WIRO SABLENG

By dlwshe

119K 861 20

More

01. Empat Berewok Dari Goa Sanggreng
02. Mau Bernyanyi Di Pajajaran
03. Dendam Orang-Orang Sakti
04. Keris Tumbal Wilayuda
05. NERAKA LEMBAH TENGKORAK
06. Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga
07. Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
08. Dewi Siluman Bukit Tunggul
09. RAHASIA LUKISAN TELANJANG
10. Banjir Darah Di Tambun Tulang
11. Raja Rencong Dari Utara
13. Kutukan Empu Bharata
14. Sepasang Iblis Betina
15. Mawar Merah Menuntut Balas
16. HANCURNYA ISTANA DARAH
17. Lima Iblis Dari Nanking
18. Ki Ageng Tunggul Akhirat
19. Hidung Belang Berkipas Sakti
20. Pendekar Pedang Akhirat
21. Neraka Puncak Lawu
22. Pendekar Dari Gunung Naga
23. Siluman Teluk Gonggo
24. Cincin Warisan Setan
25. Penculik Mayat Hutan Roban
26. Cinta Orang-orang Gagah
27. Iblis Iblis Kota Hantu
28. Khianat Seorang Pendekar
29. Petaka Gundik Jelita
30. Dosa Dosa Tak Berampun
31. Bencana Di Kuto Gede
32. Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi
33. Bajingan Dari Susukan
34. Panglima Buronan
35. Munculnya Sinto Gendeng
36. Telaga Emas Berdarah
37. Dewi dalam pasungan
38. Maut bermata satu
39. Iblis Berjanggut Biru
40. Kelelawar Hantu

12. Pembalasan Nyoman Dwipa

2.9K 25 0
By dlwshe

SERIAL WIRO SABLENG

12.Pembalasan Nyoman Dwipa

KARYA

BASTIAN TITO

1

KETIKA dia memasuki Klung-kung, kota itu

masih diselimuti embun pagi. Kesunyian pagi

dipecah oleh derap kaki kuda yang

ditungganginya. Sesampainya di depan pura

besar yang terletak dipersimpangan jalan

seharusnya dia membelok ke kiri. Tapi karena

hari masih terlalu pagi diputuskannya untuk

menghangati perutnya dengan secangkir kopi

lebih dulu di kedai yang terletak tak berapa

jauh dari persimpangan itu.

Meskipun hari masih pagi di dalam

kedai sudah penuh oleh pengunjung. Laki-laki yang baru datang ini duduk di tempat yang

masih lowong sementara pemilik

kedai melayaninya. Beberapa orang tamu memandang kepadanya lalu meneruskan menyantap kue-

kue atau menghirup

minumannya. Beberapa diantara mereka meneruskan percakapan yang tadi terhenti karena

kedatangan pengunjung baru ini.

"Semarak kota Klungkung kini semakin tambah dengan kedatangannya orang baru itu," berkata

seorang laki-laki sambil

memandang pada cangkir kupinya. Umurnya kira-kira lima puluhan.

"Sudah seminggu ini tentang penduduk baru itu saja yang dipercakapkan orang, termasuk kau."

menyahut kawannya.

"Kalau anak-anak muda yang mempercakapkannya itu bukan soal, tapi kau yang sudah tua

begini, ampun . . . " Dicabutnya

rokok kaungnya dari sela bibir lalu dihembuskannya jauh-jauh.

Laki-laki yang pertama tertawa. Waktu tertawa ini kelihatan gigi-giginya yang cuma tinggal

beberapa saja sedang kedua

pipinya mencekung kempot. "Kau salah sahabatku. Kecantikan seorang perempuan bukan hak

orang muda-muda semata untuk

membicarakannya. Kita yang tua-tua inipun tak ada salahnya. Dan anak gadis I Krambangan itu

benar-benar cantik luar biasa.

Belum pernah aku sampai setua ini melihat yang secantik dia."

"Apakah dia secantik bidadari?"

"Ah sobat!" kata laki-laki tua itu sambil mengelus dadanya, "kau belum bertemu dengan dia.

Nantilah .... kalau kau lihat

anak gadisnya I Krambangan itu hem ... Kau akan menyesal karena terlalu cepat dilahirkan ke

dunia ini hingga ketika dia

muncul di Klungkung ini kau sudah jadi seorang tua renta, kakek-kakek peot macam terong

rebus!"

Beberapa orang tersenyum-senyum mendengar ucapan itu. Dan orang tua tadi meneruskan lagi

kata-katanya sementara

2

tamu yang baru datang, sambil menikmati kopi hangatnya tidak menyia-nyiakan pula untuk

memasang telinga.

"Kau tanya apakah dia secantik bidadari. Sobat ... meski aku belum pernah lihat bidadari,

tapi aku yakin mungkin dia

lebih cantik dari bidadari di kayangan! Kau tahu, kulitnya kuning langsat, potongan

tubuhnya besar diatas besar di bawah dan

langsing di tengah-tengah. Matanya . . . hem ... pernah kau lihat bintang timur? Sepasang

mata anak gadis I Krambangan itu

lebih bagus dari bintang timur. Lehernya jenjang, pipinya selalu merah, apalagi kalau kena

sinar matahari persis macam pauh di

layang. Sepasang alisnya tebal hitam seperti semut beriring, hidungnya mancung kecil macam

dasun tunggal. Dagunya seperti

lebah bergantung ... pokoknya segala macam oerumpamaan yang diberikan orang cocok melekat

pada darinya. Dan kalau dia

tersenyum sobatku, hem ... rasa di awan kita melihatnya ..."

"Sudahlah," memotong kawannya. "Habiskan saja kopimu. Kalau kau terus bicara tentang anak

gadis I Krambangan itu

mungkin lewat tengah hari baru kita sampai ke tempat pekerjaan!"

Setelah kedua orang tua itu pergi, tamu tadi berpikir-pikir. Rupanya tentang kecantikan

anak gadis I Krambangan itu

sudah tersebar luas sampai ke pelosok kota Klungkung. Jangankan orang-orang muda, orang-

orang tua seperti yang dua tadipun

masih punya minat untuk membicarakannya. Dia memandang ke luar kedai. Matahari telah agak

tinggi. Dihabiskannya

kopinya dan setelah membayar harga minuman serta kue yang dimakannya orang inipun keluar

dari kedai itu, menunggangi

kudanya dengan tidak tergesa-gesa menuju ke selatan.

Di tepi jalan seorang laki-laki separuh baya tengah mengukir sebuah patung di depan

rumahnya. Penunggang kuda ini

berhenti dan bertanya letak rumah yang tengah ditujunya. Setelah mendapat keterangan maka

dia pun melanjutkan perjalanan.

Rumah itu kecil mungil. Keseluruhan papannya baru dicat. Baru saja dia berhenti dan turun

dari kudanya, pintu muka

terbuka, seorang laki-laki berpakaian bersih keluar, ketika melihat orang yang turun dari

kuda ini, orang itupun berseru

gembira, "Made Trisna!"

"I Krambangan!"

"Sahabat lama! Kedatanganmu laksana dibawa oleh Dewa-dewa di Swargaloka! Bagaimana kau bisa

tahu aku tirggal di

sini?"

"Secara kebetulan saja. Aku bertemu dengan Ida Bagus Seloka di Denpasar. Dia yang

menerangkan bahwa kau pindah dan

menetap di sini."

"Oh⁄.." I Krambangan manngut-marggut beberapa kali. "Mari silahkan masuk sahabat. Tadinya

aku hendak ke ladang.

Tapi biar kubatalkan. Seharian ini kita akan bicara panjang lebar!"

Kedua sahabat lama itupun naik kegatas rumah Setelah bicara panjang lebar ke barat-ke timur

maka Made Trisna

mengutarakan maksud kedatangannya yang sebenamya.

"Sahabatku I Krambangan, di samping hendak menyambangimu disini, sebenarnya maksud

kedatanganku ini membawa

pula satu maksud yang sangat baik."

3

"Gembira sekali aku mendengarnya, Made Trisna," ujar I Krambangan, "katakanlah apa maksudmu

yang sangat baik itu."

Setelah batuk-batuk beberapa kali baru Made Trisna membuka mulutnya, "Kau tentu masih ingat

dengan Tjokorda Gde

Anyer."

"Oh, siapa yang akan lupa pada manusia pemberani itu!"

"Nah justru kedatanganku kemari ini ada sangkut paut dengan dirinya."

"Hem, begitu? Sangkut paut bagaimana, Made?"

"Dialah yang meminta aku ke sini untuk menyampaikan salam hormat."

"Ah, aku yang rendah ini mana berani menerima salamnya?" potong I Krambangan.

"Kau tahu sendiri sifat Tjokorda Gde Anyer. Baginya semua orang sama, tak ada tinggi dan

rendah tak ada bangsawan dan

rakyat jelata. Nah sahabatku, dia menyuruh aku kemari untuk tolong menyampaikan salam

hormat di mana dia berhajat untuk

meminang anakmu . . ."

"Maksudmu Ni Ayu Tantri?"

"Tentu! Kau kan tak punya anak lain dari pada si tunggal Tantri itu."

I Krambangan meneguk ludahnya. "Sungguh satu kehormatan luar biasa. Tjokorda Gde Anyer

mempunyai hasrat baik

untuk melamar anakku. Setahuku dia juga cuma punya seorang anak ⁄"

"Betul namanya Tjokorda Gde Jantra. Parasnya gagah, usianya dua tahun lebih tua dari anak

gadismu. Ringkas kata, kalau

anakmu dijodohkan dengan dia pasti cocok sekali laksana pinang dibelah dua. Satu bulan satu

mentari."

Sejak sepuluh tahun yang lalu I Krambangan tak pernah bertemu dengan Tjokorda Gde Anyer.

Sewaktu anak Tjokorda

Gde Anyer masih kecil dia memang pernah melihatnya dan menurut pendapatnya anak itu

tidaklah gagah parasnya, mukanya

senantiasa pucat macam orang sakit, tubuh kurus dan kelakuannya nakal bengal luar biasa.

Tapi itu dulu selagi masih kanakkanak.

Sekarang sesudah jadi pemuda mungkin sifatnya telah berubah dan parasnya menjadi gagah.

Karena I Krambangan lama tak bersuara maka berkatalah Made Trisna,

"Apa lagi yang kau pikirkan, sahabatku? Terima saja lamaran itu. Tjokorda Gde Jantra pemuda

gagah anak bangsawan dan

kaya raya. Pasti hidup anakmu akan terjamin dan bahagia!"

"Memang betul kata-katamu itu Made," jawab I Krambangan. "Tapi justru mengingat perbedaan

darah turunan antara

kami dan dialah maka rasanya agak malu juga aku menerima lamarannya itu. Aku rakyat jelata

mana mungkin berbesan dengan

orang bangsawan, sekalipun sebelumnya sudah saling mengenal."

Made Trisna tertawa. "Sekarang bukan jamannya berpikir sekolot itu, I Krambangan. Apalagi

kau ingat sifatnya Tjokorda

Gde Anyer yang tak mau membeda-bedakan di antara manusia."

Kembali I Krambangan berdiam diri beberapa lamanya.

Lalu: "Anakku Ni Ayu Tantri berparas buruk. Masakan anaknya Tjokorda Gde Anyer bersedia

mengambilnya jadi kawan

4

hidup ...?"

"Kau keliwat merendah, sahabat," kata Made Trisna pula seraya menggulung sebatang rokok

kaung. "Kecantikan paras

anak gadismu laksana bunga harum semerbak yang dihembuskan angin ke pelbagai penjuru. Pagi

tadi sebeLum ke sini aku

mampir di sebuah kedai. Dan kau tahu? Pagi-pagi buta begitu tamu-tamu di situ sudah bicara

tentang kecantikan paras anakmu.

Bayangkan!"

I Krambangan mengusap-usap dagunya, memandang ke arah jalan di mana meluncur sebuah pedati

menarik tumpukan

kayu-kayu bakar. Suara klenengan sapi-sapi penarik pedati itu terdengar sepanjang jalan.

"Walau bagaimanapun gunjingan orang di luaran tentang diri anakku, tapi Tjokorda Gde Jantra

sendiri belum pernah

bertemu muka dengan anakku. Jangan-jangan begitu lamaran kuterima, setelah bertemu tahu-

tahu pemuda itu kecewa dan

menyesal ⁄"

"Kalau dia tak pernah melihat paras anakmu dengan mata kepala sendiri, masakan dia dan

ayahnya sampai memaksaku

agar datang kemari!" kata Made Trisna pula.

Kembali I Krambangan menelan ludahnya. Akhirnya berkata laki-laki ini. "Beri aku waktu

barang seminggu dua minggu

untuk merundingkan hal ini bersama istriku. Aku sendiri pada dasarnya setuju, cuma

bagaimanapun aku musti minta pula

pertimbangan istriku. Di samping itu yang terpenting Tantri pun harus diberi tahu."

Made Tisna manggut-manggut.

"Aku yakin istrimu serta Ni Ayu Tantri menyetujui pinangan yang kusampaikan ini. Dua minggu

terlalu lama sobat, biar

aku datang minggu depan kemari untuk meminta jawabanmu. Akur..."

"Baiklah Made. Karena istriku sudah menyiapkan hidangan pagi di dalam, marilah kita masuk."

Kedua orang itu berdiri

lalu masuk ke ruang tengah.

5

SEPERTI yang dikatakan Made Trisna, satu minggu kemudian dia kembali ke Klungkung menemui I

Krambangan untuk

meminta kabar atau jawaban mengenai pinangan yang disampaikannya tempo hari. Dia yakin

betul I Krambangan akan

menerima pinangan Tjokorda Gde Anyer. Begitu sampai di rumah sahabatnya itu langsung Made

Krisna menanyakan

persoalan.

"Minumlah dulu, Made." kata I Krambangan mempersilahkan sahabatnya. Bila Made Trisna sudah

meneguk minuman

yang disuguhkan maka I Krambangan baru membuka persoalan.

"Seperti yang kukatakan tempo hari, pada dasarnya aku bisa menerima lamaran Tjokorda

GdeAnyer. Bukan saja

menerimanya tapi malah menganggapnya itu satu penghormatan yang luar biasa mengingat dia

bangsawan kaya raya mau

mengulurkan tangan pada keluargaku bangsa rakyat jelata. Ketika kubicarakan pada

istrikupun, dia terkejut dan hampir tak

percaya. Dan seperti aku, diapun menyetujui lamaran itu. Namun setelah kuterangkan pada

Tantri, kita terbentur pada satu

persoalan, Made. Hal ini memang sudah kuduga dari semula, yaitu sejak kau mengemukakan

lamaran satu minggu yang lalu

itu."

"Persoalan apakah yang menjadi halangan itu, I Krambangan?" tanya Made Trisna pula.

"Dua tahun sebelum kami pindah kesini, sebenarnya Tantri telah mempunyai pilihan hati

sendiri. Kau tentu mengerti

maksud ucapanku ...."

"Maksudmu Tantri telah mempunyai kekasih?"

I Krambangan mengangguk. "Mereka saling mencinta dan sudah punya rencana untuk menikah

sesudah Hari Raya

Galungan beberapa bulan dimuka. Meski aku orang tuanya, tapi kau tentu dapat memaklumi

Made, bagaimana aku tak bisa

memaksa Tantri untuk memutuskan hubungannya dengan itu pemuda yang dicintainya. Terlalu

besar dosanya memutuskan tali

kasih seseorang. Aku kawatir tak akan dirakhmati Dewa-dewa lagi jika aku berani memutuskan

hubungan kasih anakku."

Lama Made Trisna termenung. Kemudian berkatalah laki-laki ini, "Kau terlalu banyak kawatir,

sahabatku. Masakan Dewadewa

di kayangan tidak akan merakhmatimu. Bukankah dengan menikahkan Tantri dengan Tjokorda Gde

Jantra berarti kita

membuat satu kebajikan dan pahala besar?"

"Itu betul Made. Tapi bagaimana dayaku untuk memutus hubungan Tantri dengan pemuda yang

dikasihinya? Aku sebagai

orang tua benar-benar tidak tega . . . "

"Apakah kau sudah terangkan padanya bahwa yang melamar adalah Tjokorda Gde Anyer? Apakah

kau terangkan pula

orang yang bagaimana adanya bangsawan kaya raya itu?"

"Sudah." jawab I Krambangan, "semuanya sudah. Bahkan kubujuk pula anak itu untuk mau

menerima lamaran tersebut.

6

Tapi sia-sia belaka, Made."

Untuk kedua kalinya Made Trisna termenung.

Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya kemudian bertanyalah Made Trisna, "Apakah kau

tak melihat cara atau jalan

lain agar Tantri menyetujui perjodohannya dengan Tjokorda Gde Jantra?"

"Sudah kutempuh berbagai cara Made. Agaknya memang sukar melembutkan hati yang sudah

diberikan pada seorang lain

yang dikasihi. Kita harus maklum itu karena kitapun pernah muda ..."'

"Sebagai orang tua, apakah kau tidak merasa itu merupakan satu keingkaran? Menyatakan

bagaimana anakmu tidak

berbakti padamu ...?"

I Krambangan menggigit bibirnya. Pertanyaan itu merupakan satu pukulan baginya. Tapi dia

tersenyum sewaktu

menjawab, "Meski aku orang tuanya. Made, tapi aku juga bisa melihat sampai batas-batas mana

seorang tua bisa mencampuri

urusan pribadi anaknya. Penolakan yang dikemukakan Tantri bukan kuanggap sebagai satu

keingkaran atau satu kenyataan

bahwa dia tidak berbakti terhadapku. Kurasa siapa saja mempunyai hak untuk mengemukakan

pendapatnya mengenai. urusan

pribadinya. Apalagi urusan yang menyangkut masa depan. Kukatakan aku dan istriku menyetujui

lamaran Tjokorda Gde Anyer.

Tapi kita musti sadar pula bahwa bukan aku atau istriku atau kau atau juga Tjokorda Gde

Anyer yang akan dijodohkan dan

akan menempuh hidup baru berumah tangga itu, tapi Tantri."

"Betul, betul sekali." sahut Made Trisna cepat-cepat karena kata-kata I Krambangan itu

menggejolakkan hatinya. "Betul

sekali apa yang kau katakan itu, sahabat. Tapi kita musti pula menyadari, dunia ini masih

belum terbalik. Kita orang-orang tua

mempunyai hak dan kewajiban untuk memelihara anak kita dan kalau sudah besar membuat dia

berbakti pada kita, mengikuti

apa mau kita karena niscaya orang tua itu tak ada yang berniat mencelakakan anaknya. Dunia

masih belum terbalik sahabatku.

Masakan kita orang-orang tua musti mengikuti maunya anak kita, justru anaklah yang harus

patuh dan mengikuti kemauan

orang tuanya!"

"Menyesal sekali, rupanya jalan pikiran kita sedikit berbeda Made," kata I Krambangan.

"Bagaimana pun aku tak merasa

dunia ini telah terbalik hanya karena aku memberikan hak untuk menentukan kehidupan masa

depan pada anakku. Dan aku

juga menyadari bahwa memang bukan adat atau pun kebiasaan kita untuk berlaku seperti itu.

Tapi harus disadari Made, dunia

kita di masa lalu tidak sama dengan dunia orang-orang sekarang. Dunia orang-orang sekarang

tak sama pula dengan dunia

orang-orang di masa nanti. Segala sesuatunya harus tunduk pada keadaan dan kehendaknya

jaman . . . "

"Dimana orang tua-tua tidak mempunyai daya apa-apa lagi terhadap anaknya? Dimana anak-anak

sanggup mengatur

orang tuanya dan bukan orang tuanya yang mengatur diri mereka? Sungguh lucu jaIan

pikiranmu. Jika memang itu

pendirianmu, memang sungguh berbeda jalan pikiran kita sahabat. Dan adalah sangat

disayangkan kalau kau sampai mau

menolak lamaran Tjokorda Gde Anyer. Kau tahu, I Krambangan. Jika perjodohan ini jadi, kau

sekeluarga akan dibuatkan

sebuah rumah gedung dan disuruh pindah ke Denpasar. Tentang kehidupan masa tuamu tak perlu

memikirkan, kau hanya

7

ongkang-ongkang kaki saja karena semua keperluan dijamin oleh Tjokorda Gde Anyer. Tentang

anakmu ... dia akan hidup

bahagia bersama Tjokorda Gde Djantra!"

"Memang sudah kubayangkan betapa kebahagiaan akan menyelimuti bila Tantri nikah dengan anak

Tjokorda Gde Anyer.

Tapi aku tak punya daya untuk memaksa Tantri."

Made Trisna menjadi putus asa dan penasaran sekali pada sahabatnya itu. "Kalau aku boleh

bertanya," katanya, "siapa

gerangan pemuda yang dikasihi oleh anakmu itu? Apakah dia tampan gagah, anak orang

bangsawan tinggi, punya sawah ladang

berhektar-hektar, punya ternak berkandang-kandang dan punya harta bergudang-gudang, hingga

mata dan hati anakmu tak

dapat dialihkan kepada yang lain lagi?"

"Pemuda itu bernama Nyoman Dwipa. Dia tinggal di desa Jangersari dan agaknya bagi Tantri,

sawah ladang atau ternak

atau harta kekayaan itu bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan nilai kasih sayang yang

dipadunya dengan Nyoman Dwipa."

Rasa putus asa dan penasaran yang menggelorai hati Made Trisna lama-lama berubah menjadi

kejengkelan dan rasa muak

yang akhirnya berubah pula menjadi rasa benci terhadap sahabat lamanya itu. Dianggapnya I

Krambangan keterlaluan tolol!

"Baiklah I Krambangan," kata Made Trisna seraya berdiri, "kalau begitu putusanmu memang tak

bisa aku memaksa. Tapi

terus terang kukatakan bahwa sebagai manusia hidup kau terlalu bodoh untuk tidak mau

menerima lamaran Tjokorda Gde

Anyer."

"Terserahlah kau mau bilang apa, sahabatku," jawab I Krambangan dengan pelahan. "Mungkin

aku memang orang tolol.

Tapi aku yakin dalam ketololan itu aku berpijak pada kebenaran dan hak pribadi yang tak

bisa diganggu gugat!"

Made Trisna memacu kudanya dengan kencang. Hatinya mencaci maki habis-habisan I Krambangan!

***

Denpasar sebuah kota besar dan bagus di pulau Bali. Beberapa buah pura besar yang sangat

indah bangunannya terdapat

di sana. Di tengah-tengah kota terdapat sebuah gedung besar yang atapnya berbentuk candi.

Tak ada satu orangpun di Denpasar

yang tidak tahu siapa pemilik gedung bagus dan besar itu. Bahkan penduduk yang tinggal di

pinggiran kotapun tahu bahwa itu

adalah gedung kediaman bangsawan kaya raya Tjokorda Gde Anyer.

Waktu itu hari telah rembang petang ketika Made Trisna dan kudanya sampai di pintu gerbang

gedung, langsung masuk

ke halaman dalam, dan menemui Tjokorda Gde Anyer. Sebelum dia membuka pembicaraan, Tjokorda

Gde Djantra sudah

muncul pula hingga dapatlah ia memberi keterangan sekaligus pada kedua beranak itu.

Betapa terkejutnya bangsawan dan anak tunggalnya itu tatkala mendengar penuturan Made

Trisna, tatkala mengetahui

bahwa lamaran mereka ditolak oleh I Krambangan. Tak perduli alasan apapun yang dikemukakan

I Krambangan, yang nyata

ini adalah merupakan satu penghinaan besar!

8

"I Krambangan manusia tak tahu diri! Tak tahu diuntung!" maki Tjokorda Gde Anyer. Lalu dia

berpaling pada anaknya

dan berkata, "Sudah, kau cari saja gadis lain! Di Denpasar ini, di pulau Bali ini ada

ratusan gadis-gadis yang jauh lebih cantik

dari anaknya si Krambangan itu, yang turunan bangsawan terpandang, kaya raya!"

Tjokorda Gde Djantra termanggu beberapa lamanya. Mukanya yang senantiasa pucat macam orang

mau mati besok, saat

itu kelihatan makin tambah pucat! Seperti ayahnya, pemuda inipun merasa terhina. Tapi

hatinya benar-benar sudah terpaku

pada gadis itu hingga tak mungkin baginya untuk mencari lain gadis seperti yang dikatakan

ayahnya.

"Kita sudah diberi malu Djantra!" berkata Tjokorda Gde Anyer. "Kuharap kau jangan memberi

malu yang kedua kalinya.

"Tapi ayah aku tak sanggup hidup bersama gadis lain."

"Kenapa tidak sanggup? Sepuluh gadis yang lebih cantik dari si Tantri itu bisa kau ambil

jadi istri sekaligus!"

Tjokorda Gde Djantra berdiri dari kursinya.

"Walau bagaimanapun aku musti dapatkan gadis itu, ayah. Tidak dengan cara baik-baik dengan

jalan burukpun bisa. Rasa

malu yang kita terima akan kubalas malam ini juga!" Tjokorda Gde Djantra lantas berlalu

dari situ.

Tjokorda Gde Anyer dan Made Trisna saling berpandangan. Kedua orang ini sudah bisa menduga

apa yang bakal

dilakukan oleh Tjokorda Gde Djantra. Dan berkatalah Made Trisna, "Kalau betul itu hendak

dilakukan oleh Tjokorda Gde

Djantra, kurasa tak ada salahnya. Itu sudah menjadi adat kebiasaan kita di sini."

9

3

HARI itu sejak petang lingkungan langit di ataskota Klungkung diselimuti kemendungan.

Gumpalan awan hitam datang

bergulung-gulung tiada hentinya dari arah barat. Menjelang senja angin keras mulai bertiup,

menerbangkan debu di segala

pelosok, membuat kota tenggelam dalam udara pengap. Tepat sewaktu sang surya lenyap di ufuk

barat maka hujan deraspun

turunlah. Suaranya menggemuruh ditimpal oleh deru angin. Setiap telinga yang mendengarnya

merasa ngeri. Sekali-sekali

menggelegar guntur, berkelebat kilat. Dalam tempo yang singkat parit dan selokan di seluruh

kota telah luber oleh air hujan,

sungai-sungai kecil banjir menerpa segala apa saja yang ada di sekitarnya. Kadang-kadang

hujan itu mereda sebentar lalu turun

lagi dengan lebih lebat. Dinginnya udara seperti merembas dan mencucuk sampal ke tulang-

tulang sungsum!

Dalam lebatnya curahan hujan, dalam kerasnya deru angin dan dalam gelapnya suasana malam

yang sangat dingin itu,

dari jurusan timur laksana bayangan setan, kelihatanlah empat penunggang kuda memasuki

Klungkung. Sesampainya di

persimpangan jalan di depan pura, keempatnya membelok ke kiri tanpa mengurangi kecepatan

kuda masing-masing. Air hujan

dan lumpur bercipratan di belakang kaki-kaki ke empat binatang itu.

Hampir mencapai ujung jalan, salah seorang penunggang kuda menunjuk ke depan dan berkata,

"Yang itu rumahnya!

Pergilah, aku menunggu di sini."

Tiga penunggang kuda lainnya segera mengeluarkan sapu tangan-sapu tangan besar yang

berwarna hitam dan menutupi

paras mereka dengan sapu tangan itu sebatas mata ke bawah kemudian ketiganya segera

bergerak ke rumah kecil yang ditunjuk

tadi.

Seperti keadaan rumah-rumah di sekitarnya, rumah yang mereka tuju inipun sunyi senyap, tak

satu lampupun yang

menyala tanda seluruh penghuninya telah tidur nyenyak dalam kehangatan selimut masing-

masing.

Ketiga orang itu turun dari kuda. Setelah meneliti keadaan sekeliling mereka langsung

ketiganya menuju ke pintu depan.

Dengan mempergunakan sebuah alat, pintu yang terkunci berhasil dibuka. Hampir tanpa suara

sedikitpun ketiga orang itu

masuk ke dalam rumah. Mata mereka terpentang lebar-lebar dalam kegelapan. Selangkah demi

selangkah ketiganya bergerak.

"Kurasa yang ini kamarnya," berbisik salah seorang dari yang tiga lalu mendahului kawan-

kawannya maju ke pintu dan

mengintai. Di dalam kamar gelapnya bukan main, tapi matanya yang tajam sanggup juga melihat

sesosok tubuh yang terbaring

bergelung diatas tempat tidur.

"Biar aku yang masuk," berkata laki-laki bertubuh kurus. Didorongnya daun pintu. Pintu itu

mengeluarkan suara

berkereketan tapi suara ini tertelan oleh suara hembusan angin deras dan hujan lebat.

Dengan dua jari tangan terpentang lurus

siap untuk menotok, laki-laki berbadan kurus ini melangkah mendekati tempat tidur.

Tiba-tiba orang yang tidur di atas pembaringan menbalikkan badannya, selimut yang menutupi

sebagian wajahnya

10

terbuka dan ketika dia bangun dengan cepat orang ini segera membentak, "Siapa kau?!"

"Keparat! Bukan dia!" rutuk laki-laki yang mukanya tertutup kain hitam sementara dua orang

kawannya yang berdiri di

ambang pintu berjaga-jaga juga terkejut sekali. Tadinya mereka menyangka orang yang tidur

di atas pembaringan itu adalah Ni

Ayu Tantri, gadis yang hendak mereka culik. Tapi suara bentakan itu nyata sekali suara

laki-laki! Tak dapat tidak yang tidur di

situ adalah ayah dari gadis itu!

"Maling rendah! Kau berani masuk ke dalam rumahku!" terdengar lagi bentakan. Itu adalah

suara bentakannya I

Krambangan yang menyangka manusia yang masuk ke dalam kamar itu adalah maling! Segera laki

-laki itu melompat

menyambar sebilah parang yang tersisip di dinding. Namun sebelum tangannya mencapai senjata

itu satu pukulan menyambar

dari samping!

I Krambangan dulunya adalah seorang bekas kepala prajurit kerajaan, dengan sendirinya

memiliki ilmu silat yang cukup

bisa diandalkan, apalagi kalau cuma menghadapi seorang maling! Mendapat serangan itu dengan

cepat dia melompat ke

samping, berkelit dan menyusupkan satu tendangan ke dada lawan!

Tapi yang dihadapi I Krambangan bukan "maling biasa". "Maling" itupun ternyata memiliki

ilmu silat yang lihay. Dengan

mudahnya dia mengelakkan serangan I Krambangan lalu berkelebat cepat dan "buk". Tahu-tahu

jotosannya melanda dada I

Krambangan.

Orang tua itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terhempas ke dinding. Nafasnya sesak dan dadanya

sakit bukan main. Tapi

karena dia tersandar ke dinding dengan sendirinya dia mempunyai kesempatan baik untuk

menyambar parang. Cuma dia

masih kurang cepat. Sebelum tangannya berhasil menyentuh benda itu dari kiri kanan dua

pasang tangan yang kuat-kuat telah

mencekal kedua lengannya. Dia coba berontak tapi tak berhasil. Sesaat kemudian satu pukulan

yang amat keras mendarat di

keningnya. I Krambangan coba mempertahankan diri berusaha agar tidak jatuh pingsan. Tapi

pukulan itu terlalu keras.

Lututnya tertekuk dan sewaktu dua orang yang mencekalnya melepaskannya, laki-laki ini

terhempas ke lantai tanpa sadarkan

diri!

Di kamar sebelah, mendengar suara ribut-ribut itu, dua orang terbangun dari tidur masing-

masing. Mereka adalah Ni Ayu

Tantri dan ibunya. Biasanya Tantri tidur sendirian di kamar depan tapi karena malam itu

ibunya diserang demam panas, si

gadis sengaja tidur bersama sekalian untuk menjaga perempuan itu.

"Ada apa, nak ...?" bisik Ni Warda, ibunya Tantri.

"Seperti suara orang berkelahi, bu." jawab Tantri "Kudengar keluhan ayah ... Biar aku lihat

keluar."

Ni Warda menarik pakaian anaknya dan berkata gemetar: "Jangan, Tantri. Pasti itu orang-

orang jahat. Kalau kau keluar...."

"Tapi ayah bu," ujar Ni Ayu Tantri dengan hati cemas. Dan baru saja gadis ini berkata

demikian pintu kamar itu

terpentang lebar oleh satu tendangan keras! Ni Warda dan Ni Ayu Trisna menjerit sewaktu

melihat tiga orang laki-laki

bertutupkan kain hitam paras masing-masing, menyerbu ke dalam kamar itu!

11

***

Baru saja matahari pagi tersembul di ufuk timur, seluruh Klungkung sudah heboh oleh berita

yang disampaikan dari

mulut ke mulut yaitu bahwa Ni Ayu Tantri, gadis cantik yang belum lama ini pindah bersama

ayah dan ibunya telah lenyap

diculik orang malam tadi! I Krambangan dan beberapa orang penduduk semalam-malaman itu

telah berusaha mencari jejak si

penculik, namun sia-sia belaka. Rata-rata penduduk menduga bahwa yang menculik Ni Ayu

Tantri itu adalah gerombolan

rampok yang bersarang di Bukit Jaratan karena rampok-rampok itu memang selalu mengenakan

kain hitam penutup muka bila

menjalankan kejahatannya.

Tapi I Krambangan sendiri mempunyai dugaan lain. Bersama dua orang tetangga, dengan

menunggangi kuda pagi itu dia

berangkat menuju Denpasar. Tak sukar baginya mencari gedung kediaman Tjokorda Gde Anyer.

Akan Tjokorda Gde Anyer ketika melihat kedatangan I Krambangan berubahlah parasnya. Tapi

seseat kemudian

bangsawan ini tertawa lebar dan berkata: "Sungguh tak disangka-sangka kedatanganmu ini, I

Krambangan. Mari silahkan

masuk."

"Cukup kita bicara disini saja, Tjokorda Gde Anyer. . ."

"Eh, kenapa begitu? Tak pantas sekali seorang yang bakal jadi besanku hanya berdiri ..."

"Jangan bicara segala macam soal besan, Tjokorda Gde Anyer!" potong I Krambangan pula

dengan suara keras. "Panggil

anakmu! Aku ingin bicara dengan dia!"

Tjokorda Gde Anyer memandang tajam-tajam pada tamunya. "Sobat lama, agaknya satu kemarahan

menyelimuti dirimu.

Bicaralah dengan tenang tak perlu kesusu. Katakan maksud kedatanganmu, dan maksudmu hendak

bertemu serta bicara dengan

anakku. Dalam pada itu kuharap kau suka masuk agar kita bisa bicara baik-baik."

Seseorang keluar dari dalam gedung. Parasnya kusut mungkin kurang tidur. Orang ini bukan

lain Made Trisna. Dia tak

dapat menyembunyikan rasa terkejutnya sewaktu melihat I Krambangan. Namun seperti Tjokorda

Gde Anyer tadi, diapun

lantas tertawa dan menegur laki-laki itu. I Krambangan tidak perdulikan orang ini melainkan

memandang menyorot pada

Tjokorda Gde Anyer.

"Agaknya ada sesuatu yang tidak beres, I Krambangan?!" tanya tuan rumah.

"Ya, memang ada sesuatu yang tidak beres! Dan berat dugaanku anakmulah yang menjadi biang

ketidak beresan ini!"

"I Krambangan, tuduhanmu agaknya sangat tidak beralasan! Katakan apa yang telah terjadi

sampai kau bicara begini

rupa!"

"Kurasa kau dan juga Made Trisna sudah tahu apa yang terjadil Aku bisa mengetahui pada

pertama kali aku melihat air

muka kalian! Tapi tak apa saat ini kalian berkura-kura dalam perahu! Suatu ketika aku akan

tahu kedustaan kalian! Dengar,

12

sesudah pinanganmu kutolak secara baik-baik kemarin, malam tadi tiga orang telah memasuki

rumahku dan menculik Ni Ayu

Trisna!"

"Oh! Lalu saat ini hendak kau tuduhkan bahwa anakkulah yang telah menculik anak gadismu?

Sungguh tuduhan yang

sangat rendah dan tanpa bukti sama sekali!"

"Memang tuduhanku tidak ada bukti. Tapi aku yakin bahwa anakmulah yang melakukannya!

Sekarang katakan dimana

anakmu itu?"

"Dia tak ada di sini, I Krambangan."

"Itu satu bukti bahwa memang anakmu ada sangkut paut dengan diculiknya Ni Ayu Trisna!"

"Jangan menuduh sembarangan!" tukas Tjokorda Gde Anyer dengan marah. "Sekalipun lamaranku

ditolak apa perlunya

anakku menculik anakmu? Sepuluh gadis-gadis yang lebih cantik dari anakmu bisa didapat oleh

Tjokorda Gde Djantra!"

I Krambangan menyeringai. "Katakan saja di mana anakmu berada!"

"Sejak siang kemarin dia meninggalkan rumah! Kemana perginya aku tidak tahu. Kalau kau

tidak percaya silahkan tanya

pada Made Trisna."

"Dengar Tjokorda Gde Anyer!" kata I Krambangan dengan memandang tajam-tajam. "Jika aku

mendapat bukti-bukti dan

kenyataan bahwa anakmulah yang telah menculik anakku dan terjadi apa-apa dengan diri Ni Ayu

Tantri, aku akan bunuh dia!

Siapa saja yang berani menghalangi perbuatanku akan kusingkirkan dari muka bumi ini!

Termasuk kau dan Made Trisna!"

Habis berkata begitu I Krambangan dan dua orang kawannya memutar tubuh dan segera

meninggalkan gedung itu.

13

DALAM hujan lebat di malam buta itu empat orang penunggang kuda meninggalkan rumah I

Krambangan dengan cepat.

Dalam waktu yang singkat keempatnya telah meninggalkan kota Klungkung. Di satu persimpangan

jalan keempatnya berhenti.

Laki-laki bertopeng kain hitam yang membawa sesosok tubuh perempuan di pangkuannya berkata

pada tiga orang lainnya,

"Kita berpisah di sini."

"Baik Tjokorda Gde Djantra. Hati-hatilah!" sahut salah seorang dari mereka. Bersama dua

orang kawannya laki-laki ini

segera meninggalkan persimpangan itu sedang yang seorang tadi menyentakkan tali kekang

kudanya dan menempuh jalan

sebelah kanan. Dua jam lamanya laki-laki ini memacu kudanya tanpa henti. Sewaktu fajar

menyingsing dia sampai di sebuah

lereng bukit dan memperlambat lari kudanya. Sambil menunggangi kuda tak henti-hentinya dia

menundukkan kepala

memandang paras jelita dari gadis yang berada dalam keadaan pingsan di pangkuannya. Di

puncak bukit laki-laki ini berhenti

untuk melepaskan lelah sementara kuda tunggangannya menjilati air empun dan memakan rumput

-rumput liar yang tumbuh

di sekitar sana. Tak lama kemudian orang itu meneruskan perjalanannya kembali.

Di tepi sebuah telaga berair bening yang terletak dua puluh kilo dari Klungkung dan lima

belas kilo dari Denpasar

terdapatlah sebuah pondok. Pondok ini buruk dan tak terurus. Tapi karena lantai, dinding

dan atap dibuat dari kayu jati, meski

tak terurus, keadaannya masih cukup baik untuk ditempati.

Tjokorda Gde Djantra menghentikan kudanya di tepi telaga lalu membawa perempuan yang

diculiknya ke dalam pondok,

membaringkannya di atas sebuah tumpukan jerami kering yang dibuat demikian rupa hingga

merupakan tempat tidur yang

cukup nyaman. Dibukanya kain hitam yang menutupi parasnya. Setelah memandangi wajah gadis

itu beberapa lamanya dengan

seringai di bibir, Tjokorda Gde Djantra keluar dari pondok dan membersihkan diri dalam

telaga. Tubuhnya terasa segar bila dia

keluar dari telaga. Ketika dia masuk ke dalam pondok didapatinya gadis itu telah siuman dan

duduk di tepi tempat tidur jerami

tengah memandang berkeliling dengan perasaan takut bercampur heran.

"Kau sudah siuman Tantri ... ?"

Ni Ayu Tantri terkejut oleh suara teguran itu dan memandang ke arah pintu dengan cepat. Dia

tak kenal dengan pemuda

berparas pucat yang berdiri di ambang pintu itu. Tapi bila dia ingat pada peristiwa malam

tadi yakinlah dia bahwa manusia ini

pastilah salah seorang dari orang-orang jahat yang menculiknya! Cepat-cepat gadis ini

berdiri.

"Kelihatannya kau takut sekali padaku, Tantri." berkata Tjokorda Gde Djantra.

Yang mengherankan Ni Ayu Tantri ialah karena pemuda ini mengenal namanya. Melihat kepada

pakaiannya yang bagus

kemungkinan dia seorang pemuda bangsawan! Tapi siapa dia dan mengapa telah melakukan

penculikan benar-benar tak bisa

dimengerti oleh Ni Ayu Tantri sementara rasa takutnya semakin bertambah besar detik demi

detik. "

"Siapa kau? Mengapa menculik dan membawa aku kemari?!" tanya Ni Ayu Tantri.

14

Tjokorda Gde Djantra tersenyum. Meski suara itu bernada keras namun sedap sekali terdengar

di liang telinganya.

"Kau tak usah takut Tantri," berkata si pemuda, "kau memang tak kenal aku tapi aku kenal

padamu. Kurasa namaku telah

pernah kau dengar dalam beberapa hari belakangan ini."

"Aku tak perduli siapa kau. Yang penting aku harus meninggalkan tempat ini dan kembali ke

Klungkung dengan cepat!"

"Kau tak akan kembali ke Klungkung Tantri," kata Tjokorda Gde Djantra.

Ni Ayu Tantri terkejut. Rasa takut semakin mencekam dirinya. "Apa ... Aku tak akan kembali

ke Klungkung?!" tanyanya.

Tjokorda Gde Djantra tersenyum lalu menganggukkan kepalanya perlahan-lahan. "Kau akan

kembali ke Denpasar.

Kerumahku. Dan kita akan tinggal bersama-sama di sana sebagai suami istri yang berbahagia!"

Pucatlah paras Ni Ayu Tantri. Kini tahulah gadis ini dengan siapa dia berhadapan. Tidak

bisa tidak pastilah pemuda

bermuka pucat ini Tjokorda Gde Djantra, anak bangsawan yang telah ditolak lamarannya satu

hari yang lewat! Dan ketika

Tantri menyadari apa maksud penculikan yang dilakukan Tjokorda Gde Djantra sesudah

lamarannya ditolak itu, merindinglah

bulu kuduk Ni Ayu Tantri! Gadis ini menjerit dan coba menerobos ke pintu. Tjokorda Gde

Djantra memegang lengan gadis itu

dan menariknya ke tengah pondok.

"Tak ada yang harus kau takutkan Tantri," kata pemuda itu. "Seharusnya kau bergembira

karena kita akan hidup

bahagia⁄. "

"Lepaskan aku!" teriak Tantri seraya menyentakkan lengannya. Tapi cekalan Tjokorda Gde

Djantra terlalu keras dan erat

untuk bisa dilepaskannya.

"Duduklah dulu ditumpukan jerami itu, Tantri. Biar kita bisa bicara baik-baik ..."

"Aku tak ingin bicara dengan kau! Perbuatan ini keji sekali! Terkutuk!" teriak Tantri.

Tjokorda Gde Djantra tertawa pelahan. "Perbuatanku ini keji dan terkutuk?" ujarnya. "Justru

perbuatan pemuda-pemuda

Bali yang gagah dan berhati jantan! Justru hal ini dibenarkan oleh adat kebiasaan pulau

Dewata ini!"

"Lepaskan aku manusia keji! Lepaskan!" Sambil menjerit Tantri meninju dada pemuda itu

berulang kali. Tjokorda Gde

Djantra mendorong Tantri keras hingga terbaring di atas tempat tidur jerami lalu cepat-

cepat dia menutup pintu dan

memalangnya sekaligus! Perlahan-lahan dia melangkah mendekati Tantri yang menjerit-jerit

dan ketakutan setengah mati.

"Aku tak mengerti," kata Tjokorda Gde Djantra seraya rangkapkan tangan dimuka dada, "tak

mengerti mengapa kau

sampai menolak lamaranku ..."

"Manusia keji keluarkan aku dari sini!"

"Kudengar kau sudah mempunyai seorang kekasih, Betul?"

"Itu bukan urusanmu! Keluarkan aku dari sini, Keluarkan!"

"Tak ada gunanya berteriak terus-terusan. Suaramu yang bagus nanti bisa serak, Tantri."

Ni Ayu Tantri melompat ke pintu. Namun usahanya untuk melarikan diri sia-sia saja karena

untuk kedua kalinya pemuda

15

bangsawan itu berhasil mencekal lengannya dan mendorongnya kembali hingga terbanting di

atas tempat tidur jerami kering.

"Nama pemuda kekasihmu itu Nyoman Dwipa bukan?"

Tantri tak menjawab melainkan menangis dan berteriak-teriak.

"Dengar Tantri," berkata lagi Tjokorda Gde Djantra. "Hidup berumah tangga bersamaku pasti

kau akan bahagia dan tidak

tersia-sia. Segala keperluan hidupmu kujamin penuh."

"Aku tak perlu semua itu! Tutup mulutmu manusia keji! Keluarkan aku dari sini!"

"Kadang-kadang cinta itu memang membuat seorang menjadi buta dan tolol tak bisa lagi

berpikiran sehat. Kau hendak

sia-siakan hidup masa depanmu di tangan seorang pemuda desa yang tak punya apa-apa? Kau

hendak sia-siakan kehidupanmu

yang masih panjang ini hanya karena kasih sayang gilamu ...?!"

"Diam!" jerit Ni Ayu Tantri.

"Kekasihku memang tak punya apa-apal Tapi itu adalah seribu kali lebih baik dari pada

kekejian yang kau lakukan ini!

Menculik gadis yang tidak sudi kawin dengan kau! Cis! Kau adalah pemuda bangsawan yang

paling rendah di atas dunia ini!"

"Sesudah kau kubawa kemari, sesudah kulakukan apa-apa atas dirimu, apakah masih akan

menolak nanti untuk kawin

denganku?" tanya Tjokorda Gde Djantra pula dengan seringai mengejek.

"Aku lebih baik bunuh diri dari pada kawin dengan kau!" jawab Ni Ayu Tantri blak-blakan!

"Tolol sekali mau mati muda begitu rupa," ejek Tjokorda Gde Djantra lalu melangkah maju.

"Pergi!" teriak Tantri!

"Tantri, kau sudah dewasa. Kenapa bertingkah macam anak kecil? Dengar ... aku tak akan

melakukan apa-apa atas dirimu

jika kau bersedia menerima lamaranku."

"Lebih baik aku kawin dengan setan dari pada dengan manusia macammu!" jawab Tantri pula

seraya mundur menjauhi

pemuda itu.

Ucapan yang dilontarkan Ni Ayu Tantri adalah hinaan luar biasa yang tak pernah diterima

pemuda bangsawan itu selama

hidupnya. Mukanya yang senantiasa pucat pasi mendadak sontak menjadi kelam merah. Mulutnya

terkatup rapat-rapat,

rahangnya bergemeletukan. Tiba-tiba laksana seekor harimau yang kelaparan pemuda ini

melompat ke muka. Kedua tangannya

bergerak cepat. Ni Ayu Tantri Menjerit.

"Breet! Breet ...!"

Suara robekan pakaian terdengar beberapa kali berturut-turut. Pekik Tantri mengumandang

melengking tinggi.

Kemanapun gadis ini berusaha lari dia tak dapat menyelamatkan diri dari keganasan sepasang

tangan Tjokorda Gde Djantra

yang merobek-robek pakaiannya itu! Dalam waktu yang singkat boleh dikatakan gadis itu sudah

seperti tak berpakaian lagi.

Auratnya yang kuning langsat penuh kemulusan tersingkap di mana-mana, membuat darah di

tubuh Tjokorda Gde Djantra

laksana mendidih!

16

"Ini kemauanmu sendiri Tantri!" desisnys. "Aku telah memberi jalan baik-baik padamu!"

"Bunuh aku! Bunuh saja!" teriak Tantri. Suaranya sudah serak akibat menangis dan menjerit

terus-terusan.

Tjokorda Gde Djantra menyeringai macam setan muka putih. Sekali tangan kanannya mendorong

ke muka, Ni Ayu

Tantri terpelanting dan jatuh di atas tempat tidur jerami!

"Terlalu gila kalau aku mau membunuhmu,Tantri!" kata pemuda itu dengan mata yang bersinar-

sinar penuh nafsu. Ni

Ayu Tantri tahu apa yang bakal terjadi atas dirinya. Cepat-cepat dia melompat tapi kembali

tangan pemuda itu membuatnya

jatuh tertelentang di atas tumpukan jerami!

"Jika kau sudah tidak perawan lagi, kau tak akan bisa menolak kawin denganku, Tantri⁄"

Suara Tjokorda Gde Djantra

lebih merupakan hembusan nafas panas penuh nafsu dari pada ucapan sebenarnya yang sampai ke

telinga Tantri. Gadis ini coba

menghantamkan salah satu lututnya ke perut si pemuda tapi Tjokorda Gde Djantra telah

menghimpitnya membuat gadis itu

tak punya daya apa-apa lagi selain dari pada menjerit parau dan merapatkan kedua pahanya

sedapat mungkin! Namun sampai

dimanakah kekuatan seorang perempuan menghadapi manusia yang laksana sudah berubah menjadi

binatang buas!

Di luar pondok hujan rintik-riptik turun. Hembusan angin dingin dan sayu. Keadaan alam

ciptaan Tuhan di sekitar

pondok itu laksana meratap menangisi apa yang telah terjadi di dalam pondok.

Ni Ayu Tantri menggeletak di atas tumpukan jerami kering. Tubuhnya yang tak tertutup

selembar benang itu tiada

bergerak-gerak. Sejak kebuasan menimpa dirinya, gadis ini telah jatuh pingsan.

Di lantai pondok, di samping tumpukan jerami itu, terbaring Tjokorda Gde Djantra dengan

tubuh mandi keringat,

hidung kembang kempis diburu nafas panas. Perlahan-lahan diputarnya kepalanya ke arah Ni

Ayu Tantri. Betapa bagusnya

tubuh itu. Betapa luar biasanya kenikmatan yang bisa didapatnya dari kebagusan tubuh itu.

Dengan apa yang telah diperbuatnya

terhadap Ni Ayu Tantri, bagi Tjokorda Gde Djantra jelas sudah bahwa baik Tantri sendiri

maupun kedua orang tuanya

tak bakal bisa lagi menolak lamarannya tempo hari.

Memandangi tubuh itu, lama-lama menggejolak kembali rangsangan nafsu bejat di sekujur tubuh

Tjokorda Gde Djantra.

Ketika dia bangkit dengan pelahan dilihatnya tubuh itu bergerak sedikit. Sewaktu dia

berdiri, kedua mata Tantri membuka.

Telah sadar dia rupanya dari pingsannya. Dia bangun dengan cepat, memandang pada tubuhnya

sebentar lalu ketika sepasang

matanya membentur Tjokorda Gde Djantra, dari mulut Ni Ayu Tantri keluarlah pekik yang

mengerikan! Tjokorda Gde Djantra

sendiri sampai berdiri bulu kuduknya mendengar pekik itu. Sementara dia masih termanggu-

manggu antara dipagut kengerian

dan dirasuk oleh rangsangan yang mengobari sekujur tubuhnya, tiba-tiba Ni Ayu Tantri

melompat ke arah dinding kayu jati.

"Tantri! Jangan!!" teriak Tjokorda Gde Djantra menggeledek. Dia melompat dengan sebat. Tapi

nasib! Terlambat sudah!

Kepala Ni Ayu Tantri telah membentur dinding kayu jati itu dengan amat kerasnya. Terdengar

suara pecahnya batok kepala

perempuan itu. Tubuhnya terkapar ke lantai tanpa berkutik lagi. Meski bunuh diri bukanlah

satu perbuatan baik, namun Ni

Ayu Tantri telah memperlihatkan bahwa baginya kehormatan dan kesucian diri adalah jauh

lebih berharga daripada jiwanya!

17

DI daerah sekitar Denpasar, Gianyar dan Klungkung tiga rombongan yang masing-masing terdiri

dari sepuluh orang telah menjelajah

melakukan pencarian terhadap Ni Ayu Tantri yang telah diculik itu. Rombongan pertama

dipimpin oleh I Krambangan

menyelidik daerah sekitar Denpasar. Rombongan kedua dipimpin oleh Nyoman Dwipa, kekasih Ni

Ayu Tantri, menjelajahi

daerah Gianyar dan sekitarnya. Rombongan yang terakhir dipimpin oleh Kepala Keamanan Kota

Klungkung yang bernama

I Gusti Wardana. Telah hampir satu minggu ketiga rombongan itu melakukan penyelidikan namun

sia-sia belaka. Pada hari ke

delapan I Krambangan dengan putus asa meninggalkan daerah luar kota Denpasar, kembali

menuju ke Klungkung.

Dalam perjalanan pulang ini sengaja I Krambangan menempuh daerah sebelah timur laut,

menyusur rimba belantara dan

kaki-kaki bukit. Udara panasnya bukan main karena matahari bersinar dengan terik. Sewaktu

melewati sebuah kaki bukit,

I Krambangan melihat kuda tunggangannya menggerak-gerakkan sepasang telinganya. Mulutnya

yang berbusah senantiasa tak

bisa diam sedang cuping hidungnya bergerak-gerak. I Krambangan tahu betul jika binatang itu

berada dalam keadaan seperti itu,

ini merupakan suatu tanda bahwa dia tengah membaui air segar.

Mulanya I Krambangan tak mau perduli dengan binatang itu. Lebih cepat kembali ke Klungkung

adalah lebih baik

baginya. Siapa tahu rombongan yang dipimpin oleh Nyoman Dwipa atau I Gusti Wardana telah

berhasil menemukan anak

gadisnya.

"I Krambangan," tiba-tiba seorang anggota rombongan yang berada di samping I Krambangan

menegur. "Bagaimana kalau

kita berhenti dulu untuk istirahat barang beberapa ketika? Kalau aku tidak salah, di

sebelah sana terdapat sebuah telaga berair

jernih . . . "

Atas ajakan ini akhirnya I Krambangan membawa rombongan ke arah telaga yang dikatakan

anggota rombongan tadi.

Semakin dekat ke arah telaga, sesuatu bau yang tidak enak semakin santar menyambar hidung

setiap anggota rombongan.

"Adakah kalian membaui sesuatu?" tanya I Krambangan.

"Ya. Bau busuk apa ini!" jawab seorang di belakangnya sambil memandang berkeliling.

Akhirnya rombongan itu sampai di tepi telaga.

"Hai lihat!" seru seorang di antara mereka. "Ada pondok di tepi telaga sana!"

Memang benar di seberang telaga kelihatan sebuah pondok kayu. Dan dari pondok inilah

agaknya santar sekali

menyambarnya bau busuk itu. I Krambangan mengernyitkan keningnya. Tiba-tiba selintas

pikiran timbul di benak orang tua

ini. Dadanya berdebar. Disentakkannya tali kekang kudanya. I Krambangan memacu binatang itu

memutari telaga hingga

akhirnya sampai di depan pondok. Laki-laki ini melompat turun dari kudanya dan lari ke

pintu pondok. Pintu itu tidak

dikunci. Ketika didorong segera terpentang lebar dengan menimbulkan suara berkeret yang

membuat suasana tambah ngeri

18

terasanya oleh I Krambangan. Begitu pintu terbuka bau busuk menerpa hidung menyesakkan

pernafasan laki-laki itu. Sambil

menutup hidung I Krambangan masuk ke dalam dan langkahnya terpaku ke lantai pondok sewaktu

matanya membentur

sesosok tubuh perempuan yang menggeletak di atas lantai.

Hanya seketika I Krambangan terpaku ke lantai laksana patung. Bila ditelitinya paras yang

rusak itu terpekiklah dia!

"Dewa Agung!"

I Krambangan melompat dan berlutut di samping sosok tubuh itu. Beberapa orang anggota

rombongan kemudian

memasuki pula pondok kecil itu dan semua mereka terkesiap ngeri melihat pemandangan di

depan mata mereka!

Sosok tubuh yang terhampar di lantai pondok bukan lain adalah sosok tubuh Ni Ayu Tantri

yang telah jadi mayat. Selain

tak selembar benangpun yang menutupi auratnya, tubuh itupun sangat rusak, sudah membusuk

bahkan di beberapa bagian

sudah ada yang dimakani ulat! Parasnya yang cantik jelita kini hanya merupakan satu benda

yang mengerikan untuk dipandang.

Keningnya pecah. Seluruh mukanya yang tertutup darah kental beku itu sebagiannya telah

busuk. Mata kiri kanan tempat

bersarangnya belatung-belatung yang berjalan kian kemari!

"Dewa Agung⁄" rintih I Krambangan yang menundukkan kepala dan mencucurkan air mata karena

tak sanggup

menyaksikan keadaan anak gadisnya, "dosa apakah yang aku buat, kesalahan apakah yang

dilakukan anakku hingga mengalami

nasib begini rupa . . ?"

Rintih atau jeritan hati itu tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Sebaliknya di lubuk hati

I Krambangan seolah-olah

muncul sebuah titik merah yang makin lama makin besar, makin besar ... makin besar dan

akhirnya berubah menjadi satu

kobaran api yang membakar hati dan mendidihkan darah di sekujur tubuhnya! Kemarahan yang

menyelimuti dirinya membuat

tubuh laki-laki itu bergetar hebat! Rahang-rahangnya terkatup. Geraham-gerahamnya

mengeluarkan suara bergemeletukan. Tibatiba

berteriaklah I Krambangan laksana geledek dahsyatnya, membuat semua orang yang ada di situ

menjadi kaget sekali.

"Tjokorda Gde Anyer! Ini semua gara-garamu! Ini pasti anakmu yang punya perbuatan! Demi

Dewa Agung aku

bersumpah untuk membunuh seluruh keluargamu! Akan kuhirup darah anakmu yang jahanam itu!"

Bersarnaan dengan berakhirnya teriakan itu, di luar pondok udara tiba-tiba menjadi gelap.

Langit mendung. Angin

menderu keras. Guntur menggelegar, kilat menyambar dan hujan lebatpun_ turunlah! Keadaan

seperti itu seolah-olah delapan

penjuru jagat dan Dewa-dewa di Kahyangan telah mendengar teriak sumpah I Krambangan tadi!

***

Saat itu memang musim hujan. Dalam keadaan basah kuyup I Krambangan memasuki Denpasar. Di

belakangnya

kelihatan empat orang laki-laki memacu kuda masing-masing. Sejak dari Klungkung keempat

laki-laki itu telah coba

menjernihkan hati serta pikiran I Krambangan yaitu agar laki-laki itu mencari penyelesaian

menurut jalan wajar. Mereka telah

19

menasihatkan agar perkara tersebut diserahkan saja pada Kepala Keamanan Kota Klungkung

yaitu I Gusti Wardana yang

sampai saat itu belum kembali dalam memimpin rombongan mencari Ni Ayu Tantri. Tapi dalam

keadaan kalap, dalam

keadaan darah mendidih amarah bergejolak mana mungkin untuk memberi nasihat pada I

Krambangan yang sudah seperti

manusia kemasukan setan itu!

Sambil menyisipkan sebilah keris pusaka almarhum kakeknya I Krambangan berkata pada

tetangga-tetangga yang ada di

hadapannya, "Nyawa dan kehormatan anak gadisku harus dibayar oleh seluruh keluarga Tjokorda

Gde Anyer keparat itu! Aku

belum puas kalau tidak dapat menghirup darah anaknya yang durjana! Kalian tak usah ikut

campur! Ini adalah urusan

pribadiku!"

Semua orang segera maklum pasti akan terjadi peristiwa besar. Maka untuk berusaha agar

jangan sampai terjadi hal-hal

yang tak diinginkan itu, empat orang tetangga telah berangkat pula sengaja mengikuti I

Krambangan ke Denpasar.

Pintu gerbang besar rumah gedung Tjokorda Gde Anyer terkunci. Tanpa turun dari kudanya I

Krambangan menggedor

pintu itu. Tak berapa lama kemudian pintu besarpun terbuka. Seorang pelayan laki-laki

memunculkan kepalanya.

"Bangsat yang bernama Tjokorda Gde Anyer dan anaknya yang bernama keparat Tjokorda Gde

Djantra itu ada di

dalam?!" bentak I Krambangan.

Bentakan itu mungkin tak membuat si pelayan kaget. Tapi ucapan I Krambanganlah yang menjadi

terkejut. Pelayan ini

ingat pada pesan majikannya, maka diapun berkata,

"Sayang sekali, majikanku dan keluarganya pagi tadi telah berangkat ke Tabanan. Beliau

berpesan kalau ada tamu agar

kembali saja minggu depan."

"Hem . . . begitu pesannya?" ujar I Krambangan.

Pelayan itu menganggukkan kepalanya. Justru saat itu I Krambangan menggerakkan kaki

kanannya, menendang dengan

sekuat tenaga ke arah kepala pelayan itu. Didahului oleh satu jeritan kesakitan yang luar

biasa, si pelayan terpelanting dan

roboh tak sadarkan diri lagi! Dengan kaki kirinya I Krambangan menendang pintu hingga pintu

itu terpentang lebar.

Di depan tangga langkan gedung kediaman Tjokorda Gde Anyer, laki-laki ini melompat turun.

Empat orang laki-laki

lainnya melakukan hal yang sama dan berdiri di belakang I Krambangan. Setelah memandang

berkeliling dengan mata yang

merah laksana dikobari nyala api, maka berteriaklah I Krambangan.

"Anjing busuk yang bernama Tjokorda Gde Anyer keluarlah untuk menerima mampus!"

Tak ada jawaban I Krambangan berteriak lagi, lagi dan lagi sampai berulang-ulang! Sewaktu

masih tetap tak ada jawaban

maka menggelegaklah kemarahan laki-laki ini. Kakinya bergerak! Pot bunga buatan Cina yang

besar dan terletak di langkan itu

pecah berantakan dengan mengeluarkan suara berisik. Apapun perabotan yang ada di ruangan

muka itu hancur musnah dirusak

I Krambangan sementara empat orang kawannya tak bisa berbuat apa-apa, apalagi melarang.

Mereka hanya memperhatikan saja

dengan hati cemas.

20

Satu-satunya benda yang masih utuh di ruang depan gedung mewah itu ialah lampu minyak besar

yang tergantung di

langit-langit. I Krambangan mengambil sebuah kursi yang telah patah-patah dan melemparkan

ke arah lampu! Tak ampun

lampu itu pecah berantakan, minyaknya tumpah ke lantai! Dan pada saat itu pulalah pintu di

sudut kanan terbuka. Seseorang

memunculkan diri.

Kemunculan orang ini disambut oleh dampratan I Krambangan, "Tikus kotor Made Trisna! Mana

majikanmu si anjing

Tjokorda Gde Anyer itu?!"

Paras Made Trisna berubah. Matanya memandang tajam-tajam lalu katanya dengan suara lunak,

"Sahabatku, I

Krambangan."

"Tikus kotor! Berlalu dari hadapanku, lekas panggil kau punya majikan kalau tidak ingin

mampus! "

"Apa-apaan ini sebenarnya I Krambangan? Tak ada pasal lantaran kenapa kau mengamuk di rumah

orang ... ?!"

"Keparat laknat! Anakku diculik! Dirusak kehormatannya lalu dibunuh oleh anjing kurap

bernama Tjokorda Gde

Djantra! Dan kau masih bisa bilang tak ada pasal tak ada lantaran...!"

" Krambangan, kau jangan menuduh yang bukan-bukan!"

"Manusia bedebah! Kau cukup pantas untuk mampus lebih dulu!" teriak I Krambangan. Sambil

melompat ke muka keris

pusaka di pinggangnya dicabut. Sesaat kemudian secarik sinar putih menderul Itulah satu

tusukan cepat yang dilancarkan oleh

I Krambangan dengan keris peraknya ke arah leher Made Trisna!

Melihat orang benar-benar meminta nyawanya, Made Trisna cepat-cepat melompat. Serangannya

yang mengenai tempat

kosong membuat I Krambangan jadi tambah gelap. Cepat laksana kilat dia membalik. Sewaktu I

Krambangan hendak melancarkan

serangan maut untuk kedua kalinya, maka menggemalah satu teriakan lantang,

"Tahan!"

I Krambangan hentikan serangannya dan berpaling dengan cepat.

"Anjing busuk! Akhirnya kau keluar juga dari persembunyianmu!" seru I Krambangan.

Paras Tjokorda Gde Anjer mengelam. "I Krambangan!" katanya menegur, "Apa yang kau perbuat

di sini benar-benar

membuat aku terkejut!"

I Krambangan mendengus keras.

"Apakah hati anjingmu juga terkejut sewaktu mengetahui anakmu telah menculik dan merusak

kehormatan Tantri dan

membuhuhnya?!"

"A ... apa?!" seru Tjokorda Gde Anyer terkejut. Dan ini adalah satu kepura-puraan.

Sesungguhnya dari Made Trisna dia

telah tahu apa yang terjadi atas diri Tantri.

"Anjing! Kau tak perlu berpura-pura! Kalau kau tidak takut atas tanggung jawab yang harus

kau pikul perlu apa kau

memberikan pesan dusta pada pelayanmu yang terkapar di luar sana?!"

21

"Aku sedang tak enak badan. Sebab itu kuberikan pesan begitu rupa pada pe ..."

"Sudahlah! Dihadapanku kau tak perlu bicara berpanjang lebar! Bicaralah nanti di liang

kubur!"

Habis berkata demikian I Krambangan melompat dan keris perak untuk kesekian kalinya

berkiblat mencari maut!

"I Krambangan! Lebih baik kita bicara dengan tenang dulu!" seru Tjokorda Gde Anyer.

"Aku sudah bilang bicaralah nanti di liang kubur!" jawab I Krambangan dan serangannya makin

ganas. Di serang bertubitubi

begitu rupa Tjokorda Gde Anyer tak bisa berdiam diri saja. Bangsawan kaya raya ini segera

mencabut sebilah keris bereluk

dua belas dari pinggangnya. Maka sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang seru! Baik

Made Trisna maupun keempat

kawan I Krambangan tak bisa mencegah atau menghentikan pertempuran itu. Akhirnya mereka

cuma memperhatikan jalannya

pertempuran dengan hati penuh kekawatiran. Pertempuran yang hebat itu sudah dapat

dipastikan akan meminta salah satu

korban jiwa!

Bagaimanapun hebatnya serangan-serangan Krambangan pada jurus-jurus permulaan pertempuran

itu namun sudah dapat

dipastikan bahwa Tjokorda Gde Anyer bukanlah tandingannya. Bangsawan ini sewaktu terjadi

perebutan kekuasaan di Kerajaan

Bali sekitar dua puluh tahun yang lalu adalah seorang perwira Kerajaan yang memiliki

kepandaian tinggi. Berkat bantuannya

dan beberapa perwira lainlah kaum pemberontak berhasil ditumpas, takhta kerajaan berhasil

diselamatkan. I Krambangan

sendiri sewaktu pertumpahan darah itu terjadi hanya memegang jabatan sebagai Kepala

Prajurit Kerajaan, hingga dengan

sendirinya dari kedudukan atau pangkat itu sudah dapat ditaksir ketinggian tingkat ilmu

silat masing-masing.

Lima jurus berlalu. Serangan-serangan I Krambangan yang laksana hujan mencurah itu mulai

ditanan dan dibendung oleh

keris bereluk dua belas di tangan Tjokorda Gde Anver vang nyatanya bukanlah keris

sembarangan pula! Dengan senjata itulah

dulu kabarnya Tjokorda Gde Anyer menyelamatkan Kerajaan Bali!

Pada jurus kesembilan, dalam satu serangan yang sangat kalap dan membahayakan dirinya

sendiri, I Krambangan berhasil

melukai bahu kiri lawannya Tjokorda Gde Anyer jadi naik pitam. Kalau tadi dia cuma bertahan

dan menunggu kesempatan

untuk merampas senjata lawan maka kini diapun tak mau main-main lagi. Keris ditangannya

diputar demikian rupa, gerakangerakannya

berubah dan dalam satu jurus saja I Krambangan menjadi dibikin sibuk! Berada dalam keadaan

terdesak bukan

membuat I Krambangan menjadi cemas sebaliknya makin naik darah. Dia sudah bertekad bulat

untuk membunuh lawannya itu

meskipun apapun yang terjadi. Maka diapun mengeluarkan segala kepandaian yang ada.

Memasuki jurus keduapuluh sembilan I Krambangan benar-benar kalang kabut. Delapan kali

saling benturan senjata

dengan lawan telah membuat telapak tangannya pedas dan sakit. Melihat pada keadaannya dalam

satu dua jurus di muka atau

paling lama tiga jurus lagi, laki-laki ini akan menemui kekalahannya!

"I Krambangan, kalau kau menyerah dengan baik-baik, aku bersedia untuk tidak memperpanjang

urusan!" berseru

Tjokorda Gde Anyer.

"Seluruh keluargamu mampus dulu di tanganku baru aku mau menyerah pada mayat-mayat busuk

kalianl" jawab I

22

Krambangan.

Tjokorda Gde Anyer jadi penasaran sekali. Didahului oleh satu bentakan menggeledek dia

membuka jurus ketiga puluh

dengan satu serangan yang hebat. Serangan ini dinamakan lengan dewa merangkul awan." Mula-

mula kerisnya kelihatan

menusuk tajam ke arah batok kepala lawan. Ketika lawan menangkis, mendadak lengannya

bergerak menghantem ke leher

dalam kecepatan yang luar biasa dan sukar diduga. Mana diduga kalau serangan senjata yang

dilancarkan oleh tangan kanan,

bisa berubah dengan satu pukulan tangan kosong yang lihay!

I Krambangan tau bahwa dia tak punya daya untuk menangkis, tak punya kesempatan untuk

mengelak. Karenanya

dengan untung-untungan laki-laki ini tusukkan kerisnya ke dada lawan. Tapi posisi Tjokorda

Gde Anyer terlalu jauh untuk

dicapai oleh tusukan itu! Bahkan baru saja tusukan meluncur setengah jalan, lengan kanan

Tjokorda Gde Anyer membabat

deras dan "krak"! Patahlah batang leher I Krambangan! Sebelum tubuhnya mencium lantai

langkan, nyawanya sudah lepas!

Kalau tadi keempat orang kawan-kawan I Krambangan hanya berdiam diri menyaksikan

pertempuran itu dengan kawatir,

kini bagaimanapun juga rasa setia kawan membuat mereka menjadi marah sewaktu melihat I

Krambangan menggeletak di lantai

tanpa nyawa, Tanpa menunggu lebih lama keempatnya menghunus keris dan menyerbu!

Made Trisna tidak tinggal diam pula. Maka kini pecahlah pertempuran empat lawan dua yang

teramat seru tapi yang juga

berjalan duabelas jurus. Satu demi satu keempat orang itu roboh mandi darah dan mati!

23

DALAM melarikan kuda hitamnya laksana diburu setan itu, masih terbayang di pelupuk matanya

upacara pembakaran jenazah

Ni Ayu Tantri. Masih terbayang olehnya upacara pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu

terbayang olehnya upacara

pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu terbayang pula bagaimana Ni Warda, istri I Krambangan

dengan segala ketabahan dan

keberanian yang luar biasa mencebur masuk ke dalam gejolak api di mana jenazah suaminya

dibakar!

Berhenti di puncak bukit itu dikeluarkannya sebuah kotak kayu jati yang berukir-ukir dari

balik pakaiannya. Sebelum abu

pembakaran jenazah Tantri dibuang kelaut, pemuda ini telah memisahkan sebagian abu suci itu

dan menyimpannya di dalam

kotak yang indah itu. Diciumnya kotak itu dan dibisikkannya kata, "Tantri, aku bersumpah

untuk membalas sakit hatimu dan

keluargamu! Bila manusia-manusia keji itu berhasil kutumpas, akupun rela untuk menyusulmu!"

Perlahan-lahan dimasukkannya kotak itu ke balik pakaiannya kembali. Ketika tali kekang kuda

hitam hendak

disentakkannya, matanya melihat seorang penunggang kuda keluar dari hutan, memasuki jalan

kecil di kaki bukit lalu memacu

kudanya ke arah timur. Entah karena apa timbul kesyakwasangkaan di hati pemuda di atas

puncak bukit terhadap penunggang

kuda di bawah sana. Dia memandang ke timur. Jika dia bergerak cepat, sekurang-kurangnya dia

akan berhasil menyusul orang

itu dan menunggunya di tikungan dekat jurang di sebelah timur sana! Setelah

mempertimbangkan sebentar niatnya itu akhirnya

diletakkannya tali kekang dan larilah kudanya menuju ke timur.

Kira-kira setengah jam kemudian pemuda berkuda hitam itu sudah berada di tikungan jalan.

Tikungan itu selain patah

tajam juga berbahaya karena di sebelah kirinya terdapat jurang batu yang sangat dalam. Di

balik sebuah tebing batu di tepi

kanan jalan pemuda ini menunggu dengan sabar sampai penunggang kuda yang tadi dilihatnya

lalu.

Kira-kira lewat sepeminum teh telinga pemuda ini mulai menangkap suara derap kaki-kaki kuda

di kejauhan. Makin lama

suara itu makin jelas dan keras tanda kuda dan penunggangnya sudah tambah dekat. Ketika

orang yang dihadangnya itu tinggal

beberapa tombak saja, pemuda berkuda hitam keluar dari balik tebing batu.

Orang yang dihadang, seorang pemuda berpakaian bagus, mula-mula tidak menaruh curiga akan

kemunculan seorang

penunggang kuda di hadapannya. Jalan yang ditempuhnya satu-satu jalan yang menghubungkan

Denpasar jengan daerah luar

kota. Jadi adalah biasa saja kalau berpapasan dengan orang lain. Namun sewaktu melihat

pemuda berkuda hitam itu sengaja

berhenti di tengah jalan maka syak wasangkalah hatinya. Pemuda berpakaian bagus itu

menghentikan kudanya dalam jarak lima

belas langkah.

Keduanya saling pandang sejurus. Pemuda yang berpakaian bagus akhirnya membuka mulut,

"Saudara, harap kau suka

memberi jalan."

Orang yang diajak bicara masih memandang tajam-tajam.

24

"Saudara! Apa kau tak dengar orang minta jalan!" ujar pemuda berpakaian bagus, berbadan

tinggi kurus dan berwajah

pucat pasi. Suaranya mulai keras tanda gusar.

"Jalan ini bukan milikku! Silahkan lewat!" kata pemuda berkuda hitam tapi dia sama sekali

tidak menepikan kuda

tunggangannya!

Melihat ini pemuda berpakaian bagus jadi penasaran dan membentak: "Siapa kau? Apa maksudmu

menghadang

perjalanan orang!!"

Satu seringai tersungging di mulut pemuda berkuda hitam. "Akui terus terang manusia muka

pucat! Kau tentu bangsatnya

yang bernama Tjokorda Gde Djantra dari Denpasar!"

Ucapan ini membuat pemuda berpakaian bagus menjadi kaget. Nalurinya memperingatkan agar

mulai detik itu dia harus

berhati-hati karena memang dia adalah Tjokorda Gde Djantra!

"Katakan dulu kau siapa, baru aku menerangkan tentang diriku!"

Sebagai jawaban pemuda berkuda hitam mencabut sebilah keris bereluk tujuh berwarna coklat

tua. Sinar matahari yang

terik membuat senjata ini berkilau memancarkan sinar kehitaman!

"Silahkan cabut keris di pinggangmu! Aku yakin kau adalah manusia keji yang bernama

Tjokorda Gde Djantra. Aku

Nyoman Dwipa kekasih Ni Ayu Tantri! Kau harus serahkan jiwamu saat ini juga sebagai

pertanggungan jawab atas apa yang

telah kau lakukan terhadap gadisku! Juga atas apa yang telah dialami oleh I Krambangan

serta empat orang kawan-kawannya!"

Kejut Tjokorda Gde Djantra bukan alang kepalang. Tapi dia tidak gentar. Dia tertawa gelak-

gelak kemudian berkata, "Jadi

ini tampang manusia yang mengaku kekasih Ni Ayu Tantri? Ha . . . ha ... ha! Tampangmu boleh

juga sobat! Tapi kalau kau

punya rencana untuk membunuhku, kau harus berpikir tiga kali sebelum melakukannyal Apakah

kau punya kepandaian yang

bisa diandalkan? Hidungku membauimu masih bau pupuk! Sebaiknya pulang saja kembali ke

desamu, cuci kaki dan tidur!

Kalau tidak pasti terlambat sobat!" Dan Tjokorda Gde Djantra tertawa lagi terbahak-bahak!

Nyoman Dwipa kertakkan rahang-rahangnya dan majukan kudanya beberapa langkah.

"Tertawalah sepuasmu manusia keji. Kalau kau sudah mampus hanya setan iblislah yang akan

tertawa menyambutmu di

liang kubur!"

Tjokorda Gde Djantra mendengus lalu berkata,

"Aku yakin tentu kau berpikir bahwa akulah yang telah menculik dan membunuh kekasihmu itul

Semua orang berpikir

begitu! Alangkah tololnya! Sungguh kurang ajar sekali menuduh orang lain berbuat jahat

tanpa punya bukti-bukti kuat dan

nyata!"

"Pemuda keji! Lamaranmu ditolak! Adalah cukup alasan bagimu untuk menculik Ni Ayu Tantri!"

Tjokorda Gda Djantra kembali mendengus dan menjawab,

"Kau kira cuma gadis itu saja yang ada di pulau Bali ini? Sepuluh gadis-gadis lebih cantik

bisa kuambil sekaligus untuk

25

jadi istriku, perlu apa aku sampai menculik perempuan tak berguna dan hina dina itu!"

"Jadi kau tidak mau mengaku bahwa kau manusia biang racun yang telah melakukan kejahatan

kotor terkutuk itu!"

"Aku katakan padamu sobat! Jangan menuduh sembarangan!" bentak Tjokorda Gde Djantra.

Nyoman Dwipa menggerakkan tangan kirinya ke saku pakaian. Ketika tangan itu keluar lagi

kelihatan memegang sebuah

benda bundar yang ternyata adalah sebuah kancing baju yang terbuat dari perak.

"Manusia laknat pengecutl Kancing baju ini ditemukan di pondok di tepi telaga. Kancing ini

sama bentuknya dengan

kancing pakaian yang kau kenakan saat ini! Apakah mulut busukmu masih mau mungkir!'

Tjokorda Gde Djantra terdiam. Kancing perak itu memang kancing pakaiannya yang telah

direnggut putus oleh Ni Ayu

Tantri sewaktu dia hendak merusak kehormatan gadis itu!

"Kau terdiam dan tampangmu tambah pucatl Sekarang bersiaplah untuk mampus!" teriak Nyoman

Dwipa. Tali kekang

disentakkannya. Kuda melompat ke muka dan keris berluk tujuh di tangan kanannya berkelebat

dengan ganas, mengirimkan

satu tusukan ke arah dada kanan Tjokorda Gde Djantra!

"Trang!!!"

Terdengar suara beradunya senjata sewaktu Tjokorda Gde Djantra menangkis serangan lawan

dengan keris Bradjaloka

bereluk tujuh belas. Bunga api memercik. Di atas punggung kudanya Nyoman Dwipa terkejut

bukan main! Daya tangkis lawan

kuat luar biasa hingga bukan saja tangan kanannya tergetar hebat tapi tubuhnyapun

terhuyung-huyung. Kalau saja tangan

kirinya tidak berpegang pada tali kekang kuda mungkin sekali dia terpelanting jatuh! Dan

yang lebih mengejutkan serta

membuat pemuda ini mengeluh dalam hati ialah sewaktu melihat bagaimana bagian yang tajam

dari kerisnya yang cuma

bereluk tujuh telah gompal dihantam keris lawan dalam bentrokan senjata tadi!

Mengetahui sampai dimana tingkat kepandaian lawan maka tertawalah Tjokorda Gde Djantra

berkakakan seraya

melontarkan ejekan,

"Manusia yang ilmunya cuma sedangkal comberan hendak jual lagak besar di hadapanku!"

"Iblis bermuka manusia pucat!" jawab Nyoman Dwipa, "percuma aku menghadangmu kalau tidak

dapat mencincang

seluruh tubuhmu!"

Tjokorda Gde Djantra ganda tertawa. Dia hendak menangkis lagi sewaktu Nyoman untuk kedua

kalinya melancarkan

serangan dari depan. Tapi kali ini dia tertipu. Serangan lawannya hanya pancingan belaka.

Begitu Tjokorda Gde Djantra

menggerakkan tangan untuk menangkis, keris di tangan Nyoman Dwipa berkelebat turun dan

membabat ke arah perut!

"Keparat!" maki Tjokorda Gde Djantra. Disentakkannya tali kekang kudanya hingga binatang

itu melompat ke depan dan

dengari memiringkan tubuhnya pemuda ini berhasil mengelakkan sambaran keris lawannya. Namun

Nyoman Dwipa rupanya

tidak kepalang tanggung. Dengan amat cepat pemuda ini susulkan satu tendangan kaki kanan!

Masih untung Tjokorda Gde Djantra sempat berkelit. Tapi kuda tunggangannya bernasib sial.

Tendangan Nyoman Dwipa

26

mendarat tepat di leher binatang itu. Kuda ini meringkik keras, mengangkat kedua kaki

depannya tinggi-tinggi ke atas dan

membuat penunggangnya terpelanting jatuh ke tanah!

Tjokorda Gde Djantra seorang pemuda turunan bangsawan yang telah menuntut ilmu silat dan

kebatinan serta kesaktian

pada seorang sakti di puncak Gunung Agung bernama Sorablungbung. Di pulau Bali pada masa

itu terdapat tiga orang tokoh

silat kawakan yang sangat tinggi ilmu silat dan kesaktiannya. Salah seorang di antaranya

ialah Sorablungbung, kemudian

Walalang Tjarda yang diam di Danau Batur. Karena dia sering mengembara maka jarang sekali

dia berada di Danau tersebut.

Tokoh silat ketiga bernama Menak Putuwengi. Sejak sepuluh tahun belakangan ini dua

persilatan di Pulau Bali tidak

mengetahui ke mana perginya Menak Putuwengi karena tokoh silat yang berumur 70 tahun ini

lenyap begitu saja dari dunia

persilatan, entah mengundurkan diri entah telah menemui ajalnya. Di antara ketiga tokoh

silat itu Menak Putuwengilah yang

paling tinggi ilmu kepandaiannya. Senjatanya segala benda apa saja yang berbentuk tongkat,

baik beberapa helai lidi atau daun

bambu ataupun ranting kering atau besi, bila berada di tangannya pasti akan menjadi senjata

yang dahsyat. Karena itulah

Menak Putuwengi mendapat julukan Raja Tongkat Empat Penjuru Angin. Pernah sekitar lima

belas tahun yang lalu ketiga

tokoh itu bertemu di puncak Gunung Tabanan untuk mengadakan pertandingan persahabatan,

menguji ilmu kepandaian

masing-masing. Dalam pertandingan yang sangat hebat dan dihadiri oleh tokoh-tokoh silat di

Pulau Bali maka Menak

Putuwengi keluar sebagai jago nomer satu setelah berturut-turut mengalahkan Sorablungbung

dan Walalang Tjarda. Setelah lima

belas tahun berlalu tak dapat lagi dipastikan siapa sesungguhnya yang lebih hebat karena di

samping ketiga orang tokoh itu tak

pernah lagi mengadakan pertandingan juga kabarnya Sorablungbung serta Walalang Tjarda telah

memperdalam ilmu masingmasing

hingga mencapai tingkat yang sangat tinggi. Sebaliknya Manak Putuwengi lenyap begitu saja

tak diketahui kemana perginya!

Sebagai salah seorang murid Sorablungbung yang pernah digembleng selama empat tahun, dengan

sendirinya Tjokorda

Gde Djantra memiliki kepandaian yang tinggi. Dan dibandingkan dengan Nyoman Dwipa yang cuma

berguru pada seorang

pertapa yang tingkat kepandaiannya jauh berada di bawah Sorablungbung dengan sendirinya

Nyoman Dwipa bukan apa-apa

bagi Tjokorda Gde Djantra. Tapi karena kurang hati-hati meski tingkat kepandaiannya jauh

lebih tinggi Tjokorda Gde Djantra

kena juga dihantam lawan meski kudanya yang menjadi korban!

Tjokorda Gde Djantra terpelanting ke tanah tapi berkat ilmu meringankan tubuhnya yang

tinggi dia jatuh dengan kaki

lebih dulu dan tetap berdiri. Kemarahan membuat darahnya seperti mendidih.

"Setan alas! Kematianmu tak dapat ditawar-tawar lagi!"

Tjokorda Gde Djantra melompat ke muka, tangan kiri kanam berkelebat cepat dalam satu jurus

yang hebat! Nyoman

Dwipa terkejut ketika melihat bagaimana kecepatan gerak lawannya membuat tubuh Tjokorda Gde

Djantra laksana lenyap. Dia

cuma merasakan sambaran angin yang deras dari kiri kanan maka cepat-cepat pemuda ini

melompat turun dari kudanya.

"Breet!"

27

"Buuk!"

Dua suara itu terdengar hampir bersamaan. Yang pertama suara robeknya pakaian Nyoman Dwipa

di sambar ujung keris

Brajaloka sedang suara kedua ialah suara pukulan dahsyat yang menghantam kepala kuda hitam

milik Nyoman Dwipa.

Binatang ini rubuh dengan kepala pecah, melejang-lejang beberapa ketika lalu tak bergerak

lagi!

"Kudamu sudah duluan, Nyoman Dwipa! Dia akan menunggumu untuk membawa tuannya ke neraka!"

ejek Tjokorda

Gde Djantra!

Sebenarnya sejak bentrokan senjata pertama kali tadi Nyoman Dwipa telah memaklumi bahwa

tingkat kepandaian ilmu

silat dan tenaga dalam Tjokorda Gde Djantra bukanlah lawannya. Tapi untuk membatalkan

niatnya menuntut balas tentu saja

pemuda itu tidak sudi! Lebih baik mati secara jantan dari pada lari atau menyerah secara

pengecut!

Dengan mengeluarkan bentakan yang keras Tjokorda Gde Djantra berkelebat ganas. Seperti tadi

kedua tangannya bergerak

cepat. Nyoman Dwipa bertahan mati-matian. Dalam jurus itu dia berhasil mengelakkan seluruh

serangan lawan namun pada

jurus berikutnya, satu sampokan yang bertenaga besar sekali membuat dia tak dapat lagi

mempertahankan kerisnya! Senjata itu

terlepas mental dihantam senjata lawan!

Sambil tertawa gelak-gelak dan sambil melangkah mendekati Nyoman Dwipa yang kepepet ke tepi

jurang, Tjokorda Gde

Djantra berkata, "Kau akan segera mampus sobat! Dan kau tahu ...? Betapa mengerikannya

kematian itu! Kau lihat keris

Brajaloka yang terbuat dari emas di tanganku ini? He ... he..! Sebentar lagi sobat!

Beberapa detik lagi kau akan segera pergi ke

neraka! Ke neraka! Ha . . Ha . . ha ...!"

Tjokorda Gde Djantra mengangkat tangan kanannya yang memegang keris tinggi-tinggi sementara

dalam keadaan kepepet

ke tepi jurang itu Nyoman Dwipa berusaha mencari jalan agar dapat menyelamatkan diri! Kalau

lawan menyerang dia sudah

nekat untuk menyerbu ke muka dengan tangan kosong, menarik tubuh Tjokorda Gde Djantra dan

sama-sama menghambur

masuk jurang! Itu adalah cara yang paling baik menurut Nyoman Dwipa asal saja dia benar-

benar bisa melakukannya!

Jarak kedua orang itu semakin pendek dan kini cuma tinggal empat langkah saja lagi. Antara

Nyoman dengan tepi jurang

di tikungan jalan itu hanya satu setengah langkah saja. Nyoman Dwipa memutuskan untuk tidak

mundur lebih jauh. Dia

menunggu dengan kedua tangan terpentang dan mata memandang tajam-tajam ke muka, menunggu

kesempatan yang ada!

Mendadak Tjokorda Gde Djantra hentikan langkahnya dan kembali dia tertawa gelak-gelak. Bila

suara tertawa itu

dihentikannya maka berkatalah dia, "Tidak! Aku tak akan membunuhmu dengan keris ini! Kau

harus mati dalam kengerian

yang luar biasa sobat! He ... he ... he, pernahkah kau memikirkan bagaimana ngerinya bila

jatuh ke dalam jurang di belakangmu

itu? Kematian menunggumu di batu-batu cadas di bawah sana, tapi selagi tubuhmu melayang

menuju detik-detik kemampusan

itu kau akan dikungkung kengerian yang luar biasa!"

Nyoman Dwipa menggeram mendengar ucapan dan maksud Tjokorda Gde Djantra yang ganas itu. Dia

tak bisa

menunggu lebih lama! Saat itu juga dia harus bertindak! Harus menyerbu merangkul tubuh

lawannya walau apapun yang

28

terjadi! Maka tanpa menunggu lebih lama Nyoman Dwipa segera melompat ke hadapan lawannya.

Tjokorda Gde Djantra mendengus. Dengan seringai maut tersungging di mulutnya pemuda ini

memukulkan tangan

kirinya ke depan!

Nyoman Dwipa merasakan satu sambaran angin yang laksana badai hebatnya! Bagaimanapun dia

berusaha untuk tidak

tersapu angin dahsyat itu tapi sia-sia belaka! Tubuhnya mencelat mental sampai enam tombak

untuk kemudian jatuh ke dalam

jurang diiringi suara kumandang tertawa Tjokorda Gde Djantra.

29

DALAM tubuhnya melayang jatuh ke jurang batu itu Nyoman Dwipa pada mulanya memang merasa

ngeri sekali! Siapa yang

tak akan ngeri menemui ajal apalagi mengetahui bahwa ajalnya akan sampai begitu tubuhnya

menghantam batu-batu cadas

besar di dasar jurang! Namun bila dia ingat bahwa kematian yang bakal dihadapinya itu

adalah kematian secara jantan,

ditabahkannya hatinya. Dia percaya pula bahwa rohnya akan berjumpa di alam akhirat dengan

roh Ni Ayu Tantri. Kalau di

dunia mereka tak punya kesempatan untuk hidup berdampingan, moga-moga di alam akhirat hal

itu akan kesampaian.

Makin jauh ke bawah makin cepat jatuhnya tubuh pemuda itu. Di atas jurang masih

mengumandang suara tertawa

Tjokorda Gde Djantra. Betapapun tabahnya hati Nyoman Dwipa namun ketika sekilas matanya

memandang ke bawah jurang,

pada batu-batu besar yang cuma tinggal beberapa tombak lagi untuk menghancurkan kepala dan

tulang-tulang ditubuhnya,

Nyoman Dwipa jatuh pingsan!

Tapi dalam kehidupan ini kerap kali kita dihadapkan pada kenyataan-kenyataan bahwa sebelum

ajal berpantang mati. Hal

itu pulalah yang terjadi dengan diri Nyoman Dwipa.

Sewaktu tubuh pemuda itu hanya tinggal enam tombak saja lagi dari permukaan sebuah batu

cadas yang sangat besar

berkelebatlah satu bayangan putih yang dibarengi dengan suara seruan, "Dewa Agung ⁄!!"

Yang berseru ini adalah seorang kakek-kakek tua renta berpakaian putih. Rambutnya yang

panjang terurai macam rambut

perempuan, janggutnya yang menjela dada serta kumis bahkan kedua alisnya berwarna putih

bersih macam kapas. Meski

umurnya sudah lebih dari 70 tahun tapi kakek-kakek ini memiliki tubuh yang masih kekar dan

kegesitan yang luar biasa.

Sewaktu dia melinat sesosok tubuh melayang jatuh ke dalam jurang kejutnya bukan alang

kepalang. Dia tidak tahu apakah

manusia yang jatuh itu masih hidup atau sudah mati. Meski demikian kakek-kakek ini segera

mengangkat kedua tangannya dan

mendorong ke atas!

Satu gelombang angin padat bertiup memapasi tubuh Nyoman Dwipa. Untuk beberapa detik tubuh

pemuda itu tertahan

di awang-awang. Untuk mengurangi kekuatan jatuh tubuh pemuda itu si orang tua menggerakkan

kedua tangannya ke kanan.

Tubuh Nyoman Dwipa terpelanting ke kanan lalu didorong lagi ke atas dan ketika jatuh

kembali ke bawah orang tua itu

menyambutnya dengan kedua tangan! Sungguh luar biasa apa yang dilakukan orang tua ini.

Tubuh Nyoman Dwipa dipanggul di atas bahu kanan dan sekali berkelebat orang tua itu sudah

lenyap dari pemandangan.

Si orang tua membawa Nyoman Dwipa ke dalam sebuah goa batu dan setelah diperiksa ternyata

pemuda itu masih bernafas.

Kakek-kakek ini mengurut dada dan kening Nyoman Dwipa beberapa kali hingga akhirnya pemuda

itu sadar dari pingsannya.

Setelah membuka kedua matanyaı Nyoman Dwipa kemudian memandang berkeliling. Sekelilingnya

ruangan batu yang

bersih. Apakah aku sudah berada di alam baka, pikir pemuda ini. Tapi bila matanya membentur

tubuh dan paras seorang tua

30

berpakaian putih-putih, berkumis dan berjanggut putih heranlah pemuda ini. Orang tua itu

duduk di sebuah batu bundar di

tengah ruangan. Kedua telapak tangannya saling dirapatkan di muka dada sedang kedua matanya

terpejam. Nyatalah orang tua

ini tengah bersemedi.

Tapi anehnya begitu Nyoman Dwipa menyalangkan mata dan memandang terheran-heran

berkeliling, tanpa membuka

matanya si orang tua berkata: "Orang muda, kau tak usah heran. Kau berada di tempat aman."

"Di manakah saya, bapa? Apa yang telah terjadi dan siapakah bapa ini ...?" tanya Nyoman

Dwipa seraya bangun dari

tempat tidur yang terbuat dari batu.

Tanpa membuka kedua matanya kembali si orang tua berkata: "Kau berada di tempat yang aman

orang muda. Ketika aku

berada di dalam goa kudengar suara bentakan-bentakan yang diseling suara tertawa serta

suara beradunya senjata di atas. Aku

keluar dari goa tepat pada saat kulihat sosok tubuhmu melayang jatuh ke dasar jurang.

Selanjutnya Dewa Yang Agung telah

menyelamatkan kau dari kematian . . .".

Kini ingatlah Nyoman Dwipa akan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dia bertempur dengan

Tjokorda Gde Djantra

kemudian didorong dengan satu pukulan dahsyat hingga mencelat mental dan jatuh masuk

jurang! Dari ucapan si orang tua

berambut putih meski dia tadi mengatakan bahwa Dewa Yang Agunglah yang telah menyelamatkan

jiwanya tapi Nyoman

Dwipa sadar bahwa orang tua inilah yang telah menolongnya dari renggutan maut. Segera

Nyoman Dwipa turun dari tempat

tidur batu, melangkah ke hadapan kakek-kakek itu dan berlutut seraya berkata, "Orang tua,

aku Nyoman Dwipa menghaturkan

terima kasih yang tak terhingga atas budi pertolonganmu. Semoga aku kelak bisa membalas

hutang nyawa ini dan semoga Dewa

Agung merakhmatimu. Sudilah kau memberi tahu namamu agar sewaktu-waktu aku tidak sukar

mencarimu."

Si orang tua tertawa dan menjawab, "Apalah artinya nama? Kita dilahirkan tanpa nama. Apa

gunanya menyebut-nyebut

segala hutang nyawa karena memang kita manusia ditugaskan Yang Kuasa untuk menolong sesama

manusia. Orang muda,

cobalah kaus terangkan apa yang telah terjadi atas dirimu hingga kau jatuh dari tepi

jurang."

Nyoman Dwipa lalu menuturkan pertempurannya dengan Tjokorda Gde Djantra bahkan

diterangkannya juga pangkal

sebab pertempuran itu termasuk kematian I Krambangan dan empat orang penduduk Klungkung.

Si orang tua menghela nafas dalam dan untuk pertama kalinya dia membuka kedua matanya. Mata

itu sipit sekali macam

mata orang Tiongkok tapi menyorotkan sinar yang tajam penuh wibawa!

"Cinta itu pada dasarnya adalah sesuatu yang suci. Tapi nafsu selalu membuatnya menjadi hal

yang kotor. Seringkali

menusia buta karena cinta, karena kecantikan paras perempuan. Kalau sudah begitu segala

sesuatunya yang keji dan kotor bisa

terjadi hingga tidaklah aneh lagi kalau manusia tega membunuh manusia lain bahkan sahdara

kandungnya sendiri hanya karena

cinta."

Nyoman Dwipa termangu diam beberapa lamanya. Kemudian katanya: "Orang tua beritahulah

namamu. Sebelum

meninggalkan tempat ini kuharap kau suka memberi petunjuk-petunjuk padaku."

31

"Kau hendak pergi dan kemudian melampiaskan lagi sakit hati dendam kesumatmu itu, Nyoman?"

"Benar, orang tua." jawab Nyoman Dwipa terus terang.

"Kau tak akan kuat menghadapi Tjckorda Gde Djantra," kata kakek-kakek itu pula secara terus

terang. "Buktinya pukulan

tangan kosongnya saja sanggup mengirimkan kau ke liang maut jika saja Dewa Agung tidak

menghendaki agar kau tetap hidup.

Kau mungkin tidak tahu siapa adanya Tjokorda Gde Djantra. Dia salah seorang murid

Sorablungbung, orang tua sakti yang

diam di puncak Gunung Agung."

Terkejutlah Nyoman Dwipa mendengar keterangan itu. Pantas saja dia tak sanggup melawan

Tjokorda Gde Djantra. Maka

kalau diteruskannya niat untuk membalas dendam dengan tingkat kepandaian yany jauh lebih

rendah pastilah akan sia-sia

belaka dan diam-diam pemuda ini mengeluh dalam hati. Diangkatnya kepalanya yang ditundukkan

dan berkata dengan

sungguh-sungguh pada si orang tua.

"Aku yang bodoh ini mohon petunjukmu orang tua."

Kakek-kakek itu tertawa. Sampai saat itu Nyoman Dwipa tidak tahu dengan siapa sesungguhnya

dia berhadapan. Kakekkakek

berambut dan berjanggut putih itu bukan lain Menak Putuwengi itu tokoh silat yang paling

tinggi ilmu kesaktiannya di

antara tokoh-tokoh silat lainnya sekitar belasan tahun yang silam!

"Aku tak bisa memberi petunjuk apa-apa padamu Nyoman," kata Menak Putuwengi pula.

Pemuda itu merasa kecewa tapi juga heran ketika melihat dalam berkata itu si orang tua

tersenyum. Dan Menak

Putuwengi lantas berkata, "Aku cuma bisa mengajukan satu tawaran. Sudikah kau mempelajari

permainan silat ilmu tongkat?

Bukan aku sombong, dalam tempo dua-tiga bulan saja pasti kau dapat mengalahkan murid

Sorablungbung itu."

Bukan alang kepalang gembiranya hati Nyoman Dwipa. Dia menjura dalam-dalam ,dan menjawab:

"Tentu saja mau.

Kalau kau tak keberatan mulai saat ini aku akan memanggilmu guru. Sekali lagi aku mohon

agar kau sudi memberitahu

namamu, orang tua..."

"Ah, soal namaku ..." kata Menak Putuwengi, "Sudah sejak belasan tahun dilupakan dunia

persilatan di Pulau Bali ini.

Biarlah nanti saja kuberi tahu padamu. Nah sekarang mari kita berangkat ..."

"Berangkat kemana guru?" tanya Nyoman tak mengerti.

"Goa ini terlalu sempit dan kurang baik untuk belajar ilmu silat. Kau lihat pedataran

tinggi di sebelah, timur sana ....?"

ujar Menak Putuwengi seraya menunduk keluar goa. "Disitu lebih cocok tempatnya."

"Baiklah guru", jawab Nyoman Dwipa seraya bangkit dan mengikuti gurunya keluar goa.

Ternyata bagian lamping kiri

dari jurang tersebut menuju ke sebuah daerah pesawangan yang banyak ditumbuhi lalang lebat.

Menak Putuwengi kelihatannya

berjalan lenggang kangkung seenaknya. Tapi bagaimanapun Nyoman Dwipa mengerahkan ilmu

larinya, tetap saja dia

ketinggalan belasan tombak di belakang!

Sesampainya di pedataran tinggi itu, Nyoman Dwipa tercengang-cengang melihat indahnya

pemandangan di

32

sekelilingnya.

"Kita mulai saja pelajaran permulaan", kata Menak Putuwengi. "Coba keluarkan dan

perlihatkan padaku jurus-jurus ilmu

silat yang kau miliki."

Atas perintah gurunya itu maka Nyoman Dwipa mulai bersilat sampai dua puluh jurus.

"Sudah . . . sudah cukup!" seru Menak Putuwengi. "Ilmu silatmu jauh dari pada lumayan. Tapi

permulaan yang cukup

baik!" Habis berkata begitu Menak Putuwengi lantas mematahkan dua buah ranting pohon. Salah

satu diberikannya kepada

Nyoman Dwipa seraya berkata, "Pertama kali ini kuberikan kau dasar-dasar ilmu tongkat.

Kemudian kau harus melatih diri

dalam tenaga dalam dan meringankan tubuh."

Demikianlah, mulai saat itu Nyoman Dwipa digembleng oleh tokoh silat klas satu Menak

Putuwengi.

33

BERDIRI di tepi danau yang dikeiilingi pohon-pohon besar pada siang hari yang panas terik

itu membuat pemuda pengelana

itu ingin sekali mandi merasakan kesejukan air danau. Sambil bersiul-siul pemuda ini lalu

membuka pakaiannya. Sesaat

kemudian diapun sudah mencebur masuk ke dalam air danau. Sengaja dia menyelam dalam-dalam

lalu muncul lagi

dipermukaan air danau untuk bernafas lalu menyelam lagi. Gemikian sampai beberapa kali.

Pada kali yang keenarn dia

memunculkan kepala di permukaan air danau mendadak sontak berubahlah parasnya oleh rasa

kaget yang bukan aiang

kepalang!

Dari seluruh tepi danau dilihatnya meluncur ular hitam berbelang-belang kuning sebesar

betis dan rata-rata panjangnya

satu sampai satu setengah meter! Binatang-binatang itu dengan sangat cepat berenang ke

tengah danau di mana pemuda berada!

"Gila!" seru pemuda itu lalu kedua kakinya dihentakkan ke bawah. Dengan mengandalkan ilmu

meringankan tubuhnya

yang hebat dari dalam air pemuda ini sanggup melesatkan tubuhnya sampai beberapa tombak.

Ketika dia berhasil melompat ke

daratan cepat-cepat dia hendak mengambil pakaiannya! Tapi untuk kedua kalinya pemuda ini

menjadi melengak kaget karena

dari balik semak belukar, puluhan ekor ular jenis yang sama telah menyerbunya pula hingga

dia tak punya kesempatan untuk

mencapai pakaiannya!

Dengan memaki dalam hati pemuda ini melompat ke sebuah pohon. Tapi au!

Kakinyamenginjaksesuatu yang bulat dan

licin hingga kalau saja ilmu meringankan tubuhnya tidak sempurna pastilah dia akan jatuh!

Ketika dia memandang ke bawah,

pemuda ini kertakkan rahang karena benda bulat licin yang tadi dipijaknya nyatanya adalah

seekor ular hitam berbelang-belang

kining. Dan ketika dia memandang berkeliling, seluruh pohon serta pohon-pohon di sekitar

tempat itu penuh dengan ular-ular

tersebut. Kemanapun dia mernandang, ke pohon-pohon, ke tanah dan ke danau seluruhnya penuh

dengan ular! Betul-betul dia

tak bisa mengerti dari mana datangnya puluhan bahkan ratusan binatang itu! Dari lidahnya

yang bercabang dan berwarna hijau

nyatalah bahwa ular-ular itu mengindap racun yang amat jahat. Meskipun dia kebal segala

macam racun namun menyaksikan

itu mau tak mau merinding juga bulu tengkuknya! Dan menyadari dirinya tanpa pakaian begitu

rupa pemuda ini merutuk

habis-habisan dalam hati.

Sementara itu dia tak dapat berdiri lebih lama di cabang pohon karena sebentar saja belasan

ekor ular telah menyerbunya

pula! Tak ada tempat yang kosong lagi untuk tempat berpindah! Sambil melompat turun pemuda

ini pukulkan kedua

tangannya ke bawah! Angin deras menderu. Puluhan ular mental dan si pemuda berhasil turun

di tanah yang kini kosong dari

ular-ular itu. Tapi anehnya binatang-binatang yang kena dihantam dan dibuatnya mental tadi

sama sekali tidak cedera ataru

mati dan dalam waktu yang singkat bersama kawan-kawannya segera menyerbu pemuda itu

kembali.

Kini pemuda tersebut segera maklum bahwa binatang-binatang yang dihadapinya itu bukan ular

-ular biasa. Mungkin

34

binatang jadi-jadian. Dan binatang apapun ular itu adanya dia musti bisa menyelamatkan

diri. Tiga ekor ular hitam berbelang

kuning berhasil melilit kakinya. Seekor diantaranya mematuk betis pemuda itu hingga

menoeluarkan darah kehitaman

bercampur racun yang tertekan ke luar akibat hawa tenaga dalam yang ada di tubuh si

pemudar. Sekali dia menggerakkan tubuh

rnaka ketiga ular itu berpelantingan. Tapi puluhan lainnya menyerbu lagi dengan dahsyat

laksana air bah!

Tidak main-main lagi kini pemuda itu pergunakan ilmu pukulan sakti yang sangat

diandalkannya. Sepasang tangannya

kelihatan putih memerah, sepuluh kuku jarinya mengeluarkan sinar yang menyilaukan!

"Wuus! Wuuss!"

Dua larik sinar putih yang panas menderu dahsyat! Itulah pukulan sinar matahari yang hebat

luar biasa! Puluhan ekor

ular menemui ajalnya mati terkuntung-kuntung dalam keadaan hangus! Yang masih hidup agaknya

marah sekali melihat

kematian kawankawan mereka. Binatang-binatang ini dengan mengeluarkan suara mendesis

menyerbu si pemuda dan si pemuda

menyambutinya dengan pukulan-pukulannya yang dahsyat. Binatang-binatang yang masih hidup

bukannya takut tapi malah

terus menyerbu dengan kalap sehingga pemuda yang berada dalam keadaan bertelanjang bulat

itu menjadi sibuk sekali! Meski

suasana mengerikan sekali di tempat itu, tapi melihat si pemuda mencak-mencak telanjang

begitu rupa ada juga kelucuannya!

Menurut dugaan si pemuda sudah lebih dari seratus ular yang dibunuhnya tapi yang datang

menyerangnya seperti tak ads

kurang-kurangnya malah makin lama makin banyak! Dalam pada itu ular-ular yang berjalaran di

pohon dengan melilitkan ekorekor

mereka di cabang atau di ranting-ranting pohon, bergelantungan menyambar si pemuda hingga

si pemuda bukan saja

diserang dari bawah tapi juga dari atas!

"Benar-benar edan!" maki pemuda itu seraya percepat melancarkan pukulan-pukulan sinar

matahari ke atas dan ke bawah!

Dalam seru-serunya pertempuran antara ular lawan manusia itu tiba-tiba terdengarlah seruan,

"Sobat! Bertahanlah terus! Aku

akan membantu!"

Baru saja seruan itu berakhir maka disitu muncullah seorang pemuda berpakaian biru. Di

tangan kanannya ads seikatan

jerami tebal yang ujungnya dibakar. Kobaran api jerami ini membuat puluhan ular hitam

berbelang kuning menjadi terbiritbirit

ketakutan. Tapi tidak semua binatang itu lari. Puluhan lainnya menyerbu pemuda baju biru

ini. Si pemuda

menghadapinya dengan tenang-tenang saja. Di tangan kiri pemuda ini ada sebatang tongkat

kecil terbuat dari bambu kuning.

Dengan memutar-mutar tongkat kecil itu maka setiap ular yang berani mendekatinya pasti akan

mati dalam keadaan tubuh

terkuntungkuntung! Hebat sekali permainan tongkat bambu kuning si pemuda hingga dalam tempo

yang singkat puluhan ular

hitam berhasil dimusnahkannya!

"Hebat!" kata pemuda yang pertama dalam hati lalu menyambar pakaiannya, dengan cepat

mengenakannya kemudian

bersama-sama pemuda baju biru terus memusnahkan ular-ular yang mengamuk itul

Lebih dari separoh ular hitam berbelang kuning yang ads di tempat itu telah musnah menemui

kematiannya. Sementara

itu dalam berlangsungnya pemusnahan binatang-binatang tersebut terjadilah perkenalan antara

kedua pemuda.

35

"Namaku Nyoman Dwipa!" kata pemuda pakaian biru seraya sabatkan tongkat bambu kuningnya.

Dua ekor ular rubuh

dengan kepala pecah. "Darimana ular sebanyak ini! Bagaimana kau sampai diserang mereka?!"

"Aku sedang asyik-asyikan mand!" menerangkan pemuda berpakaian putih. "Ketika menyelam dan

muncul di atas'air

danau kulihat puluhan ekor ular, entah dari mans datangnya berenang menyerangku! Sewaktu

aku naik kedaratan ternyata

puluhan binatang itu telah menungguku pula disana. Gila betul!"

"Hai kau belum menerangkan namamu sobat!" seru pemuda baiu biru.

"Namaku Wiro Sableng!"

"Kau bukan penduduk sini agaknya!"

"Betul" sahut pemuda baju putih yang bukan lain dari Pendekar 212 Wiro Sableng adanya!

"Terima kasih atas

pertolonganmu, Nyoman!"

"Ular-ular ini benar-benar gila betul!" seru Nyoman Dwipa yang melihat bagaimana binatang

itu masih terus menyerbu

mereka dengan beraninya! "Sebaiknya mari kita tinggalkan tempat ini!" Bagaimana Nyoman

Dwipa sampai berada di tempat itu

baiklah kita tuturkan sedikit.

Sebagaimana yang telah diceritakan, sewaktu jatuh ke dalam jurang Nyoman Dwipa telah

diselamatkan oleh seorang

kakek-kakek sakti bernama Menak Putuwengi. Orang tua ini kemudian mengambil pernuda itu

menjadi muridnya. Setelah tiga

bulan lebih menggembleng Nyoman Dwipa maka boleh dikatakan pemuda itu sudah menguasai

pelajaran silat ilmu tongkat si

kakek cuma tentu saja dia musti banyak berlatih agar mencapai tingkat kesempurnaan.

Memasuki pertengahan bulan yang

keempat Menak Putuwengi mengizinkan muridnya untuk pergi mencari orangorang yang

bertanggung jawab atas kematian

kekasihnya dan I Krambangan serta beberapa penduduk Klungkung lainnya. Menak Putuwengi juga

memberi nasihet agar

pemuda itu jangan terlalu mengikuti nafsu dendam kesumat dan kalau bisa jangan menurunkan

tangan maut terhadap siapa

pun selagi masih ada jalan penyelesaian yang baik!

Demikianlah maka Nyoman Dwipa dengan bekal ilmu kepandaian yang dipelajarinya dari Menak

Putuwengi

meninggalkan tempat kediaman si orang sakti yang nyatanya masih hidup, jadi tidak benar

seperti yang diduga dunia luaran

bahwa kakek-kakek sakti itu telah meninggal dunia. Menak Putuwengi sebenarnya sudah jemu

dengan persoalan-persoalan

duniawi karena itulah dia mengundurkan diri dari dunia persilatan, membersihkan diri dari

dosa dan kesalahan-kesalahan di

masa mudanya serta memperdalam ilmu silat, ilmu kesaktian dan kebathinan di dalam goa di

dasar jurang itu.

Dalam perjalanannya menuju Denpasar pemuda itu sengaja melewati hutan belantara mengambil

jalan singkat agar lebih

lekas sampai ke tempat tujuan. Karena melewati rimba belantara itulah maka dia sampai

bertemu dengan Pendekar 212 Wiro

Sableng!

Mulanya dia merasa heran dan kaget sewaktu menyaksikan seorang pemuda berambut gondrong

basah kuyup dalam

keadaan bertelanjang bulat bertempur melawan ratusan ekor ular yang sebesar-besar betis.

Dilihat pada gerakan-gerakan serta

36

pukulan-pukulan yang dilancarkannya dalam memusnahkan binatang-binatang itu nyatalah dia

memiliki kepandaian tinggi.

Tapi mengapa sampai bertempur telanjang bul!at begitu rupa?! Nyoman tidak tahu bahwa

sewaktu diserang, Wiro tengah mandi

dalam danau.

Sebenarnya Nyoman Dwipa maklum bahwa tanpa dibantupun pemuda yang bertelanjang itu pasti

akan sanggup

memusnahkan semua ular yang menyerbunya. Tapi bukankah lebih baik dia turun tangan menolong

seraya mempraktekkan

ilmu tongkat yang dipelajarinya dari Menak Putuwengi? Maka setelah mengumpulkan lalang

serta jerami kering dan membakarnya

dengan tongkat bambu kuning di tangan kiri Nyoman Dwipa menyerbu ke dalam pertempuran

binatang lawan manusia

itu!

"Wiro! Ayo kita tinggalkan tempat ini!" kata Nyoman Dwipa kembali.

"Tunggu dulu sobat!" sahut Wiro Sableng, "aku mempunyai firasat bahwa ular-ular ini bukan

binatang biasa! Mungkin

binatang jadi-jadian, mungkin pula ada pemiliknya. Bagaimana kalau kita selidiki sama-

sama?!"

Baru saja Wiro berkata begitu maka dari dalam hutan mengumandanglah suara bentakan

menggeledek!

"Manusia-manusia kotor dari mana yang berani membunuh binatang peliharaanku?!"

Wiro mengeluarkan suara bersiul dan berpaling pada Nyoman Dwipa.

"Nah, apa kataku!" ujarnya.

37

BEGITU bentakan lenyap maka dari dalam hutan belantara keluarlah seorang laki-laki yang

memiliki tampang dahsyat.

Kepalanya panjang, kening menjorok ke depan sedang leher kecil singkat. Rambutnya hitam

legam tapi cuma sedikit tumbuh di

atas batok kepalanya. Kulit mukanya berwarna hitam dan berminyak hingga bila disorot sinar

matahari mukanya itu jadi

berkilat-kilatl Jika dibandingkan dengan ular, tampang manusia ini memang hampir tidak

beda! Dia mengenakan pakaian

berbentuk jubah yang terbuat keseluruhannya dari kulit u!ar. Yang dahsyatnya di lehernya

melilit dua ekor ular besar yang

sudah mati dan dikeringkan!

Begitu sampai di hadapan Wiro Sableng serta Nyoman Dwipa dan melihat puluhan ekor ular

musnah berkaparan di

mana-mana marahlah manusia yang punya tampang macam ular itu!

"Keparat-keparat laknat! Tentu kalian sudah bosan hidup berani membunuh binatang

peliharaanku!"

Sementara Wiro dan Nyoman masih sibuk menghadapi ular-ular hitam berbelang kuning maka

manusia aneh itu telah

menyerbu dan membagi serangan pada kedua pemuda itu! Wiro dan Nyoman kaget bukan main

karena serangan si orang aneh

sebelum sampai sudah didahului oleh sambaran angin yang sekaligus mengarah dua belas jalan

darah kematian di tubuh

pemuda-pemuda itu! Baik Wiro maupun Nyoman Dwipa cepat-cepat melompat menyelamatkan diri!

Siapakah manusia aneh yang baru muncul dari rimba belantara dan mengaku sebagai pemelihara

ular-ular yang

menyerang kedua pemuda itu? Di Bali namanya belum dikenal karena dia seorang pendatang dari

pulau Jawa yang diam-diam

menyelusup ke pulau untuk maksud tertentu. Ki Sawer Balangnipa, demikian nama orang ini

selain memiliki ilmu silat yang

tinggi, juga telah memelihara tiga ratus ekor ular hitam belang-belang kuning yang sangat

berbisa! Tentu saja dia menjadi marah

setengah mati ketika menyaksikan bagaimana dua orang pemuda tak dikenal berani membunuh

binatang-binatang

peliharaannya. Maka dengan serta merta dia melancarkan satu jurus serangan yang dahsyat

yaitu yang bernama "dua raja ular

menyerbu ke langit". Kehebatan jurus serangan ini sudah kita ketahui di muka yaitu sebelum

pukulan sampai, sambaran angin

telah mendahului menggempur dua bela: jalan darah kematian di tubuh kedua pemudal Dengan

melancarkan serangan hebat

itu Ki Sawer Balangnipa bermaksud untuk membuat pemuda-pemuda itu konyol sekaligus detik

itu juga! Tapi betapa

terkejutnya dia sewaktu menyaksikan bagaimana Wiro dan Nyoman berhasil mengelakkan dua

serangannya itu!

Ki Sawer Balangnipa mengeluarkan suara suitan keras yang menyakitkan telinga! Anehnya ular

-ular yang ada di situ,

mendengar suara suitan itu segera berserabutan lari ke dalam hutan. Ki Sawer Balangnipa

berdiri dengan bertolak pinggang!

"Kunyuk-kunyuk bermuka manusia! Nyatanya kalian memiliki ilmu yang diandalkan hingga aku

tahu sampai dimana

kelebatan kunyuk-kunyuk yang berasal dari Pulau Bali ini!"

Nyoman Dwipa marah sekali mendengar hinaan itu. Tapi Wiro ganda tertawa dan menjawab,

"Kawanku ini memang

38

berasal dari Pulau Bali, tapi aku bukan! Soal asal tak perlu dipidatokan di sinil Tapi

kalau kau memaki kami kunyuk-kunyuk

bermuka manusia, berarti kau sama saja dengan monyet-monyet bermuka setan!". Habis berkata

begitu Wiro tertawa berkakan

hingga menggetarkan seantero tempat! Sekaligus dia hendak memperlihatkan bahwa suitan yang

menyakitkan telinga dari Ki

Sawer Balangnipa itu cukup bisa ditandinginya dengan suara tertawanyal Diam-diam Ki Sewer

Balangnipa sendiri terkejut

melihat kehebatan tenaga dalam si pemuda, tapi dia sama sekali jauh dari gentar!

"Enam puluh tahun hidup baru hari ini ada tikus busuk yang berani menghina Ki Sawer

Balangnipa!"

"Ah, nyatanya kau juga bukan orang sini!" ujar Wiro dengan menyengir seenaknya. "Sekarang

kau katakan aku tikus

busuk, betul-betul keterlaluan! Tapi supaya kau tahu diri memang namamu sesuai dengan

tampangmu macam raja ular

penyakitan!" (Sawer = ular, bhs. Jawa, pen.)

"Bangsat rendah! Kau benar-benar minta kubikin lumat!"

Tubuh Ki Sawer Balangnipa berkelebat dalam satu gerakan yang hampir tak kelihatan dan tahu

-tahu sepuluh jari

tangannya sudah mencengkeram ke perut dan ke muka Pendekar 212 Wiro Sableng! Ini adalah

jurus serangan yang bernama

"sepasang cengkeram kehancuran". Sekali cengkeram itu bersarang di muka Wiro pasti muka

pemuda itu akan hancur mengerikan.

Jika perutnya kena direnggut lima jari tangan lainnya pasti akan robek dan ususnya

berserabutan keluar! Begitulah

kehebatan jurus "sepasang cengkeram kehancuran"!

Pendekar 212 Wino Sableng memang masih muda dalam usia tapi sudah cukup punya pengalaman

dalam berbagai

pertempuran menghadapi tokoh-tokoh silat kelas satu di pelbagai penjuru rimba persilatan!

Sewaktu menerima serangan

pertama kali dari Ki Sawer Balangnipa tadi dia sudah maklum bahwa orang tua ini bukan

seorang yang bisa dibuat main. Maka

dengan cepat pendekar kita berkelit ke samping seraya lancarkan satu tendangan kaki kanan

ke arah rusuk lawan!

Melihat dua cengkeramannya yang hebat sanggup dikelit oleh lawan Ki Sawer Balangnipa

penasaran bukan main. Di lain

pihak Wiro Sableng merasakan adanya satu ancaman yang tersembunyi sewaktu menyaksikan

bagaimana tendangannya yang

hampir menemui sasarannya itu sama sekali tidak diperdulikan oleh lawan! Mustahil manusia

itu tidak mengetahui bahaya

yang mengancam dirinya!

Satu detik lagi kaki kanan Pendekar 212 akan mendarat dan menghancurkan tulang-tulang rusuk

lawan, Pendekar 212

Wiro Sableng yang punya firasat tidak enak mendadak sontak segera menarik pulang kakinya

dan melancarkan satu pukulan

tangan kosong yang dinamakan pukulan "kunyuk melempar buah"!

Satu hal yang hebatpun terjadilah!

Adalah satu keuntungan besar bagi Wiro Sableng menarik pulang tendangannya tadi karena di

saat yang hampir

bersamaan Ki Sawer Balangnipa membab)atkan tepi telapak tangan kanannya ke bawah dengan

deras! Bukan saja ini satu

pukulan tangan yang amat dahsyat tapi juga diisi dengan kekuatan sakti yang sanggup membuat

batu karang paling ataspun

bisa hancur lebur! Dapat dibayangkan bagaimana kalau pukulan itu mengenai kaki kanan Wiro

Sableng! Karena pukulannya

39

mengenai tempat kosong dengan dendirinya angin pukulan itu terus melanda tanah! Pasir dan

batu-batu berhamburan sampai

beberapa tombak ke samping dan ke atas. Bumi bergetar dan etika Wiro memandang ke depan

dilihatnya bagaimana tanah yang

kena angin pukulan lawan berlobtang besar dan berwarna kehitaman! Diam-diam Pendekar 212

kaget juga karena sebelumnya

tak pernah ia melihat ilmu pukulan yang begitu hebatnya! Mulai saat itu dia kerahkan tiga

perempat tenaga dalamya untuk

menghadapi lawan. Dari mulutnya terdegar suara suitan keras dan pada detik itu juga tubuhya

lenyap!

Kalau tadi Wiro yang dibikin terkejut oleh serangan hebat lawan maka kini Ki Sawer

Balangnipalah yang terkejut bukan

main! Didengamya suitan pemuda itu, lalu tubuh si pemuda lenyap dari hadapannya dan sesaat

kemudian dirasakannya

sambaran angin serangan yang tajam dari kiri kanan!

Ki Sawer Balangnipa melompat mundur sampai lima langkah membentak keras dan maju lagi dalam

satu kelebatan cepat

menyambuti serangan Pendekar 212 Wiro Sableng!

Nloman Dwipa yang menyaksikan pertempuran diam-diam memuji kehebatan kedua belah pihak yang

bertempur. Kalau

saja dia tidak mendapat gemblengan dari Menak Putuwengi pastilah matanya akan sakit dan

kepalanya akan pusing melihat

kelebatan-kelebatan mereka yang bertempur yang hanya merupakan bayang-bayang hitam dari

jubah yang dikenakan Ki Sawer

Balangnipa dan bayangan putih pakaian Pendekar 212 Wiro Sableng. Kini semakin terbuka mata

Nyoman Dwipa bahwa di atas

jagat ini banyak sekali terdapat tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi seperti kedua orang

itu! Dan diam-diam Nyoman Dwipa

membathin apakah tingkat kepandaian Tjokorda Gde Djantra setingkat dengan kedua orang itu.

Kalau betul tentu masih bukan

suatu hal yang mudah baginya untuk bisa mengalahkan musuh besamya itu dalam tempo sepuluh

sampai duapuluh jurus!

Nyoman Dwipa kembali memperhatikan kedua orang yang bertempur. Sementara itu telinganya

mendengar lengking

siulan yang nyaring luar biasa. Sesudah mengerahkan tenaga dalam dan menutup pendengarannya

barulah rasa sakit yang

menyamaki gendang-gendang telinganya akibat suara siutan aneh itu menjadi lenyap! Dan di

muka sana dilihatnya bagaimana

Ki Sawer Balangnipa mulai terdesak oleh serangan-serangan gencar Pendekar 212.

Dalam jurus keempat puluh Ki Sawer Balangnipa mulai menyadari bahwa jika dia terus bertahan

dalam posisi demikian

rupa naga-naganya paling lama sepuluh jurus lagi pasti dia akan kena dihantam lawannya!

Keringat telah membasahi tubuh lakilaki

ini, apalagi karena dia mengenakan jubah yang terbuat dari kulit ular yang tak tembus air!

"Pemuda gelo! Jika kau sayang nyawa cepat cabut senjatamu!" tiba-tiba Ki Sawer Balangnipa

berseru dan habis berseru

demikian dia lepaskan dua ekor ular yang telah dikeringkan dari lehernya! Sepasang binatang

yang sudah mati itu, di tangan Ki

Sawer Balangnipa tak ubahnya kembali menjadi hidup, menyambar dan meliuk, mematuk dan

menjabat ke arah Pendekar 212.

Dari tubuh ular-ular yang sudah dikeringkan itu menghampar bau anyir yang menyesakkan

rongga pernafasan sedang dan

mulutnya yang membuka menyambar sinar hijau menggidikkan. Itulah sinar racun yang jahat

sekali. Menghadapi ini Wiro

segera tutup jalan pernafasannya dan berkelebat lebih cepat untuk menghindarkan serangan-

serangan sepasang ular kering di

tangan lawannya! Sepuluh jurus lagi berlalu. Agaknya Ki Sawer Balangnipa mulai mengeluarkan

jurus-jurus ilmu silat

40

simpanannya kanena kelihatan sekali bagaimana permainan silatnya berubah. Tubuhnya bergerak

gesit laksana seekor ular besar,

meliuk kesana meliuk kesini!

Pendekar 212 Wiro Sableng mulai berada di bawah angin! Jurus demi jurus dia semakin

terdesak ke tepi danau membuat

pemuda ini memaki dalam hati.

Dia tengah berpikir-pikir untuk mulai mengeluarkan ilmu silat "orang gila" yang

dipelajarinya dari Tua Gila ketika salah

satu dari senjata di tangan Ki Sawer Balangnipa menghantam dadanya!

Pendekar 212 menjerit keras! Tubuhnya terjerongkang ke belakang dan kecebur masuk danau!

Dadanya sakit bukan main dan laksana hancur remuk! Pemandangannya berkunang-kunang! Untuk

beberapa lamanya dia

apungkan diri di permukaan air danau sambil mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian yang kena

dihantam lawan!

Di lain pihak Ki Sawer Balangnipa adalah hampir tidak percaya akan apa yang disaksikannya.

Seorang yang kena digebuk

ular kering yang menjadi senjatanya, tak ampun lagi pasti akan menemui kematian dengan

tubuh remuk! Tapi kenyataannya

pemuda itu masih hidup dan mengapungkan diri di atas air danau!

"Ki Sawer Balangnipa hadapi aku!" satu suara membentak dari samping dan Nyoman Dwipa dengn

tongkat bambu

kuningnya sudah melompat kehadapan Ki Sawer Balangnipa!

Manusia yang punya tampang seperti ular itu menyeringai mengejek. "Bagus!" katanya, "kaupun

minta digebuk! Ayo

majulah!"

Nyoman Dwipa bolang-balingkan tongkat bambu kuningnya. Meski tongkat itu kecil saja tapi

deru angin yang keluar

akibat putarannya deras bukan main. Sinar kuning menjulang panjang hingga diam-diam Ki

Sawer Balangnipa segera maklum

bahwa lawannya yang kedua inipun bukan orang sembarangan pula!

"Silahkan mulai, Ki Sawer Balangnipa!" kata Nyoman Dwipa pula. Dia sudah siap dengan kuda-

kuda pertahanan sambil

membolang-balingkan tongkat kecilnya!

"Sialan! Disuruh mulai menyerang lebih dulu malah menantang sombong!" damprat Ki Sawer

Balangnipa. Dia maju satu

langkah untuk melancarkan sebuah serangan yang dahsyat.

Di saat pertempuran antara Nyoman Dwipa dan Ki Sawer Balangnipa hendak pecah tiba-tiba dari

arah danau terdengar

seruan keras: "Nyoman! Biar aku teruskan pertempuranku dengan manusia bermuka ular

penyakitan itu!" Seruan itu disertai

dengan melayangnya kira-kira selusin ular-ular yang telah mati ke arah Ki Sawer Balangnipa!

Jika saja laki-laki itu tak lekas

menyingkir pasti kepala dan tubuhnya akan dihantam binatang-binatang peliharaannya itu

sendiri! Ki Sawer Balangnipa

menjadi lupa terhadap Nyoman Dwipa dan membalikkan tubuh dengan cepat melompat ketepi

danau. Tenaga dalam

dikerahkan seluruhnya ke tangan kanannya dan sekali dia menyapukan ular di tangan kanannya

itu, maka menderulah

satu gelombang angin yang deras ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang mengapung di tengah

danau! Air danau muncrat

sampai setinggi delapan tombak dilanda derasnya pukulan tangan kosong tersebut tapi Wiro

sendiri saat itu sudah melesatkan

41

tubuhnya ke tepi danau sebelah kiri. Dadanya sebenamya masih sakit tapi karena-yakin bahwa

dirinya tak mengalami luka di

dalam maka begitu sampai di daratan pemuda itu berseru lantang, "Muka ular! Terima

pukulanku ini!"

Terlalu cepat bagi Ki Balangnipa untuk bisa melihat pukulan apa yang dilepaskan lawan tahu

-tahu "wuus" satu larik sinar

putih yang panas dan menyilaukan matanya menerpa dahsyat ke arahnyal Manusia yang mukanya

seperti ular itu berseru keras

lalu melompat cepat-cepat ke samping kanan. Tapi tak urung ular kering yang ditangan

kirinya masih tempat disambar pukulan

sinar matahari yang dilepaskan Wiro Sableng hingga senjata itu hancur lebur dan hanya

bagian ekornya saja yang masih

tergenggam dalam tangan kiri Ki Sawer Balangnipa!

"Keparat rendah!" maki Ki Sawer Balangnipa marah luar biasa hingga sepasang matanya laksana

api berkobar! Selagi

Pendekar 212 Wiro Sableng belum menjejakkan kedua kakinya di tanah, dia segera melancarkan

serangan balasan yang tak kalah

hebatnya!

Tangan kiri dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin menggebu laksana topan, siap untuk

menyapu dan menghancur

leburkan tubuh Pendekar 212. Yang dilepaskan Ki Sawer Balangnipa adalah pukulan sakti yang

sangat diandalkannya dan yang

jarang sekali dikeluarkannya jika tidak menghadapi lawan yang teramat tangguh! Itulah

pukulan yang bernama "sejagat baju".

Jangan kata manusia, batu karangpun jika dihantam pasti akan hancur jadi debu! Serangan

yang dilancarkan Ki Sawer

Balangnipa tak kepalang tanggung karena sehabis memukul itu tubuhnya melesat ke depan dan

menyusul serangan pertama tadi

dengan serangan ular kering di tangan kanannya yang menderu ke arah batok kepala Pendekar

212 Wiro Sableng!

Pukulan "sejagat baju" membuat tubuh Wiro Sableng tak dapat melayang turun menjejak tanah

Betapapun dia

mengerahkan tenaga dalamnya serta memukul ke muka dengan ilmu pukulan "dinding angin

berhembus tindih menindih"

tetap saja tubuhnya tersapu sampai delapan tombak! Jika dia tak cepat membuang diri ke

samping dengan mempergunakan

ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, pastilah dia akan menghantarn pohon besar di

belakang sana! Pukulan sejagat baju

melanda pohon besar itu dan pohon-pohon serta semak belukar di sekitarnya, membuat semuanya

itu tumbang dan tersapu

sampai sepuluh tombak lebih dengan mengeluarkan suara berisik luar biasa. Air danau yang

turut terserempet pukulan tersebut

muncrat setinggi dua tombak!

Setelah jungkir balik dua kali berturut-turut Wiro Sableng berhasil mencapai tanah dengan

kedua kaki lebih dahulu.

Nafasnya sesak, tulang-tulang di sekujur tubuhnya serasa tanggal sedang dari sela bibirnya

kelihatan darah kental! Pemuda ini

ternyata telah terluka di dalam! Cepat-cepat Wiro menelan butir pil merah lalu duduk tak

bergerak, meramkan mata mengatur

jalan nafas dan tenaga dalam serta mengalirkan hawa sejuk dari pusarnya ke dada!

Ki Sawer Balangnipa tertawa gelak-gelak sambil mendekati Wiro Sableng. "Ha ⁄ ha! Sekarang

kau baru tahu kehebatan Ki

Sawer Balangnipa! Nah selamat jalan ke neraka, budak hina dina!"

Ki Sawer Balangnipa mengangkat tongkat ularnya tinggi-tinggi lalu dihantamkan secepat kilat

ke arah batok kepala

Pendekar 212 Wiro Sableng!

42

"Pengecut! Beraninya menyerang lawan yang sudah tak berdaya!".

Satu bentakan menggeledek dan selarik sinar kuiing menderu menangkis ular kering di tangan

Ki Saver Balangnipa. Itulah

tongkat bambu kuningnya Nyoman Dwipa. Pemuda ini ketika menyaksikan bagaimana Ki Sawer

Balangnipa hendak

menamatkan riwayat Wiro Sableng dalam keadaan pemuda itu tak berdaya, menjadi sangat geram

dan menyerbu ke muka!

Namun sebelum tongkat bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa saling beradu dengan ular kering

di tangan kanan Ki

Sawer Balangnipa, terdengar suara menggembor yang disusul dengan bentakan lantang.

"Siapa bilang aku tak berdaya, Nyoman!"

Dan "wuut"!

Selarik sinar putih yang amat menyilaukan serta panas berkelebat diiringi suara mengaung

macam ratusan tawon

mengamuk!

Dan "cras"!

Terdengar kemudian pekik setinggi langit keluar dari mulut Ki Sawer Balangnipa. Tangan

kanannya sebatas pergelangan

lengan buntung dan memuncratkan darah! Telapak dan jari-jari tangan yang masih memegang

ular kering tadi, kelihatan mental

ke udara lalu jatuh ke dalam danau, membuat air danau di tempat jatun berwrrna kemerah-

merahan oleh darahl Apakah yang

telah terjadi?

Sewaktu Ki Sawer Balangnipa siap untuk menamatkan riwayat Wiro Sableng, sebelum Nyoman

Dwipa sempat menangkis

senjata Ki Sawer Balangnipa maka Wiro sableng yang duduk diam mematung itu tiba-tiba

membuat gerakan cepat luar biasa,

mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dan membabat ke depan! Maksudnya cuma hendak menabas

senjata lawan tapi tak

terduga serangannya itu justru membuat buntung pergelangan Ki Sawer Balangnipa!

Laki-laki ini menotok jalan darah di bahu kanan hingga darah berhenti memancur!

"Pemuda keparat! Kali ini kau menang! Tapi lain ketika jangan harap kau bisa hidup jika aku

muncul kembali di depan

hidungmu!" Habis berkata begitu Ki Sawer Baangnipa berkelebat dan lenyap di jurusan timur

danau!

Wiro Sableng masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya lalu berdiri dengan perlahan

-lahan. Nyoman Dwipa

memegang bahunya.

"Kau tak apa-apa, Wiro?"

"Aku terluka di dalam," jawab Wiro mengaku terus terang, "tapi tak begitu berbahaya.

Manusia itu hebat sekali ilmu

pukulannya!"

"Tapi kau jauh lebih hebat!" kata Nyoman Dwipa pula. Dan dalam hati pemuda Bali ini

menyadari sepenuhnya kalau saja

dia yang berhadapan dengan Ki Sawer Balangnipa pasti akan lebih cepat dirobohkan, bahkan

mungkin akan memenuhi ajal

secara mengenaskan!

"Terima kasih atas bantuanmu, Nyoman."

43

"Aku kebetulan lewat di sini dan mendengar suara ribut-ribut. Ketika kuselidiki kutemui kau

mencak-mencak telanjang

bulat melawan puluhan ular!"

Wiro tertawa sambil garuk-garuk kepalanya yang berambut basah. Kedua orang pemuda itu lalu

menuturkan riwayat

masing-masing. Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala mendengar cerita Nyoman dan berkata,

"Hebat sekali riwayatmu,

Nyoman. Juga menyedihkan. Manusia macam Tjokorda Gde Jantra itu memang patut dihajar Sayang

aku ada urusan yang perlu

diselesaikan dengan cepat Kalau tidak pasti aku akan seiring denganmu. Tapi begitu urusanku

selesai aku segera akan

menyusulmu, Nyoman! Ingin sekali aku melihat tampangnya itu pemuda yang bernama Tjokorda

Gde Jantra!"

"Terima kasih yang kau ada perhatian terhadap urusanku, Wiro," kata Nyoman Dwipa pula.

Wiro Sableng sekali lagi mengucapkan terima kasih dan kedua sahabat baru itu saling menjura

lalu berpisah.

44

10

SEPERTI telah dituturkan untuk mempercepat sampai ke Denpasar, Nyoman Dwipa sengaja

menempuh rimba belantara.

Menjelang tengah hari dia sampai ke kaki sebuah bukit. Bukit itu jarang didatangi manusia

bahkan lewat di sanapun boleh

dikatakan tak ada yang berani karena dibukit itulah bersarangnya gerombolan rampok yang

dipimpin oleh seorang bernama

Warok Gde Jingga. Sebenarnya nama asli orang itu adalah Warok Jingga saja. Namun kemudian

ditambah di tengah-tengah

dengan kata "Gde".

Bagi Nyoman Dwipa, bila dia mengelakkan bukit itu berarti memperpanjang perjalanannya

selama setengah hari.

Meskipun dia sendiri tahu bagaimana besarnya bahaya jika mendaki bukit tersebut namun

karena ingin cepat-cepat sampai ke

Denpasar dan ingin cepat-cepat melunaskan sakit hati dendam kesumat yang telah diindapnya

selama beberapa bulan di lubuk

hatinya, maka pemuda itu dengan tekat bulat sengaja menempuh bukit tersebut.

Beberapa jam kemudian dia sudah sampai kelereng bukit sebelah selatan. Sekurang-kurangnya

menjelang magrib dia pasti

sudah sampai ke kota tujuannya. Dia harus memasuki satu rimba belantara sebelum mencapai

kaki bukit di mane membujur

jalan yang menuju ke Denpasar. Hatinya gembira karena sampai saat itu nyatanya dia tak

mengalami kesukaran apa-apa dalam

menempuh Bukit Jaratan yaitu bukit tempat bersarangnya gerombolan rampok Warok Gde Jingga.

Sewaktu Nyoman Dwipa telah menempuh tiga perempat bagian dari rimba belantara itu, mendadak

di sebelah muka di

dengamya suara bentakan-bentakan dan suara beradunya senjata. Tak dapat tidak itu pastilah

suara orang yang tengah

bertempur. Pemuda ini percepat larinya. Tak diperdulikannya lagi bagaiman baju birunya

dikait semak belukar. Tepat di kaki

bukit, di tepi jalan besar kelihatanlah satu pemandangan yang hebat!

Empat orang laki-laki berpakaian prajurit-prajurit klas satu tengah bertempur mengeroyok

seorang perempuan berpakaian

dan berkerudung kain hitam. Di tepi jalan sebelah sana berdiri seorang pe-empuan tua dengan

tubuh mengigil sedang

dibelakangnya, di tepi jalan berhenti sebuah kereta. Di bagian depan kereta, seorang kusir

tua duduk dengan paras pucat pasi!

Perempuan yang parasnya ditutup dengan kain hitam itu gerakannya gesit sekali. Pedang perak

di tangan kanannya

berkelebat kian kemari, menangkis serangan-serangan golok panjang ke empat pengenyok bahkan

juga sekaligus balas

menyerang dengan gencarnya!

Namun betapapun hebatnya ilmu pedang perempuan itu, lawan-lawan yang dihadapinya adalah

prajurit-prajurit klas satu

yang berkepandaian tinggi. Ketika Nyoman Dwipa datang mereka telah bertempur lebih dari

sepuluh jurus dan si baju hitam

berada dalam keadaan terdesak yang cukup membahayakan keselamatannya!

"Breet"!

Tiba-tiba salah satu ujung golok panjang berhasil nembabat putus buhul kain hitam yang

menjadi kerudung si baju

45

hitam! Kini kelihatanlah paras di balik kerudung itu! Jangankan Nyoman Dwipa, keempat

prajurit yang bertempurpun

terkesiap saking tidak menyangka kalau paras di balik kerudung itu nyatanya adalah paras

seorang dara yang jelita dan paras itu

kelihatan pucat akibat sambaran senajata lawan yang hampir saja membelah batok kepalanya!

Salah seorang prajurit melompat ke muka dan berseru, "Dara hina dina! Kalau kau tak segera

mengembalikan patung itu,

jangan harap kau akan melihat matahari tenggelam sore nanti!"

Dara jelita berpakaian hitam mendengus dan meludah ke tanah! Sebagai jawaban dia kiblatkan

pedang peraknya hingga

pertempuran kembali berkecamuk! Tapi kali ini seperti tadi, lagi-lagi si baju hitam

berhasil di desak, bahkan kini agaknya ke

empat prajurit itu tak mau memberi hati lagi sehingga nyawa sang dara benar-benar terancam!

Meski dia tak ada sangkut paut dengan pertempuran yang berkecamuk itu, tapi Nyoman Dwipa

merasa kasihan dan tidak

tega kalau sang dara berbaju hitam sampai mendapat celaka di ujung golok-golok ke empat

lawannya. Dari balik semak-semak di

mana dia bersembunyi mengintai pertempuran itu, Nyoman melompat ke tengah kalangan

pertempuran seraya berseru,

"Hentikan pertempuran!"

Karena suara itu disertai aliran tenaga dalam maka kerasnya mengumandang ke seantero rimba.

Keempat prajurit

berpaling terkejut dan kemudian menjadi marah melihat seorang pemuda tak dikenal mengganggu

serta mencampuri jalannya

pertempuran!

Salah seorang dari mereka memberi isyarat agar tak usah memperdulikan Nyoman Dwipa. Maka

keempatnya kemudian

kembali hendak menyerbu si gadis baju hitam. Tapi betapa terkejutnya mereka ketika melihat

kenyataan bahwa dara itu tak ada

lagi dihadapan mereka, sudah lenyap melarikan diri tatkala perhatian mereka tertumpah pada

Nyoman Dwipa! Dengan

sendirinya kemarahan keempat prajurit itu tertuju pada diri Nyoman Dwipa kini! Maka

langsung saja tanpa banyak bicara

mereka kiblatkan golok panjang menyerang pemuda itu!

Karena sudah menyaksikan kehebatan permainan golok keempat orang prajurit itu Nyoman segera

pula bertindak cepat.

Golok pertama yang datang menusuk ke dadanya dikelit sigap dan tahu-tahu lima jari tangan

kirinya yang dilipat sudah

menyelinap ke mukal Prajurit itu berseru kesakitan! Goloknya terlepas sedang sambungan

sikunya putus dihantam pukulan

Nyoman Dwipa. Sementara tiga orang prajurit lainnya terkesiap melihat peristiwa itu, Nyoman

Dwipa dengan cepat

menyambuti golok yang jatuh. Lalu dengan golok itu Nyoman membabat golok-golok di tangan

ketiga lawannya hingga satu

demi satu bermentalan di udara!

Keempat prajurit itu kagetnya bukan alang kepalang! Tapi dalam hati mereka memaki habis-

habisan. Bahkan salah

seorang dari mereka secara blak-blakan berkata dengan suara keras penuh amarah.

"Pemuda tak tahu diri! Ada sangkut paut apakah kau dengan gadis bedebah itu hingga

mencampuri urusan orang lain?!"

Prajurit yang kedua membuka mulut pula, "Tahukah kau siapa kami dan siapa gadis berbaju

hitam tadi?!"

"Aku memang tak ada sangkut paut apa-apa." jawab Nyoman Dwipa tenang. "Juga tidak tahu

siapa kalian, apalagi gadis

46

yang kabur itu!"

"Tindakanmu ceroboh lancang! Tak tahu diri! Akibatnya bedebah itu berhasil merampas dan

melarikan patung emas yang

kami bawa!"

"Patung emas?!" ujar Nyoman.

"Ya, patung emas! Dan kau musti menggantinya! Kalau tidak kau kami tangkap dan clihadapkan

pada Adipati Surabaya

untuk menerima hukuman!" kata prajurit yang lain.

"Jadi kalian adalah prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya?" tanya Nyoman.

"Tak usah banyak tanya! Lekas serahkan dirimu!"

"Sobat, sebaiknya kau terangkan dulu asal musabab sampai kalian mengeroyok gadis itu. Jika

memang dari keteranganmu

nanti aku telah melakukan kesalahan, percayalah aku akan menebus kesalahanku itu."

Salah seorang dari keempat prajurit lalu mem berikan keterangan. Mereka adalah utusan dari

Kadipaten Surabaya yang

berangkat menuju ke Bali untuk melamar seorang gadis anak bangsawan yang tinggal di

Denpasar. Sebagai bawaan, Adipati

Surabaya telah memberikan sebuah patung emas untuk diserahkan pada keluarga si gadis

sebagai tanda penghormatan. Setelah

menyeberangi lautan, sesampainya di Bali mereka melanjutkan perjalanan dengan kereta.

Perempuan tua yang ikut bersama

keempat prajurit itu adalah orang yang bakal menyampaikan lamaran Adipati Surabaya kepada

si gadis.

Sebagai orang asing tentu saja mereka tidak mengetahui bahwa bukit Jaratan dan daerah

sekitarnya adalah tempat malang

melintangnya gerombolan rampok yang dikepalai oleh Warok Gde Jingga. Ketika mereka lewat di

kaki bukit di sepanjang tepi

hutan, mereka telah dicegat oleh seorang perempuan berkerudung kain hitam. Kusir kereta

yang pernah mendengar tentang ciriciri

perempuan itu segera memberi tahu bahwa dia adalah Luh Bayan Sarti, adik kandung kepala

rampok Warok Gde Jingga

yang sangat ditakuti! Luh Bayan Sarti masih gadis. Karena memiliki ilmu silat yang tinggi

maka dia selalu melakukan kejahatan

seorang diri. Rupanya rampok betina ini sudah mencium bahwa rombongan utusan Adipati

Surabaya itu ada membawa benda

berharga. Maka begitu dia melakukan penghadangan dengan cepat dia menerobos masuk ke dalam

kereta dan berhasil

merampas patung emas! Keempat prajurit Kadipaten Surabaya tentu saja tidak tinggal diam.

Justru mereka telah diberi

kepercayaan untuk melindungi barang berharga itu. Maka tanpa banyak cerita lagi segera

mereka mengeroyok Luh Bayan Sarti.

Ketika mereka sudah hampir berhasil menghajar rampok betina itu tahu-tahu muncullah Nyoman

Dwipa memberikan

pertolongan hingga buntut-buntutnya Luh Bayan Sarti berhasil kabur dengan membawa serta

patung emas!

Kini tahulah Nyoman Dwipa akan kesalahan yang telah diperbuatnya. Tapi memang siapa yang

bisa menduga kalau gadis

secantik Luh Bayan Sarti itu adalah seorang perampok? Dan pemuda manakah yang tega

membiarkan seorang dara jelita terancam

bahaya mautl! Setelah merenung sejenak maka Nyomanpun berkata. "Memang besar salahku!

Kurasa sebelum gadis itu

berlalu jauh, sebaiknya kita lakukan pengejaran. Kalau perlu kita datangi sarangnva!"

Keempat prajurit Kadipaten Surabaya saling berpandangan. Kusir kereta yang sejak tadi

berdiam diri karena ketakutan

47

untuk pertama kalinya buka suara, "Mendatangi sarang Warok Gde Jingga berarti mencari

mati!"

"Kalau begitu kalian tidak menginginkan patung emas itu kembali?"

"Tentu saja menginginkanl" jawab seorang prajurit. "Tapi pergi ke sarangnya gerombolan

rampok itu besar sekali

bahayanya. Karena itu kau yang punya gara-gara maka kau sendiri yang harus pergi ke sana.

Kami menunggu di sini! Kami tak

perduli apakah untuk mendapatkan patung emas itu kau harus menyerahkan kepalamu!"

"Kalau aku pergi seorang diri dan berhasil mengambil kembali patung itu, jangan harap aku

akan membawanya ke

sini....," kata Nyoman Dwipa dengan menyeringai.

"Kalau begitu ...." kata seorang prajurit sesudah berpikir-pikir beberapa lamanya, "aku,

kau dan dua orang kawanku

berangkat ke sana. Yang lain tetap tinggal di sini."

Nyoman menyetujui pendapat itu, lalu tanpa menunggu lebih lama mengajak ke empat orang itu

untuk segera berangkat.

Kusir kereta mendadak membuka mulut, "Saudara-saudara dengar nasihatku. Adalah sia-sia

kalian pergi mengambil kembali

patung emas itu! Warok Gde Jingga memiliki ilmu silat tinggi sekali. Di samping itu dia

memiliki anak buah yang banyak.

Ditambah dengan Luh Bayan Sarti maka sekalipun kalian berjumlah lima kali lebih besar,

jangan harap kalian akan berhasil.

Kataku kalian cuma mengantar nyawa! Sebaiknya kembali dan seret pemuda biang runyam itu ke

hadapan Adipati Surabaya!"

"Bagiku kemarahan Adipati Surabaya bukan apa-apa. Kalaupun aku dihukum, kurasa kalian semua

juga tak luput dari

hukuman! Kalau tak ada yang mau ikut, tak apa. Jangan menyesal kalau patung emas itu jatuh

ke tanganku sedang kalian

mendapat hukuman dari Adipati kalian!"

Nyoman Dwipa cepat berlalu dari situ. Tiga orang prajurit saling berpandangan. Akhirnya

setelah mengambil senjata

masing-masing yang tadi jatuh di tanah, ketiganya segera menyusul Nyoman Dwipa.

"Mereka akan mati percuma! Mati percuma!" desis kusir kereta sambil memperhatikan kepergian

orang-orang itu.

48

11

SEORANG anggota rampok yang berada di puncak sebuah pohon tinggi telah melihat kedatangan

keempat orang itu. Cepatcepat

dia turun dari atas pohon dan memberikan laporan pada pemimpinnya yaitu Warok Gde Jingga.

Kebetulan saat itu Luh

Bayan Sarti ada pula di situ.

"Coba terangkan ciri-ciri mereka!" kata Luh Bayan Sarti.

"Yang tiga orang berpakaian seragam, seperti pakaian prajurit. Yang seorang lagi pemuda

berpakaian biru."

"Hem ...." gadis itu mengguman lalu berpaling pada kakaknya. "Bagaimana pendapatmu?"

tanyanya.

"Biarkan saja mereka datang kemari. Tak ada tang harus ditakutkanl" sahut si kepala rampok.

"Memang pendapatkupun demikian," kata Luh Bayan Sarti lalu menganggukkan kepala pada

anggota rampok yang

melapor.

Setelah anggota rampok itu pergi berkatalah Warok Gde Jingga. "Kau akan berhadapan kembali

dengan tuan penolongmu

yang gagah itu! Bukankah itu yang kau inginkan, Sarti?"

Luh Bayan Sarti menjadi merah parasnya. "Sebaiknya kita keluar saja menyambut kedatangan

mereka!"

Warok Gde Jingga tertawa lalu mengikuti diknya keluar rumah besar. Mereka menunggu di

langkan.

Karena telah dipesankan agar keempat pendatang itu dibiarkan saja, maka ketika memasuki

perkampungan, tak ada

seorang rampokpun yang mengalangi. Nyoman Dwipa dan ketiga prajurit-prajurit kadipaten itu.

Di halaman rumah besar

keempatnva berhenti.

Nyoman melirik sekilas pada Luh Bayan Sarti lalu berpaling pada laki-laki bertubuh tinggi

besar yang hanya mengenakan

celana panjang hitam. Dadanya yang bidang tertutup oleh bulu sedang wajahnya diranggasi

cambang bawuk yang lebat kaku.

"Apakah kami berhadapan dengan Warok Gde Jingga?" tanya Nyoman Dwipa sesudah terlebih

dahulu menjura.

"Orang muda," kata Warok Gde Jingga "Sungguh nyalimu besar sekali untuk datang ke mari!

Sesudah menolong adikku

dari bahaya dikeroyok oleh prajurit-prajurit hina dina itu, apakah kedatanganmu ke sini

hendak minta hadiah imbalan?!"

Nyoman Dwipa tertawa, lalu menjawab, "Jauh dari itu, Warok. Justru aku datang ke sini untuk

menebus kesalahanku

terhadap prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya ini. Satu-satunya jalan untuk dapat menebus

kesalahanku itu ialah meminta

kesudianmu untuk mau menyerahkan kembali patung emas yang telah dirampas oleh adikmu ini."

Nyoman lalu menggoyangkan

kepalanya ke arah Luh Bayan Sarti.

Gadis itu tertawa cekikikan. Bola matanya sejak tadi tidak lepas dari memandangi paras

Nyoman Dwipa yang gagah cakap

itu.

"Enak betul bicaramu. Sudah lancang dating kemari, sekarang berani bertingkah! Apakah kau

bersedia menyerahkan

49

selembar nyawamu sebagai pengganti patung emas itu?!"

Nyoman tertawa lebar. Dalam tertawa itu dia harus mengakui bahwa paras Luh Bayan Sarti

sungguh jelita. Kulitnya halus

mulus. Sungguh sangat disayangkan dara sejelita ini hidup menjadi perampok, berbuat

kejahatan dan diam di tengah-tengah

manusia-manusia kasar!

Sementara itu Warok Gde Jingga mengusap-usap dagunya yang penuh dengan berewok.

"Selembar nyawaku bukan apa-apa," terdengar suara Nyoman Dwipa menjawab pertanyaan Luh

Bayan Sarti tadi. "Yang

penting patung emas itu harus diserahkan pada ketiga prajurit ini."

"Kalau begitu biar kutabas dulu batang lehermu. Kalau sudah kelak patung emas itu akan

kuberikan pada manusiamanusia

jelek ini!"

"Serahkan dulu patung emas itu pada mereka" ujar Nyoman Dwipa.

Luh Bayan Sarti mendelikkan kedua matanya. "Sret"! Gadis ini mencabut pedang peraknya.

"Tahan dulu, Sarti!" kata Warok Gde Jingga sambil memegang bahu adiknya ketika gadis itu

hendak melompat ke

hadapan Nyoman Dwipa. "Sebaiknya kita atur begini saja orang muda. Karena patung emas itu

boleh dibilang milik ketiga

kunyuk-kunyuk Kadipaten Surabaya ini maka kupersilahkan mereka turun tangan sendiri. Jika

mereka bertiga berhasil

mengalahkanku, kuserahkan patung itu kembali pada mereka. Tapi kalau mereka kalah, patung

emas itu tetap milikku dan

mereka kubebaskan. Untuk itu kau harus mempertaruhkan batang lehermu!"

Ketiga prajurit Kadipaten Surabaya terkejut bukan main. Jangankan mereka bertiga, sepuluh

orangpun mereka belum

tentu sanggup mengalahkan Warok Gde Jingga yang kesaktian dan ilmu silatnya sangat tinggi

itu!

Nyoman Dwipa berbatuk-batuk.

"Warok Gde Jingga," kata pemuda ini, "karena aku yang punya gara-gara maka biarlah aku

mewakili ketiga prajurit itu

untuk memenuhi permintaanmu tadi."

Warok Gde Jingga tertawa gelak-gelak. "Kuhargakan nyalimu sobat dan kuberi kelonggaran

padamu! Kau boleh maju

bersama-sama prajurit-prajurit tak berguna itu!"

"Walau ilmuku sangat dangkal," sahut Nyoman Dwipa, "tapi mengingat kesalahanku biarlah aku

menghadapimu seorang

diri."

"Baik ... baik ... baik! Jika itu kehendakmu! Mari kita mulai!" kata Warok Gde Jingga

seraya melompat ke halaman.

Tubuhnya yang tirrggi besar dengan berat lebih dari tujuh puluh kilo itu tak sedikitpun

menimbulkan suara ketika kedua

kakinya menjejak tanah halaman. Satu pertanda bahwa ilmu meringankan tubuhnya sudah

mencapai tingkat yang tinggi!

Nyoman Dwipa tak mau kalah siap! Sekali dia berkelebat maka bayangannya lenyap dan sedetik

kemudian sudah berdiri

enam langkah di hadapan kepala rampok itu! Warok Gde Jingga terkejut bukan main! Tiada

diduganya pemuda yang

dianggapnya sepele itu memiliki gerakan gesit serta ilmu meringankan tubuh yang tidak

berada di bawahnya!

50

Melihat kedua orang itu sudah siap untuk bertempur. Luh Bayan Sarti tiba-tiba melompat dan

berseru, "Kak Gde Jingga!

Biar aku yang mengadapi pemuda sombong ini! Kau lihat sajalah bagaimana adikmu akan memberi

pelajaran padanya!"

Tanpa menunggu jawaban kakaknya, Luh Bayan Sarti sudah menghadapi Nyoman Dwipa, tersenyum

sekilas lalu berkata

sambil mengerling dan mencabut pedang peraknya. "Silahkan kau mulai lebih dulu!".

"Ah, tuan rumahlah yang lebih pantas memulai," sahut Nyoman Dwipa pula. "Kuharap kau benar

-benar memberi

pelajaran berguna pada orang bodoh macamku ini, saudari!"

Luh Bayan Sarti tertawa kegenit-genitan. "Kau hati-hatilah orang muda karena pedangku ini

tidak bermata." Ucapan itu

dibarengi si gadis dengan satu serangan setengah melompat. Ketika menabas pedang peraknya

hanya merupakan selarik sinar

putih yang mengeluarkan suara bersiur karena saking cepatnya! Sebelumnya Nyoman Dwipa telah

melihat ilmu

pedang gadis itu yakni sewaktu Luh Bayan Sarti bertempur melawan prajurit-prajurit.

Kadipaten Surabaya. Namun sekali ini

dilihatnya si gadis mengeluarkan jurus serangan yang lain dari yang lain hingga Nyoman

Dwipa tak mau bersikap memandang

enteng, cepat mencabut tongkat bambu kuningnya yang kecil dan dengan gesit berkelebat

mengelakkan tabasan yang mengincar

pinggangnya!

Setengah jalan tiba-tiba sekali tabasan yang dilakukan Luh Bayan Sarti berubah menjadi satu

tusukan tajam ke arah dada.

Tusukan ini sebelum sampai memecah laksana kilat keempat bagian tubuh Nyoman Dwipa yaitu

kepala, leher, dada dan perut!

Ketiga prajurit Kadipaten Surabaya menahan nafas. Serangan yang dilancarkan si gadis adalah

serangan hebat luar biasa.

Melihat dekatnya tusukan-tusukan pedang itu dari tubuh Nyoman Dwipa, ketiganya merasa cemas

kalau-kalau si pemuda kali

ini tak sanggup menvelamatkan dirinva!

"Hebat!" Justru dalam suasana yang tegang itu Nyoman Dwipa mengeluarkan seruan memuji.

Tubuhnya lenyap menjadi

bayang-bayang biru. Dan di antara bayangan biru itu bekelebatlah selarik sinar kuning.

Itulah sinarnya bambu kuning di tangan

Nyoman Dwipa.

Melihat lawan memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat maka Luh Bayan Sarti kerahkan pula

ilmu meringankan

tubuhnya hingga dalam jurus pertama itu keduanya sudah merupakan baying-bayang saja!

Nyoman tersenyum melihat kecerdikan si gadis. Segera pemuda ini menggerakkan bambu

kuningnya dalam jurus

"gendewa sakti membentur gunung". Jurus ini mengandalkan tenaga dalam yang dialirkan ke

tongkat bambu kuning. Dalam

jurus kedua terjadilah hal yang sangat mengejutkan Warok Gde Jingga.

Sewaktu dalam jurus kedua Luh Bayan Sarti kembali melancarkan serangan yang hebat, bambu

kuning di tangan Nyoman

sudah bergerak dalam jurus "gendewa sakti membentur gunung" itu.

Luh Bayan Sarti heran ketika merasakan bagaimana tetakan pedangnya yang semula meluncur

pesat tahu-tahu dengan

tiba-tiba sekali tersendat laksana diterpa oleh satu angin yang luar biasa dahsyatnya.

Belum habis rasa herannya itu, bambu

kuning di tangan Nyoman tiba-tiba dilihatnya sudah berada dekat sekali di samping pedang

peraknya!

51

Luh Bayan Sarti seorang berpikiran cerdik. Dari gerakan bambu kuning itu dan mengetahui

bahwa tenaga dalam lawan

tinggi sekali, tahulah dia bahwa Nyoman Dwipa hendak memukul badan pedangnya dalam satu

pukulan yang hebat dan memungkinkan

pedang perak itu terlepas dari tangannya! Karenanya dengan sigap gadis ini menaikkan

tangannya ke atas lalu

membabat ke samping, menaebas ke arah batang leher Nyoman Dwipa!

Di lain pihak Nyoman Dwipa tidak terlalu bodoh untuk menunggu lebih lama. Kedudukan tangan

dan senjata lawan

yang berada lebih tinggi di atas senjatanya sendiri justru itulah yang dikehendakinya!

Bambu kuning di tangan pemuda ini

menerpa ke atas Dan tahu-tahu Luh Bayan Sarti merasakan tangannya yang memegang pedang

menjadi kesemutan. Dia

melompat mundur tapi tak bisa karena pada saat itu bambu kuning di tangan lawan laksana

seekor ular seakan-akan telah

membelit pedangnya. Ketika Nyoman Dwipa memutar-mutar bambu kuningnya, pedang perak di

tangan gadis itupun ikut

berputar melintir. Luh Bayan Sarti tak bisa mempertahankan senjata itu kecuali kalau

tangannya mau ikut-ikutan terpuntir dan

tanggal dari persendiannya!

Warok Gde Jingga bukan olah-olah kejutnya menyaksikan bagaimana adiknya yang berkepandaian

tinggi itu hanya

mampu menghadapi pemuda itu dalam tempo dua jurus saja. Bahkan dalam dua jurus itu bukan

saja dia dikalahkan tapi

senjatanya sekaligus kena dirampas! Luh Bayan Sarti sendiri sesudah pedangnya tertarik dan

berada digenggaman Nyoman

Dwipa bukan main marahnya. Tapi dia juga malu sekali. Dengan paras merah sambil banting-

banting kaki gadis ini memutar

tubuh dan meninggalkan tempat itu.

"Eh, saudari tunggu dulu! Ini kukembalikan pedangmu!" seru Nyoman Dwipa.

Luh Bayan Sarti tak mau berpaling apalagi hentikan langkahnya. Dia terus nyelonong ke

langkan rumah Karena orang tak

mau menerima kembali senjatanya maka Nyoman Dwipa menggerakkan tangan kirinya yang memegang

pedang. Senjata itu

lepas dan mendesing di udara lalu menancap di tiang langkan rumah, tepat pada saat Luh

Bayan Sarti berada di samping tiang

itu!

Luh Bayan Sarti berbalik dan mendelikkan kedua matanya pada Nyoman Dwipa. Sebaliknya pemuda

itu hanya tersenyum

saja, membuat si gadis benar-benar penasaran setengah mati. Di cabutnya pedang itu dari

tiang langkan lalu cepat-cepat masuk

ke dalam rumah!

Nyoman berpaling pada Warok Gde Jingga dan berkata. "Adikmu telah kupercundang. Karena dia

bertindak sebagai

wakilmu dan dia kalah maka kau harus menepati janjimu Warok. Harap kau segera mengembalikan

patung emas itu pada

ketiga prajurit ini.... "

Warok Gde Jingga mengusap-usap dadanya yang berbulu lebat lalu tertawa gelak-gelak.

"Ingatanmu selalu pada patung emas itu saja. Dan kau terlalu bangga dengan kemenanganmu!

Terangkan dulu namamu

dan siapa kau sebenarnya ..."

"Kalau sudah kuterangkan lantas kau akan mengembalikan patung itu?!"

52

Kembali kepala rampok itu tertawa. Dia melirik pada anak-anak buahnya yang berdiri

mengeliling halaman lalu

menggelengkan kepalanya. "Sesudah aku tahu nama dan siapa kau adanya, kita main-main

sebentar . . . "

Nyoman tahu apa yang dimaksudkan Warok Gde Jingga dengan kata "main-main" itu. Maka dia

berkata, "Dan kalau

dalam main-main itu kau mengalami nasib sama dengan adikmu, apakah kau juga mencari dalih

lain untuk tidak menyerahkan

patung emas itu?!"

Merahlah paras Warok Gde Jingga. "Aku tidak serendah yang kau kirakan, pemuda sontoloyo!"

katanya keras.

"Ah kalau begitu baiklah. Namaku Nyoman Dwipa dan aku orang kampung. Nah, apakah kini kita

bisa memulai

permainan yang kau maksudkan itu?!"

Warok Gde Jingga menggeram. Tangannya ditepukkan. Maka dari dalam rumah besar keluarlah

seorang pelayan

membawa sebuah senjata milik Warok Gde Jingga yang bentuknya aneh dan dahsyat! Belum pernah

Nyoman Dwipa melihat

senjata semacam itu. Anak-anak buah Warok Gde Jingga sendiri kelihatan saling berbisik

karena setahu mereka, Warok Gde

Jingga jarang sekali mempergunakan senjata itu kalau tidak dalam keadaan terpaksa atau

ketika menqhadapi lawan yang

tangguh luar biasa!

53

12

SENJATA di tangah Warok Gde Jingga adalah sebuah toya besi hitam yang pada kedua ujungnya

digantungi masing-masing tiga

buah kaitan besi yang juga berwarna hitam. Setiap ujung kaitan besi itu mempunyai tiga anak

kaitan lagi dan masing-masing

ujungnya tetah dicelup dengan racun yang amat jahat selama tiga tahun. Sekali manusia yang

tidak memiliki kekebalan racun,

meskipun memiliki tenaga dalam bagaimanapun tingginya pasti akan menemui kematian bila

sampai kena tertusuk oleh ujungujung

kaitan itu! Di samping itu kaitankaitan tersebut merupakan senjata yang berbahaya karena

sanggup membetot daging

atau urat seorang lawan! Menurut taksiran keseluruhan senjata itu beratnya lebih dari lima

puluh kati. Tapi Warok Gde Jingga

memegangnya tak ubahnya seperti memegang sebuah ranting kering belaka!

Nyoman Dwipa tahu benar kehebatan ilmu suit lawan yang dihadapannya itu. Jauh lebih tinggi

dari ilmu silat Luh Bayan

Sarti yang tadi telah dikalahkannya. Dan melihat kepada senjata di tangan Warok Gde Jingga,

pemuda ini sudah maklum bahwa

senjata itu amat berbahaya, maka tanpa menunggu lebih lama segera Nyoman Dwipa pasang kuda

-kuda pertahanan yang

bernama "elang menukik laut". Kedua kaki merenggang agak menekuk di bagian lutut. Tangan

kiri agak mengembang ke

samping sedang tangan kanan yang memegang tongkat bambu kuning dipalangkan di muka dada.

"Ayo majulah!" kata Warok Gde Jingga.

"Silahkan tuan rumah memulai lebih dulu." sahut Nyoman Dwipa.

Kepala rampok dari bukit Jaratan itu mendengus. Sementara itu anggota-anggota rampok yang

mengelilingi tempat

tersebut membuka mata masing-masing selebar mungkin untuk menyaksikan pertempuran yang

bakal berlangsung yang tidak

bisa tidak pasti sangat hebat!

"Awas perut!" teriak Warok Gde Jingga tiba-tiba. Teriakannya ini dibarengi dengan

berkelebatnya tubuh pemimpin

rampok itu. Ujung toya sebelah kanan menderu ke arah perut Nyoman Dwipa. Ujung-ujung kaitan

berdesing siap untuk

membetot dan membusaikan isi perut pemuda itu!

Nyoman Dwipa melompat ke belakang untuk mengelak. Di'saat itu pula dengan tak terduga,

cepat sekali ujung toya besi

yang sebelah kiri menyambar ke arah leher pemuda itu! Kejut Nyoman Dwipa bukan alang

kepalang. Sambil membentak keras

pemuda gemblengan Menak Putuwengi itu miringkan tubuhnya ke samping dan menggerakkan

tongkat bambu kuningnya,

memukul bagian tengah toya besi di tangan Gde Jingga.

Melihat lawan hendak memukul senjatanya, kepala rampok itu sengaja tidak mengelak! Dia

beranggapan bahwa sekali

tongkat bambu kuning itu membentur toya besinya pastilah akan patah dua! Tapi betapa

terkejutnya Warok Gde Jingga sewaktu

melihat bukan saja tongkat lawan tidak patah bahkan sewaktu bentrokan terjadi, toya besinya

terpukul keras hampir saja

terlepas dari genggamannya!

54

Dengan menggertakkan rahang Warok Gde Jingga menerjang ke muka. Toya besinya laksana

titiran, menderu dan

mengurung Nyoman Dwipa dari seluruh penjuru!

Sementara itu dari satu tempat yang terlindung di balik jendela rumah besar, sepasang mata

menyaksikan pertempuran itu

dengan hati cemas. Kecemasan itu tertuju pada diri Nyoman Dwipa. Kecemasan itu adalah

kalau-kalau si pemuda akan menjadi

korban mendapat celaka di tangan Warok Gde Jingga. Tapi cetika menyaksikan bagaimana Nyoman

Dwipa dengan tenang

melayani lawannya, orang yang mengntai itu merasa lega sedikit. Dan orang ini bukan ain Luh

Bayan Sarti, adik Warok Gde

Jingga yang telah dikalahkan oleh Nyoman Dwipa tadi!

Dua puluh jurus telah berlalu. Gerakan-gerakan Warok Gde Jingga semakin gesit dan ganas.

Toyanya lenyap dalam

sambaran-sambaran sinar hitam yang nengeluarkan angin dingin serta bersiutan. Debu dan

pasir beterbangan di sekeliling

orang-orang yang bertempur itu! Semakin bertambah jurus demi jurus, semakin meluap

kemarahan Warok Gde Jingga. Sebagai

kepala rampok yang ditakuti dan punya nama besar dikalangan rimba persilatan di Pulau Bali,

baru kali ini dia menghadapi

lawan yang demikian tanguhnya. Karena pertempuran itu disaksikan oleh anak-anak buahnya

pula maka tentu saja rasa malu

membuat amarahnya tambah menggelegak! Amarah yang menggelegak ini tak bisa lagi

dikendalikan karena bagaimana pun dia

menggempur lawan dengan toya besi serta dibarengi dengan pukulan-pukulan tangan kosong yang

hebat tetap saja menemui

kesia-saan! Akibatnya saat itu semua orang menyaksikan bagaimana Warok Gde Jingga bertempur

macam kerbau gila atau

celeng kemasukan setan, seradak sana seruduk sini, melompat sini melompat sana! Keringat

membasahi tubuhnya yang tidak

mengenakan pakaian. Gerakan-gerakannya yang gerabak-gerubuk itu tambah tak karuan lagi

sewaktu dia dengan kalap terus

menggempur marah karena ujung tongkat bambu kuning Nyoman Dwipa berhasil memukul ikatan

kaitan di ujung toya

sebelah kanan hingga kaitan-kaitan itu terlepas dan mental!

Tiga puluh lima jurus telah berlalu kini.

"Warok Gde Jingga apakah masih akan diteruskan pertempuran ini atau cukup sampai di sini

saja?!" berseru Nyoman

Dwipa.

Seruan ini membuat darah kepala rampok itu tambah mendidih. Dia balas berteriak, "Aku belum

kalah! Kalau kepalamu

sudah pecah terpukul toyaku baru pertempuran berhenti!"

Nyoman Dwipa tertawa kecil. Tiga perempat tenaga dalamnya dialirkan ke tongkat bambu

kuning. Dan ketika tongkat itu

membuat satu sambaran tajam ke bagian tengah toya besi di tangan Warok Gde Jingga, ketika

benturan keras terjadi, Warok

Gde Jingga merasa tangannya pedas dan sakit bukan main. Dia tak sanggup lagi mempertahankan

toya itu hingga terlepas dari

tangannya dan mental ke udara! Sewaktu toya itu menggeletak jatuh di tanah terbeliaklah

mata Warok Gde Jingga. Badan toya

yang kena dihantam bambu kuning temyata telah menjadi bengkok dan genting hampir putus!

Nyoman Dwipa tersenyum kecil lalu memasukkan tongkat bambu kuningnya ke balik pinggang

kembali. "Permainan

sudah selesai, Warok. Kuharap kau memenuhi janjimu, menyerahkan kembali patung emas yang

telah dirampok oleh adikmu!"

55

Meskipun saat itu Warok Gde Jingga malu dan marah bukan main, meskipun dia seorang yang

sudah terkenal

kejahatannya namun dalam satu hal kepala rampok ini patut dipuji. Hal itu ialah sifatnya

yang memegang teguh segala janji

yang diucapkannya. Maka dia memerintah seorang anak buahnya untuk mengambil patung emas

dari dalam rumah. Benda itu

kemudian diserahkannya pada. Nyoman Dwipa dan Nyoman Dwipa selanjutnya menyerahkan pada

prajurit-prajurit Kadipaten

Surabaya. Bukan main gembira prajurit-prajurit itu.

Di hadapan Warok Gde Jingga Nyoman Dwipa menjura dan berkata, "Terima kasih atas segala

pelayanan yang kau

berikan. Juga terima kasih yang kau sudah suka mengembalikan patung emas itu. Aku dan

prajurit-prajurit ini hendak minta

diri sekarang."

"Prajurit-prajurit itu boleh pergi, tapi kau tetap di sini, Nyoman!" sahut Warok Gde

Jingga.

"Eh, kenapa begitu Warok?" tanya Nyoman Dwipa heran.

"Aku mau bicara denganmu," sahut kepala perampok dari bukit Jaratan itu.

Setelah berpikir dengan cepat, Nyoman Dwipa kemudian menganggukkan kepala dan berpaling

pada prajurit-prajurit di

sampingnya. "Kalian pergilah, biar aku tetap di sini dulu."

Setelah mengucapkan terima kasih pada si pemuda maka prajurit-prajurit itu kemudian

meninggalkan sarang perampok

tersebut dengan cepat. Mereka kawatir kalau-kalau mendapat kesulitan baru pula di tempat

itu.

"Nah, mereka sudah pergi. Apa yang hendak kau bicarakan, Warok?" tanya Nyoman Dwipa.

"Kita bicara di dalam, Nyoman!" jawab kepala rampok itu lalu dibawanya Nyoman Dwipa masuk

ke dalam rumah besar.

Sampai di dalam Nyoman dipersilahkan duduk di satu ruangan yang berperabotan serba mewah.

Warok Gde Jingga

memerintahkan bujang-bujangnya untuk menghidangkan makanan dan minuman yang tezat-lezat,

Setelah menyantap hidangan

itu barulah Warok Gde Jingga menerangkan maksudnya menahan Nyoman Dwipa.

"Ilmu silatmu tinggi sekali. Permainan tongkatmu lihay. Melihat kepada jurus dan gerak yang

kau keluarkan, dan

mengetahui bahwa di Pulau Bali ini cuma ada seorang tokoh sakti yang memiliki ilmu tongkat

yang hebat luar biasa, apakah

kau bukannya murid orang sakti itu, Nyoman?"

Nyoman Dwipa tertawa.

"Orang sakti manakah maksudmu?" tanyanya.

"Ah, kau pura-pura bertanya pula. Orang tua gagah yang bernama Menak Putuwengi itu

tentunya!"

Kembali Nyoman Dwipa tertawa. "Guruku cuma guru silat biasa, Warok. Tokoh temama seperti

Menak Putuwengi itu

mana mau mengangkat aku jadi muridnya?"

Warok Gde Jingga meneguk tuaknya habishabis lalu berkata, "Baiklah Nyoman, soal siapa

gurumu tak perlu kita

bicarakan. Yang penting adalah kenyataan bahwa ilmu silatmu amat tinggi dan membuat aku

benar-benar kagum. Bagaimana

kalau kita bekerja sama memimpin orang-orangku yang ada di seluruh bukit Jaratan ini?

Segala hasil yang kita dapat menjadi

56

milik bersama, kita bagi dua! Bahkan harta kekayaanku yang ada sekarang akan kuberikan

separohnya padamu!"

"Rupanya inilah maksud kepala rampok ini menahanku." kata Nyoman Dwipa pula dalam hati.

"Terima kasih atas tawaran dan kepercayaanmu itu. Warok. Tapi menyesal aku tak dapat

menerimanya...."

"Ah! Mari, kau lihatlah dulu gudang penyimpanan harta kekayaanku. Kalau kau sudah melihat,

pasti kau tak akan mau

menampik lagi tawaranku." kata Warok Gde Jingga seraya hendak berbangkit dari duduknya.

Nyoman melambaikan tangannya dan berkata, "Aku percaya harta kekayaanmu banyak sekali dan

tak ternilai harganya,"

kata pemuda ini, "namun sebenarnya ada banyak urusan yang harus kusalesaikan. Untuk saat

ini aku benar-benar tak bisa

menerima tawaranmu, entah di lain ketika." Lalu pemuda inipun berdiri dari kursinya.

Warok Gde Jingga kecewa sekali. Kalau saja Nyoman Dwipa mau ikut bersamanya pasti seluruh

Bali akan berada dalam

genggamannya. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa memaksa. Dan pemimpin rampok

inipun lantas berdiri,

mengantarkan tamunya ke ujung halaman.

***

Belum lewat sepeminuman teh lamanya Nyoman Dwipa meninggalkan bukit Jaratan telinganya dan

perasaannya yang

tajam menyatakan bahwa seseorang saat itu tengah menguntitnya. Di satu tikungan jalan

pemuda ini menghentikan larinya dan

menyelinap bersembunyi di balik sebatang pohon besar yang bagian bawahnya ditumbuhi semak

belukar lebat. Dia menunggu

dan selang beberapa ketika lamanya penguntit itupun muncul di tikungan jalan. Betapa

terkejutnya Nyoman ketika melihat

bahwa orang itu ternyata bukan lain dari Luh Bayan Sarti, adik kandung Warok GdeJingga

adanya! Maka dengan penuh heran

pemuda inipun keluar dari persembunyiannya.

"Selamat berjumpa kembali saudari." kata Nyoman.

Luh Bayan Sarti terkejut. Parasnya merah seketika kemudian dicobanya tersenyum dan berkata,

"Aku tengah menuju ke

Denpasar. Tak diduga bertemu denganmu di sini."

Nyoman berpikir apakah ucapan gadis itu bukan kedustaan belaka?

"Aku sendiri juga tengah menuju ke sana," kata Nyoman.

"Betul? Kalau kau tak keberatan . . . . "

Nyoman Dwipa sudah tahu kelanjutan katakata gadis itu maka diapun memotong. "Tentu saja aku

tak keberatan pergi

sama-sama denqanmu ke Denpasar". Namun dalam hatinya Nyoman merasa menyesal mengeluarkan

ucapan itu. Maksudnya ke

Denpasar adalah untuk mencari musuh bebuyutannya. Dan kini dia ke sana bersama gadis itu,

tentu akan mencari tambanan

pekerjaan saja dan salah-salah bisa cari urusan baru! Dipandanginya paras gadis itu. Cantik

memang. Dan sungguh disayangkan

kalau dara secantik ini menjadi adik kandung kepala rampok dan ikut-ikutan pula menjadi

perampok!

57

"Agaknya kau menyesal mengeluarkan ucapan tadi?" tanya Luh Bayan Sarti tiba-tiba seraya

mengerling pada si pemuda.

Nyoman tertawa lebar-lebar. "Seiring dengan dara secantikmu dalam perjalanan adalah satu

hal yang menyenangkan,"

katanya. "Apakah maksudmu pergi ke Denpasar?"

"Hendak mengunjungi seorang sahabat lama." jawab Luh Bayan Sarti.

"Kawan atau kekasih?" tanya Nyoman pula.

Paras sang dara kembali menjadi kemerah-merahan. "Aku tak punya kekasih," katanya kemudian.

"Oh....!"

"Dan kau sendiri perlu apakah ke Denpasar? Kau tinggal di situ?" ganti menanya Luh Bayan

Sarti.

"Ada urusan penting," jawab Nyoman. Dia memandang ke langit lalu berkata. "Kita harus

berangkat cepat-cepat. Sebelum

malam musti sudah sampai di Denpasar."

Luh Bayan Sarti mengangguk. Lalu keduanyapun meninggalkan tempat itu.

58

13

MEREKA memasuki Denpasar ketika sang surya baru saja tenggelam di ufuk barat. Untuk tidak

menarik perhatian orang

keduanya memasuki kota dengan jalan kaki biasa.

"Aku akan mencari penginapan." kata Nyoman Dwipa. "Bagaimana dengan kau, apakah akan terus

ke tempat sahabatmu

itu?"

"Tubuhku letih sekali," sahut Luh Bayan Sarti. "Rumah sahabatku terletak di sebelah barat

luar kota. Karena kita datang

dari jurusan timur cukup jauh juga untuk mencapai tempatnya itu. Kurasa sebaiknya aku juga

mencari penginapan. Besok baru

meneruskan perjalanan kerumahnya."

Nyoman menganggukkan kepala. Kini semakin yakin pemuda ini bahwa kepergian Luh Bayan Sarti

yang katanya hendak

menguniungi sahabat lamanya itu adalah satu kedustaan belaka. Sepanjang jalan dari bukit

Jaratan sampai ke Denpasar banyak

sekali sikap gadis itu yang dirasakannya aneh. Berulang kali dilihatnya Luh Bayan Sarti

memperhatikannya secara diam-diam.

Bila sekali-sekali mereka saling berbentur pandangan, paras gadis itu berubah kemerah-

merahan dan kepalanya ditundukkan

atau dipalingkan kejurusan lain. Nyoman sendiri jadi merasa aneh lama-lama mempunyai

perasaan lain yang membuat hatinya

jadi berdebar. Tapi perasaan itu dibuangnya jauh-jauh bila dia ingat pada almarhum kekasih

yang dicintainya yaitu Ni Ayu

Tantri. Kepergiannya ke Denpasar justru untuk menuntut balas kematian gadis itu, juga

kematian ayah dan kawan-kawannya.

Dan kini hati yang mendendam kesumat itu dibayangi oleh perasaan lain tersebut membuat

Nyoman merasa bahwa seolah-olah

dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Ni Ayu Tantri!

Di sebuah rumah penginapan yang torletak di pusat kota Nyoman menyewa dua buah kamar.

Satu untuknya sendiri dan yang lain untuk Luh Bayan Sarti. Kalau sang dara begitu masuk ke

kamar terus berbaring dan

tertidur pulas maka Nyoman Dwipa terlebih dulu pergi mandi membersihkan diri. Habis mandi

rasa letihnya agak hilang

berganti dengan kesegaran. Dia memanggil pelayan dan memesan dua porsi nasi. Yang satu

porsi disuruhnya mengantarkan ke

kamar Luh Bayan Sarti. Sambil menyantap makanannya Nyoman berpikir-pikir apakah malam itu

juga akan dilakukannya

penyelidikan di mana letak tempat kediaman musuh besamya yang bemama Tjokorda Gde Jantra

itu dan sekaligus melakukan

pembalasan melampiaskan dendam kesumat yang dipendamnya selama hampir lima bulan. Atau

ditunggunya sampai besok?

Tengah dia menyantap makanan dan berpikirpikir itu mendadak pintu kamar diketuk orang.

Nyoman Dwipa meletakkan

piringnya di atas meja lalu membuka pintu. Pelayan penginapan berdiri di muka pintu itu dan

menerangkan bahwa ketika dia

mengantarkan hidangan ke kamar Luh Bayan Sarti temyata kamar itu kosong melompong, si gadis

tak ada di dalamnya.

"Saya rasa terjadi hal yang tidak beres." menerangkan pelayan itu.

Mulanya Nyoman Dwipa menyangka Luh Bayan Sarti sedang pergi mandi. Tapi mendengar

keterangan pelayan itu dia

59

jadi terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu ada yang tak beres?"

"Jendela terpentang lebar, engselnya rusak!"

Tanpa menunggu lebih lama Nyoman Dwipa segera lari ke kamar Luh Bayan Sarti. Apa yang di

terangkan oleh pelayan

temyata betul. Kamar itu kosong, jendela terbuka lebar dan sebuah engselnya rusak. Buntalan

pakaian milik Luh Bayan Sarti

masih tergeletak di atas pembaringan. Tak ada tanda-tanda bekas terjadinya perkelahian di

kamar itu. Apakah sesungguhnya

yang telah terjadi? Ke mana perginya Luh Bayan Sarti? Nyoman keluar dari rumah penginapan.

Di luar hari telah malam. Udara

dingin oleh hembusan angin. Gumpalan-gumpalan awan hitam menggantung di langit. Setelah

melakukan penyelidikan di

sekitar penginapan dan tak berhasil menemui Luh Bayan Sarti Nyoman Dwipa kembali menemui

pelayan tadi dan berpesan

agar tidak menerangkan peristiwa itu kepada siapapun. Lalu Nyoman sendiri kemudian

meninggalkan rumah penginapan itu

untuk menyelidiki ke mana lenyapnya gadis itu. Dalam hati kecilnya dia mengeluh. Jika betul

terjadi apa-apa dengan gadis itu

sedikit banyaknya dia harus bertanggung jawab. Ini berarti datangnya satu urusan baru

padahal urusannya yang lebih penting

yaitu melakukan pembalasan terhadap Tjokorda Gde Djantra sampai saat itu masih belum

dilaksanakan!

Hampir dua jam lamanya Nyoman Dwipa meiakukan penye!idikan di seluruh Denpasar bahkan

sampai ke-pelosokpelosok

dan daerah luar kota. Penyelidikannya sia-sia belaka. Jangankan orangnya, jejak Luh Bayan

Sarti-pun tak dapat

dicarinyal Bayan Sarti-pun tak dapat dicarinya!

"Berabe kalau begini." keluh Nyoman Dwipa. Dengan putus asa dan juga mengkal pemuda ini

kembali ke penginapan.

***

Apakah sebenarnya yang telah terjadi dengan Luh Bayan Sarti?

Ketika petang itu Nyoman dan Luh Bayan Sarti memasuki Denpasar dari jurusan barat, seorang

penunggang kuda yang

tangan kanannya buntung memapasi mereka. Karena jalan yang ditempu memang banyak dilewati

orang dan lagi pula saat itu

hari sudah agak gelap maka baik Nyoman maupun Sarti sama sekali tidak memperhatikan orang-

orang

yang mereka papasi, termasuk penunggang kuda tadi. Namun penunggang kuda ini bukanlah orang

yang lalu lalang biasa saja.

Dia bukan lain dari Ki Sawer Balangnipa, si manusia yang tampangnya macam ular yang telah

pemah bertempur melawan

Nyoman Dwipa dan Wiro Sableng beberapa waktu yang lalu! Karena manusia pemelihara ular ini

seorang hidung belang

bermata keranjang maka setiap melihat perempuan pasti tak akan luput dari pandangan

matanya! Begitu juga ketika dia

berpapasan dengan Luh Bayan Sarti. Melihat paras Sarti yang jetita, timbullah niat terkutuk

dalam hati dan benaknya!

Namun sewaktu dia memperhatikan pemuda yang berjalan di samping sang dara, kagetlah Ki

Sawer Balangnipa. Cepat dia

mengenali Nyoman Dwipa sebagai pemuda yang telah bertempur dengan dia di tepi danau

beberapa waktu yang lalu! Jika gadis

itu ada hubungan apa-apa dengan si pemuda tentu saja dia tak punya nyali untuk melaksanakan

maksud terkutuknya itu. Tapi

60

sebagai seorang yang licik, Ki Sawer Balangnipa punya seribu satu macam akal. Sengaja dia

melewati kedua orang itu sampai

beberapa jauhnya kemudian berbalik kembali dan mengikuti Nyoman serta Sarti secara diam-

diam. Dia sudah menyusun

rencana sebagai berikut. Mula-mula akan diculiknya gadis berpakaian hitam yang sangat

rnenarik hati dan merangsang nafsu

bejatnya itu! Bila dia sudah dapatkan itu gadis akan dihubunginya beberapa tokoh-tokoh

silat yanq berada di Denpasar lafu

bersama-sama mereka akan mendatangi pemuda itu untuk rnelakukan pembalasan atas

kekalahannya tempo hari dalam

pertempuran di tepi danau!

Sewaktu melihat kedua orang itu memasuki sebuah penginapan, Ki Sawer Balangnipa berpendapat

inilah kesempatan

yang baik baginya untuk segera melaksanakan niat busuknya itu. Dengan mengandalkan

kepandaiannya yang tinggi Ki Sawer

Balangnipa berhasil memasuki kamar penginapan di mana Luh Bayan Sarti terbaring tidur

keletihan tanpa mengeluarkan suara

sedikitpun! Karena gadis itu sedang tidur nyenyak mudah sekali bagi manusia yang punya

tampang seperti ular itu untuk

menotok urat di tubuh Luh Bayan Sarti. Dalam keadaan masih tertidur gadis itu kemudian

dilarikannya keluar kota.

Kuda yang ditunggangi Ki Sawer Balangnipa laksana anak panah lepas dari busurnya dalam

gelapan malam. Menjauhi

kota dia berpikir-pikir ke mana akan dibawanya gadis itu. Akhirnya dia ingat sebuah kuil

tua yang terletak di sebelah barat

Denpasar. Kuil itu sudah sejak lama tidak dipergunakan. Orang yang lalu lintas memakainya

sebagai tempat beteduh di kala

hujan dan panas terik. Segera laki-laki ini memutar kudanya ke jurusan barat. Di langit

buan sabit muncul setelah beberapa

lamanya bersembunyi di balik awan hitam tebal. Sinar bulan sabit ini tak sanggup

mengalahkan gelapnya malam di saat itu.

Selewatnya sebuah pesawangan Ki Sawer Balangnipa membelok memasuki sebuah jalan berbatu dan

mendaki. Kira-kira

sepeminuman teh dia sampai satu persimpangan. Ki Sawer Balangnipa menghentikan kudanya

karena di antara persimpangan

itulah letak kuil tua yang ditujunya. Pada siang hari dua mulut jalan yang mengapit kuil

tua itu ramai dilewati orang-orang yang

lalu lintas terutama para pedagang. Tapi pada malam hari suasana di situ sunyi senyap. Tak

satu orangpun yang berani lewat

kecuali prajurit-prajurit kerajaan yang meronda. Daerah sekitar situ sering kali menjadi

tempat beroperasinya gerombolan

rampok Warok Gde Jingga dari Bukit Jaratan yaitu kepala rampok yang telah dikalahkan Nyoman

Dwipa beberapa hari yang

lalu.

Dengan memanggul Luh Bayan Sarti laki-laki itu melangkah memasuki halaman kuil. Semula dia

hendak menurunkan

tubuh gadis itu di bagian depan, tapi setelah berpikir sejenak akhirnya dia masuk ke bagian

dalam kuil. Di sini keadaan lebih

gelap, tapi dibandingkan dengan di luar keadaan lantai jauh lebih bersih. Ki Sawer

Balangnipa menyandarkan Luh Bayan Sarti

di dinding kuil. Seringai setan terpampang di wajahnya yang bermuka binatang itu. Di

sekanya peluh yang mencicir di kening,

kemudian dua jari tangan kirinya bergerak melepaskan totokan ditubuh gad is itu.

Luh Bayan Sarti membuka kedua matanya. Kegelapan menghambar di hadapannya. Kemudian ketika

sepasang matanya

menjadi biasa dengan kegelapan itu heranlah gadis ini. Di manakah aku berada, pikirnya. Dia

memandang sekali lagi

berkeliling. Tiba-tiba tersentaklah dia karena tidak dinyananya kalau saat itu dekat sekali

di hadapannya duduk mencangkung

61

sesosok tubuh yang hitam pekat di telan kegelapan. Tak dapat dipastikan oleh gadis ini

apakah yang dihadapannya itu manusia

atau setan tapi yang jelas paras sosok tubuh itu mengerikan sekali, macam kepala dan paras

seekor ular!

"Mungkin aku bermimpi," pikir Luh Bayan Sarti. Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dan pada

saat itu makhluk di

hadapannya datang mendekat, mengulurkan tangannya hendak menjamah tubuhnya. Di mulutnya

tersungging seringai buruk

yang menggidikkan dan dari sela bibirnya terdengar suara seperti mengekeh yang amat pelahan

sedang dari hidungnya

menghembus nafas panas!

"Siapa kau?!" bentak Luh Bayan Sarti seraya melompat.

Orang dihadapannya berdiri perlahan-lahan seraya keluarkan suara tertawa mengekeh.

"Jangan bertanya segalak itu, gadis cantik. Kau berhadapan dengan Ki Sawer Balangnipa ⁄"

"Aku tak kenal kau! Lekas angkat kaki dari dapanku!"

Ki Sawer Balangnipa tertawa gelak-gelak.

"Gadis galak biasanya juga galak di atas tempat tidur! Sayang di sini tak ada tempat tidur

. . . "

"Bangsat rendah! Kau kira berhadapan dengan siapakah?!" bentak Luh Bayan Sarti.

"Sreett!!"

Gadis itu cabut pedangnya dari balik pakaian. Sedetik kemudian tubuhnya sudah berkelebat

dan pedang di tangan

kanannya menderu dalam satu bacokan yang laksana kilat cepatnya ke batok kepala Sawer

Balangnipa.

"Trang!!"

Pedang Luh Bayan Sarti menghantam tembok kuil hingga hancur berguguran. Entah bagaimana

mendadak sekali Ki

Sawer Balangnipa tahu-tahu lenyap dari hadapan gadis itu hingga serangan Luh Bayan Sarti

mengenai tempat kosong dan terus

melanda tembok kuil! Gadis itu mengutuk habisibisan dalam hati. Sewaktu dirasakannya

sambaran angin datang disamping

kanannya, gadis ini cepat membalik seraya kiblatkan pedangnya. Tapi lagi-lagi dia

menghantam tempat kosong dan sebelum dia

bisa berbuat suatu apa, sebuah totokan bersarang di dadanya membuat sekujur tubuhnva

mendadak sontak menjadi kaku tegang

dalam keadaan masih memegangi pedang!

Didahului oleh suara tertawa mengekeh maka anusia bermuka ular itu kembali muncul di

hadapan Luh Bayan Sarti

dengan cengar-cengir seenaknya.

"Senjata ini tak boleh dibuat main", kata Ki iwer Balangnipa dengan tertawa-tawa lalu

diambilnya pedang dari tangan

gadis itu dan dilemparkannya sudut kuil.

"Bangsat kau lepaskah totokanku atau tidak." bentak Luh Bayan Sarti.

"Siapa yang mau ambil risiko, nona manis?!" sahut Ki Sawer Balangnipa. "Sudahlah, kau tak

usah bicara keras-keras yang

hanya mengejutkan setan-setan penghuni kuil tua ini saja! Di samping itu tak baik berdiri

terus-terusan. Mari kutolong kau berbaring

di lantai sini⁄."

62

"Setan alas! Kau mau bikin apa?!"

"Mau bikin apa ...?" Ki Sawer Balangnipa mengulang sambil tertawa mengekeh. "Kau lihat saja

nanti. Yang pasti kau bakal

merasakan bagaimana pandainya aku merubah malam yang dingin ini menjadi malam yang hangat

bagi kita!" Habis berkata

begitu dengan tangan kirinya Ki Sawer Balangnipa meraih pinggang si gadis dan

membaringkannya di lantai kuil!

"Keparat kalau kau tidak lekas melepaskan aku, niscaya kau akan menyesal seumur hidup

bahkan menyesal sarnpai ke

hang kubur!"

"Ha .... ha, siapa yang akan menyesal merasakan kemulusan dan kepadatan tubuhmu! Siapa yang

menyesal merasakan

kenikmatan dirimu sebagai seorang perempuan, seorang perawan?! Ha ... ha . . . ! Matipun

aku tidak menyesal nonaku!"

Sehabis berkata begitu Ki Sawer Balangnipa menyelinapkan tangan kirinya ke bawah baju si

gadis! Luh Bavan Sarti

laksana disengat kalajengking sewaktu merasakan bagaimana jari-jari tangan laki-laki itu

menyentuh buah dadanya!

"Manusia dajal! Rupanya kau belum tahu siapa aku!"

"Ah sudahlah jangan mengoceh juga," desis Ki Sawer Balangnipa. Lalu dengan penuh geram

nafsu dibetotnya baju gadis

itu hingga kancing-kancingnya berputusan.

"Keparat! Nyawamu tak akan berampun! Aku adalah adik Warok Gde Jingga dari Bukit Jaratan!"

Ki Sawer Balangnipa terkejut juga mendengar ucapan ,gadis itu. Sesaat kemudian kemheli

terdengar suara tertawanya.

"Oh, jadi kau adiknya kepala rampok hina dina itu? Siapa takutkan dia? Sepuluh manusia

macam dia dijejer di hadapan Ki

Sawer Balangnipa pasti akan kulabrak musnah!" Lalu tangan laki-laki itu berjerak mengelus

perut Luh Bayan Sarti untuk

kemudian dengan sangat terkutuknya meluncur ke bawah!

"Keparat! Kalau tidak kakakku, kawanku pasti akan datang menabas batang lehermu!"

"Hem siapakah kawanmu itu?"

"Nyoman Owipa! Dia murid Menak Putuwengi!"

"Jangan menipuku! Menak Putuwengi sudah sejak lama lenyap! Sudah mampus!" Dan gerakan

tangan Ki Sawer

Balangnipa yang tadi terhenti kini kembali meluncur! Namun sebelum tangan terkutuk itu

dapat meluncur lebih jauh, satu

bentakan menggeledek dari ruang depan.

"Terkutuk! Di tempat suci berani bikin kotor!" Terdengar satu suara siulan melengking

langit dan berbarengan denjan itu

selarik angin keras dan dingin menggidikkan menyambar ke arah batok kepala Ki Sawer

Balangnipa!

63

14

KAGETNYA Ki Sawer Balangnipa laksana melihat dan mendengar petir menyambar di puncak

hidungnya! Kalau saja dia tidak

cepat menjatuhkan diri dan bergulingan di lantai kuil pastilah kepalanya tak bisa

diselamatkan dari hantaman angin dahsyat

tadi! Begitu berdiri begitu dia membentak!

"Bangsat rendah yang menyerang secara gelap, coba unjukkan tampangmu!". Tiba-tiba Ki Sawer

Balangnipa melengak

karena baru saja dia habis membentak di belakangnva terdengar suara tertawa mengekeh.

"Silahkan putar tubuh dan kau akan melihat tampangku manusia muka ular!"

Ki Sawer Balangnipa membalikkan tubuhnya dengan cepat! Heran, hebat sekali gerakan manusia

itu hingga dia tak

sempat melihat bayangannyapun dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya! Ketika berhadap-

hadapan dengan manusia itu

mendadak menciutlah nyali Ki Sawer Balangnipa. Betapakan tidak. Orang yang kini berdiri di

depannya bukan lain pemuda

yang tempo hari telah membunuh puluhan ekor ularnya di tepi danau! Tapi rasa ngerinya itu

tidak diperlihatkannya. Malah dia

menyembunyikan dengan membentak garang!

"Kau rupanya bangsat haram jadah! Di cari-cari tak ketemu kini datang sendiri mengantar

nyawa!"

Orang dihadapannya mengeluarkan suara bersiul. "Apakah tangan kananmu yang buntung sudah

disambung hingga kau

bernyali besar sekali?!"

Ki Sawer Balangnipa marah sekali. "Keparat! Apa yang kau lakukan tempo hari kini kau bakal

terima balasannya bangsat

Wiro Sableng!"

Habis berkata begitu Ki Sawer Balangnipa menggerakkan tangan kirinya dan sesaat kemudian

sebuah senjata yang dibuat

dari ular kering menderu ganas ke depan.

Pendekar 212 Wiro Sableng yang tahu kelihayan lawan meskipun saat itu tangannya cuma

tinggal satu, dengan tidak ayal

segera bergerak menyelamatkan kepalanya. Dilain pihak Ki Sawer Balangnipa yang sudah pernah

berhadapan dengan si pemuda

dan suclah tahu betapa tingginya ilmu silat serta kesaktian Wiro Sableng, segera

mengeluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu

silatnya. Ular kering di tangan kirinya laksana hidup menjadi puluhan banyaknya dan

menyerbu ke seluruh bagian tubuh

Pendekar 212 Wiro Sableng! Yang lebih hebatnya lagi karena dari mulut ular itu setiap saat

menvambar racun hijau yang amat

berbahaya. Meskipun kebal segala macam racun namun Wiro menutup penciumannya.

Pertempuran berjalan demikian serunya hingga Luh Bayan Sarti yang menyaksikan sampai-sampai

lupa diri di mana dia

berada dan apa sesungguhnya yang telah terjadi sebelumnya atas dirinya. Juga lupa nasib apa

yang bakal menimpa dirinya jika

pemuda berambut gondrong berpakaian putih itu tidak muncul di saat yang sangat kritis itu!

Untuk menghadapi serangan-serangan ganas yang bertubi-tubi serta jurus-jurus aneh yang

dilancarkan lawan, Wiro

64

Sableng sengaja keluarkan jurus-jurus pertahanan ilmu silat "orang gila" yang dipelajarinya

dari Tua Gila. Jurus-jurus pertahanan

tersebut diselingnya dengan jurus-jurus serangan warisan gurunya Eyang Sinto Gendeng.

Hingga walau bagaimanapun hebatnya

Ki Sawer Balangnipa, untuk merobohkan pemuda itu sampai seribu juruspun dia belum tentu

bisa melakukannya. Di lain

pihak WiroSablengsendiri maklum pula yang dia tidak pula akan bisa mempecundangi lawannya

dengan mudah! Karena itu

kedua tangannya kiri kanan mulai melancarkan pukulan-pukulan sakti yang mengandung tenaga

dalam teramat tinggi! Ki Sawer

Balangnipa mulai kewalahan! Jika saja gerakannya tidak gesit sudah tiga kali kepalanya

hampir dilanda pukulan lawan!

Jurus kedua puluh ke atas Ki Sawer Balangnipa sudah terdesak hebat. Ketika lengan kirinya

kena terpukul dan ular kering

yang menjadi senjatanya mental jauh, nyali manusia ini benar-benar meleleh! Didahului

dengan bentakan dahsyat laki-laki ini

harttamkan tangan kirinya ke depan. Satu gelombang angin yang amat keras menderu menyambar

ke arah Pendekar 212 Wiro

Sableng. Itulah pukulan sejagat bayu! Sewaktu Wiro Sableng berdiri limbung diterpa angin

pukulan, kesempatan itu

dipergunakan oleh Ki Sawer Balangnipa untuk melesat ke ruangan luar dan sebelum Wiro sempat

mengejar, laki-laki itu sudah

lenyap di kegelapan malam!

Pendekar 212 Wiro Sableng merutuk habis-habisan. Baginya manusia semacam Ki Sawer

Balangnipa tukang rusak

kehormatan perempuan itu tak ada pengampunan, apalagi mengingat pertempuran tempo hari di

tepi danau. Tapi saat itu dia

tak bisa berbuat suatu apa karena lagi-lagi Ki Sawer Balangnipa berhasil pula melarikan

diri.

Wiro Sableng masuk ke dalam kuil tua kembali dan melangkah ke tempat di mana Luh Bayan

Sarti terbujur dengan dada

tiada tertutup dan celana panjangnya merorot turun. Meskipun keadaan dalam kuil itu gelap

namun sepasang mata Pendekar

212 masih sanggup menikmati kebagusan buah dada dan keputihan perut Luh Bayan Sarti. Dengan

mempergunakan jari-jari

tangan kirinya Wiro kemudian melepaskan totokan di tubuh sang dara.

Begitu tubuhnya terlepas dari totokan, secepat Kilat Luh Bayan Sarti melompat, merapikan

baju dan celana hitamnya.

"Pemuda tak dikenal, terima kasih atas pertolonganmu. Harap kau sudi memberi tahukan nama

..." kata Luh Bayan Sarti

bila pakaiannya sudah rapi.

"Aku Wiro Sableng. Kau siapa?"

"Luh Bayan Sarti," jawab si gadis memberi tahukan namanya. "Sekali lagi terima kasih". Lalu

gadis itu melompat ke pintu

kuil.

"Hai tunggu dulu!" seru Wiro Sableng mengejar. Sekali lompat saja dia sudah berada di

hadapan gadis itu.

"Ada apa?!" tanya Luh Bayan Sarti. "Mohon dimaafkan kalau aku tak bisa bicara lama-lama

dengan kau. Itu bukan aku

tidak tahu diri dan tak menghargai pertolonganmu, tapi karena aku harus cepat-cepat kembali

ke kota."

Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.

"Waktu aku sampai ke sini tadi kudengar kau menyebut-nyebut nama Nyoman Dwipa. Apa sangkut

pautmu dengan

pemuda itu?"

65

Luh Bayan Sarti tak segera menjawab. Di tengah perjalanan ke Denpasar, Nyoman Dwipa

menuturkan kepadanya tentang

dendam kesumatnya terhadap seorang pemuda yang telah membunuh kekasihnya. Nyoman tidak

menerangkan siapa nama

pemuda itu. Tak bukan mustahil pemuda yang berdiri di hadapannya saat ini adalah musuh

besar Nyoman Dwipa. Kalau tidak

mengapa dia bertanya apa sangkut pautnya dengan Nyoman Dwipa?

"Katakan dulu apa hubunganmu dengan Nyoman Dwipa," ujar Luh Bayan Sarti.

Wiro kerenyitkan kening dan kembali menggaruk kepalanya. Dia tadi bertanya, tapi malah

dijawab dengan balik bertanya.

"Dia sahabatku," jawab Wiro.

"Betul?! "

Wiro tertawa dan berkata, "Ada alasan yang membuat kau tak percaya ucapanku?!"

"Walau bagaimanapun baru kali ini aku kenal kau, meski kau adalah tuan penolongku!"

"Ah, jangan sebut-sebut soal pertolongan itu. Yang penting terangkan di mana Nyoman Dwipa

berada saat ini. Aku ingin

bertemu dengan dia."

"Kenapa ingin bertemu?"

"Eh, kau sangat curiga terhadapku! Dua sahabat ingin berternu apakah ada larangan? Kalau

aku seorang gadis cukup

pantas kau tidak menyukai pertemuanku dengan pemuda itu. Tapi toh aku ini laki-laki, sama

seperti Nyoman?!"

"Kau tahu, sahabatku itu datang ke Denpasar untuk mencari musuh besarnya. Seorang pemuda

yang telah membunuh

kekasihnya . . . "

"Dan kau menduga aku orangnya yang menjadi musuh besar Nyoman Dwipa itu?!" Wiro Sableng

lantas tertawa gelakgelak.

Lalu diceritakannya pada Luh Bayan Sarti bagaimana pertama kali dia bertemu dengan Nyoman

dan sama-sama

bertempur melawan Ki Sawer Balangnipa. "Justru aku dalam perjalanan ke Denpasar mencari dia

untuk menanyakan bagaimana

penyelesaian persoalannya itu."

"Kalau begitu kita sama-sama saja ke Denpasar," kata Luh Bayan Sarti.

Wiro menyetujui. Kedua orang itu kemudian berangkat ke Denpasarr

***

Mereka sampai di Denpasar menjelang tengah malam. Penginapan sunyi senyap, hanya dibeberapa

bagian saja kelihatan

lampu masih menyala. Seorang pelayan membukakan pintu depan sewaktu diketuk oleh Luh Bayan

Sarti. Setengah mengantuk,

pelayan itu berkata. "Semua kamar terisi. Harap cari saja penginapan lain."

"Aku memang menginap di sini sebelumnya," jawab Luh Bayan Sarti. Diterangkannya bahwa dia

dari luar kota menemui

seorang kawan.

66

"Dan saudara ini ...?" tanya pelayan seraya menunjuk pada Wiro Sableng.

"Dia bisa tidur sekamar dengan kawanku yang juga sama-sama menginap di sini." sahut Luh

Bayan Sarti.

Pelayan penginapan kemudian membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan kedua orang itu

masuk.

Nyoman Dwipa saat itu belum tidur. Dia duduk di tepi pembaringan dalam kamarnya penuh

gelisah memikirkan Luh

Bayan Sarti yang lenyap tak tahu ke mana perginya. Dalam kegelisahan itu pemuda ini

mendengar suara langkah-langkah kaki

mendekati kamarnya. Dia menyangka itu adalah langkah tamu yang menginap dipenginapan itu

dan hendak pergi ke belakang.

Tapi dia jadi terkejut sewaktu pintu kamarnya diketuk orang dari luar. Begitu pintu dibuka

kejut Nyoman Dwipa lebih lagi

karena yang berdiri diambang pintu adalah Luh Bayan Sarti sendiri dan dibelakang gadis itu

dilihatnya berdiri Wiro Sableng!

Rasa terkejut Nyoman Dwipa sesaat kemudian berubah menjadi kegembiraan. Karena kurang baik

bicara bertiga-tigaan di dalam

kamar maka Nyoman mengajak kedua orang itu ke tempat penerimaan tamu dan di sini dia minta

agar Luh Bayan Sarti

menceritakan apa sesungguhnya yang telah terjadi.

Bukan main geram dan marahnya Nyoman Dwipa sewaktu mendengar bahwa Ki Sawer Balangnipalah

yang telah

membuat gara-gara, menculik Luh Bayan Sarti dan hampir berhasil merusak kehormatan gadis

itu jika sekiranya Wiro Sableng

tidak kebetulan lewat di depan kuil tua dalam perjalanannya ke Denpasar.

"Bangsat bermuka ular itu tidak sukar untuk mencarinya," kata Wiro. "Tapi bagaimanakah

persoalanmu dengan orang

yang bernama Tjokorda Gde Djantra itu ... ?"

"Sebenarnya aku bermaksud mengadakan penyelidikan malam ini jika saja tidak terjadi

peristiwa yang menimpa Luh

Bayan Sarti. Besok pagi akan segera kucari keterangan di mana tempat kediamannya!

Bagaimanapun nyawa busuk manusia yang

satu itu tak bakal lepas dari kematian!"

Karena hari sudah jauh malam ketiga orang itu meninggalkan ruang tamu. Luh Bayan Sarti

kembali ke kamarnya sedang

Wiro menumpang tidur di kamarnya Nyoman Dwipa.

67

15

MENJELANG Dinihari hujan rintik-rintik turun membasahi Denpasar. Dinginnya udara bukan

alang kepalang membuat setiap

orang yang seharusnya sudah bangun saat itu, menyelimuti tubuhnya kembali dan meneruskan

tidur. Beberapa saat kemudian

fajarpun menyingsing. Bersamaan dengan munculnya sang surya di sebelah timur hujan rintik-

rintikpun berhenti. Udara kini

kelihatan cerah terang benderang. Suasana dingin diganti dengan kehangatan sinar sang surya

yang segar. Di jalanjalan dalam

kota Denpasar mulai kelihatan kesibukan orang-orang dan kendaraan-kendaraan yang lalu

lintas.

Di bagian barat kota dua orang pemuda dan seorang gadis kelihatan melangkah cepat menuju ke

pusat Denpasar yang

ramai. Gadis berpakaian hitam bukan lain adalah Luh Bayan Sarti. Pemuda yang berpakaian

putih ialah Pendekar 212 Wiro

Sableng.

Kecantikan paras Luh Bayan Sarti, kecakapan wajah Nyoman Dwipa serta kegondrongan rambut

yang menjela bahu dari

Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi perhatian setiap orang yang memapasi mereka. Kebanyakan

orang segera memaklumi

bahwa ketiga orang muda itu adalah orang-orang dari dunia persilatan. Menyaksikan orang-

orang persilatan di dalam kota

Denpasar bukan soal baru lagi karena memang banyak dari mereka yang memasuki kota untuk

mengurus keperluan. Bahkan di

Denpasar sendiri terdapat beberapa perguruan silat sedang di luar kota terletak sebuah

gedung besar tempat berkumpul tokohtokoh

silat yang terkenal di kota itu dan dari lain-lain kota di Pulau Bali.

Nyoman Dwipa telah mendapatkan keterangan dimana letak rumah kediaman musuh besarnya yang

bernama Tjokorda

Gde Djantra. Kesanalah ketiga orang menuju dipagi hari itu.

Pintu halaman yang merupakan sebuah pintu gerbang besar dari gedung kediaman Tjokorda Gde

Djantra masih dikunci.

"Kita dobrak saja!" kata Nyoman Dwipa seraya siap hendak menendang pintu gerbang besar itu

dengan kaki kanannya.

"Jangan!" kata Wiro cepat. "Itu akan menarik perhatian orang. Jangan lupa bahwa di Denpasar

ini terdapat juga tokohtokoh

silat klas satu ..."

"Siapa takutkan mereka?!" sahut Nyoman beringas karena dia sudah tak sabaran untuk segera

melampiaskan dendam

kesumatnya.

"Bukan itu soalnya, Nyoman. Jika tokoh-tokoh itu ikut campur sebelum kau berhasil

membalaskan sakit hatimu, berarti

cukup besar juga halangan bagimu. Sebaiknya selagi tak ada orang sekitar sini kita melompat

saja. Tembok itu tak seberapa

tinggi."

Nyoman menyetujui pendapat Wiro. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh masing-masing

ketiga orang itupun

melompati tembok dan sampai di halaman dalam tanpa kaki-kaki mereka menimbulkan suara

sedikitpun sewaktu menyentuh

tanah.

68

Gedung besar tempat kediaman Tjokorda Gde Djantra berada dalam keadaan sunyi senyap.

Mungkin penghuninya masih

tidur. Namun saat itu pintu samping tiba-tiba terbuka dan seorang laki-laki separuh baya

berpakaian bagus muncul membawa

dua ekor ayam jago yang dikempit di ketiak kiri kanan. Orang ini menghentikan langkah dan

memandang heran campur kaget

pada Nyoman Dwipa dan dua orang lainnya. Dia mengerling sekilas pada pintu gerbang dan

jelas dilihatnya pintu itu masih

dipalang dari dalam. Tak dapat tidak ketiga manusia tak di kenal itu pasti memasuki halaman

gedung dengan jalan melompat.

"Orang-orang muda, kalian siapa?!" orang ini bertanya.

"Katakan dulu dengan siapa kami berhadapan!" jawab Nyoman Dwipa.

"Aku Tjokorda Gde Anjer, pemilik gedung ini."

Rahang Nyoman Dwipa terkatup rapat-rapat lalu mulutnya terbuka. "Jadi kau bangsawan yang

bernama Tjokorda Gde

Anjer itu ...?" ucapan ini disertai dengan suara mendengus.

"Harap kalian menerangkan siapa kalian adanya dan punya maksud apa memasuki rumah orang

pagi-pagi begini secara

tidak terhormat?!"

Nyoman Dwipa menyeringai. "Rupanya kau masih memandang tinggi nilai-nilai kehormatan, Gde

Anjer!"

ParasTjokorda Gde Anjer berubah.

"Apa maksudmu, orang muda?" dia bertanya.

"Masih ingat pembunuhan yang kau lakukan atas diri I Krambangan dan beberapa orang kawan-

kawannya sekitar lima

bulan yang lewat?!"

Tjokorda Gde Anjer terkejut. Betul-betul terkejut dia kini karena pertanyaan itu sama

sekali tak diduganya. Sesudah

peristiwa itu terjadi sebenarnya bangsawan ini merasa menyesal sekali. Dan hari ini muncul

seorang pemuda dengan dua orang

kawannya mengungkap kembali persoalan yang sebenarnya sudah dilupakannya, sekurang-

kurangnya diusahakannya untuk

melupakan!

"Apa sangkut pautmu dengan peristiwa itu orang muda?" tanya bangsawan tersebut. Matanya

mengawasi ketiga orang itu

terutama Nyoman Dwipa. "Apakah kau anaknya I Krambangan yang datang untuk menuntut balas?!"

"Jadi kau siapa?!"

"Pembalasan juga bisa dilakukan oleh apa yang dinamakan kebenaran! Kau dengar Tjokorda Gde

Anjer?! Hari ini

kebenaran datang untuk minta tanggung jawab atas nyawa-nyawa manusia yang pernah kau bunuh

lima bulan yang lalu itu!"

"Kalau kau tak ada sangkut pautnya, dengan peristiwa itu mengapa kini kau muncul untuk

minta pertanggungan jawab

segala?!" ujar Tjokorda Gde Anjer.

"Setiap kebenaran selalu mempunyai sangkut paut dengan kejahatan!" jawab Nyoman Dwipa

seraya melontarkan senyum

mengejek.

Tjokorda Gde Anjer tertawa. Tapi tertawa pahit. Setelah menarik nafas panjang diapun

berkata: "Sebenarnya aku menyesal

69

terjadinya hal itu. Tapi keadaan memaksaku untuk berbuat begitu ..."

"Penyesalan selalu datang terlambat, Tjokorda Gde Anjer. Kalau tidak terlambat namanya

bukan penyesalan!" kata

Nyoman Dwipa pula.

Ucapan-ucapan yang dilontarkan Nyoman Dwipa sejak tadi tak ubahnya seperti pukulan-pukulan

berat yang menghunjam

bathin bangsawan itu.

"Sekarang apa maumu orang muda?!"

"Apakah kau sebagai seorang laki-laki masih mempunyai hati jantan untuk bertempur sampai

beberapa puluh jurus guna

mempertanggungjawabkan perbuatanmu tempo hari?!"

Tjokorda Gde Anjer tertawa getir.

Sebagai jawaban bangsawan itu melepaskan dua ekor ayam jantan yang sejak tadi dikempitnya.

"Sebelum kita bertempur

katakan dulu siapa kau adanya!"

"Namaku Nyoman Dwipa. I Krambangan adalah calon mertuaku . . . "

"Cuma baru calon?" ejek Tjokorda Gde Anjer yang membuat wajah Nyoman Dwipa menjadi merah.

"Kedatanganku ke sini juga untuk mencari anakmu yang bernama Tjokorda Gde Djantra. Karena

dialah kekasihku

menemui kematian setelah sebelumnya dirusak kehormatannya! Di mana anakmu itu sekarang?!"

Tjokorda Gde Anjer memutar otaknya dengan cepat lalu menjawab. "Anakku berada di Gedung

Putih. Jika kau punya

nyali silahkan datang kesitu. Tapi itupun jika seandainya kau masih punya nyawa setelah

bertempur denganku!"

Nyoman Dwipa tertawa menggeram lalu mencabut tongkat bambu kuningnya. Tjokorda Gde Anjer

sendiri segera pula

mencabut senjatanya yaitu sebilah keris kuning ber-eluk duabelas.

"Apakah kau akan maju bertiga?!" tanya bangsawan itu.

"Aku tidak sepengecut yang kau kirakan, Gde Anjer. Dulu kudengar kau menghadapi I

Krambangan bersama seorang kaki

tanganmu. Kalau dia ada di sini cepat panggil biar dapat kubereskan sekaligus!"

"Jangan terlalu congkak orang muda! Aku sendiripun mungkin cuma sepuluh jurus bisa kau

hadapi! Mulailah!"

"Kau yang hendak mampus silahkan mulai lebih dulu!" kata Nyoman Dwipa penuh penasaran

karena ucapan ayah musuh

besamya itu.

Senyum mengejek lenyap dari bibir Tjokorda Gde Anjer pada saat laki-laki ini menerjang

kemuka. Keris di tangan kanan

berkelebat dan menderu ke arah dada Nyoman Dwipa lalu membabat ketenggorokan dengan teramat

cepatnya hingga hanya

sinar senjata itu saja yang kelihatan! Sungguh hebat serangan yang dikeluarkan Tjokorda Gde

Anjer ini. Itu adalah jurus

serangan yang bernama "menusuk bukit membabat puncak gunung". Dengan mengeluarkan jurus itu

dia berharap akan

membuat si pemuda kepepet demikian rupa hingga dia bisa menyusul dengan serangan kedua yang

mematikan!

Nyoman Dwipa meskipun muda belia dan belum punya pengalaman apa-apa dalam dunia persilatan

tapi dia adalah

70

murid gemblengan Menak Putuwengi.

Serangan dahsyat Tjokorda Gde Anjer tidak membuatnya jadi gugup apalagi kepepet! Dengan

membuat langkah mengelak

ke samping dia berhasil membuat serangan lawan mengenai tempat kosong.

Dan di saat itu pula dengan kecepatan yang luar biasa pemuda ini balas menyerang. Tongkat

bambu kuningnya bersiuran

dafr tahu-tahu ujungnya menusuk ke perut lawan.

Tjokorda Gde Anjer terkejut bukan main hingga dia terpaksa membatalkan serangan susulannya

yang sudah direncanakan

tadi dan meloncat mundur ke belakang seraya menyapukan kerisnya ke muka dengan sebat

sengaja memapas jalannya senjata

lawan dengan maksud memotongnya jadi dua!

Nyoman Dwipa tidak ragu-ragu untuk meneruskan tusukannya ke perut lawan hingga sesaat

kemudian bambu dan keris

itupun saling bentrokanlah!

Tangan kanan Tjokorda Gde Anjer tergetar hebat. Bukan saja kerisnya tak sanggup membabat

buntung bambu kuning itu

tapi senjatanya sendiri hampir terlepas mental karena licinnya bambu dan kerasnya

bentrokan! Diam-diam Tjokorda Gde Anjer

memercikkan keringat dingin di tengkuknya. Tiada diduganya anak muda yang menjadi lawannya

memiliki tenaga dalam yang

ampuh dan tidak dinyananya senjata lawan yang cuma sebilah bambu kuning itu nyatanya sebuah

senjata yang tak bisa dibuat

main!

Menyadari semua itu Tjokorda Gde Anjer tanpa menunggu lebih lama segera mengeluarkan ilmu

silat simpanannya yang

terhebat. Kerisnya mencuit-cuit di udara, tubuhnya lenyap merupakan bayang-bayang. Di lain

pihak dengan mengertakkan

geraham Nyoman Dwipa mempercepat pula gerakannya. Dalam tempo yang singkat belasan jurus

telah berlalu. Sinar bamboo

kuning menderu-deru. Detik demi detik sinar itu semakin rapat mengurung tubuh Tjokorda Gde

Anjer.

Pada jurus keduapuluh lima Nyoman Dwipa benar-benar sudah berada di atas angin dan merasa

tak ada gunanya lagi dia

bertempur lebih lama dengan lawannya itu. Diiringi oleh satu hentakan yang menggeledek dan

menyirapkan darah Tjokorda

Gde Anjer, bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa membuat gerakan setengah lingkaran lalu

laksana kilat menusuk ke perut

Tjokorda Gde Anjer!

Tjokorda Gde Anjer terpekik! Tubuhnya terhuyung ke belakang. Kerisnya lepas sedang kedua

tangannya memegangi

perutnya yang robek besar dan memancurkan darah. Sekali lagi bangsawan ini menjerit lalu

tubuhnya tergelimpang roboh di

tanah, ususnya menggelegak membusai keluar!

Di saat itu pula diambang pintu muncul sesosok tubuh. Orang ini adalah istri Tjokorda Gde

Anjer. Perempuan ini

menjerit lalu lari menubruk tubuh suaminya yang saat itu megap-megap menuju sakarat!

Pemandangan itu benar-benar

menyayat hati. Namun semua itu terpaksa dan harus terjadi karena jalinan hiduplah yang

menghendakinya!

71

16

KEMANA kita sekarang?" Tanya Luh Bayan Sarti ketika mereka sudah berada jauh dari gedung

kediaman Tjokorda Gde Anjer.

"Ke Gedung Putih!" sahut Nyoman Dwipa seraya mempercepat langkahnya.

"Tunggu dulu Nyoman," kata Luh Bayan Sarti seraya pegang lengan pemuda itu hingga sesuatu

perasaan aneh menyamak

di hati Nyoman. Karena di situ ada Pendekar 212 Wiro Sableng, dengan wajah merah Nyoman

lantas menarik lengannya.

"Ada apa?" tanya Nyoman Dwipa pula.

"Sebaiknya kita jangan pergi kesana, Nyoman..."

"Memangnya kenapa? Justru musuh besarku berada di sana!"

"Aku mengerti. Kita tunggu saja bila dia meninggalkan gedung itu dan baru membuat

perhitungan. Pergi ke sana besar

bahayanya!"

Nyoman tertawa.

"Aku memang pemah mendengar tentang Gedung Putih itu," berkata Wiro Sableng. "Di situ

tempar berhimpunnya tokohtokoh

silat kawakan di seluruh Bali. Jika Tjokorda Gde Djantra berada di situ pasti di sana

terdapat pula beberapa tokoh silat

temama lainnya . . ."

"Aku tidak takut masuk ke sana!" kata Nyoman.

"Memang, hitung-hitung untuk cari pengalaman baru." sahut Wiro lalu berpaling pada Luh

Bayan Sarti.

"Aku cuma mengawatirkan kalau-kalau terjadi apa-apa dengan diri Nyoman sebelum dia sempat

membalaskan sakit

hatinya terhadap Tjokorda Gde Djantra .... "

Wiro tersenyum kecil. "Sepatutnva kau mengawatirkan keselamatannya, Sarti!" kata Pendekar

ini sehingga baik Nyoman

maupun gadis itu menjadi sama-sama kemerahan paras mereka. Tanpa banyak perdebatan lagi

akhirnya ketiga orang itupun

meianjutkan perjalanan.

Gedung Putih adalah sebuah gedung besar yang terletak di luar kota sebelah tenggara.

Seperti yang diketahui oleh Wiro

Sableng, memang gedung itu manjadi pusat pertemuan tokoh-tokoh silat ternama bahkan juga

menjadi tempat menguji

kepandaian serta tempat memberikan latihan ilmu silat tingkat tinggi kepada orang-orang

yang menjadi anggota Gedung Putih.

Salah seorang di antaranya adalah Tjokorda Gde Djantra. Meskipun pemuda ini sudah tinggi

ilmu silatnya tapi dari beberapa

tokoh silat lainnya dia masih memerlukan untuk menambah pelajaran silatnya hingga

dibandingkan dengan waktu lima bulan

yang lalu kepandaian pemuda ini sudah jauh bertambah! Sudah sejak satu minggu Tjokorda Gde

Djantra berada di Gedung

Putih menerima latihan-latihan dari beberapa tokoh silat dan ke sanalah Nyoman Dwipa serta

kawan-kawannya menuju.

Sesungguhnya keterangan Tjokorda Gde Anjer yang mengatakan bahwa anaknya berada di Gedung

Putih adalah

72

mempunyai maksud tertentu! Sengaja hal itu dikatakannya dengan keyakinan bahwa kelak Nyoman

Dwipa betul-betul akan

pergi ke sana. Dan pergi ke sana berarti sama saja masuk ke dalam perangkap karena di

Gedung Putih banyak sekali tokohtokoh

silat klas satu yang menjadi kawan anaknya sehingga dapat dipastikan bahwa Nyoman Dwipa

akan menemui

kematiannya kalau berani masuk ke Gedung Putih!

Di satu pendataran tinggi ketiganya berhenti.

Luh Bayan Sarti menunjuk ke bawah pedataran di mana terletak sebuah bangunan besar yang

keseluruhannya berwarna

putih hingga berkitau-kilau kena sorot sinar matahari.

"Itulah Gedung Putih" kata gadis itu.

Nyoman memandang dengan mata disipitkan dan tangan terkepal. "Ayo!" katanya, "makin cepat

kita sampai di sana

makin baik!"

Dengan mempergunakan ilmu lari cepat, ketiganya menuruni pendataran tinggi menuju ke Gedung

Putih. Kira-kira

setengah peminuman teh merekapun sampai di hadapan gedung besar itu. Dua orang laki-laki

yang berdiri di ambang pintu

gedung yang tertutup menyambut kedatangan mereka. Salah seorang di antaranya setelah

melirik dulu pada Luh_Bayan Sarti

bertanya dengan nada keren.

"Siapa kalian dan maksudapa datang ke mari?!"

Nyoman Dwipa yang sudah berangasan segera membuka mulut tapi Pendekar 212 Wiro Sableng yang

berotak cerdik cepat

mendahului.

"Kami bertiga mencari sahabat lama yang bernama Tjokorda Gde Djantra."

Karena di antara mereka terdapat seorang dara berparas cantik tentu saja kedua orang

penjaga pintu tidak menjadi curiga

malah kini menunjukkan sikap hormat. Nyatalah bahwa Tjokorda Gde Djantra disegani di Gedung

Putih itu.

"Sahabat yang kau cari memang berada di dalam. Tapi harap kau rnenunggu sampai nanti siang

atau kembali saja nanti

siang jika ingin bertemu dengan dia...."

"Agaknya ada pertemuan penting di dalam gedung?" tanya Wiro.

"Betul. Di dalam tengah diadakan pemilihan Ketua Gedung Putih yang baru dan Tjokorda Gde

Djantra adalah Ketua

Panitia Pemilihan. Pemilihan baru selesai siang nanti, jadi kalian bertiga kembali saja

nanti siang kalau sekiranya tak bersedia

menunggu di sini."

"Karena kami datang dari jauh, baiklah kami sedia menunggu," kata Wiro Sableng seraya

menggaruk-garuk kepala dan

memandang berkeliling pura-pura mencari tempat duduk. Tapi begitu kedua penjaga pintu

lengah, sekali bergerak saja Wiro berhasil

menotok mereka hingga kaku tegang tak bisa bersuara. Kedua orang itu kemudian dilemparkan

ke balik sebuah gundukan

tanah yang terdapat tak jauh dari pintu depan tersebut.

Dengan mudah pintu besar dibuka. Nyoman Dwipa masuk lebih dulu diiringi oleh Luh Bayan

Sarti dan Pendekar 212

73

Wiro Sableng. Mereka sampai di sebuah ruangan yang bagus berperabotan mewah tapi di situ

sunyi senyap tak seorangpun yang

kelihatan. Di ujung ruangan membentang sebuah tirai biru. Ketiganya melangkah tanpa suara

ke dekat tirai ini dan Nyoman

menyibakkan ujung tirai sedikit, memandang ke ruangan di balik sana. Dilihatnya sebuah

tangga batu mar-mar yang menuju ke

sebuah pintu kayu jati yang berukir-ukir bagus sekali. Di kiri kanan pintu itu berdiri dua

orang laki-laki berpakaian putih,

bersenjatakan masing-masing sebilah pedang. Di samping mereka terdapat sebuah gong besar

yang terbuat dari perunggu.

Sebuah pemukul tergantung di samping gong.

Wiro tengah memikirkan satu akal untuk membuat kedua orang itu tidak berdaya. Dia mempunyai

pikiran bahwa gong

yang terletak di samping keduanya adalah gong tanda bahaya. Namun sebelum dapat akal,

Nyoman sudah menyibakkan tirai

dan melangkah cepat ke hadapan kedua orang itu. Terpaksa Wiro dan Luh Bayan Sarti cepat-

cepat mengikuti.

"Hai siapa kalian?!" seru salah seorang dari penjaga itu seraya tangan kanannya cepat

bergerak ke hulu pedang.

"Jangan bertindak ceroboh Nyoman," bisik Wiro, "biar aku yang jawab pertanyaannya!

Wiro lantas maju ke hadapan kedua penjaga itu dan memberi hormat lalu berkata, "Dua orang

kawanmu di luar sana

telah mengizinkan kami untuk masuk ke dalam menemui Tjokorda Gde Djantra ⁄"

"Tak mungkin!" kata penjaga yang seorang, "semua penjaga Gedung Putih telah diberi tahu

untuk tidak memberi izin

masuk siapapun ..." lalu dia melangkah mendekati gong perunggu.

"Teman-temanmu juga bilang begitu," kata Wiro cepat, "tapi karena kami datang membawa gadis

ini mereka telah

memberi izin."

"Siapa gadis ini?!"

"Kekasih Tjokorda Gde Djantra . . . Dia ada urusan penting sekali. Jika kalian tidak

memberi izin menemuinya kelak

kalian berdua akan kena damprat dari Tjokorda Gde Djantra . . . "

Kedua penjaga itu saling pandang seakan-akan meminta persetujuan masing-masing apakah

memberi izin masuk terhadap

ketiga orang itu. Dan ini sudah cukup bagi Wiro Sableng untuk melompat ke muka dan menotok

urat besar di dada kedua

penjaga tersebut hingga mereka berubah laksana menjadi patung-patung batu yang kaku tegang

di tempatnya masingmasing!

Di ruangan di balik pintu kayu jati ...

Dua puluh orang tokoh-tokoh silat di Pulau Bali duduk mengelilingi sebuah meja besar. Di

ujung meja berdiri seorang

pemuda yang bukan lain Tjokorda Gde Djantra adanya. Di hadapannya terdapat sebuah kotak

kayu yang beriobang bagian

atasnya. Ke dalam kotak itulah nanti akan dimasukkan kertas-kertas pemilih bertuliskan nama

calon. Ketua Gedung Putih yang

dipilih. Saat itu Tjokorda Gde Djantra baru saja hendak membuka suara ketika di ujung sama

dilihatnya pintu besar terbuka

dan tiga sosok tubuh masuk ke dalam. Begitu pandangan matanya membentur paras Nyornan Dwipa

yang segera dikenalnya,

terkaejutlah dia!

Kemunculan ketiga orang itu tentu saja bukan cuma mengejutkan Nyoman Dwipa tapi semua orang

yang ada di ruangan

74

pemilihan tersebut. Bagaimana penjaga-penjaga di luar berani-beranian mengizinkan mereka

masuk? Atau mungkin ketiga orang

ini telah mempreteli penjaga-penjaga Gedung Putih?! Dan melihat kepada gerak-gerik

ketiganya nyatalah bahwa mereka orangorang

dari dunia persilatan!

"Para hadirin yang ada di sini, mohon dimaafkan kalau kedatangan kami ini mengganggu acara

di sini... "

"Kunyuk-kunyuk kotor! Siapa kalian yang berani mengacau masuk ke Gedung Putih?!" membentak

seorang kakek-kakek

berjubah putih bernama Prakata Gandara, Dia adalah ketua Gedung Putih yang segera akan

meletakkan jabatannya bila calon

Ketua baru terpilih.

Wiro berpaling dan menjura pada orang tua ini seraya sunggingkan senyum seenaknya.

"Orang tua, kedatangan kami ke sini bukan untuk mengacau. Kami tidak ada urusan buruk

dengan kau orang tua

maupun dengan yang lain-lainnya, kecuali kawanku ini mempunyai silang sengketa dendam

kesumat dengan seorang pemuda

bemama Tjokorda Gde Djantra yang katanya berada di sini!"

Semua mata memandang pada Nyoman Dwipa lalu berpaling pada Tjokorda Gde Djantra yang saat

itu berdiri tak

bergerak di ujung meja besar seraya matanya memandang bulat-bulat pada Nyoman Dwipa dengan

penuh tanda tanya

Bukankah dulu dia telah bertempur melawan pemuda ini dan telah mengirim Nyoman Dwipa ke

dasar jurang?! Tapi kenapa

sekarang hidup lagi dan datang bersama dua orang tak dikenal lainnya?! Benar-benar dia tak

mengerti dan tak bisa percaya!'

Sementara itu Luh Bayan Sarti yang memandang berkeliling telah melihat pula Ki Sawer

Balangnipa diantara para hadirin

sehingga begitu Wiro berhenti bicara dia segera menyambungi, "Aku sendiri juga mempunyai

seorang musuh besar pula

diantara para hadirin! Itu ... manusia yang punya tampang macam ular!"

Merahlah paras Ki Sawer Balangnipa mendengar ucapan itu. Dia berdiri kursinya dan

membentak, "Gadis! Kau mencari

mati berani masuk ke sini bersama kawan-kawanmu!"

Prakata Gandara berdiri dari kursinya dan berpaling pada Nyoman Dwipa. "Katakanlah dendam

kesumat apa yang kau

pendam terhadap salah seorang anggota Gedung Putih!"

"Aku tidak mendendam dia sebagai seorang anggota Gedung Putih tapi sebagai manusia busuk

yang bemama Tjokorda

Gde Djantra!" sahut Nyoman Dwipa pula.

"Baik, katakan urusanmu hingga kami di sini bisa memutuskan langkah selanjutnya!" ujar

Prakata Gandara.

"Dia telah menculik calon istriku, merusak kehormatannya hingga gadis itu akhirnya mati

bunuh diri secara penasaran!"

jawab Nyoman Dwipa tanpa tedeng aling-aling.

"Betul?!" tanya Prakata Gandara pada Tjokorda Gde Djantra.

"Ketua, aku menculik anak gadis orang bukan dengan niat jahat, tapi untuk mengawininya. Dan

cara itu sudah menjadi

adat kebiasaan di Pulau Bali ini!" sahut Tjokorda Gde Djantra.

"Lidahmu tidak bertulang pemuda busuk hingga kau bisa mencari-cari alasan! Kalau kau bemiat

baik terhadap gadis itu

75

setelah dia bunuh diri mengapa mayatnya kau tinggalkan busuk di tepi telaga? Dan kau juga

punya hutang jiwa yang belum

terselesaikan terhadap diriku sendiri!" semprot Nyoman Dwipa.

"Dan kau gadis cantik, apa urusanmu dengan Ki Sawer Balangnipa hingga kau berani datang ke

sini dan menghinanya di

depan mata hidung kami?!"

"Menghina ular tua itu bukan berarti menghina anggota-anggota Gedung Putih yang benar-benar

berjiwa satria dan

berhati polos! Aku datang menginginkan jiwanya karena beberapa hari yang lalu dia menculik

dan hendak memperkosaku!"

Ki Sawer Balangnipa berbatuk-batuk beberapa kali lalu berkata dengan cepat sebelum Prakata

Gandara menanyainya:

"Ketua, pertama sekali ingin kuberitahukan padamu dan pada semua yang hadir di sini bahwa

gadis berbaju hitam ini bukan

lain Luh Bayan Sarti, adik kandung perampok ganas yang bernama Warok Gde Djingga dari Bukit

Jaratan! Puluhan manusia

tak berdosa telah mati di tangan rampok perempuan ini serta kakaknya. Tak terhingga

banyaknya harta kekayaan Kerajaan yang

dirampoknya. Kurasa sebaiknya kita cepat-cepat membekuknya dan menyerahkannya pada

Kerajaan. Bukan saja berarti kita

membuati pahala tapi dirinyapun bisa dipakai sebagai alat untuk membekuk batang leher

kakaknya!"

"Soal mencari pahala untuk kerajaan itu baik kita bicarakan setelah urusan-urusan dendam

kesumat itu selesai Ki Sawer!"

kata Wiro Sableng mengetengahi. Ki Sawer Balangnipa mengatupkan mulutnya rapat-rapat penuh

geram. Dia sudah tahu

kelihayan Pendekar kita, karenanya dia saat itu hanya mengutuk dalam hati habis-habisan.

Prakata Gandara berpaling pada Wiro Sableng dan bertanya, "Kau siapa pemuda rambut

gondrong? Apakah juga punya

urusan dendam kesumat dengan salah seorang di sini?!"

"Ah, aku orang buruk ini cuma jadi pengantar kedua orang ini," sahut Wiro Sableng.

"Kalau kau cuma kacung pengantar kau tak layak bicara!" semprot Prakata Gandara. Disemprot

begitu Wiro Sableng

ganda tertawa dan keluarkan suara bersiulan! Kejut Ketua Gedung Putih dan semua orang di

situ bukan main karena suara

siulan Wiro Sableng yang cuma terdengar pelahan itu tapi menyakitkan liang telinga mereka!

Maklumlah semua orang kalau

pemuda berambut gondrong bertampang tolol itu memiliki ilmu tinggi.

Prakata Gandara membuka mulut kembali. "Karena nyatanya memang ada anggota-anggota Gedung

Putih yang membuat

sedikit kesalahan di luaran maka biarlah aku dan para toa Gedung Putih yang akan

menjatuhkan hukuman setimpal atas diri

mereka!"

Nyoman tersenyum mendengar ucapan cerdik orang tua itu. "Terima kasih Ketua Gedung Putih

yang mau turun tangan

terhadap orang-orangmu! Tapi kedatangan kami ke sini bukan untuk memintamu untuk berbuat

begitu, melainkan untuk

turun tangan sendiri."

"Baiklah jika memang demikian kehendakmu," kata Ketua Gedung Putih. Tangan kanannya

diangkat ke arah sebuah tirai

merah di ujung ruangan. Jarak antara tirai dan tempatnya berdiri sekira dua puluh langkah

tapi hebatnya dengan kekuatan

tenaga dalamnya Prakata Gandara berhasil menyibakkan tirai tersebut hingga di seberang sana

kelihatanlah sebuah panggung

76

datar yang amat luas! Laki-laki ini memandang seraya tersenyum pada Nyoman Dwipa, dan

berkata, "Arena telah siap

menunggu. Tapi terus terang saja sebagai orang-orang Gedung Putih, semua kami di sini tentu

tak akan berlepas tangan saja ..."

"Kalau begitu naga-naganya," menimpati Wiro Sableng seraya garuk-garuk kepala, "sebagai

kacung yang buruk tentu aku

tidak pula bisa berpangku tangan!" Habis berkata begitu Pendekar ini melangkah seenaknya

menuju ke arena. Dan mengikuti

tindakan pemuda itu, semua orang menjadi membeliakkan mata mereka. Betapakan tidak! Setiap

langkah yang dibuat Wiro,

setiap kakinya menginjak batu mar-mar diruangan tersebut, lantai batu itu melesak kehitaman

dalam bentuk telapak-telapak

kakinya!

Wiro Sableng sampai di atas arena batu sementara Luh Bayan Sarti dan Nyoman Dwipa sudah

berada pula di

sampingnya. Prakata Gandara mau tak mau menjadi tercekat juga hatinya. Pemuda gondrong

bertampang tolol itu saja ilmunya

tinggi bukan main, apalagi yang bernama Nyoman Dwipa pikirnya. Dia tidak tahu bahwa di

antara ketiga manusia yang berdiri

di arena itu justru Wiro Sablenglah yang paling berbahaya!

"Bangsat yang bernama Tjokorda Gde Djantra silahkan naik ke sini agar kau bisa menyusui

ayahmu lebih cepat!" seru

Nyoman Dwipa.

Terkejutlah Tjokorda Gde Djantra mendengar ucapan itu. "Apa?! Apa yang telah kau perbuat

terhadap ayahku?!"

teriaknya.

"Bapak moyangmu itu bertanggung jawab atas kematian I Krambangan dan beberapa orang

kawannya! Aku telah

mewakili roh-roh mereka untuk merampas jiwa bapakmu, mengerti?!"

"Anjing kurap!" teriak Tjokorda Gde Djantra dan melompat ke atas arena. Selarik sinar

kuning menderu ke arah Nyoman

Dwipa. Itulah keris Bradjaloka yang ber-eluk tujuh belas di tangan Tjokorda Gde Djantra. Di

saat yang hampir bersamaan,

selarik sinar kuning membabat pula ke depan. Yang ini adalah sambaran tongkat bambu kuning

milik Nyoman Dwipa.

Tjokorda Gde Djantra terkejut dan tak menduga bahwa lawannya telah mengalami kemajuan

tinggi. Sinar kuning senjata

memusnahkan tusukan kerisnya bahkan hampir saja ujung bambu kuning itu menghantam

pergelangan tangannya! Segera Gde

Djantra mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan kiri untuk melepaskan pukulan raja selaksa

angin. Dengan pukulan itulah dia

tempo hari telah melemparkan Nyoman Dwipa ke dalam jurang!

Nyoman Dwipa yang pernah di serang oleh pukulan itu segera maklum dan bersiap sedia sewaktu

dilihatnya lawan

menarik tangan kiri ke belakang.

Pada saat Gde Djantra memukul ke depan, Nyoman menyarnbuti dan membalas dengan hantaman

tangan kiri..

Terdengar suara bersiuran dan dari telapak tangan Nyoman Dwipa melesat selarik sinar putih.

Itulah pukulan "selendang dewa

melanglang bumi" yang dipe!ajarinya dari gurunya Menak Putuwengi. Bukan saja pukulan sakti

ini memusnahkan pukulan "raja

selaksa angin" tapi sinar putih terus meluncur dan melibat ke arah batang leher Tjokorda

Gde Djantra! Yang diserang kaget

bukan main dan cepat membuang diri ke samping, justu saat itu tongkat bambu kuning Nyoman

Dwipa datang menderu ke

77

arah kepalanya! Dalam saat yang kritis ini satu sambaran angin datang dari samping hingga

tongkat Nyoman Dwipa melenting

ke kiri dan selamatlah kepala Tjokorda Gde Djantra!

Berbarengan dengan itu terdengar bentakan Wiro Sableng. "Tua bangka curang! Kalau mau main

kayu mari hadapi aku!"

Prakata Gandara menggeram. Parasnya merah. Memang dialah tadi yang turun tangan

menyelamatkan nyawa Tjokorda

Gde Djantra. Kini dimaki begitu rupa oleh Wiro marahlah dia dan dengan gerakan amat enteng

melompat ke atas arena.

Begitu sampai di atas arena Prakata Gandara kebutkan ujung lengan jubah putihnya. Ujung

lengan jubah ini sengaja

dibuat amat lebar dan merupakan senjata ampuh bagi Ketua Gedung Putih itu. Sambaran ujung

lengan keras sekali dan

mengarah jalan darah di dada Wiro Sableng. Sambil tertawa mengejek pendekar 212 berkelit ke

sarang dan dalam gerakan yang

tidak karuan tahu-tahu tangannya nyelonong ke muka! Kalau saja Prakata Gandara tidak lekas

-lekas menarik tangannya pastilah

ujung lengan jubahnya kena direnggut robek olen Wiro! Disamping geram orang tua itu juga

kaget sekali. Serangannya tadi

bukan serangan sembarangan. Angin kebutan lengan jubah saja sanggup memukul bobol tembok

batu, tapi lavwannya yang

bertampang tolol itu bisa mengelak bahkan balas menyerang. Tak ayal lagi Ketua Gedung Putih

ini segera mencabut senjatanya

yang teramat aneh yaitu sebuah lonceng perak!

Begitu lonceng tersebut berada di tangannya maka menggemalah suara berkelenengan yang

memekakkan dan

menyakitkan telinga. Lonceng itu sendiri yang lingkaran luarnya tajam luar biasa,

berkeltbat kian kemari menggempur Wiro

Sableng dari delapan jurus! Menghadapi suara lonceng yang klanang-kleneng itu Wiro merasa

bagaimana satu kekuatan yang tak

kelihatan menekannya membuat gerakannya tidak leluasa. Permainan silatnya menjadi kacau

sedang te!inganya tambah sakit! Di

situ;ah kehebatan senjata Prataka Gandara! Menanggapi kenyataan ini Wiro segera tutup jalan

pendengarannya. Tapi anehnya

suara klanang-kleneng lonceng perak tersebut semakin keras!

"Sialan!" maki Wiro. Dari tenggorokannya menggeledek suara bentakan membuat semua orang

yang ada di situ merasakan

dada, masing-masing berdebar. Begitu bentakan berakhir tubuh Wiro lenyap dan kini

terdengarlah suara siulan yang amat tajam

membawakan lagu hiruk pikuk tak menentu! Perang suara antara deru siulan dan gema lonceng

berkecamuk hebat! Namun

lambat laun kentara bagaimana suara klanang-kleneng lonceng perak di tangan Prakata Gandara

menjadi sirna di telan suara

siulan Pendekar 212 Wiro Sableng.

Di bagian yang lain pertempuran antara Nyoman Dwipa dan Tjokorda Gde Djantra berkecamuk

dengan hebatnya. Murid

Sorablunohling dan Menak Putuwengi saling keluarkan kepandaian untuk dapat merobohkan lawan

masing-masing.

Saat itu pertempuran telah berlangsung hampir lima puluh jurus. Sebenarnya nyali Tjokorda

Gde Djantra telah menciut

sewaktu melihat bagaimana pukulan "raja selaksa angin" tidak sanggup merobohkan lawannya

padahal di samping permainan

silatnya yang tinggi, pukulan itu adalah kekuatannya yang sangat diandalkan! Nyalinya

tambah meleleh sewaktu jurus tiga

puluh ke atas dia mulai mendapat tekanan-tekanan serangan yang hebat dari lawannya. Karena

menang pengalamanlah dia

masih bisa bertahan sampai jurus yang kelima puluh!

78

Pada jurus kelima puluh dua, Nyoman Dwipa mulai mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat "raja

tongkat empat penjuru

angin" yang paling hebat hingga Tjokorda Gde Djantra semakin kepepet dan musti bertahan

mati-matian!

Pertempuran antara Wiro dan Prataka Gandara juga semakin hebat. Sebagai Ketua Gedung Putih,

Prataka Gandara merasa

telah luntur namanya karena sebegitu jauh jangankan sanggup untuk merobohkan lawannya,

bahkan dirinya sendiri mulai

sibuk menghadapi serangan lawannya yang sampai saat itu masih bertangan kosong!

Tiba-tiba terdenyar seruan Ki Sawer Balangnipa.

"Saudara-saudara sekalian! Ketua kita bertempur mati-matian. Masakan kita berpangku tangan

saja?! Mari berebut pahala

melenyapkan pengacau-pengacau ini!"

Mendengar seruan itu, semua orang yang ada di situ segera cabut senjata dan laksana air bah

menyerbu ke atas arena!

Sebenarnya jika bukan dalam keadaan terdesak tentu saja Prataka Gandara tidak sudi main

keroyok begitu rupa. Tapi karena

maklum dalam sepuluh jurus di muka belum tentu dia bisa bertahan maka serbuan orang-orang

itu malah menggembirakannya!

"Bangsat rendah, berani main keroyok! Makan pedangku!" teriak Luh Bayan Sarti. Pedangnya

menderu ke arah Ki Sawer

Balangnipa.

"Bergundal perempuan! Sekali kau tertangkap Kerajaan akan menggantungmu di tanah lapang

luas!" bentak Ki Sawer

Balangnipa. Di tangan kirinya kini tergenggam sebuah ular kering yang rupanya baru saja

dibuatnya. Betapapun hebatnya dan

besarnya keberanian gadis itu namun tentu saja Ki Sawer Balangnipa bukan lawannya. Apalagi

beberapa orang anggota Gedung

Putih yang berkepandaian tinggi ikut pula membantu manusia bermuka Ular itu!

Wiro Sableng tidak mengira kalau lawan betul-betul mau main keroyok! Ketika didengarnya

komando Ki Sawer

Balangnipa dan dilihatnya semua orang yang ada di situ menyerbu ke atas arena,

menggelegaklah amarah Pendekar 212 Wiro

Sableng! Tangan kanannya bergerak kepinggang. Sesaat kemudian terdengarlah suara menggaung

macam ribuan tawon

mengamuk. Dua orang pengeroyok berteriak kaget dan melompat mundur. Yang satu tangannya

terbabat buntung, seorang lagi

memegangi dadarya yang mandi darah! Hawa panas dari luka mereka akibat disambar Kapak Maut

Naga Geni 212 di tangan

Wiro menerobos ke jantung dan sedetik kemudian keduanya roboh di lantai arena tanpa nyawa

lagi!

Kejut Prataka Gandara dan semua anggota Gedung Putih bukan kepalang. Kedua orang yang

menemui kematian itu

adalah anggota yang tinggi ilmu kepandaiannya! Namun dalam satu kali gebrakan saja senjata

lawan telah membuat mereka

meregang nyawa!

"Kurung yang rapat!" teriak Prataka Gandara seraya menghantam dengan lonceng peraknya.

"Trang!"

Ketua Gedung Putih itu menjerit. Loncengnya terbelah dua sedang tangannya berlumuran darah!

Gemparlah semua

orang! Celaka pikir mereka. Kalau Ketua mereka bisa mendapat cidera begitu rupa adalah gila

untuk meneruskan pertempuran.

Tapi untuk mengundurkan diri tentu saja mereka tidak berani.

79

Prataka Gandara keluar dari kalangan pertempuran dan berdiri di sudut arena sambil

mengerahkan tenaga dalamnya. Dia

telah menelan dua butir pil namun hawa panas, yang mengalir dari luka di tangan kanannya

tak kuasa dibendungnya. Akhirnya

sebelum hawa maut itu mencapai bahunya, Prataka Gandara pergunakan tangan kirinya untuk

membetot seluruh lengan

kanannya.

"Krak"!

Tanggallah lengan kanan Ketua Gedung Putih itu.

Di atas arena Wiro Sableng mengamuk hebat. Dia tahu bahwa dia harus bergerak cepat untuk

dapat melindungi kedua

kawannya terutama Luh Bayan Sarti dari keroyokan orang-orang itu. Dalam tempo singkat

tokoh-tokoh Gedung Putih roboh

satu demi satu menemui kematiannya dalam keadaan yang mengerikan. Melihat korban pihaknya

yang semakin lama semakin

banyak jatuh sedang dia sendiri tak bisa berbuat apa-apa, Prataka Gandara memberi isyarat.

Mereka yang melihat isyarat ini

segera mengikutinya lari meninggalkan ruangan itu!

"Siapa yang mau lari silahkan!" seru Wiro. "Kecuali dua bangsat yang bernama Tjokorda Gde

Djantra dan Ki Sawer

Balangnipa!". Habis berseru begitu pendekar ini melompat ke ambang pintu dan menghadang

hingga tak seorangpun yang

berani mendekati pintu itu, termasuk Prataka Gandara! Di atas arena Tjokorda Gde Diantra

sudah terdesak hebat oleh tongkat

bambu kuning lawannya. Ki Sawer Balangnipa sudah melompat dan kalangan tempuran dan berdiri

di belakang Ketua Gedung

tih yang luka parah dengan muka pucat pasi.

Tiba-tiba terdengar jeritan Tjokorda Gde Djantra atas arena. Semua mata ditujukan ke atas

sana. Kelihatan bagaimana

Tjokorda Gde Djantra memegangi kepalanya dengan tubuh terhuyung-huyung. Darah mengucur dari

keningnya yang pecah

dihantam ujung tongkat Nyoman Dwipa. Dia menjerit lagi lalu macam orang kemasukan setan

lari sana lari sini hingga

akhirnya kedua kakinya menekuk dan tubuhnya roboh ke lantai, masih berkutik-kutik beberapa

saat lalu diam tak bergerak lagi

tanda nyawanya lepas sudah!

Suasana di ruangan itu sesunyi dipekuburan kini. Semua orang, termasuk juga Wiro, Luh Bayan

Sarti dan Nyoman

sendiri diam-diam merasa ngeri melihat detik-detik kematian Tjokorda Gde Djantra tadi!

Tiba-tiba Ki Sawer Balangnipa berlari dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan Wiro Sableng

seraya menangis tersedusedu.

"Pendekar gagah! Aku mohon kau mengampuni selembar jiwaku!" pinta laki-laki bertampang ular

itu.

"Soal ampun jangan minta padaku tapi pada gadis itu!" sahut Wiro seraya tertawa lalu dia

berpaling pada Prataka Gandara

dan delapan orang tokoh Gedung Putih lainnya yang masih hidup. "Kalian semua yang tak ada

urusan kuharap berlalu dari

sinil".

Meski marah dan penasarannya bukan main, namun Ketua Gedung Putih saat itu benar-benar mati

kutu. Tanpa banyak

bicara dia ajak orang-orangnya meninggalkan ruangan itu.

80

Sesudah semua orang pergi Ki Sawer Balangnipa masih juga berlutut dan menangis di hadapan

Wiro.

"Manusia banci! Bangun! Aku muak melihat tampangmu!" bentak Wiro Sableng.

Ki Sawer Balangnipa bangun perlahan-lahan tapi masih menangis dan berkali-kali mohon ampun

pada Wiro dan Luh

Bayan Sarti, juga pada Nyoman.

Luh Bayan Sarti tiba-tiba maju dan berkata, "Manusia macammu tak layak hidup lebih lama.

Tak ada gunanya kau

meratap minta ampun!"

Ki Sawer Balangnipa menggerung lalu menjatuhkan diri di depan kaki Luh Bayan Sarti, hingga

lemah juga hati gadis ini

pada akhirnya.

"Kuampuni jiwamu!" katanya. "Tapi sebelum kau pergi aku musti yakin dulu bahwa kau

benarbenar tidak akan berbuat

kejahatan lagi!" Tangan kanan Luh Bayan Sarti bergerak kepinggang dan cras! Putuslah tangan

kiri Ki Sawer Balangnipa hingga

manusia itu kini tak punya sebelah tanganpun lagi! Ki Sawer Balangnipa menjerit kesakitan

dan terhampar di lantai.

"Sekarang kau pergilah sebelum aku merubah putusanku!" bentak Luh Bayan Sarti.

Ki Sawer Balangnipa berdiri -dengan susah payah lalu meninggalkan ruangan itu dengan

langkah huyung serta mulut

tiada henti mengelurkan rintihan kesakitan!

***

Di puncak pedataran tinggi itu Wiro Sableng menghentikan larinya, berpaling pada Nyoman

Dwipa dan Luh Bayan Sarti.

"Sahabat-sahabatku, aku tak terus ke Denpasar. Kita berpisah di sini saja."

Tentu saja ini tidak di sangka-sangka oleh kedua orang itu. "Kau mau terus ke manakah,

Wiro?" tanya Nyoman Dwipa.

"Aku masih ada urusan lain. Mudah-mudahan kita bisa berjumpa lagi . . . "

"Tapi sebaiknya kita sama-sama ke Denpasar dulu," saran Luh Bayan Sarti.

Wiro tertawa dan berkata pada Nyoman. "Kurasa kau sudah menemukan ganti kekasihmu yang

hilang itu, Nyoman."

"Eh, apa maksudmu?" tanya Nyoman Dwipa. Tapi parasnya berubah merah sedang Luh Bayan Sarti

memandang ke

jurusan lain.

Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. "Kataku kau sudah menemukan ganti kekasihmu yang hilang

dulu, Nyoman. Apakah

kau masih belum mengerti atau pura-pura tidak mengerti?! Nah, selamat tinggal sahabat-

sahabatku . . . "

Nyoman Dwipa hendak mengatakan sesuatu tapi Pendekar 212 Wiro Sableng sudah berkelebat dan

tahu-tahu sudah

berada dua puluh tombak di lereng pedataran.

Nyoman menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sahabat baik seperti dia sukar dicari. Bahkan

mengucapkan terima kasihpun

aku sampai lupa!"

81

Luh Bayan Sarti menarik nafas dalam dan berkata perlahan, "Kalau tak ada dia, entah apa

jadi diriku sekarang ini . . . "

Dari puncak pedataran itu keduanya memperhatikan tubuh Wiro Sableng yang lari cepat ke arah

utara, makin lama

makin kecil hingga akhirnya lenyap di kejauhan. Nyoman memutar kepalanya pada saat mana Luh

Bayan Sarti berpaling pula

kepadanya. Sepasang mata mereka saling bertemu. Dan seulas senyum sama-sama muncul di bibir

mereka. Nyoman Dwipa

menyadari kini betulnya ucapan Wiro Sableng. Yaitu bahwa dia telah menemukan ganti

kekasihnya yang hilang itu.

T A M A T

Continue Reading

You'll Also Like

18.7K 2.8K 47
Tin "Aku tidak pernah tahu jika mencintaimu sangatlah menyakitkan. Dan yang membuatku hancur dan terluka adalah aku yang tidak bisa berhenti mencinta...
63.4K 4.1K 12
Seorang gadis bernama Angelina Christy Nazela, terjebak di sebuah permainan sekolah bersama teman-temannya. Berusaha mengungkap sebuah fakta dibalik...
58.8K 5.3K 44
"Lo pasti ngiranya gue angel kan! Gua ini Christy bukan angel" ~Angelina Christy "Aku mau angel kembali kepelukan aku lagi"~ Azizi shafa Spartan
42.6K 3.7K 38
WARNING WP INI BXB JIKA ANDA HOMOPHOBIC MENJAUH!!! JANGAN BACA SEMUANYA KARANGAN 100% GAADA YANG BERDASARKAN RL!! JANGAN MEMBAWA SEMUA CERITA YANG AD...