Jeffrey, Don't Throw Me Away...

由 Dekdi_A

2M 323K 89.6K

[END] PART LENGKAP [TERSEDIA DI TOKO BUKU] Julian Rozeanne Pollin, seorang Lady bangsawan beruntung yang bera... 更多

TENTANG CERITA
Prolog
Jeffrey : 01
Jeffrey : 02
Jeffrey : 03
Jeffrey : 04
Jeffrey : 05
Jeffrey : 06
Jeffrey : 07
Jeffrey : 08
Jeffrey : 09
Jeffrey : 10
Jeffrey : 11
Jeffrey : 12
Jeffrey : 13
Jeffrey : 15
Jeffrey : 16
Jeffrey : 17
Jeffrey : 18
Jeffrey : 19
Jeffrey : 20
Jeffrey : 21
Jeffrey : 22
Jeffrey : 23
Jeffrey : 24
Jeffrey : 25
Jeffrey : 26
Jeffrey : 27
Jeffrey : 28
Jeffrey : 29
Jeffrey : 30
Jeffrey : 31
Jeffrey : 32
Jeffrey : 33
Jeffrey : 34
Jeffrey : 35
Jeffrey : 36
Jeffrey : 37 [END]
NEW UPDATE !
INFO PRE-ORDER JEFFREY
SPESIAL PO JEFFREY

Jeffrey : 14

46.9K 8.1K 2.3K
由 Dekdi_A

            Pernikahan akan diselenggaran beberapa hari lagi. Seperti yang telah dijanjikan, Raja Deros membawa Alice datang ke istana. Gadis itu senang, tapi di sisi lain juga khawatir, mengingat setelah perang di utara selesai, banyak rumor yang menyebar tentang calon Raja Narenth V. Kabar tersebut sampai di telinga Alice—bahkan gadis itu menyaksikan sendiri kepala Lord Elwin bergelantungan di pengadilan pusat. Ia merinding, "Meski kata Nona Maria beliau sangat tampan, tapi tetap saja saya tidak bisa membayangkan wajahnya."

"Percayalah, dari segi wajah, tidak ada pria yang lebih baik dari Yang Mulia." Emma membantu Julian memilih gaun untuk upacara pemberkatan. "Ini cocok dengan Anda, Putri."

Julian mengambil gaun yang telah dipilihkan oleh Emma. "Alice... jangan khawatir. Aku cukup bahagia sekarang."

Julian tahu, Alice sangat mengkhawatrikannya. Julian berjalan terlalu jauh, terlalu tinggi dari tempatnya berasal. Menjadi seorang Ratu adalah hal yang sulit ia bayangkan, meski ia mengulang kehidupan. Semuanya masih terasa seperti mimpi.

"Jangan memikirkan apapun. Kau harus belajar dengan baik di akademi." Julian tersenyum menenangkan.

Alice mengangguk, ia berusaha menahan air matanya. Lady yang ia sayangi akan menikah dan menjadi seorang Ratu. Ia harus berusaha keras jika ingin berada di sisi beliau. Alice pun kembali membantu Maria untuk menyiapkan wewangian. Karena pernikahan dua hari lagi, Lady Rozeanne fokus merawat tubuhnya.

"Kulit Anda sangat bagus. Tidak ada satu noda setitik pun," puji Maria.

"Aku punya tanda lahir. Tidak kah kau melihatnya?"

"Tanda lahir itu membuat punggung Anda semakin cantik."

Alice yang mendengarnya tersenyum lebar. Jika orang-orang itu tahu seperti apa bentuk punggung Lady Rozeanne di masa lalu, pasti mereka tidak akan berbicara seperti ini. Alice sangat senang luka-luka itu menghilang.

"Oh iya Putri... kediaman Putra Mahkota meminta Anda memberitahu gaun yang akan dipilih. Yang Mulia harus mencocokan setelan."

"Untuk pemberkatan warna putih, pesta dansa aku akan memakai warna biru."

"Baik, akan saya sampaikan."

Alice yang mendengarnya langsung mendekat. "Boleh saya ikut? Saya ingin melihat Yang Mulia."

Julian tersenyum, "Tentu saja. Pergilah dengan Emma."

"Terima kasih, Putri." Alice langsung merapikan pakaiannya, lalu menyusul Emma. "Yang Mulia jarang di istana. Aku pun hanya melihat wajahnya sekitar 5 atau 6 kali."

"Benarkah?"

"Hem, semoga saja hari ini beliau ada di istana."

Alice mengangguk. Karena statusnya, ia tidak bisa hadir di pernikahan Lady Rozeanne. Apalagi besok adalah hari dimana ia pergi ke akademi yang mengharuskan Alice untuk tinggal di asrama dan hanya boleh pulang dua kali dalam setahun. Setidaknya, ia ingin tahu seperti apa orang yang akan mendampingi nonanya kelak.

"Alice pasti sangat menyayangi Yang Mulia."

"Hem, beliau orang yang sangat baik."

Emma menoleh ke arahnya, "Tenanglah, aku akan menjaganya. Kau bisa belajar dengan nyaman."

"Terima kasih Nyonya." Alice senang. Setidaknya, kehidupan Lady Rozeanne di istana lebih baik dari apa yang beliau lalui di selatan.

"Lewat sini." Emma membimbingnya masuk ke istana Putra Mahkota. Ornamen yang ada di dalamnya benar-benar membuat matanya membulat. Dinding dilapisi oleh emas dan pilar-pilar besar itu terlihat kokoh—sangat berbeda dengan menara yang dulu ia tinggali.

"Waahh..." Tanpa sadar Alice berdecak kagum. Selama di istana, ia hanya mengunjungi Istana Rosem dan melihat istana ini dari luar. Ternyata apa yang ada di dalamnya sangat bagus—meski Istana Rosem juga bagus.

Mereka pun menaiki tangga untuk berjalan ke ruangan pribadi Yang Mulia. Alice sangat gugup. Setelah dayang yang di luar memanggil Yang Mulia, ia sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya.

"Saya ingin melaporkan kalau Putri ingin memakai gaun putih, lalu malamnya beliau memakai gaun biru."

"Baik, keluarlah."

Alice mendengar suara maskulin itu, tapi ia sama sekali tidak berani mengangkat wajah. Nyalinya tiba-tiba menciut. Sekilas ia mengingat leher Lord Elwin yang digantung. Ia takut membuat kesalahan dan berakhir ditebas.

"Kalau begitu saya permisi Yang Mulia." Emma membungkuk begitu juga dengan Alice.

Ia berniat untuk keluar, tapi suara maskulin itu malah memanggilnya. "Kau yang bernama Alice?"

Alice menelan ludah. "I—iya Yang Mulia."

"Masuklah, ada yang ingin aku tanyakan." Nada suaranya benar-benar tidak ramah—berbeda sekali dengan cara bicara Lady Rozeanne.

"Baik." Alice langsung masuk lebih jauh ke dalam ruangan, sedangkan Emma menunggu di luar.

"Angkat wajahmu."

Alice patuh, ia mengangkat wajahnya dan menemukan sosok yang benar-benar terlihat tidak nyata. Rambutnya menyerupai emas dan kulitnya bercahaya. Alice sampai menoleh ke sekitarnya untuk memastikan kalau orang ini benar-benar Yang Mulia Putra Mahkota.

"Alin, kau keluarlah. Aku ingin berbicara empat mata dengannya." Seorang perempuan cantik yang dipanggil Alin itu tersenyum sekilas ke arah Alice, lalu segera keluar. Mungkin orang itu adalah dayang pribadi Yang Mulia.

"Kau bisa duduk."

Alice semakin gugup. Ia mengucapkan terima kasih, lalu duduk di hadapan calon Raja Narenth yang kelima. Wajahnya benar-benar membuat Alice tidak percaya. Apakah ras seperti itu sungguh ada? Rasanya seperti bertemu dengan makhluk dari dunia lain. Wajahnya tidak manusiawi.

"Aku dengar kau yang menjadi pelayan Julian saat di Vien."

"Itu benar Yang Mulia."

Alice melihat Jeffrey menyesap alkohol yang ada di atas meja. "Ceritakan lebih jauh tentang dia." Mata itu memandangnya tajam.

"Hemm..." Alice gugup, apakah boleh ia menceritakan tentang penyiksaan yang dialami Lady Rozeanne? Tapi, bekas luka itu sudah hilang, apakah Yang Mulia akan percaya?

'Tapi Alice... itukan urusan pribadi Putri. Kau tidak bisa menceritakannya tanpa persetujuan.'

"Kenapa? Kau tidak ingin membuka mulut?" Jeffrey menatapnya angkuh, "Apa perlu aku potong lidahmu?"

Alice merasakan aliran darahnya terhenti. Wajahnya benar-benar pias. "Lady Rozeanne orang yang rajin. Beliau menyukai obat-obatan dan pandai memasak. Beliau menyukai teh melati, lalu tidak suka mengenakan korslet. Karena kita sering di hutan, beliau kadang tidak memakai gaun formal dan memakai pakaian yang lebih nyaman. Hem... warna kesukaan Lady warna abu. Beliau suka sesuatu yang sederhana."

Alice pun menatap Yang Mulia. Sepertinya beliau kurang puas. "Ada yang ingin Anda tanyakan lagi Yang Mulia?"

"Tunangannya. Setelah kemari, apa mereka putus?"

"Huh?" Alis Alice tertaut. "Beliau tidak memiliki tunangan."

Sudut bibir pria itu menaik, "Aku bisa membunuhmu kalau kau berbohong."

Bibir Alice sedikit bergetar. "Beliau memang tidak memiliki tunangan Yang Mulia. Saya bersumpah."

"Laki-laki yang dekat dengannya?"

Alice memutar otak. Ia bingung, apa yang harus ia katakan? Ia baru saja menginjak usia 13 tahun. Ia tidak terlalu mengerti hal-hal seperti ini.

"Jika kau berbohong dengan mengatakan ia tidak dekat dengan pria manapun, aku akan benar-benar memotong lidahmu."

Alice menggigit bibirnya—benar-benar ingin menangis. Kenapa orang ini sangat kejam? Saat menikah, dia tidak akan memukul Lady Rozeanne'kan?

"Hem... ada beberapa," cicit Alice. Lady Rozeanne dekat dengan kakek pemotong kayu dan paman yang suka berburu di hutan. Paman itu memiliki seorang anak seumuran dengan Alice. Anaknya laki-laki dan sangat dekat dengan Lady Rozeanne.

Alice mengangkat wajahnya dan melihat wajah Yang Mulia Putra Mahkota semakin tidak enak. Apa ia salah bicara?

"Sepertinya kehidupan di selatan sangat menyenangkan," ujar Jeffrey.

Alice tidak tahu harus merespon seperti apa. Ia hanya mengangguk. Jika menggeleng, ia takut ditanyai macam-macam dan ia tidak bisa menjawab.

"Kau keluarlah, aku tidak ingin mendengar apapun."

Alice membungkuk. "Maafkan saya Yang Mulia. Kalau begitu saya pamit."

Alice cepat-cepat menutup pintu. Emma yang menunggu di luar langsung menghampirinya. "Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat."

Alice mengangguk. Ia menoleh ke dalam ruangan. Dayang pribadi Yang Mulia masuk ke sana sembari menatapnya sekilas. "Yang Mulia seram," ujar Alice.

"Beliau memang dingin," tukas Emma.

Alice mengangguk. Semoga saja Putri Mahkota diperlakulan dengan baik. Alice benar-benar khawatir. Sikap pria itu seperti binantang buas. Biarpun tampan, apa yang bisa dilakukan jika menatapnya pun takut?

"Putri Rozeanne benar-benar orang yang pemalu." Alice mendesah pelan. Apa Lady nya bisa menangani orang seperti itu?

***

Tak terasa hari pernikahan pun tiba. Setelah Jeffrey dilantik sebagai Raja, mereka melakukan pemberkatan pernikahan di hadapan pusaka suci dengan meneteskan darah—sekaligus sebagai pelepasan kasta Pollin yang ada di belakang namanya.

Kini, Julian sudah resmi menjadi seorang Felipe, sekaligus Ibu Ratu dari negara ini. Ia bersimpuh di hadapan Eleanor untuk meminta pemberkatan, lalu dilantik dengan ritual yang cukup panjang. Semuanya berjalan dengan baik, sekaligus canggung. Jeffrey yang ada di sampingnya benar-benar tidak berbicara.

Pria itu seperti patung yang indah. Jas putih yang dia kenakan terlihat menawan. Bibirnya merah dan lembab—seolah ia melakukan perawatan seperti apa yang Julian lakukan. Pria ini berdiri gagah dan membuat gadis-gadis yang menghadiri pernikahan tidak bisa memalingkan wajah mereka dari Jeffrey. Julian menghela napas. Jika boleh memilih, ia akan senang jika memiliki pasangan yang tidak terlalu mambantingnya dari segi penampilan. Pria tampan sangat melelahkan.

Setelah proses pelantikan usai, mereka akhirnya memiliki kesempatan untuk duduk. Jeffrey hanya diam, sama sekali tidak menyapanya.

Julian berusaha mengabaikan pria itu, tapi setelah sadar bahwa mereka sangat canggung, Julian berusaha mengesampingkan egonya. Ia tidak ingin rumor aneh menyebar. "Kenapa tidak bicara?" tanyanya.

Sejak kejadian ia memergoki hubungan Jeffrey dengan Rosaline, pria itu tidak lagi pergi ke taman belakang. Seolah-olah dia marah dengannnya. Julian juga tidak tahu apa pria ini tidur dengan baik, karena kantong matanya terlihat jelas. Tapi tetap saja, wajahnya menolong segalanya. Seolah kantong mata tidak terlalu penting.

"Memang apa lagi yang perlu dibicarakan? Pernikahan kita hanya formalitas. Kita juga tidak melakukan malam pertama."

Julian menghela napas, "Kenapa seolah aku yang salah?"

Jeffrey menoleh, "Lalu, siapa yang salah? Aku?"

"Kau tidak mengatakan padaku kalau kau punya wanita lain."

"Memangnya itu perlu?" Wajah Jeffrey sangat datar. "Aku juga tidak mengulik kehidupanmu. Entah di belakangku kau juga mempunyai laki-laki lain atau tidak, siapa yang tahu?"

Julian terperangah. "Kau lupa, kau menyuruhku menjaga etika. Apa yang menjadi milik Raja adalah miliknya. Apa menurutmu aku bisa mencari laki-laki lain? Ini berbeda dengan apa yang kau lakukan, Jeffrey."

"Setidaknya kau tahu diri."

"Jangan sampai perempuan itu mengandung," tukas Julian.

Jeffrey menatapnya kesal. "Aku bukan orang yang seperti itu."

"Kau menidurinya?"

Jeffrey diam.

"Aku tahu kau menidurinya, Jef. Apalagi dia wanita yang cantik. Aku menerimanya, tapi, tidak dengan anak. Kau harus tahu batasanmu."

"Kenapa? Kau takut bukan anakmu lah yang menjadi Raja selanjutnya?"

Julian merasakan dadanya bergemuruh. Andai laki-laki ini tahu seperti apa sakit yang ia rasakan di masa lalu. Ketika Jeno terbaring sakit, dan ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Hanya boleh ada satu matahari di kerajaan ini. Kau pun tahu, jika ada putra lain... yang satunya akan meninggal."

Jeffrey menghela napas, "Aku tahu. Itu kenapa, sesaat sebelum menikah... aku berpikir memutuskan hubunganku dengan Rosaline."

Julian terdiam, ia menatap pria itu. "Tapi, kenapa kau tidak melakukannya?"

Cukup lama Jeffrey tidak menjawab. Sebelum akhirnya, suara rendahnya bergumam. "Kau tahu kenapa aku mencintai Rosaline?"

"—karena dia tidak akan membuangku. Katakanlah kalau aku gagal menjadi Narenth V, kau juga akan membuangku'kan? Karena aku bukan seorang Raja, kau pasti dengan mudah membuangku."

"Entahlah... apa menurutmu aku berada di posisi yang bisa membuang orang lain?" Meskipun ingin melakukannya, Julian tidak bisa. Ia tidak punya kekuatan untuk itu.

Ia pun menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit aula eleom yang kini digunakan untuk pesta pernikahan. Suara musik seolah menyembunyikan percakapan mereka dari orang-orang di sekitar. "Dengar, Jef... Ketika aku mengganti namaku menjadi Felipe, itu artinya aku tidak punya tempat lagi untuk kembali. Aku bukan bangsawan Pollin lagi."

"Hem, kau Ratu dari tanah ini."

Julian mengangguk, "Untuk itu, bertanggung jawablah dengan ucapanmu di hadapan Tuhan dan Pusaka Suci Manuala, bahwa mulai sekarang dan selamanya... aku adalah seorang Felipe. Aku Ratu dari kerajaan ini. Tidak ada yang bisa menggantikan aku, Jeffrey. Termasuk wanita itu, wanita yang kau cintai. Apa kau bisa melakukannya?"

Jeffrey menatapnya, "Aku adalah satu-satunya Rajamu, tidak ada orang lain selain aku. Apa kau bisa melakukannya?" Jeffrey membalik kata-katanya.

Julian mengangguk, "Tentu." Tidak terbesit sekalipun di pikirannya untuk memikirkan pria lain. Bukan itu tujuannya ketika diberi kesempatan untuk mengulang hidup.

"Baiklah. Aku akan putus dengannya."

"Jika masih sulit, aku tidak memaksa." Julian tersenyum tipis, "Kau tidak perlu menjanjikan aku kesetiaan. Hubungan pernikahan kita yang seperti ini sudah cukup untukku. Jika kau butuh wanita itu, jika kau sangat mencintainya... aku tidak akan melarang. Aku hanya ingin kau tahu batasannya, Jef. Karena bagaimanapun, aku adalah Ratu dari negeri ini. Kau telah menikahiku, jadi bertanggung jawablah sampai akhir."

Jeffrey mengangguk, "Aku mengerti."

"Kita harus segera mempersiapkan pesta dansa. Aku akan berganti pakaian, sebaiknya kau bersiap-siap." Julian bangun dari tempat duduknya.

"Kita akan keluar bersama. Aku akan menjemputmu nanti."

"Baik." Julian langsung berjalan ke arah Emma. Ia menoleh ke arah Jeffrey sekilas. Perjalanannya masih panjang. Ia harus bertahan, setidaknya sampai Jeno lahir.

"Dua tahun lagi." Julian memijat keningnya. Semoga kelakuan Jeffrey tidak aneh-aneh. Kelahiran Jeno sudah ditetapkan sejak awal. Ia tidak akan mengandung sampai waktunya tiba, dan itu prosesnya saat usia pernikahan memasuki tahun kedua. Julian harus waspada selama masa itu. Ia tidak akan membiarkan Rosaline ngandung lebih dulu, ataupun mengandung setelah ia hamil—seperti takdir yang dulu ia jalani.

"Kali ini harus berubah." Julian menoleh ke arah Rosaline. Gadis itu menatap Jeffrey dari kejauhan. Mungkin, ia patah hati melihat pernikahan orang yang ia cintai. Julian tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Wanita itu hadir lebih dulu dalam hidup Jeffrey. Ia lah yang datang merebut semuanya.

'Tapi, bagaimanapun kalian tidak bisa bersama.'

Rosaline pernah menikah, dan di Manuala, seorang Raja tidak bisa menikahi seorang janda. Kecuali, jika Ratu sebelumnya meninggal, Jeffrey bisa menikahi Rosaline. Untuk itu, di masa lalu Rosaline meracuni Jeno  yang sakit keras, lalu berusaha membunuhnya.

Topeng polos yang ia kenakan, sampai kapan wanita itu akan memasangnya?



Tatapan Jeffrey saat bicara dengan Alice



Tapi, di mata Alice, Jeffrey terlihat seperti ini

继续阅读

You'll Also Like

1M 90.4K 44
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ___...
21K 3.4K 31
Ketika dua insan dipertemukan melalui takdir meskipun berasal dari dunia yang berbeda. Mereka tetap berasal dari planet seperti Bumi, namun kedua Bum...
1.1M 123K 99
#3 Pria yang kau suka malah menyukai kakakmu sendiri? Tentang Heidi yang mencintai Faint Tentang Faint yang mencintai Maria Tentang Maria yang mencin...
1.8M 144K 103
Status: Completed ***** Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Th...