Affection

Od sourpineapple_

481K 33.9K 449

COMPLETE - FOLLOW SEBELUM MEMBACA Mature Content (18+) so selection ur reading. *** Derana Gangga Mirabelle... Více

P R O L O G
BAB DUA
BAB TIGA
BAB EMPAT
BAB LIMA
BAB ENAM
BAB TUJUH
BAB DELAPAN
BAB SEMBILAN
BAB SEPULUH
BAB SEBELAS
BAB DUA BELAS
BAB TIGA BELAS
BAB EMPAT BELAS
BAB LIMA BELAS
BAB ENAM BELAS
BAB TUJUH BELAS
BAB DELAPAN BELAS
BAB SEMBILAN BELAS
BAB DUA PULUH
BAB DUA PULUH SATU
BAB DUA PULUH DUA
BAB DUA PULUH TIGA
BAB DUA PULUH EMPAT
BAB DUA PULUH LIMA
BAB DUA PULUH ENAM
BAB DUA PULUH TUJUH
BAB DUA PULUH DELAPAN
BAB DUA PULUH SEMBILAN
BAB TIGA PULUH
BAB TIGA PULUH SATU
BAB TIGA PULUH DUA
BAB TIGA PULUH TIGA
BAB TIGA PULUH EMPAT
BAB TIGA PULUH LIMA
BAB TIGA PULUH ENAM
BAB TIGA PULUH TUJUH
BAB TIGA PULUH DELAPAN
BAB TIGA PULUH SEMBILAN
BAB EMPAT PULUH
BAB EMPAT PULUH SATU
BAB EMPAT PULUH DUA
BAGIAN EMPAT PULUH TIGA
E P I L O G

BAB SATU

15.5K 981 5
Od sourpineapple_

Dengungan keras disertai cahaya terang dari luar berusaha menerobos memasuki mata sang empu yang terasa berat untuk terbuka. Kepalanya berdenyut nyeri, seiring terdengarnya suara bising dari mesin EKG, serta bau obat-obatan yang menyengat. Kedua iris cokelat gelap yang terpayungi bulu mata lentik itu bergerak kala kelopak matanya berhasil terbuka.

Mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk pada retinanya, hal pertama yang ia lihat adalah sebuah plafon putih sebagai langit-langit atap.

"Nyonya? Nyonya sudah sadar?" Suara tersebut berhasil menginterupsi dan mengalihkan atensinya. Kepalanya kembali berdenyut sakit, membuat wanita yang dipanggil dengan sebutan nyonya itu meringis, kembali menutup kelopak matanya.

"Sebentar, saya akan panggilkan Tuan," ujar wanita dengan seragam maid itu, menekan tombol call nurse sebelum menghubungi majikannya.

"Tuan, Nyonya sudah sadar," ujar wanita itu begitu teleponnya tersambung.

"Hm. Saya akan sampai lima menit lagi," balas sang empu dari seberang, menutup sepihak teleponnya, saat yang sama pintu ruangan terbuka menampakkan seorang dokter dan beberapa perawat mengikuti di belakangnya, mulai memeriksa si wanita yang saat ini tengah terbaring lemah di atas brankar rumah sakit.

"Ini ... dimana?" tanyanya dengan suara serak bergetar, menatap sekelilingnya dengan bingung.

"Rumah sakit, tempo lalu kamu kecelakaan dan sempat koma, syukurlah kamu sudah bangun, saya turut senang melihatnya," ujar sang dokter tersenyum setelah mengembalikan stetoskopnya.

"Kecelakaan? ... Koma?" tanyanya bingung, kembali meringis ia memegangi kepalanya yang terasa sakit ketika ia berusaha mengingat apa yang dikatakan oleh dokter muda itu.

Bertepatan saat itu, pintu ruangan kembali terbuka, menampakkan seorang pria bertubuh tegap yang masih lengkap dengan jas kantornya. "Dera?" ujarnya, mendekat ke arah brangkar, membuat dokter dan dua perawat itu sedikit bergeser memberi ruang.

"Dera?" ulang wanita itu, mengerutkan dahi, masih memegangi kepalanya yang terasa sakit. "Dera siapa? Kamu ... juga siapa?" tanyanya lagi, sukses membuat mereka yang berada di sana terkejut.

"Kamu tidak ingat saya? Sama sekali? Saya Jayden, suami kamu," ujar pria itu, membuat Dera memejamkan erat matanya, menggeleng beberapa kali.

Pria bernama Jayden itu memandang sang dokter dengan tatapan bertanya, sadar akan tatapan yang diberikan oleh keluarga pasiennya, dokter kembali mendekat, memeriksa dan menanyakan beberapa hal kepada Dera.

Dengan guratan wajah seperti tengah menahan rasa sakit, Dera hanya bisa menggeleng menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan sang dokter.

"Bisa bicara sebentar dengan saya?" ujar sang dokter tersenyum pada Jayden. Mengangguk, Jayden mengikuti langkah dokter muda itu, membiarkan perawat untuk melakukan pemeriksaan dengan infus serta mesin EKG, dan memindahkan Dera ke ruangan yang lain.

"Sebelumnya saya turut senang atas sadarnya istri anda, namun saya juga meminta maaf dengan adanya berita yang buruk ini, sepertinya cidera pada kepala pasien pasca kecelakaan tahun lalu membuat pasien harus kehilangan ingatannya secara total," ujar sang dokter.

Jayden hanya bergeming, mendengarkan dengan seksama apa yang diberitahukan oleh dokter padanya.

"Setelah ini pasien akan dipindahkan ke ruangan lain, dan melakukan pemeriksaan lebih lanjut, mungkin dua sampai tiga hari lagi pasien bisa pulang ke rumah," ujar sang dokter lagi.

Kali ini Jayden mengangguk. "Usahakan yang terbaik," ujar pria itu sebelum akhirnya beranjak dan keluar dari dalam ruangan milik sang dokter.

Membuang napas pelan, Jayden memijat pangkal hidungnya, kembali menuju ruangan dimana Dera berada, begitu membuka pintu ia mendapati wanita itu terlihat ketakutan menolak untuk dibawa oleh perawat.

"Tidak ... tidak mau, saya tidak mau," ujarnya menggeleng-geleng ketakutan.

"Tidak apa-apa, Ibu ... kami hanya ingin memindahkan Ibu ke ruang perawatan, untuk pemulihan..." ujar sang perawat berusaha menenangkan namun Dera tetap memberikan respons yang sama.

Tak bisa mengingat apapun bahkan siapa ia dan apa yang sudah terjadi membuat perasaan cemas serta takut menjalar di dadanya, sekalipun ada orang yang telah mengaku sebagai suaminya, bagi Dera ia tetaplah orang asing.

"Ada apa ini?" Suara Jayden menginterupsi membuat kedua perawat itu menoleh.

"Kami ingin memindahkan pasien ke ruang perawatan, untuk pemulihan, Pak, namun pasien bersikeras menolak," jelas salah satu dari mereka.

Jayden mendekat, dipandanginya wanita yang saat ini tengah menangis ketakutan itu. Apa ini Dera yang pernah Jayden kenal?

"Dera, tenang ya? Tidak perlu takut, ada saya di sini, saya yang temani kamu, kamu ingin sembuh 'kan? Kamu ingin mengingat semuanya lagi?" ujar Jayden turut menenangkan.

Dengan air mata berderai, Dera mengangguk. Ia ingin sembuh. Ia ingin mengingat semuanya.

"Kalau begitu, biarkan suster untuk memindahkan kamu. Saya di sini, saya menemani kamu, jangan takut, oke?" ujar Jayden lagi, akhirnya Dera menurut, wanita itu sudah sedikit lebih tenang tak lagi memberontak ketika dua perawat tadi mendorong brankarnya keluar dari dalam ruangan.

***

Setelah beberapa hari masih harus menetap di rumah sakit, kini Dera sudah diperbolehkan untuk pulang walaupun masih harus menggunakan kursi roda, karena terlalu lama berbaring membuat otot kakinya masih kaku untuk bisa berjalan normal seperti sebelumnya.

Namun sedikit demi sedikit Jayden sudah membantu Dera untuk berjalan, ketika wanita itu masih harus di rumah sakit untuk memudahkan dokter melihat perkembangannya.

Memasuki rumah yang besar nan mewah itu, iris cokelat gelapnya seolah enggan untuk berkedip, terpesona dengan keelokan bangunan serta megahnya rumah yang ia tebak adalah milik suaminya itu. Dera sendiri tak menyangka jika ia memiliki suami yang tampan dan kaya raya, juga perhatian— sejauh yang Dera tahu memang begitu, namun entah karakter asli suaminya itu seperti apa.

"Ini ... benar rumah kamu?" tanya Dera masih dengan rasa takjubnya memandangi sekitar, dimana ada kolam kecil dengan jembatan serta patung-patung burung bangau. Pekarangan luas dengan bunga-bunga serta pohon yang tumbuh dan terawat.

"Lalu rumah siapa lagi?" ujar Jayden terkekeh pelan, mendorong kursi roda itu masuk ke dalam rumah. Di dalam ia mendapati tiga bocah laki-laki tengah berkumpul ada yang bermain video game, ada yang sibuk makan camilan, dan ada juga yang tengah menyusun UNO.

Melihat ketiga bocah itu membuat Dera mengerjap beberapa kali, lantas mendongak pada Jayden. "Mereka siapa?" tanya wanita itu, membuat Jayden terdiam sejenak.

Menatap Dera dengan ekspresi yang sulit diartikan, pada akhirnya pria itu tersenyum kecil, menjawab, "Anak-anak saya," jawab Jayden, membuat kening Dera berkerut halus.

Anak-anak? Jadi ia sudah memiliki anak sebelumnya?

"Aku ... sudah punya anak?" tanya Dera, membuat Jayden sedikit keki, mungkin belum terbiasa dengan perbedaan sifat dan tingkah laku serta fakta jika wanita itu kini tengah kehilangan semua ingatannya.

"Mm— anak saya," jawab Jayden.

Butuh beberapa detik hingga Dera paham akan dua kata itu. Anak saya. Itu artinya Jayden dulunya adalah seorang duda, dan menikah dengan Dera?

Mengangguk paham, Dera tersenyum. "Boleh tolong bawa aku ke mereka?" tanya Dera, membuat Jayden bergeming. Sebelumnya ia sudah memberi tahu anak-anaknya, jika ibu tiri mereka sudah bangun, namun sesuai dugaan Jayden. Mereka tak peduli, ya ... kecuali Raiden, bocah laki-laki itu sempat menanyakan kabar Dera.

Jayden mengatakan jika Dera hilang ingatan, namun Jansen dan Jean tak percaya. Karena tak mau berdebat dengan anak-anaknya, Jayden hanya diam, membiarkan mereka dengan prasangka-prasangkanya sendiri.

"Dera, kamu masih harus banyak istirahat, kita ke kamar saja ya? Nanti saya akan menyuruh mereka untuk menjenguk kamu di kamar," ujar Jayden, menolak dengan halus, tanpa membuat Dera sadar jika itu adalah sebuah penolakan.

Membuang napas pelan, Dera memangguk, menatap ketiga pemuda yang sepertinya tak menyadari kehadirannya itu, ia mendongak sebentar pada Jayden yang melanjutkan langkah mendorong kursi rodanya menuju kamar.

"Kenapa mereka nggak jenguk aku waktu di rumah sakit?" tanya wanita itu membuat Jayden kembali bergeming.

Karena mereka takut sama kamu, Dera. Kamu sudah menyakiti mereka dulu.

Seandainya Jayden tak punya hati dan tak ingat akan kondisi Dera saat ini, sudah pasti ia akan mengatakan hal itu, namun yang ia lakukan hanya tersenyum tipis. "Mereka sibuk sekolah, kadang juga harus tidur sampai larut malam karena mengerjakan tugas, jadi mereka tidak sempat untuk menjenguk kamu," urai Jayden, membuat Dera mengangguk, tak lagi bertanya hal lain.

***

Jayden menghela napas pelan, sudah tahu tujuan dari putranya mendatanginya saat ini. Perhatian keduanya seolah enggan beralih dari sang ayah, hingga akhirnya Jayden membuka suara.

"Ada apa, Jansen, Jean?" tanyanya.

Keduanya saling berpandangan sesaat, sebelum Jansen menyahut. "Kenapa Daddy bawa dia ke sini? Jangan bilang kalau Daddy nggak jadi ceraiin dia," ujar Jansen, menagih penjelasan daddy-nya.

"Bukannya sudah Daddy bilang, jika Ibu kalian itu sedang kehilangan ingatannya, mana mungkin Daddy tega untuk menceraikannya sekarang? Paling tidak, nanti, setelah kondisinya membaik," ujar Jayden lagi.

Ibu katanya? Cih, memangnya masih pantas wanita itu mendapatkan sebutan ibu dari mereka? Jangankan mereka, untuk mendapat peran dan panggilan sebagai seorang ibu saja ia tidak layak.

Mendengkus, Jean ikut andil membuka suara. "Daddy percaya?"

Dahi Jayden berkerut halus. "Maksud kamu?"

"Daddy percaya kalau dia amnesia? Siapa yang bisa jamin kalau dia nggak lagi bikin drama sekarang?" ujar Jean lagi, mendapat anggukan setuju dari Jansen.

Lagi-lagi Jayden menghela napas pelan. Sebegitu besar pengaruh yang diberikan Dera dulu hingga membuat anak-anaknya sampai seperti ini. "Tidak baik berprasangka buruk seperti itu, mau bagaimana pun dia masih istri Daddy dan ibu kalian saat ini."

Jansen berdecih pelan nyaris tak kentara. "Ibu? Sampai kapanpun, kita nggak akan sudi sebut dia sebagai ibu," ujarnya, melirik pada Jean, memberi isyarat untuk keluar dari sini.

Mengangguk tipis, Jean mengikuti langkah Jansen yang sudah lebih dulu pergi meninggalkan ruang kerja Jayden. Sedang Jayden hanya bisa membuang napas sembari memijit pelipis menghadapi sikap putranya.

***

Duduk di balkon kamar yang menyuguhkan pemandangan luar, Dera mengambil napas dalam dan membuangnya perlahan. Setia memperhatikan bulan serta bintang-bintang yang bertaburan di langit. Tak tahu apa yang saat ini tengah sibuk mengisi benaknya.

Menyadari akan keberadaan istrinya di luar kamar, Jayden melonggokkan kepalanya, lantas tersenyum tipis dan mendekat, mengusap lengan Dera dari belakang. "Dingin, ayo masuk," ujar Jayden, membuat Dera spontan menoleh dan tersenyum.

"Anak-anak kenapa belum ke sini?" tanya Dera, membuat ekspresi Jayden berubah seketika, namun sebisa mungkin pria itu mengontrol air wajahnya.

"Sibuk ya? Mereka sedang apa sekarang?" tanya Dera lagi.

Jayden tersenyum sedikit kikuk. Bagaimana ia harus menjawabnya, jawaban apa yang bisa ia berikan? Tak mungkin ia mengatakan kalau anak-anaknya tidak ingin bertemu dengan Dera. Jayden juga tak bisa memaksa mereka. Posisinya jadi serba salah saat ini.

"Iya, mereka sedang belajar, mungkin besok pagi," ujar Jayden, berharap Dera tak curiga dengan jawaban yang ia berikan.

Membuang napas pelan, Dera tersenyum kecil dan mengangguk, mengangkat sebuah pigura yang tergeletak di pangkuannya. "Maaf, aku tadi mengambil ini di meja kamu," ujar Dera, menunjukkan sebuah bingkai foto yang berisikan tiga bocah laki-laki tengah tersenyum lebar ke arah kamera.

"Oh, tidak apa-apa," ujar Jayden.

Mengusap kaca pigura, Dera tersenyum. "Mereka namanya siapa?" tanya wanita itu, membuat Jayden ikut tersenyum, sedikit menunduk dan menunjuk setiap insan yang berada di dalam bingkai.

"Yang ini, Jansen, ini Jean, kalau yang kecil ini Raiden," ujar Jayden menyebutkan nama anak-anaknya. Rasanya aneh, seperti dejavu, dulu ia pernah mengenalkan anak-anaknya pada Dera, juga melalui foto sebelum wanita itu bertemu langsung dengan mereka.

"Sekarang kelas berapa?" tanya Dera lagi, masih memandangi figura itu.

"Kelas delapan SMP, mereka bertiga seumuran, kembar non identik," ujar Jayden, membuat iris Dera membulat, mendongak pada Jayden sebentar, merasa takjub akan fakta jika ketiganya adalah anak kembar.

"Mereka ganteng, mirip sekali dengan kamu," ujar Dera lagi, membuat Jayden sedikit terhenyak, lalu tertawa pelan.

"Produk keluarga saya memang tidak pernah ada yang gagal," kelakar Jayden, mengulangi tawanya. Seolah menular, Dera ikut tertawa mendengar kalimat percaya diri yang dilontarkan suaminya.

Selanjutnya, mereka saling bercengkrama, masih pada topik yang sama.

"Aku harap ... aku bisa lekas membaik dan mengingat semua kenangan yang sudah terjadi dulu," ujar Dera, tersenyum, membuat Jayden tertegun sesaat.

Dan saya harap, setelah mengingat semuanya, kamu juga menyesali apa yang telah kamu perbuat dulu, Dera, batin Jayden.

— AFFECTION —

please gimme vote/comments if you like my story.
i also post spoiler or anything on my instagram story, if you want, leggo follow: @shena.av

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

3.1K 191 11
Bagaimana perasaanmu ketika hamil anak seorang gay? "Kau tidak akan bisa merebut Max dariku" -Steven "Ambil, ambil aja sono. Kaga peduli gua" Demi...
93.5K 4.5K 24
•Total 23 chapters, termasuk extra parts. ⚠ Terdapat beberapa kata kasar Sejak awal laki-laki dengan iris abu-abu itu mampu menarik perhatianku hingg...
2.7K 251 16
[LENGKAP di Karya Karya] Lanjutan perjalanan cinta Mas Liam si Bucin 😘
134K 6.4K 16
"Ar, memangnya sedikit pun nama aku gak ada di hati kamu ya? Gak bisa sekali aja kamu liat aku?" Arjuna yang tengah sibuk dengan ponselnya seketika m...