Sourire

By welldonewella

10.1K 1.2K 310

Sebuah kisah tentangnya, yang ingin berjuang bersama dirinya sendiri. "Aku sudah terbiasa dengan rasa rindu y... More

One Smile for You
00 : Prolog
01 : Pertemuan
02 : Berteman
03 : Perdebatan
04 : Makan Malam
05 : Menghindar
06 : Baik-baik Saja
07 : Bersikeras
08 : Kesal
09 : Nama Itu
10 : Penolakan
11 : Runtuh
12 : Pengakuan
13 : Pernikahan
14 : Panik
15 : Ampunan
16 : Latihan
18 : Tidak Normal
19 : Berubah
20 : Keputusan

17 : Medali

270 33 23
By welldonewella

Happy weekend~
Jangan sampai emosi ya.

[Sourire]

Keluar dari mobil sang ibu, Arash berlari cepat menuju ruangan yang disebutkan sang ayah saat meneleponnya tadi. Setelah pertandingannya selesai, Arash benar-benar bahagia karena berhasil membawa pulang medali emas untuk pertama kalinya. Kebahagiaan ini ingin sekali ia bagikan pada sang kakak dan ayah yang tak bisa menghadiri pertandingan. Namun, kebahagiaannya pupus saat Jun mengirim pesan. Mengatakan bahwa ia kondisi Ryo sedang tidak baik dan tidak bisa datang ke pertandingan untuk menjemput. Arash bersikeras untuk diantarkan ke rumah sakit oleh ibunya.

"Kakak, Yah?" tanyanya dengan napas terengah-engah. Ia menatap sang ayah penuh tanya, sementara Jun hanya bisa membalas tatapan sang putra dengan embusan napas pasrah. Arash mengernyit, lalu menoleh untuk menemukan sang kakak sedang merintih kesakitan dari balik kaca. Ia menggedor-gedor kaca sambil memanggil nama Ryo. Namun kemudian, sang ayah memegang lengannya dan menarik tubuh itu untuk duduk. "Tenang, Arash." Bujuk Jun.

Arash menggeleng. "Bagaimana bisa tenang, Yah? Kakak sedang di dalam. Kesakitan. Aku harus bagaimana?" ujar Arash penuh kepanikan. Ia kembali berdiri untuk mendapati sang kakak yang berteriak kesakitan sambil menggerakkan tangan dan kakinya. Sepertinya Ryo sedang memberontak. Menolak untuk ditangani. Matanya memang tertutup, tapi ia dapat merasakan sentuhan dari perawat dan segera menepis kasar tangan perawat yang berusaha memegang tangannya.

Arash panik sekali dan tanpa berpikir panjang berusaha untuk memutar kenop pintu agar bisa masuk dan menenangkan sang kakak. Namun sayang, ia tak berhasil. "Kenapa terkunci, Yah?" tanyanya masih dalam rasa panik.

"Kita tidak diizinkan untuk masuk, Ar."

"Kenapa, Yah? Kenapa tidak boleh? Jadi kita harus membiarkan Kak Ryo kesakitan sendirian di dalam sana? Lihat, Yah. Kak Ryo tidak mau, Yah. Dia kesakitan dan perawat-perawat itu hanya membuat Kakak semakin sakit." Racau Arash, terus berusaha mendorong pintu. Dengan terpaksa Jun harus menarik tangan Arash, mengguncang lengan sang putra.

"Arash! Dengarkan Ayah!" seru Jun, menyadarkan putranya yang tak bisa tenang. Memandang wajah tegas Jun membuat Arash menghentikan gerakannya. "Dengar, Kak Ryo benar-benar sedang kesakitan dan kita harus tenang agar dia tak semakin tersiksa. Bisakah Arash menenangkan diri ... untuk Kak Ryo?" tanya Jun dengan alis bertaut. Arash terhipnotis dengan tatapan sendu sang ayah dan mengangguk.

"Kak Ryo mengalami hari yang berat. Kemoterapi membuatnya tertekan dan stres. Bahkan menghadapi salah satu efek dari kemoterapi membuatnya tak bisa mengendalikan diri. Saat dia membuka mata, penglihatannya tak seperti biasa. Dia tidak bisa ..." Jun menghela napas panjang sebelum melanjutkan. " ... tidak bisa melihat dengan jelas, Ar. Kakakmu panik. Mengira bahwa dia tak bisa melihat dengan normal lagi. Dia hampir melukai dirinya sendiri. Karena itulah, dokter dan perawat sedang berusaha menenangkannya sekarang."

Arash terperangah. Tak menyangka akan apa yang terjadi pada sang kakak. Kesakitan yang bertubi-tubi, yang menimpa kakaknya cukup mampu membuat Arash terluka. Ia menumpahkan air mata saat Jun mendekapnya. Dalam pelukan sang ayah, ia menangis. Rasa bersalah dan sesal memenuhi hati rapuhnya. "Bisakah aku saja yang mengambil rasa sakit yang Kak Ryo rasakan, Yah?" tutur Arash di sela tangis. Ia dapat merasakan usapan lembut Jun yang tak berhenti, sepanjang tangisannya yang seolah tak berujung. Untuk saat ini, Arash benar-benar hancur karena merasa tak berguna sama sekali. Tak bisa apa-apa selain menangisi kesakitan kakaknya yang lebih menyakitkan daripada merasakan sakit itu sendiri.

Arash dan Jun dapat sedikit bernapas lega karena kesakitan Ryo berakhir. Terbukti dengan perawat yang mulai keluar dari ruangan, diikuti oleh dokter yang keluar dari ruang rawat dengan wajah tenang, menyapa Jun dengan ramah dan mengajaknya bicara.

Arash masuk ke ruang rawat tanpa aba-aba. Ia mendekati sang kakak yang masih membuka mata, tapi sebenarnya hampir hilang kesadarannya karena efek obat bius. Arash menggigit bibir, menahan isak yang bisa saja terdengar.

"Arash kah?" lirih Ryo tanpa menoleh. Arash membulatkan mata, terkejut karena Ryo bisa menebak setepat itu. Arash menyembunyikan kesedihannya dengan mengulas senyum selebar mungkin, meski ia tahu sang kakak mungkin tak benar-benar bisa melihatnya. Ia duduk di samping Ryo, meraih tangan sang kakak. Ia mengusap lembut punggung tangan Ryo. "Kakak, aku di sini." Meski samar, Arash bisa melihat senyum tipis Ryo. Hatinya tersentuh saat merasakan sambutan hangat sang kakak hanya dari raut wajah.

"Pertandingannya ... selesai? Menang?" tanya Ryo.

Arash mengangguk, mempertahankan senyumnya. "Aku berhasil, Kak. Aku berhasil membawakanmu medali emas, Kak." Tukas Arash dengan nada yang bersemangat, sembari mengeluarkan medali dari saku celananya. Ia menyelipkan medali itu ke tangan Ryo, agar sang kakak bisa merasakan benda yang diperjuangkan dengan penuh peluh dan latihan keras.

Senyum Ryo semakin tercetak jelas. "Bagus sekali. Jadi kebanggaan klub dan sekolah." Puji Ryo yang berusaha menata kalimatnya, meski suaranya semakin samar.

"Apa aku sudah bisa jadi kebanggaan Kakak juga?"

Ryo memejamkan matanya sejenak. Kepalanya terasa semakin pusing. Pandangannya semakin menggelap. Namun ia masih berusaha untuk tersadar agar bisa memberikan jawaban dari pertanyaan sang adik. "Arash adalah yang terbaik, untuk Ryo." Kalimat itu menjadi penutup karena setelahnya mata Ryo terpejam. Arash mengeratkan genggamannya pada tangan sang kakak. Ia menunduk, menempelkan punggung tangan Ryo ke dahinya. Arash tak bisa lagi menahan isak. Ia menumpahkan tangisnya setelah tahu bahwa sang kakak telah terlelap. "Kak, terima kasih. Terima kasih sudah menerima Arash."

***

Ryo berhasil melewati masa-masa kritisnya dan kembali ke rumah setelah sesi kemoterapi yang ia jalani selama beberapa minggu di rumah sakit. Ia tak ingin berlama-lama di rumah sakit. "Aura rumah sakit itu tidak menyenangkan. Aku ingin pulang saja. Menikmati sereal yang disiapkan Nenek sambil menonton televisi." Pintanya saat dokter mengatakan keadaan Ryo sudah lebih baik dan diberikan pilihan untuk tinggal di rumah sakit atau pulang ke rumah.

"Ryo, mau ke kamar?" tanya sang nenek saat berjalan melewati ruang tengah. Menangkap sang cucu yang tertunduk-tunduk menahan kantuk.

"Tidak kok, Nek. Aku tidak mengantuk kok. Programnya membosankan, jadi membuatku tak berminat menontonnya. Hehe." Sahur Ryo sambil terkekeh. Kemudian, ia beranjak dari sofa. Berpindah ke teras untuk duduk sambil menikmati tanaman sang nenek yang mulai berbunga. Tak lupa, ia menutupi kakinya dengan selimut dan menghangatkan leher dengan syal yang ia lilitkan sebelum ke luar rumah. Matanya menerawang ke seluruh penjuru halaman rumah yang terlihat asri. Suara burung-burung yang berterbangan menjadi pengiring sorenya yang santai. Ketenangan Ryo tak berlangsung lama saat ia menangkap sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari gerbang rumahnya. Saat melihat sosok yang keluar dari mobil dan berjalan mendekatinya, Ryo mengembuskan napas lelah. Ia hendak berdiri, tapi sosok itu berlari lebih cepat hingga dapat mencegah Ryo untuk masuk ke rumah.

"Ryo, tunggu dulu."

Ryo berbalik, menampilkan wajah sinisnya seperti biasa, setiap kali bertemu dengan perempuan yang telah menyakiti ayahnya. "Bibi mencari siapa? Kalau mencari Arash, maaf. Dia tidak ada di sini." Ujar Ryo, bahkan sebelum Neida melontarkan pertanyaan. Ryo berhasil membuat Neida tersenyum kikuk.

"Ti-tidak. Bukan mencari Arash. Ibu ... Ah, maaf." Neida terbata saat bicara dengan Ryo. Kebingungan menempatkan posisinya sendiri di depan putranya yang sudah ia abaikan bertahun-tahun. Ryo berdecih, lalu tersenyum pahit saat menyadari bagaimana Neida menganggap dirinya berhak memanggil diri sendiri sebagai ibu untuk Ryo. Ryo bukannya ingin terus membenci, tapi melupakan semua sikap Neida selama ini adalah hal yang sulit, dan setiap kali mengingatnya, Ryo akan bersikap tak bersahabat pada Neida. Ia tak bermaksud mengusir ibunya, tapi bukan berarti ia ingin ibunya berada di hadapannya untuk waktu yang lama. Ryo terlalu lelah untuk menahan emosinya yang bercampur aduk. Ia hanya ingin tenang, tapi tak sanggup untuk meminta Neida pergi.

"Kalau untuk mencari ayahku, dia tidak di rumah. Sedang ada pekerjaan dengan rekannya di tempat lain. Jadi tidak ada alasan Bibi di sini. Bibi bisa pulang dan datang saja lain kali." Akhirnya, pengusiran secara halus itu terlontar dari mulut Ryo.

Neida masih menolak untuk pergi dan kali ini dengan berani, ia memegang lengan Ryo. Menahan remaja itu agar tak masuk ke rumah. Ia memohon waktu pada Ryo untuk bicara. Meski tak begitu berminat, tapi Ryo tak menolak. Ia kembali duduk di kursi yang tadi ia duduki, kemudian mempersilakan Neida untuk duduk di kursi kosong tepat di sampingnya. Tak banyak mengucapkan kata, Ryo memandang lurus ke depan. Tidak peduli Neida seberapa gugup Neida untuk memulai pembicaraan.

"Ryo, Ibu ..." Ucapan Neida terhenti sejenak. Ia benar-benar merasa tak tahu diri karena sudah mengucapkan sebutan itu di hadapan Ryo, tapi ia tak punya pilihan. Ia ingin menyadarkan Ryo bahwa apa pun yang terjadi, dirinya tetap ibu Ryo. " ... Ibu minta maaf," timpal Neida.

"Ke sini hanya untuk mengatakan itu?" tanya Ryo, kemudian berdecih tak percaya. Ia siap beranjak lagi saat Neida menahan tangannya sambil menatap penuh mohon pada Ryo.

"Ibu mohon, dengarkan Ibu sekali ini saja. Bolehkah?" pinta Neida dengan suara yang sangat lembut.

Ryo menghela napas panjang, lalu kembali duduk untuk mendengarkan apa saja yang akan dilontarkan Neida. "Ibu tidak tahu harus memulai dari mana. Menurut Ibu, saat ini yang paling utama yang seharusnya Ibu lakukan adalah meminta maaf pada Ryo. Seratus atau seribu kali Ibu mengucapkan maaf pun, rasanya tidak akan bisa menyembuhkan luka hati Ryo. Iya kan?"

Ryo tak terpengaruh dengan suara Neida yang tercekat. Ia menguatkan diri untuk terus menegaskan ekspresi. Datar, seperti tak berperasaan. Ia menahan matanya agar tak menoleh pada Neida yang berkaca-kaca matanya. "Ryo adalah putra pertama ayah dan Ibu, yang benar-benar diharapkan kehadirannya. Ibu sadar, saat kedatanganmu dalam kehidupan Ibu, kebahagiaan terasa sempurna. Namun Ibu benar-benar naif dengan menganggap bahwa kesempurnaan sudah Ibu dapatkan. Waktu itu kau berusia dua tahun, saat dokter mengatakan hal yang paling menghancurkan hati Ibu, Ryo. Ibu terlalu tertekan dan hampir depresi. Mencari solusinya pun tidak tahu bagaimana. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menghadirkan Arash, sebagai penyelamat Ryo. Saat itu, Ibu bahagia karena ada harapan untuk kesembuhan Ryo. Namun di sisi lain, kekhawatiran Ibu semakin besar. Ibu menjadi takut jika Ryo meninggalkan Ibu dan Ibu juga takut jika Arash tumbuh dengan perasaan di mana ia dilahirkan untuk selalu berkorban."

Ryo mengernyit, berusaha mencerna dengan benar kata demi kata yang sang ibu sampaikan. Ibunya jujur sekali dan Ryo berterima kasih atas hal itu. Namun kejujuran tampaknya benar-benar sukses melukai hati Ryo, lebih dalam dari sebelumnya. Ia berharap Neida tak melanjutkan kalimatnya lagi. Ia ingin menulikan telinganya, tak ingin diingatkan bahwa ia sebenarnya hadir hanya untuk menjadi seseorang yang membawa beban bagi semua orang. Ia paham betul maksud sang ibu. Ia paham saat Neida berkata bahwa Arash menjadi seseorang yang selalu berkorban. Ia paham bahwa Neida tak ingin Arash selalu menjadi yang mengalah untuk kakaknya yang sekarat ini. Ryo berdecih dan tersenyum pahit. Kisah yang Neida sampaikan terdengar miris. Ia semakin merasa hidupnya tidak berguna sama sekali.

"Manusia yang bodoh adalah yang memiliki ketakutan terlalu besar. Ibu adalah manusia bodoh itu, Ryo. Saat itu, Ibu merasa takut sekali pada sesuatu yang belum terjadi. Ibu membayangkan bagaimana Ryo akan pergi meninggalkan Ibu dan bagaimana Arash harus selalu berkorban. Ibu ketakutan hingga membuat Ibu tak sanggup menahan kesakitannya. Karena itu ..." Neida menelan ludah dengan susah payah. Menunduk tanpa berani memandang wajah pucat milik seseorang yang hatinya sudah ia sakiti dengan kejam. " ... Ibu pergi. Memutuskan untuk menghindari rasa takut itu dengan meninggalkan Ryo. Ibu tahu itu sangat salah dan ..."

"Cukup!"

Seruan Ryo membuat Neida tersentak. Mata Ryo menatap Neida dengan tajam. Tak bisa ia sembunyikan kekecewaan yang tampak jelas dari sorot matanya. "Aku tidak ingin mendengarkan apa pun lagi dari mulutmu. Aku sudah cukup tahu dan muak dengan semua yang kau ucapkan. Semuanya memuakkan!" bentakan Ryo mengundang Maria yang berlari kecil dari dalam. Maria terkejut bukan main saat melihat Ryo berhadapan dengan Neida dalam situasi yang menegangkan.

"Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Jika sebelum diturunkan ke dunia ini, Tuhan memberitahu bahwa aku akan terlahir sebagai seorang anak yang berpenyakit dan akan menyusahkan orang tuanya, aku akan dengan tegas menolak untuk dilahirkan. Kalau kau memang memiliki ketakutan yang kau maksud itu sejak dulu, kenapa tak kau biarkan saja aku mati di saat kau tahu aku mengidap penyakit ini? Kenapa kau dan Ayah harus berusaha menghadirkan Arash untuk menyelamatkanku dan pada akhirnya membuatku seperti orang bodoh yang membebani semua orang? Kenapa harus begitu?" Ryo berkata dengan penuh amarah. Ia tidak bisa menahan apa lagi emosi yang bergumul dalam hatinya.

"Apa menurutmu hanya kau yang berhak tersiksa? Hanya kau yang berhak memutuskan untuk bahagia? Kau tak pernah berpikir apakah Ayah baik-baik saja atau tidak? Kau tak pernah membayangkan bagaimana sakitnya Ayah menghadapi ketakutannya sendirian? Kau tidak pernah memikirkan itu!" teriak Ryo, menunjuk-nunjuk Neida tanpa peduli dengan sikap kasar yang seharusnya tak ia lakukan.

Sama halnya dengan Maria yang sudah memegangi dada sambil menangis, Neida pun sudah bercucuran air mata. Ia tak bisa menampik semua perkataan Ryo yang memang benar adanya. Ucapan Ryo tak ada yang disangkalnya karena memang ia adalah yang paling bersalah.

Ryo mengangguk sambil tersenyum dalam tangisnya. "Baiklah. Kedatanganmu membuat semua semakin jelas. Aku tidak perlu lagi bingung harus merindukanmu atau tidak. Kita akhiri saja di sini. Kau mendapatkan kebahagiaanmu tanpa perlu ada aku di kehidupanmu. Anggap saja, putramu adalah Arash. Anggap saja kau tak pernah melahirkan seorang anak penyakitan bernama Ryo. Orang yang sebentar lagi akan mati ini tidak perlu kau pikirkan lagi. Kau tak perlu ketakutan lagi." Ryo mengakhiri kalimatnya, lalu melangkah masuk ke rumah. Tak peduli pada Neida yang menangis tersedu sambil memegangi dadanya yang terasa sesak dan perih. 

To be continued

[Sourire]
23 Oktober 2021

<05.36 pm>

Continue Reading

You'll Also Like

93.5K 9.2K 25
Seorang gadis yang rela bertukar peran dengan sang kakak demi kebaikan keluarganya.... Mengandung unsur gxg
56.8K 3.4K 27
Sapta Priga Ayodya (37th) pikir ia akan bisa melupakan Agrima Dewantara (25th), setelah mengakhiri hubungan mereka karena perbedaan umur yang jauh. N...
80K 13.7K 44
"Resusitasi adalah prosedur medis darurat yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang saat pernapasan atau jantungnya berhenti. Lakukan dengan...
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

368K 44.7K 100
hanya fiksi! baca aja kalo mau