Feeling Perfect

By diaryalna

2.6M 405K 39.3K

Gimana sih rasanya dijodohin sama cowok ganteng, paham agama, lemah lembut, cintanya tulus banget, tapi tunan... More

PROLOG
BAGIAN 1 : CALON ISTRI
BAGIAN 2 : KELULUSAN
BAGIAN 3 : DIJODOHIN?
BAGIAN 4 : HARI H
BAGIAN 5 : PINDAH RUMAH
BAGIAN 6 : MALAM PERTAMA
BAGIAN 7 : SISI LAIN QIA
BAGIAN 8 : UNGKAPAN CINTA
BAGIAN 10 : CEMBURU?
BAGIAN 11 : SAKHA MARAH?
BAGIAN 12 : HADIAH DARI SAKHA
BAGIAN 13 : UNDANGAN PESTA
BAGIAN 14 : TELEDOR
BAGIAN 15 : UJIAN MENTAL
BAGIAN 16 : ORANG GILA!
BAGIAN 17 : SUNNAH HARI JUMAT
BAGIAN 18 : IMPIAN
BAGIAN 19 : SAKHA KENAPA?
BAGIAN 20 : PENJELASAN
BAGIAN 21 : MAAF
BAGIAN 22 : HAMIL?!
BAGIAN 23 : KESERUAN
BAGIAN 24 : USTADZ SAKHA
BAGIAN 25 : RAISA NEKAT
BAGIAN 26 : BERITA PERJODOHAN
BAGIAN 27 : BUNUH DIRI?
BAGIAN 28 : PERMAINAN
BAGIAN 29 : KADO PERNIKAHAN
BAGIAN 30 : TEROR?
BAGIAN 31 : DONOR MATA
BAGIAN 32 : HUJAN
BAGIAN 33 : KUE KERING
BAGIAN 34 : KECELAKAAN
BAGIAN 35 : TUGASNYA SELESAI
BAGIAN 36 : JANGAN PERGI
BAGIAN 37 : KENAPA BISA?
BAGIAN 38 : MERASA BERSALAH
BAGIAN 39 : MENGHILANG
BAGIAN 40 : PENYESALAN SESUNGGUHNYA
BAGIAN 41 : SEDEKAT NADI
EPILOG
SPECIAL PART

BAGIAN 9 : PERTEMUAN PERTAMA

67.2K 10.6K 606
By diaryalna

Allohumma solli 'alaa muhammad, wa 'alaa aali muhammad.

Gimana kabarnya hari ini? Semoga kalian selalu sehat, ya. Aamiin :)

Terima kasih buat semua yang udah dukung cerita ini, hehe.

Jangan lupa rekomendasiin cerita ini ke temen-temen kalian, ya, biar cerita Feeling Perfect ini bisa dikenal banyak orang, hwhw. (ಥ‿ಥ)

Oke, deh. Kayaknya part ini bakalan jadi part yang paling panjang. Jadi, bacanya pelan-pelan aja, oke?!

Ambil baiknya, buang buruknya, ya⚠️

Bismillahirrahmanirrahim.

Bagian 9 : Pertemuan Pertama
____

Sekarang pukul dua siang, artinya telah menuju agenda terakhir mereka berdua. Oh, bukan. Sebenarnya hanya Qia yang merencanakan dan Sakha ikut-ikut saja.

Berpijak di kawasan mall besar di ibukota, membuat Qia semakin mengeratkan genggaman tangannya. Di sini ramai, Qia tidak mau Sakha hilang, apalagi sampai diculik orang. Selama menikmati udara dingin mall, Qia terus berceloteh. Mendeskripsikan banyak hal tentang mall tersebut.

"Mas sering ke mall?" tanya Qia basa-basi saat mereka berdua menaiki eskalator yang menuju lantai atas.

Sakha menggeleng. "Dulu waktu kecil, Mas lumayan sering ke mall, soalnya ikut Mama belanja bulanan. Tapi pas udah pindah ke Bogor, gak lagi."

"Sama sekali gak?"

"Iya, ini baru pertama kali setelah hampir belasan tahun."

Qia menjatuhkan rahang bawahnya terkejut, berkedip beberapa kali memastikan diri. "Yang bener, Mas?"

Sakha mengangguk samar lalu mereka melangkah saat eskalator sudah habis. Selang beberapa menit, Qia mengangguk mengerti.

"Qia juga baru pertama kalinya ke mall bareng pacar," kata gadis cantik dengan bucket hat di kepalanya tersebut sambil mengedarkan pandangan berkeliling.

"Pacar halal maksudnya," lanjut Qia tersenyum menatap pahatan wajah Sakha yang menawan dari samping. Sakha menarik kedua sudut bibirnya, merasa lucu.

Cowok itu menoleh tanpa menatap gadis yang berjalan di sebelahnya. Qia langsung mengalihkan pandangannya, karena merasa jika Sakha bisa melihatnya, padahal tidak.

"Kata Ayah, Dek Qia gak pernah pacaran ya?"

Qia menggeleng. "Belum ketahuan aja," katanya berniat menggoda.

"Gak boleh bohong, Cantik."

Niatnya Sakha ingin mengacak ubun-ubun Qia, tapi tangannya yang terlepas dari genggaman malah salah sasaran dengan meraba jidat. Qia yang tahu maksud suaminya berusaha menahan tawa sambil menutup mulutnya. Membiarkan Sakha memperbaikinya sendiri.

"Iya, iya ... tadi Qia bohong," jujur Qia kemudian, "Soalnya Mas percaya banget, sih, sama omongan Ayah."

Sakha tersenyum tipis saat tangannya kembali digenggam oleh Qia. "Mas, kan, belum tahu tentang Dek Qia. Jadi, Mas ngenalin Dek Qia lewat Ayah."

Qia mengangguk-angguk paham. Mereka pun lantas berjalan kembali menyusuri mall yang ramai pengunjung. Beberapa orang yang lewat sempat teralihkan atensinya melihat Sakha dengan tongkatnya.

"Mas ...," panggil Qia berhenti di tengah jalan. "Mau beli boneka penguin, boleh?" tambahnya memohon sembari menengadahkan kepalanya, memasang puppy eyes.

Senyumnya melebar ketika Sakha mengangguk menyetujui keinginannya. "Beli apa aja yang Dek Qia mau, asalkan itu gak berlebihan."

"Iih ... makasih Mas ganteng!"

Saking bersemangatnya, Qia sampai melepaskan tangannya dari tangan Sakha. Berlari masuk ke Miniso sendirian. Namun, salah satu karyawan yang menjaga di depan pintu mengingatkan Qia.

Qia pun menepuk jidatnya, baru ingat saat menoleh ke belakang. Ia berlari kecil memutar arah kembali pada Sakha yang berdiri seperti patung.

"Maaf, ya ... gara-gara Qia kesenengan, Mas jadi ketinggalan."

Qia menyengir lebar sembari meraih kembali jari-jemari Sakha. Sementara cowok dengan jaket denim itu hanya tersenyum geli seraya geleng-geleng kepala.

Qia lantas menggeret Sakha dengan antusias sampai Sakha sendiri kewalahan. Sesampainya di rak boneka, Qia mengamati sebentar. Setelah ada yang pas, Qia mengambil satu boneka penguin warna biru muda.

"Eh, ini, mah persis banget sama yang Qia punya di rumah!" ujar Qia bersemangat. Boneka yang Qia maksud adalah boneka bertahun-tahun silam yang bentuknya tak lagi berupa.

"Boneka apa?" Sakha menoleh hati-hati.

"Boneka penguin, Mas. Lucu gak?" Qia menunjukkannya kepada Sakha, seolah lupa bahwa Sakha tak bisa melihat benda menggemaskan itu.

Sejenak, Sakha terdiam dan pura-pura berpikir. Berikutnya, ia menggeleng dengan enteng.

Qia mendengus kesal. Bibirnya mengerucut, gemas. "Kok bisa, sih? Ini lucu tau!" protes Qia menunjuk-nunjuk boneka penguin berukuran sedang yang ada di tangannya.

Sekali lagi, Sakha menggeleng. "Karena buat Mas ...." Sakha mengangkat kedua sudut bibirnya, sengaja menggantungkan kalimatnya.

"Lebih lucu Dek Qia daripada bonekanya," lanjut Sakha tersenyum manis membuat Qia mleyot di tempat.

"Mama!" jerit bocah kecil berusia empat tahun sambil menarik gamis mamanya dengan tangan lain yang sedang tidak digandeng.

Wanita muda yang memakai jilbab menutup dada itu menoleh ke arah putranya, lalu berjongkok mensejajarkan tingginya.

"Kenapa, Mas?" tanyanya lembut.

"Mau beli boneka itu, buat dedek bayi di perutnya Tante Naura!" ucapnya begitu polos sembari menunjuk ke salah satu gerai yang dilewati di mall. Sang mama mengacak gemas kepala bocah lucu itu.

"Tapi anaknya Tante Naura sama Om Rafka, belum lahir, Mas. Belum bisa main boneka. Gimana, dong?"

Wanita itu mengajukan pertanyaan sehingga Sakha kecil melipat tangannya di dada seraya menggembungkan pipinya. Ia berpikir dengan mata yang menyipit.

Beberapa saat berlalu, anak laki-laki itu kembali ke sikap normal sembari berkata, "Nanti aku cari tau caranya, Ma. Yang penting bonekanya kita beli dulu, ya, ya, ya?"

Kemudian mamanya menyanggupi keinginan Sakha. Mereka pun segera memilih-milih boneka. Sakha bersorak sangat senang. Pilihan bocah laki-laki itu jatuh pada boneka penguin berwarna biru muda.

Sakha kecil memungutnya dari rak bawah kemudian memberikannya kepada sang mama. Ia juga mengeluarkan sesuatu dari saku celana.

"Ini uangku, Ma." Tangan kecilnya terulur memberikan dua koin uang recehan kepada mamanya.

"Nanti kalau uangnya kurang, Mama tinggal ambil aja dari ayam jago di kamarku." Anak laki-laki itu melebarkan senyumnya sampai gigi susunya terlihat.

"Pakai uang Mama aja, ya?"

Sakha menggeleng lucu. "Boneka itu hadiah dari aku buat dedek bayi, bukan dari Mama."

"Yaudah, kita bayar ke kasir. Oke?"

"Ayooo!"

Sakha kecil berlari dengan girang mendahului mamanya. Berkali-kali wanita tersebut memanggil namanya, sambil berusaha menyusul langkah kecil itu.

"Mas Sakha, jangan lari-lari!"

"Mas ... Mas Sakha!"

"Mas Sakha!"

Sakha langsung tergugah dari lamunannya. Berkedip beberapa kali dan bayangan itu menghilang dalam sekejap. Tidak ada lagi yang bisa ia lihat, hanya terdengar suara Qia yang menggerutu kesal.

"Mas kok ngelamun, sih? Mas Sakha mikirin apa?" tanya Qia yang langsung dibalas gelengan oleh Sakha.

"Ayo, kita bayar ini dulu. Habis itu belanja buat di rumah, ya."

Sakha pun tersenyum dan berjalan berdampingan mengikuti Qia---gadis yang menjatuhkan pilihannya kepada boneka yang sama seperti yang ia pilih waktu itu.

Gadis yang dulunya paling Sakha tunggu kehadirannya di bumi.

Gadis yang sekarang sudah tumbuh dewasa tanpa tahu bagaimana rupa cantiknya.

Yang Sakha ingat hanyalah, kepingan memori bayi merah yang menangis meminta susu.

Dia ... Qiara Ranesya Putri. Bayi perempuan yang telah berhasil Sakha miliki sepenuhnya.

***

"Mama. Papa."

Merasa putranya memanggil, sepasang suami-istri itu menoleh kepada anak kecil yang sedang melongok ke dalam keranjang bayi. Orang tua dari bayi itu juga ikut teralihkan perhatiannya.

Saat itu Naura sedang terbaring pucat di ranjang pesakitan stelah melahirkan. Sedangkan Rafka di dekatnya tengah menggendong putra pertama mereka yang masih berumur dua tahunan.

"Iya, Mas Sakha. Ada apa?" tanya sang mama. Berjalan mendekati Sakha dan ikut berjongkok melihat bayi mungil yang berbalut kain merah muda itu.

"Apa aku boleh menyentuh adek bayinya?" Dengan wajah lugu khas anak kecil, Sakha menanyakannya.

"Karena kata Papa, aku tidak boleh sembarangan menyentuh perempuan. Adek bayinya ini perempuan, Ma," terangnya kemudian.

Seluruh ruangan VVIP di salah satu rumah sakit itu menahan tawa dengan tingkah anak kecil itu. Mamanya tampak bingung hendak menjawab apa.

"Kalau sekarang, masih boleh. Tapi kalau sudah besar, tidak boleh. Harus menikah dulu," tutur sang papa dengan santai, membuat istrinya melotot tajam. Menurutnya, kosakata itu belum pantas untuk anak sekecil Sakha.

"Menikah?" ulang Sakha kecil tidak mengerti. Kata itu sedikit asing di telinganya.

"Kayak Mama sama Papa? Kayak Om Rafka sama Tante Naura?"

Papanya mengangguk sambil tersenyum kaku. Ia menyesali perkataannya tadi. Padahal, niatnya hanya melucu dan tidaklah sungguh-sungguh.

"Jika sudah besar dan aku menikah ... Apa aku bisa menyentuh Dek Qia terus?"

Papanya mengangguk lagi.

"Bisa main bareng, Pa? Naik sepeda bareng? Berangkat sekolah bareng?"

"Iya, semua bisa bareng-bareng." Papanya kelihatan tertekan sambil mengusap tengkuknya. Ternyata putra satu-satunya ini terlalu banyak mengoceh, karena mungkin sedang aktif-aktifnya.

"Yeay!" Dengan gembiranya, Sakha bersorak.

Ia kembali melihat bayi yang baru beberapa saat lalu dilahirkan ke dunia. Kemudian jari telunjuk kecilnya, menyentuh pelan pipi gembul bayi perempuan yang tengah terlelap itu.

"Cepat besar ya, Dek Qia ... supaya kita bisa menikah."

Sakha mengulas senyum menggemaskan, meskipun ia tak tahu apa makna dari kata 'menikah' yang sesungguhnya.

"Alhamdullilah, Mas. Dapet rezeki dari Allah lewat Bu Ratna. Tadi Qia ketemu di depan, terus dikasih sate."

Suara Qia yang tiba-tiba terdengar diiringi suara langkah kaki membuat Sakha yang sedang duduk di meja makan sembari melamun langsung tersadar. Ia melepas earphone yang terhubung dengan laptop yang terpasang di telinganya.

Qia berjalan mendekat menghampiri Sakha yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya. Qia mengerut heran ketika layar laptop malah mati dan mendapati Sakha tersenyum sendiri.

"Mas kenapa, sih? Dari tadi senyum-senyum," ujar Qia merasa ada yang aneh dari Sakha. Lelaki itu lebih sering melamun sejak tadi.

"Mikirin apa hayoo ...," tuding Qia sambil menoel pipi Sakha sekilas. Meletakkan satu plastik hitam berisi dua bungkus sate di atas meja dekat laptop Sakha. Ia kemudian duduk di dekat suaminya.

Senyum Sakha kian melebar, membayangkan momen dahulu sebelum Allah mengambil pengelihatannya.

"Mikirin Dek Qia," ujarnya santai.

"Gombal teruuus!" Qia dengan senyum yang tertahan memilih mengambil piring sebentar lalu membuka bungkus sate pemberian tetangganya.

Sakha terkekeh. "Mas serius. Keinget pertemuan Mas pertama kali sama Dek Qia."

"Pertemuan pertama? Kapan? Waktu di warung baksonya Mang Udin?"

Aroma saos kacang dari bungkus sate yang Qia buka dan taruh di atas piring sangat menggugah selera itu tercium di indera penciuman keduanya.

"Adek beli sate?" tanya Sakha sambil membereskan laptopnya.

Qia menyodorkan satu piring yang sudah siap santap ke hadapan Sakha. Mengambilkan sendok dan garpu yang berada di tengah meja. "Enggak. Tadi Bu Ratna yang kasih," jawab gadis itu.

"Alhamdullilah." Sakha kembali tersenyum senang dan mulai menyantap sate. "Terima kasih, Dek Qia."

Qia mengangguk dan menarik kedua ujung bibirnya. "Sama-sama, Mas."

Selang beberapa saat, Qia yang tengah menguyah teringat sesuatu. "Pertanyaan Qia yang tadi belum Mas jawab, lho."

"Pertanyaan yang mana?" Sakha berusaha mengingat. Qia menghela napas sedikit kesal.

"Laki-laki emang gitu, ya?" gumamnya segera.

"Itu lho ... tadi, kan Mas bilang kalau Mas lagi mikirin pertemuan pertama kita. Terus Qia tanya ... pertemuan pertama yang mana? Kapan? Yang waktu di warung baksonya Mang Udin bukan?" jelas Qia pelan-pelan.

Sakha membulatkan mulutnya baru paham. "Bukan."

Jawaban tersebut membuat kening Qia mengerut samar. Namun Sakha kembali melanjutkan perkataannya, "Jauh sebelum itu."

Kini giliran Qia yang tak mengerti. Otaknya berusaha memahami, tapi tetap tidak bisa. Kata-kata Sakha terlalu ambigu baginya. "Maksudnya gimana, sih?" bingung gadis itu

"Nanti aja Mas jelasinnya, sekarang makan dulu. Terus siap-siap, ya. Adek harus setoran habis salat isya' nanti."

Ucapan Sakha di akhir kalimat membuat Qia menepuk pelan jidatnya. Bisa-bisanya ia kelupaan dengan hal sepenting itu.

"Oh iya, lupa astagfirullah ... mana baru hafal dikit lagi!"

Tidak lama di tengah kegugupan yang mendera dada karena takut hafalannya menghilang, ponsel Qia mendadak berdering. Qia yang sedang menggigit sate dari tusuknya segera mengambil handphone yang tergeletak di dekat piringnya.

"Ayah telfon," kata Qia melebarkan mata mendapat video panggilan dari sang ayah.

"Angkat aja," sahut Sakha menyuapkan potongan lontong yang berlumuran saus kacang ke dalam mulut.

Qia mengangguk menatap Sakha. Kemudian ia menggeser tombol hijau ke atas, bersamaan dengan ponsel yang diletakkan dan disandarkan pada tempat sendok-garpu. Tidak lupa, Qia mengeraskan volume supaya keduanya bisa dengar.

"Assalamualaikum, Sayangnya Bunda."

Naura yang lebih dahulu menyapa. Wanita yang sedang tidak memakai jilbab dan berada di kamar bersandar pada kepala kasur bersama sang suami itu melebarkan senyumannya.

"Wa'alaikumussalam." Sakha dan Qia menjawab dengan kompak.

"Gimana kabarnya?" tanya Rafka merangkul pundak sang istri yang duduk di sebelahnya. Qia yang salah fokus melihat hal tersebut memutar bola mata malas.

"Nempel terooss!" Qia mencibir, tak suka melihat ke-uwuan di depan mata. Dua orang di seberang sana terkekeh.

Rafka menanggapi, "Ya, gapapa. Mumpung di rumah cuma berdua aja."

Qia melebarkan matanya mendengar itu. "Awas, ya, jangan sampai Kak Fardan punya adik lagi!"

Bukan hanya pasutri di dalam layar yang tertawa, Sakha pun turut hanyut ke dalam lelucon Qia. Saat Qia melirik ke arah suaminya itu, terlihat sekali jika Sakha sedang menahan tawanya.

"Yang penting itu kalian. Udah siap belum kasih Bunda sama Ayah cucu yang imut-imut?" Naura menaik-turunkan alisnya berhasil membuat Qia membeku di tempat.

Mendengar kata 'cucu' jantungnya seperti melompat dari tempatnya. Menelan ludah susah payah, seluruh badannya langsung merinding. Ia kembali melirik Sakha yang tak berekspresi apapun.

Kalau biasanya Qia langsung memprotes sesuatu hal yang mengganggu hatinya, tapi sekarang tak bisa. Ia hanya bisa diam mengulum bibirnya, sembari menerka-nerka apa yang ada di dalam otak suaminya. Sampai akhirnya Sakha memecah keheningan.

"Doakan yang terbaik buat kita, ya, Ayah, Bunda. Kami berdua juga baru saling kenal. Jadi, butuh pendekatan dulu."

Sakha menjelaskan diakhiri senyuman seraya memandang kosong ke arah layar ponsel. Detik itu juga Qia bisa mengambil dan membuang napas. Namun, gadis itu tak yakin jika ada sesuatu di balik senyuman itu.

"Pasti, Sakha. Gak usah buru-buru, gak masalah. Kami gak menuntut. Bunda paham banget pasti kamu kewalahan ngurusin Qia yang belum dewasa dan masih suka main-main itu. Tolong dimaklumi, ya."

"Iya, Bunda."

"Oh, iya. Bagaimana persiapan buat kerja besok? Sudah siap pergi ke kantor?" tanya Rafka mengganti topik, karena ia sedari tadi memperhatikan putrinya yang kelihatan mati gaya.

Sakha mengangguk mantap. "InsyaAllah, Sakha sudah siap Ayah."

Qia menyela di antara suara-suara berat tersebut. "Emangnya bisa, ya?"

"Apanya?"

"Kerjanya, lah."

"Sekarang zamannya udah canggih, Qia. Laptop sama handphone, kan, bisa diaktifkan screen reader-nya. Gak perlu beli yang khusus. Lagian, Sakha udah terampil," sambung pria paruh baya itu.

"Ayah ...." Qia merengek gemas. "Bukan itu maksudnya. Kalau itu, Qia tau. Tadi udah dibilangin sama Mas Sakha."

"Lha, terus apa masalahnya? Kenapa kamu yang repot?" Naura ikut tertarik dalam perbincangan.

"Jabatannya Mas Sakha di kantor Ayah apa coba? Wakil direktur, kan?"

Rafka membulatkan mulutnya, baru paham. "Oalah ... Kamu ragu sama kemampuan suami kamu?"

Sontak saja Qia menggeleng tegas. "Enggaklah! Qia itu yakin banget sama Mas Sakha." Gadis itu melirik Sakha yang terus saja diam sembari tersenyum tipis.

"Bacaan kamu kurang banyak, Qi. Coba cari di internet. Srikant Bolla. Dia itu berhasil menjadi CEO Bollant Industries, padahal usianya masih dua puluh tiga tahun. Bayangkan Qi! CEO, loh! Bayangkan coba!" Rafka nampak menggebu-gebu, sampai wajahnya memenuhi layar ponsel.

"Keterbatasan fisik bukan jadi penghalang buat jadi orang yang sukses!" tambah pria itu membuat Qia seketika bungkam. Terlihat, Naura mencoba mengambil alih ponsel dari tangan suaminya.

"Sekarang Bunda tanya," ucap Naura setelah berhasil merebut benda pipih itu, meski awalnya mendapat protesan dari Rafka. "Kalau Sakha gak kerja, kamu mau makan apa, hm?" lanjut wanita itu.

"Iya, deh iya. Qia ngalah." Gadis cantik itu mulai pasrah.

"Sakha," panggil Rafka membuat Sakha terkesiap. "Besok biar diantar jemput sama Pak Idris, ya?" lanjutnya memberitahu. Pak Idris adalah sopir keluarga mereka.

Sebelum Sakha mengangguk mengiyakan, lebih dahulu Qia menyela perbincangan antara mertua dan menantu tersebut.

"Gak usah, Ayah. Besok Qia yang bakal nganter Mas Sakha," ujar Qia tanpa paksaan.

"Naik apa? Jangan aneh-aneh, ya!" Naura bertanya keheranan, karena ia tahu betul di rumah mereka belum ada kendaraan pribadi.

"Naik MRT, Bunda. Masa naik odong-odong? Makanya beliin mobil."

"Beli mobil, kok, kayak beli permen. SIM aja belum punya."

"Otewe Bunda. Qia itu sebenarnya udah lulus tes, udah dapet SIM juga. Tapi masih disita sama Ayah," ungkap Qia sejujur-jujurnya.

"Mana sempet dibohongin lagi. Bilangnya ambil foto buat revisi KTP, tapi malah dipasang di buku nikah."

"Mulai, deh, bahas masa lalu," balas Rafka tak terima. "Ayah gak bohong, ya. Habis itu KTP kamu juga ganti, kan fotonya? Sama ganti statusnya?"

Qia mengembuskan napas jengah. Ia menopang wajahnya dengan siku yang menumpu pada meja. "Iya, iya. Suka hati Ayahanda."

Ketiganya tertawa renyah. "Besok Ayah titipin SIM kamu ke Sakha. Bisa, kan, Kha?"

"Bisa, Ayah." Suara Sakha mengalun lembut.

Melihat itu, Naura teringat sesuatu. "Bunda masih enggak nyangka, Sakha yang anteng, alim, gak banyak neko-neko gini kok bisa dapet istri modelan kayak kamu."

Qia kesal dengan ucapan bundanya itu, segera melayangkan demo. "Itu namanya rezeki dari Allah. Gini-gini anaknya Bunda juga, ya!"

Naura terkekeh melihat ekspresi lucu putrinya. "Kamu gak usah manjat-manjat pohon lagi. Tobat, harus jadi lebih feminim."

"Bunda ...." Qia merengek, merasa harga dirinya sedang diinjak-injak. Apalagi di hadapan Sakha, mau taruh dimana mukanya nanti?

Qia pun menoleh pada Sakha dan bergelayut manja di lengan suaminya. "Mas Sakha gak malu, kan, punya istri yang suka manjat pohon?"

Sebelum Sakha menjawab, Rafka lebih dahulu berbicara. "Gak usah aneh-aneh, Sayang. Kamu mau cosplay jadi kera?"

_____

TO BE CONTINUE.

Panjang banget, kaaan. Bosen gak?😳❤️

Ada kritik dan saran?

Atau ada yang mau disampaikan ke aku?🤣

Tenang aja, di sini kayaknya konflik ceritanya ringan, kok. Kayaknya😁

Spoiler next part (kalau gak ada revisi, ya):

Next kapan, nih?!

See you❤️

Continue Reading

You'll Also Like

9.7K 1.3K 34
"Kenapa harus lo sih! Kan ada gitu guru privat lain kenapa om Sero harus milih lo!" "Bawel!" "Nyebelin tau gak! Dapet guru privat kek lo! Pinter gak...
5.9K 248 13
Seorang istri yang tidak dianggap keberadaan nya oleh sang suami, sang suami yang lebih mencintai kekasihnya, membuat sang wanita harus bersabar akan...
2.5M 294K 68
ZINNIA : CINTA TANPA KOMA Novelnya masih bisa dipesanπŸ“Œ β‰ͺβ€’β—¦ ❈ ◦‒≫ Fyi: alurnya masih berantakan, yang rapi versi novelnya. Gak maksa kamu buat baca...
128K 12.4K 46
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...