a Letter from Home

By daffoguy

42 0 0

Ada yang bilang, "Rumah adalah surga bagi para pemula." Namun tidak bagi Aruna yang sudah kehilangan kedua or... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 8

Bab 7

4 0 0
By daffoguy

Siang ini Erika harus makan sendiri di kampus. Kania mendadak punya janji dengan teman satu fakultasnya dulu yang katanya penting dan tidak bisa ditinggal. Erika tidak tahu menahu hal apa yang tengah diurus oleh sahabatnya itu. Tapi bukan Kania namanya kalau tidak punya banyak urusan.

Sahabatnya itu dan suaminya entah kenapa selalu punya banyak sekali agenda yang harus mereka lakukan. Kania sendiri tidak jarang sulit ditemui di kampus setiap kali ia selesai mengajar karena mengurus hal lain. Terakhir kali ia dengar, Kania sedang ingin mencomblangkan saudaranya Juna dengan seseorang.

Kata Kania, suaminya secara tidak formal bekerja sebagai asisten sepupunya. Apa yang sepupunya itu butuhkan, ia selalu meminta bantuan pada Juna. Alasannya, tidak ada orang lain yang sepupunya itu percaya dengan baik selain dari Juna.

Erika mendesah pelan. Ia baru sadar, saking dekatnya dengan Kania, ia bahkan sudah bisa mengerti hubungan suami sahabatnya itu dengan keluarganya. Sesuatu yang tidak penting untuk ia ketahui.

Erika membuka kotak makanan yang ia pesan dari mas Jajat, petugas kebersihan gedung, yang menawarinya untuk membeli makan siang tadi. Menu hari ini nasi dengan rolade daging saus padang dan capcay udang. Ia memutuskan untuk makan siang di mejanya, bersama beberapa dosen lain.

"Bu Eri, hari ini makan di kantor?" tanya seorang dosen wanita yang usianya cukup tua, dengan ramah pada Erika.

Namanya Bu Winda, dosen jurusan yang ahli di bidang sejarah dan filsafat. Beliau juga merupakan dosen Erika ketika masih mengenyam pendidikan S1 di jurusan ini beberapa tahun lalu, yang juga merupakan ibunda dari almarhumah teman satu angkatannya, Sintia.

Erika mengangguk sambil tersenyum. "Iya Bu, mari makan," jawabnya.

Bu Winda mengangguk, sambil lalu mengambil kotak bekal makannya, sambil kemudian membukanya dan menyodorkannya pada Erika. "Saya buat cake kemarin, silakan ambil buat cuci mulutnya nanti," tawar bu Winda.

"Makasih banyak, Bu. Ibu dari dulu tetap rajin bikin kue-kuean ya. Padahal kalau saya tiap pulang ngajar sudah nggak bisa ngapa-ngapain lagi di rumah," ucap Erika sambil mengambil satu potong kue yang ditawarkan padanya.

"Ya bedalah. Kamu kan masih muda, masih banyak kegiatan yang kamu ampu di kampus. Kalau saya sih cuma ngajar pulang saja."

Erika mengangguk setuju. Karena sekalipun belum terlalu tua, setelah kematian Sintia, yang Erika tahu bu Winda memutuskan untuk mengurangi beban kerjanya di kampus. Bahkan sempat terdengar kabar bahwa ia pernah memutuskan untuk pensiun dini. Sedikit disayangkan karena bu Winda adalah seorang dosen senior yang sudah benar-benar mantap di bidangnya. Selain dari kemampuan mengajar bahasa Jermannya yang baik, ia juga dosen yang paling kapabel di bidang filsafat. Rasanya, kalau memang suatu saat beliau harus berhenti, agak sedikit susah mencari pengganti yang setara kemampuannya dengan beliau.

Fakta lain kenapa dosen muda sepertinya memiliki banyak kegiatan yang harus dilakukan tak lain adalah karena ia tidak bisa sepenuhnya hanya bergantung pada gajinya mengajar, terlebih ia masih punya cicilan rumah yang harus ia bayar untuk beberapa tahun ke depan.

Terlebih jika Erika harus membandingkan dirinya dengan beberapa kolega perempuannya yang sudah menikah, Erika benar-benar harus bekerja keras. Hampir semua kolega perempuannya sesama dosen bersuami pria mapan. Dari mulai dokter, arsitek sampai pengusaha. Dan Erika sendiri, jangankan bermimpi menikah dengan seorang pria kaya, untuk bisa menikah pun, dirinya sedikit pesimis.

"Kapan-kapan mainlah ke rumah saya," ucap bu Winda membuyarkan lamunan Erika. "Kerja terus tiap hari juga bisa bikin pusing loh. Nanti saya ajari bikin kue," lanjutnya lagi.

"Iya, kapan-kapan saya main deh ke rumah ibu," balas Erika lagi kemudian.

Bu Winda kemudian kembali ke mejanya, dan Erika melanjutkan makannya.

***

Kania yang ketika itu tengah duduk seketika memperlebar senyum di bibirnya ketika melihat seseorang muncul dari balik pintu restoran. Ia melambaikan tangannya sedikit heboh, memberi tanda pada seorang wanita berambut panjang yang dikucir kuda yang baru masuk itu untuk menghampirinya.

Wanita itu memasang senyumnya yang teduh sambil berjalan menghampiri Kania.

"Ya ampun, Anis!" seru Kania heboh ketika wanita cantik berambut panjang bergelombang itu berada di depannya. "Makin cantik saja sih, lu. Ayo duduk," lanjut Kania.

"Lu juga masih cantik kek dulu, Kak," jawab wanita bernama Anis itu, sambil kemudian menempatkan dirinya di hadapan Anis.

"Apa kabar lu sekarang?" tanya Kania. "Makin ke sini, makin kinclong saja sih."

Anis terkekeh pelan. "Apa sih kak, ya kali gue buluk mulu kek pas jadi mahasiswa dulu," jawabnya. "Gue baik, lu sendiri gimana, Kak?"

Kania mengangguk antusias. "Gue baik juga," jawabnya. Suasana hatinya siang ini berubah menjadi sangat baik setelah melihat Anis, juniornya dulu. Bertahun-tahun tidak pernah bertemu, Kania mendapati, bahwa adik tingkatnya ini sudah cukup banyak berubah. Tambah cantik, tambah terlihat berwibawa dan percaya diri. Kania seolah baru saja menemukan sebongkah permata yang sedang ia cari.

"Lu sekarang kerja di mana, Nis?" tanya Kania lagi.

"Gue punya tempat praktik sendiri di daerah Blok M, Kak. Lu sendiri masih ngajar di kampus?"

Kania mengangguk lagi. "Iya, beginilah. Ini aja gue baru banget dari kampus langsung ketemu sama lu di sini," jawab Kania.

Anis hanya membulatkan mulutnya.

"Ya sudah, kita pesen makan saja dulu, kamu mau makan apa?" tanya Kania lagi.

Keduanya kemudian sibuk dengan buku menu yang tergeletak di atas meja.

Selang beberapa menit kemudian, setelah mereka selesai memesan makan siang, Kania menatap Anis dengan serius sambil memasang senyum kecil yang membuatnya terlihat seolah tengah senang.

"Jadi, alasan gue ngajak lu makan siang sekarang itu," ucap Kania menggantung kalimatnya. Sebenarnya ia merasa malu untuk mengatakan bahwa ia ingin mengenalkan Anis dengan seorang laki-laki. Belum lagi ia pun tidak tahu apakah adik tingkatnya dulu ini sekarang masih melajang atau sudah punya pasangan. Tapi, jujur saja membayangkan monster es memiliki pasangan sudah cukup membuat suasana hatinya sekarang ini membaik, terlebih kalau sampai pria itu bisa betul-betul bersama dengan gadis seceria Anis. Mungkin sifat dan sikap Aruna bisa sedikit mencair dan lebih hangat nantinya.

Kalau ditanya alasan Kania begitu menggebu-gebu dengan hal ini, tentu saja karena Aruna sudah lama menjomblo, dan selalu mengganggu waktu bersama Kania dengan Juna. Aruna tidak pernah mengerti rasanya dimabuk cinta. Maka dari itu, untuk sekali saja sekarang, ia ingin membuktikan pada pria itu bahwa diganggu ketika tengah bermesraan itu tidak pernah menyenangkan rasanya.

"Jadi, kenapa Kak?" tanya Anis kemudian membuyarkan lamunan Kania.

Kania terkekeh pelan sambil meminta maaf. "Lu sekarang, sudah punya pasangan?"

Anis mengernyitkan alisnya sedikit, namun bibirnya tiba-tiba tersungging ketika dirinya menyadari ke arah mana obrolan ini akan mengalir.

"Gue single," jawabnya kemudian, masih dengan senyumannya yang menggantung. "Lu mau ngenalin gue ke cowok ya Kak?" lanjutnya kemudian menebak.

Kania lagi-lagi terkekeh. "Iya nih, sodaranya suami gue lagi pengen dikenalin ke cewek. Dan tiba-tiba saja gue seketika inget lu pas dia cerita gimana preferensi dia. Gak apa-apa kan?"

Anis tertawa kecil. "Ya, jujur gue nggak biasa sih dicomblangin begini. Aneh aja gitu rasanya."

Kania mengangguk mengerti.

"Tapi kayaknya kalau cuma kenalan aja dulu sih nggak apa-apa. Yang gue nggak mau itu kalau udah dijodoh-jodohin, padahal kenal juga nggak."

"Ya Nis, gue ngerti kok. Gue juga nggak akan maksa lu buat beneran bisa pacaran sama dia ujungnya. Cukup kenalan saja dulu, siapa tahu kalau cocok kan, bisa lanjut lebih serius. Orangnya juga bukan tipe orang yang suka main-main kok, anaknya baik," jelas Kania panjang lebar.

Kini giliran Anis yang mengangguk.

"Orangnya memang kayak gimana, Kak?" Tanya Anis kemudian penasaran.

Kania berpikir sebentar. "Orangnya baik, sopan, cuma memang agak pendiem. Sekarang dia lagi ngembangin perusahaannya, memang bakal agak sibuk sih sekarang-sekarang. Cuma kalau buat sesuatu yang nyangkut sama masa depan dia, kayak misal pasangan, keknya dia bisa cukup perhatian deh, soalnya memang dia tipe-tipe cowok yang family-oriented gitu," jelas Kania.

Anis membulatkan mulutnya.

"Orangnya tinggi, tegap. Bentar deh, kayaknya gue punya fotonya deh," lanjut Kania kemudian sambil merogoh tas kecilnya, dan mengambil ponselnya yang berada di dalamnya.

Ia kemudian menggeser-geser layar ponselnya, sambil kemudian menunjukkan sebuah foto yang menampilkan dirinya, Juna dan seorang pria tinggi yang tengah tersenyum ke arah kamera. "Yang paling kiri ini orangnya."

Anis tersenyum kecil ketika menatap pria yang gambar dirinya terpampang di layar ponsel Kania. "Ganteng banget, Kak. Gue minder deh jadinya," ucap Anis kemudian sambil terkekeh.

Kania menghadiahi Anis ekspresi mengejek, "Lu itu yang paling cantik dulu di angkatan lu, sekarang aja gue beneran pangling liat lu jadi makin cantik gini," jujur Kania, sedangkan Anis hanya terkekeh kecil.

"Omong-omong, kalau boleh tahu namanya siapa?"

Kania menaruh ponselnya di atas meja, sambil kemudian menjawab, "Aruna Laksmana."

***

Brian duduk di atas bangku kayu cokelat di lorong depan ruang dosen sambil sesekali memainkan ponselnya. Tiba-tiba saja beberapa menit yang lalu ia mendapat pesan WhatsApp dari Erika untuk menemui dosennya itu di jam istirahat.

Tidak lama setelah sepuluh menit menunggu, orang yang ia tunggu keluar dari ruang dosen.

"Bu!" panggil Brian santai pada Erika.

Erika cuma menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Brian yang terlalu kasual pada dirinya yang adalah seorang dosen. Erika berjalan menghampiri Brian dan kemudian mengambil tempat di sebelah anak laki-laki berumur dua puluh awal itu.

"Kamu jangan kayak begitu sama dosen lain ya," gerutu Erika yang dihadiahi seringai oleh Brian.

"Cuma sama Ibu doang kok," jawab Brian kemudian. "Kita kan sohib."

Erika lagi-lagi menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.

"Jadi Ibu mau ngomong apa ke saya?" tanya Brian.

Erika menarik nafas panjang dan kembali mengembuskannya. "Gini Bri, masalah tawaran ngajar privat kemarin itu loh," terang Erika.

Belum sempat dosennya itu melanjutkan kalimatnya, Brian sudah dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Bu, saya beneran deh males tambah-tambah lagi jam privat. Takut skripsi saya keteteran," ucapnya.

"Buat kali ini saja deh, kamu gantiin saya dulu sekarang ini buat ngajarin privat, selagi saya cari pengganti tetapnya. Janji deh, paling kamu cuma perlu ngajar dua sampai tiga kali pertemuan aja," pinta Erika lagi sedikit memelas.

Brian menggelengkan kepalanya pelan.

"Bitte (please)," pinta Erika lagi sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Bayarannya ini lebih gede dua kali lipat loh dibanding jam ngajarmu biasa. Orangnya juga cepet banget nangkap pelajaran,"

Brian terlihat menimbang-nimbang. "Memangnya kenapa sih Bu, pengen ganti guru? Ibu memang sibuk banget ya?"

Erika menggeleng. Ia terlihat berpikir sebentar sebelum kemudian menjawab pertanyaan Brian. "Orangnya nggak seneng sama saya. Dia pengen ganti guru," jawab Erika lagi.

Brian mengernyitkan alisnya heran. "Kok nggak sopan sih dia?" tanyanya sewot. Karena menurut Brian, cuma orang aneh yang tidak suka diajar oleh Erika. Dari semua dosen, cara mengajar dan pembawaan Erika adalah yang paling enak dan difavoritkan oleh mahasiswa.

Mendengar ucapan Brian barusan, Erika tiba-tiba saja merasa tidak enak. Ia teringat alasan mengapa Aruna ingin menggantinya. Meskipun ia pikir sikap Aruna terlalu berlebihan, tapi Erika sendiri sebenarnya selama ini merutuki dirinya karena secara sengaja memfoto orang lain tanpa izin.

"Bukan begitu Bri," ucap Erika akhirnya. "Dia ngerasa nggak cocok aja diajar sama saya," lanjut Erika.

Brian mengernyitkan alisnya.

"Ditambah lagi, dia kurang nyaman kalo harus diajarin sama cewek, apalagi cuma berduaan di dalam satu ruangan," karang Erika lagi, yang langsung membuat ekspresi wajah Brian berubah drastis.

Bagi Brian alasan tersebut terdengar sangat masuk akal, dan sebagai orang yang merasa punya hubungan dekat dengan Erika, Brian pun tidak ingin kalau sampai terjadi hal-hal tidak menyenangkan pada Erika karena hal ini.

"Ehm, yah." Brian mulai membuka mulutnya. "Kalau itu alasannya sih, ya udah saya mau."

Erika memasang senyum lebar pada wajahnya. "Makasih banyak Bri. Saya janji, bakal cari penggantinya cepet-cepet," ucap Erika.

Brian memasang senyum malasnya. "Iya, saya minta alamat ngajar sama kontak orangnya aja Bu, nanti tolong kirim ke saya," pintanya.

Erika mengangguk. "Oh iya, tunggu sebentar," ucapnya sambil berdiri dari duduknya dan kemudian berjalan masuk kembali ke ruang dosen. Tidak sampai satu menit, Erika sudah kembali keluar membawa buku besar berwarna merah. "Ini, tolong sekalian minggu ini kamu kasih ke orangnya. Dia waktu itu nitip buku sama saya," lanjut Erika.

Brian mengangguk sambil menerima buku yang disodorkan Erika itu. "Ya sudah, saya tunggu, Bu, infonya. Kalau udah ga ada yang mau dibahas lagi, saya mau izin balik ke kelas," ucap Brian.

Erika mengangguk. "Iya sudah itu saja Bri. Makasih banyak ya."

Brian mengangguk lagi sambil berdiri dari duduknya. "Sama-sama, Bu," balasnya sambil kemudian berjalan menjauh dari Erika, dan berbelok ke arah tangga di lorong itu sampai sosoknya menghilang dari pandangan Erika.

Erika yang merasa lega karena masalahnya sudah terselesaikan meskipun ia harus sedikit berbohong pada mahasiswanya itu, tidak bisa menghilangkan senyum lebar dari wajahnya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

134K 22.8K 27
Swipe right. Dua kata yang tidak asing untuk pengguna dating apps. Bermula saat Liora merasa iri dengan teman-temannya yang sudah punya pacar, akhirn...
260K 45.3K 40
Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarganegaraan Daher Reu yang sering wara-wir...
121K 9.8K 82
Complete Story ada di Karya Karsa Buku cetaknya, bisa dicari di tokopedia dan shopee (@bebekz_hijau) Hai, Kenalan dulu... namaku Sandra Bayu Hutama...
4.3M 476K 49
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...