakan pintu. Sakha memperbolehkan, membuat gadis itu bergegas menghampiri pintu.

"Ummah?" Qia memandangi wajah seseorang yang berada di balik pintu. Wanita berjilbab itu tersenyum ketika menantunya keluar dari kamar.

"Qiara lagi sibuk?" tanya Fatma.

Qia menyengir ceria, hari ini memang ia tidak ada pekerjaan. "Enggak kok Ummah. Ada apa?"

"Itu ... Ummah mau minta tolong." Fatma mengambil dompetnya yang berada di saku gamis. "Kan, Ummah mau ke rumah tetangga buat bantu-bantu syukuran. Nah, Ummah minta tolong sama Qia, bisa tidak beli garam sama gula di warung ujung jalan?" tanyanya kemudian seraya memberikan uang kepada Qia.

Mendengar perintah itu, membuat Qia semakin bersemangat. Ia mengangguk tegas. "Bisa, Ummah!"

Fatma menyerahkan beberapa lembar uang, lantas Qia menerimanya. "Ini uangnya, ya. Ummah pamit dulu."

"Assalamualaikum," ucap Fatma sebelum angkat kaki. Qia mengangguk lagi sambil mencium tangan Fatma.

"Wa'alaikumussalam." Setelah mendengar jawaban salam, Fatma segera pergi.

Gadis itu melihat sekeliling. Ia mengernyit heran sambil menggigit bibir bawah. Rupanya, perempuan yang mengakui dirinya 'paling dekat' dengan Sakha itu sudah tidak ada lagi keberadaannya.

Akhirnya, Qia bisa bernafas dengan lega. Hatinya pun merasa tentram. Tidak ada lagi parasit pengganggu rumah tangga di rumah mertuanya ini. Setelah Qia menutup pintu dan membalikkan badan, ia terkesiap dengan kemunculan Sakha.

"Mau Mas temenin gak?" tanya laki-laki itu dengan seulas senyuman.

Qia menggeleng cepat. "Gak usah, Mas. Qia bisa sendiri, kok."

"Beneran?"

"Iya, Mas."

Qia memakai kaos kakinya terlebih dahulu, merapikan jilbab di depan kaca lemari pakaian. Sedangkan Sakha masih diam di tempat, tidak berpindah barang selangkah.

"Kalau gitu, Qia dulu pamit, ya, Mas." Qia meraih tangan Sakha lantas menciumnya cukup lama. "Assalamualaikum."

Sakha mengangguk, mengusap kepala Qia dengan lembut. "Wa'alaikumussalam. Fii amanillah."

Sebelum benar-benar pergi, Qia mencuri sebuah kecupan di bibir laki-laki itu. Lantas Qia melarikan diri keluar dari kamar kemudian menuju warung seraya tertawa puas.

Sakha terkekeh sambil geleng-geleng. Laki-laki itu menyentuh bibirnya sendiri dengan dada yang bergemuruh. Selang beberapa waktu, setelah keterdiamannya ia merasa haus ingin minum.

Sakha keluar dan menutup pintu. Ia berjalan hati-hati dengan tangan yang terus merambat pada tembok. Sampai akhirnya ia tiba di dapur. Mengambil gelas dan mengisinya di dispenser.

Mendengar ada suara derap langkah kaki, gelas yang belum terisi penuh dengan air itu Sakha letakkan di atas meja yang berada di dekatnya.

"Dek Qia balik lagi ada yang ketinggalan?" tanya Sakha sambil membalikkan badan.

Hening. Tidak ada suara yang menyahut, hanya deru napas tak beraturan yang tertangkap indra pendengaran Sakha. Tiba-tiba saja, ia merasa tubuhnya dipeluk oleh seseorang.

Sakha yang hafal betul aroma tubuh Qia, spontan melebarkan matanya kala orang asing memeluknya secara lancang. Hal itu membuat Sakha kesal bukan main.

Sakha dengan kuat mendorong tubuh gadis asing yang memeluknya sembarangan. "Si-siapa kamu? Lepaskan saya!"

Bertepatan dengan kalimat itu, pelukan pun terlepas. Si gadis limbung beberapa langkah ke belakang akibat dorongan kuat yang Sakha berikan.

Seolah tak tahu malu, gadis itu kembali memeluk Sakha. Darah Sakha mulai mendidih, ia mencoba melepaskan, tapi kali ini sedikit kesulitan.

Sakha merasa pengap. "Saya mohon lepaskan! Kita bukan mahram!"

"Kalau gitu, halalin Raisa, Mas!" ujar lantang si gadis melepaskan dekapan. Raut wajahnya terlihat begitu marah. Napasnya memburu kesal.

Suara itu jelas tak lagi asing untuk Sakha. Ia melebarkan mata saking tak percayanya. "Ra-raisa?"

"Iya, saya Raisa." Raisa menekan setiap katanya. Gadis itulah yang sejak kemarin mengintai Sakha dan Qia. Mengamati diam-diam, mencari kesempatan yang tepat untuk sampai di titik sekarang.

Raisa berbohong pada Fatma jika akan pulang, tapi nyatanya gadis itu masih berada di halaman rumah dan bersembunyi di suatu tempat. Melihat Qia keluar dari rumah, membuatnya yakin kalau itu adalah waktu yang tepat.

Motif Raisa nekat melakukan semua ini adalah karena terobsesi dengan Sakha. Sampai-sampai ia menghalalkan segala cara agar bisa memiliki Sakha. Raisa yang tahu seberapa besar fitnah wanita, membuatnya yakin rencana ini akan berhasil.

"Keluar dari rumah saya, Raisa!" tegas Sakha dengan rahang mengeras. Ia mengangkat tangannya, menunjuk pintu keluar. 

Raisa menyeringai, melipat kedua tangannya di depan. "Kalau saya tidak mau gimana?"

"RAISA!" Sakha semakin murka. Lelaki itu tak pernah semarah ini.

"Ya, Sayang?"

Sakha melotot. Raisa memang sudah kelewatan. "Apa-apaan kamu ini?! Saya minta keluar dari rumah ini sekarang juga!"

Intonasi bicara Sakha semakin tinggi, hal itu menimbulkan emosi. Raisa balik melotot tak setuju. "Enggak!" 

"Saya gak akan pergi kemana-mana. Raisa akan selalu dekat dengan Mas Sakha!"

Sakha muak. "Hentikan! Atau saya akan---"

"Akan apa? Di rumah ini sepi. Gak ada orang. Mau keluar? Sudah Raisa kunci rumahnya."

Mendengar pengakuan itu membuat suara Sakha merendah, hatinya mencelos. "A-apa?"

Raisa suka melihat ketidakberdayaan lelaki itu. Ia mendengus geli. "Iya, Mas. Sudah Raisa kunci. Biar gak ada seorang pun yang ganggu waktu kita berdua."

Raisa yang nekat, mencoba menyentuh wajah Sakha yang begitu tampan di matanya. Ia tersenyum. Merasakan ada pergerakan, Sakha langsung menepis tangan gadis itu.

"Cukup, Raisa! Kamu sudah kelewatan!"

Tak terima, Raisa pun mengeratkan rahangnya. "Mas Sakha yang kelewatan!"

Dada gadis itu naik-turun, napasnya tak beraturan dan cepat. Tangannya mengepal geram, menunjuk wajah Sakha. "Raisa itu cinta sama Mas. Tapi Mas Sakha malah menikah dengan gadis yang gak punya malu itu!"

Lelaki yang memakai baju lengan panjang itu semakin jengkel. Urat di leher dan tangannya terlihat timbul, menandakan amarahnya yang tertahan. "Kamu lebih gak punya rasa malu, Raisa!"

Raisa tertawa sumbang. "Begitu, kah? Sejak dulu kamu memang lucu Mas Sakha. Polos, naif, itu yang buat Raisa menyukai Mas."

Sakha memejamkan matanya, terus membaca doa dalam hati, meminta perlindungan kepada Allah. Mencoba mengontrol dirinya dan berpikir jernih mencari solusi. Reaksi tersebut disalah artikan oleh Raisa.

"Mukanya jangan tegang gitu, Mas. Gak bisa nahan diri, ya, digoda wanita secantik saya?"

Tangan Raisa yang nakal kembali berusaha menyentuh wajah Sakha sambil mengikis jarak. Sakha yang tahu betul jika orang di hadapannya melangkah mendekat. Segera saja ia menggeser kuat tubuh Raisa agar dirinya bisa lewat.

"Jangan sentuh saya!" Sakha memberikan peringatan lagi.

Sakha hendak melangkah pergi, tapi Raisa lebih dahulu mengetahui pergerakannya. Sehingga gadis itu dengan sengaja menyandung kaki Sakha. Laki-laki itu pun jatuh tersungkur.

"Aduh, Mas, kamu gapapa? Buru-buru banget, sih, mau kemana?" Raisa pura-pura khawatir, memandangi Sakha yang sudah terduduk di lantai.

Sakha tak berbicara lagi, ia bangkit sendiri. Ketika tangan Raisa terangkat dan sedikit lagi menyentuh Sakha, seseorang langsung menepisnya dengan kasar.

"Mau pergi jauh-jauh dari perempuan gak tahu diri kayak lo!"

Raisa tersentak dengan kedatangan seseorang yang tak diundang. "Waw, Qiara?"

Qia dengan cekatan menggandeng tangan Sakha yang sudah berdiri, membuat laki-laki itu berdiri di belakangnya.

Dahi Raisa mengernyit melihat Qia dari ujung kepala sampai kaki, menandakan keheranan. "Kenapa bisa---"

"Kenapa bisa gue sampe di sini, sementara lo kunci semua pintu dan jendela?" sambung Qia berhasil membaca pikiran perempuan tak tahu malu di hadapannya.

"Karena lo bodoh, tolol!" umpat gadis itu kelewat emosi. Melihat bagaimana Sakha jatuh disebabkan ulah Raisa, membuat Qia tak akan memaafkan perempuan itu. Sepertinya ada yang lebih gila dibandingkan tetangga depan rumahnya.

Sejak awal Qia sudah curiga. Perempuan ini seperti memiliki rencana jahat. Ternyata, dugaannya benar. Maka dari itu, ia tadi tak jadi pergi ke warung.

"Jaga ucapan kamu, ya! Saya lebih tua dari kamu!" Raisa menunjuk wajah Qia dengan mata melotot.

Qia mengalihkan pandangannya, tersenyum malas. "Orang yang gak bisa menghormati dan menghargai orang lain gak pantas menerima hormat dari siapapun!"

Raisa berdecih. Ia memiringkan wajahnya kemudian mendekatkan telinga ke arah Qia. Ia tersenyum mengejek. "Apa-apa? Gue gak denger."

Mendapatkan respons, Qia semakin tak tahan untuk tidak mengumpat. "Gak denger karena kuping lo ketutupan congek!"

"Berani lo sama gue, hah?!"

"Lo pikir gue takut ngelawan lo karena lo lebih tua dari gue? Gak, lah. Pelakor di muka bumi ini harus dihapuskan, walaupun sulit kayak memberantas orang yang korupsi!"

Plak!

Suara tamparan itu, membuat Sakha yang sejak tadi diam di tengah perdebatan, kembali angkat suara. "Apa yang kamu lakukan, Ra?! Ini sudah keterlaluan!" Sakha ingin maju membela, tapi Qia lebih dulu menghadangnya.

"Gapapa, Mas. Lebih baik Mas ke pintu utama aja, bukain pintu buat Abah dan yang lain."

Seharusnya sebelum Raisa datang, ia tidak membocorkan rahasia kepada siapapun. Mungkin karena Raisa sedang kalut atau tidak bisa menahan emosinya, di rumah ia keceplosan memberitahukan rencananya kepada orang tuanya.

Awalnya kedua orang tua Raisa juga tak percaya, tapi karena Raisa tak kunjung pulang, mereka terpaksa menghampiri. Sebelum Qia bisa masuk ke rumah lewat jendela kamarnya yang tidak dikunci---entah Raisa lupa atau tidak kepikiran---ia sempat melihat Abdul berjalan pulang dari kebun. Gadis itu yakin, mertuanya pasti sudah ada di luar.

"Ta-tapi Mas gak mungkin ninggalin Dek Qia."

Qia menggenggam tangan Sakha, meyakinkan laki-laki itu kalau tidak akan ada apa-napa.

"Gapapa, Mas. Jangan khawatirkan Qia. Qia bukan cewek lemah, kalau ngelawan setan kayak cewek satu ini." Gadis itu melirik sengit Raisa yang berdiri di belakangnya.

Qia kembali meyakinkan dengan senyuman. Mencium sekali tangan laki-laki itu. "Ada Allah yang selalu jaga Qia. Percaya sama Allah."

Sakha pun mengangguk. Meskipun hatinya semakin tak karuan dengan apa yang terjadi, ia tetap menjalankan saran Qia. Sakha berjalan dengan langkah sedikit cepat, menuju pintu utama.

"Mas Sakha, Mas!" jerit Raisa memanggil. Ia hendak menyusul Sakha, tapi langsung dihentikan oleh Qia.

Qia merentangkan tangannya, memblokir jalan Raisa. "Mau kemana, hm? Urusan kita belum selesai."

"Saya cuma punya urusan dengan separuh hati saya, bukan separuh makhluk gaib kayak kamu!" Raisa menunjuk wajah Qia.

"Ngaca! Siapa di sini yang setan?!"

Qia yang terlanjur tak dapat menahan emosi langsung menepis tangan Raisa. Mendorongnya kuat sampai punggung gadis itu terpentok pantry dapur.

"Mas Sakha itu suami gue, jadi urusan dia urusan gue juga!"

Raisa mencengkram erat sisi meja yang menghantam tubuhnya. Ia melirik sekilas dan mendapatkan sebuah pisau di atas meja. Diambilnya pisau tersebut dan lantas diarahkan pada Qia.

Qia yang tahu lebih dahulu mencoba menghindar ketika Raisa berusaha menghunuskan pisau dapur itu ke kepalanya. Memperoleh aksi nekat Raisa yang semakin membahayakan, membuat Qia lebih kalem dan tetap was-was.

"Mbak mau buat gue mati?"

Raisa mengangguk dengan tangannya yang memegang pisau, dicekal Qia. "Iya. Saya memang ingin melihat kamu mati. Sehingga Mas Sakha akan menjadi milik saya untuk selamanya."

Qia menghempaskan tangan Raisa. "Mbak sadar! Ini bukan novel, drama, film, atau bahkan sinetron yang sering Mbak tonton di channel ikan terbang, ya! Gak usah macem-macem!"

Raisa mengulas smirk. Mengangguk-angguk sambil mengangkat alisnya. "Boleh juga ide kamu. Saya bisa mencari inspirasi lewat itu semua."

"Ide, inspirasi, gundulmu!" Qia kembali tersulut emosi. Tapi, cepat-cepat ia mengontrolnya saat sudah tersadar. "Lagian kalau gue mati, Mas Sakha juga gak tentu mau sama Mbak Raisa."

"Tapi kalau kamu mati, saya puas!"

Raisa ingin menancapkan pisau ke leher Qia. Namun dengan cekatan gadis itu menahan pergelangan tangan Raisa. Yang dilakukannya ini, memang cukup berani.

"Mbak aja yang diam-diam di rumah gak usah keluyuran ke rumah mantan, ya."

Raisa mencoba melepaskan cekalan Qia di tangannya yang semakin erat. "Lepasin! Kalau enggak---"

"Raisa, apa yang kamu lakukan?!"

Semua orang datang dengan raut terkejut. Qia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil pisau dari tangan Raisa. Karena kurang hati-hati, Qia justru menggenggam mata pisau membuat luka gores di telapak tangannya. Namun, ia bisa sedikit bernapas lega karena pisau tersebut sudah jatuh ke lantai. Qia pun langsung menendangnya ke pinggiran.

"Apa yang kamu lakukan, Neng?" Seorang wanita paruh baya yang tidak Qia kenal, menghampiri Raisa dan menenangkan perempuan itu. "Kita pulang, ya?" Sang ibu langsung memeluknya.

"Dek Qia gapapa, kan?" tanya Sakha setibanya di belakang sang istri. Qia membalikkan badan, memegang tangan Sakha yang menyentuh pipinya.

"Gapapa, Mas. Mas juga gapapa, kan?" Gadis itu mengepalkan tangannya yang terluka, menyembunyikannya dari tatapan orang-orang.

"Alhamdullilah ...."

"Biarkan Sakha bahagia dengan istrinya, Neng. Jangan buat diri sendiri menderita, ya?" Ibunya Raisa mengelus kepala anaknya, berkata dengan penuh perhatian.

Saat itu juga, tangis Raisa pecah. "Enggak, Bu. Raisa maunya cuma sama Mas Sakha."

Qia yang tak tega, menghampiri Raisa. Mengelus pundak perempuan itu dengan tangan yang tak terluka. "Mbak Raisa pulang dulu, ya? Tenangin diri Mbak dulu. Insyaallah, saya yakin Mbak Raisa akan mendapatkan jodoh yang jauh lebih baik daripada Mas Sakha."

Raisa langsung mendongak menatap Qia. "Buat saya gak ada yang lebih baik dari Mas Sakha!"

Qia menghela napasnya. "Jodoh itu, kan, cerminan diri. Kalau Mbak Raisa gak dapet Mas Sakha, itu artinya Mbak Raisa terlalu baik buat Mas Sakha. Pasti Allah sedang menyiapkan laki-laki terbaik yang sepadan dengan Mbak yang baik."

"Mbak gak kasihan sama orang tua Mbak yang udah ngerawat Mbak sampai secantik dan sepintar kayak sekarang? Kalau Mbak kayak gini, pasti orang tua Mbak akan sedih. Apalagi Allah. Allah udah mempersiapkan takdir yang indah buat Mbak, terus Mbak sedih?"

"Ta-tapi ...." Ada sesuatu yang sepertinya mengganjal di hati Raisa.

"Abah akan memastikan bahwa kejadian ini tidak akan diketahui siapapun selain kita. Jadi, kamu tidak perlu cemas, Ra." Abdul angkat suara menjawab kecemasan Raisa.

"Nah, jadi Mbak jangan sedih lagi, ya?Coba, deh, Mbak move on dari apapun yang ada kaitannya sama Mas Sakha. Mbak sekarang fokus mendekatkan diri kepada Allah, supaya Allah memberikan apapun yang Mbak minta. Oke?"

Raisa mengangguk. Ia akhirnya mau dibawa pulang bersama ayah dan ibunya. Qia bernapas lega sembari memegangi dadanya.

Sakha tersenyum memegang bahu Qia. Qia membalas senyuman itu, serta menahan dirinya agar tidak meloloskan rintihan kesakitan. Namun sayangnya, Sakha yang tidak tahu apapun menurunkan tangannya dari pundak hingga menggenggam tangan Qia.

Sontak saja Qia mengerang. "Aaw! Aw!"

Sakha terkejut begitu pula dengan Ummah yang berdiri di belakang Sakha. Buru-buru wanita itu mendekat, sementara Sakha mencium tangannya yang basah terkena cairan.

"Darah. Kamu berdarah, Qia!" Fatma kalang kabut mengetahui tangan menantunya mengeluarkan cairan kental berwarna merah.

Qia menggigit bibirnya, menahan perih saat Fatma melihat lukanya. "Gapapa, Ummah. Cuma luka gores aja."

"Ini darahnya banyak Qia!" Fatma memandangi lantai yang terdapat darah yang menetes. "Kenapa Ummah gak sadar kalau tangan kamu dari tadi ngeluarin darah?"

"Kita ke puskesmas sekarang!" putus Sakha.

***

"Kenapa Mas yang kesini? Baru juga Qia mau nyusul ke ruang makan."

Qia menyibak selimut yang menutupi separuh tubuhnya, duduk bersandar di kepala kasur. Setelah kejadian menegangkan tadi, Qia disuruh beristirahat.

Sakha datang dengan tangan kanan yang membawa sepiring nasi dan tangan kirinya memegang segelas air. "Gapapa. Dek Qia istirahat aja."

Qia melihat suaminya meletakkan gelas di atas nakas, sampai duduk di sisi kasur, dekatnya. "Ummah masak apa, Mas?"

"Masak ayam goreng. Adek mau, kan?"

"Mau banget!" Qia mengangguk dengan senyuman lebar. Ia menatap ke piring yang dipegang Sakha. "Tapi kenapa porsinya banyak banget?"

"Mas suapin, ya?" Tangan Sakha sudah menyentuh nasi kemudian diambil menggunakan tiga jarinya.

"Ha?" Qia melongo sejenak. Ia lupa kalau tangan kanannya diperban akibat terkena pisau.

Sakha mengangguk dan tersenyum. "Iya, Sayang. Mas sengaja ambil banyak buat makan berdua."

"Sa---tu piring berdua?" Qia nampak ragu.

"Iya."

"Pake tangan?"

"Iya. Kenapa?" Tangan Sakha sudah mulai terangkat menuju mulut Qia, tapi tak jadi.

"Nanti tangan Mas kotor, dong. Terus kena mulut Qia juga. Nanti kalau Mas makan rasanya jadi gak enak gimana?" 

Sakha terkekeh sambil geleng-geleng. "Kenapa harus gak enak? Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam aja memberi anjuran untuk mandi bersama istri, masa makan aja gak bisa?"

Qia spontan memukul paha suaminya. Pipinya langsung bersemu merah. "Mas Sakha, ih!"

"Udah, sekarang makan, ya. Aaaa."

Tangan Sakha terangkat dan Qia pun menuntunnya agar tepat sasaran.

Tiba-tiba ide untuk melucu tercetus begitu saja di otak Qia saat mulutnya sibuk mengunyah. "Kan, ini udah makan bareng. Kalau nanti mandi bareng gimana?"

"Uhuk! Uhuk!"

Sakha yang mendengarnya langsung tersedak kunyahan nasi yang baru saja ia dimasukkan ke mulutnya sendiri.

____

TO BE CONTINUE.

Alurnya kecepatan gak, sih, menurut kalian?🤣

Kalau iya, maaf, ya. Kalau enggak alhamdulillah. Hehe😂

Ada yang mau disampaikan ke Raisa?

Atau ke Sakha/Qia?

Follow yuk!
@wp.diaryalna

Lanjut gak?

Semoga kalian selalu suka sama ceritanya🤗❤️

See you❤️

Continue Reading

You'll Also Like

ALHUDA By 𝑛𝑎

Teen Fiction

29.4K 1.3K 35
"𝑱𝒊𝒌𝒂 𝒅𝒉𝒖𝒉𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒑𝒆𝒓𝒕𝒆𝒎𝒖𝒌𝒂𝒏𝒌𝒖 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒎𝒖. 𝑩𝒊𝒂𝒓𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒂𝒉𝒂𝒋𝒖𝒅 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒏𝒈𝒊𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒎𝒖." -�...
1M 137K 53
Qiandra Nixie Xaquila, seorang gadis yang memiliki masa lalu buruk dan berusaha untuk berhijrah, ia adalah penulis buku, dan dirinya menulis buku ten...
463K 29.3K 53
Kisah ini adalah kisah seorang wanita yang bernama Nessa Diandra. Seorang wanita yang masih berusia 17 tahun, dan menjadi primadona di sekolah itu. S...
2.1M 87.7K 47
⚠ Cerita mengandung adegan kekerasan. (SUDAH TERBIT) beberapa part sudah di hapus. "Aku mengira bahwa kisah kita akan menjadi bahagia, aku mengira k...