House of Cards✓

By dydtedi

8.5K 1.3K 788

Even if you say you see the end Even if you say it will collapse again Even if you say its a useless dream Ju... More

Prolog
1st Card
2nd Card
3rd Card
4th Card
5th Card
6th Card
7th Card
8th Card
9th Card
10th Card
11th Card
12th Card
13th Card
14th Card
15th Card
16th Card
17th Card
18th Card
Secret Card
19th Card
20th Card
21st Card
22nd Card
23rd Card
24th card
25th Card
27th Card
Epilog
Author's Card

26th Card

142 40 14
By dydtedi

Hi there? How was your day?

----

Kehidupan terus bergerak dan menolak untuk ditebak.

Jihye kira, detik ketika dia tanpa ragu menyobek pergelangan tangan sekaligus urat nadinya adalah akhir dari perjalanan hidupnya. Jihye kira, kisah yang sama sekali tidak disukainya ini tidak akan berlanjut. Jihye kira dia tidak perlu lagi bertemu Hoseok. Memandang wajahnya, mendengar suaranya, merasakan kehadirannya, Jihye kira dia tidak akan lagi berurusan dengan laki-laki itu. Namun nyatanya, takdir tidak mengizinkannya untuk kabur. Jihye tetap selamat.

Perempuan itu tersenyum miris memandangi pergelangan tangannya yang masih terbalut perban. Sesekali nyeri terasa pada bagian yang terluka, mengingatkan Jihye pada tindakan bodohnya kala itu. Terlalu menuruti emosi dan tidak memikirkan akibat ke depannya. Di pikirannya saat itu Jihye hanya tidak ingin terus tersakiti. Dia juga takut jika anaknya akan merasakan penderitaan yang sama dengannya. Jihye ingin menyudahi semuanya. Ingin menutup lembaran kisah hidupnya yang tidak begitu baik. Namun Jihye lupa, dia bukan Tuhan yang Maha Berkuasa. Jihye tidak berhak atas nyawanya apalagi nyawa anaknya yang bahkan belum terlahir ke dunia. Jihye tidak punya kuasa untuk memastikan masa depan. Bisa saja keputusan sepihaknya kemarin memutus tali kebahagiaan yang akan diterima anaknya. Jihye kini merasa kecewa pada dirinya sendiri yang terlalu mudah menyerah.

Jihye tidak mau egois lagi.

Sementara di sisi lain, Hoseok tampak ragu mendekati Jihye yang tengah menghabiskan sore harinya di taman belakang. Mereka kembali tinggal di rumah orangtua Hoseok dengan pertimbangan kesehatan Jihye dan kehamilannya yang sudah semakin tua. Ibu Hoseok benar-benar memberikan perhatiannya pada sang menantu, begitu juga dengan ayah Hoseok. Tiga hari yang lalu Ibu Jihye akhirnya pamit pulang dan berjanji akan kembali mengunjungi Jihye secepatnya. Perempuan baruh baya itu masih begitu tampak khawatir. Namun orangtua Hoseok menjanjikan bahwa mereka akan menjaga Jihye sebaik mungkin. Sebagai gantinya Nyonya Jung akan menghubungi Nyonya Han setiap malam untuk menceritakan perkembangan Jihye.

Hubungan Hoseok dengan ayahnya sendiri malah semakin mendingin. Kemarin malam sebuah tamparan keras diterima Hoseok saat berbicara hanya berdua dengan beliau. Sudut bibirnya bahkan masih terasa perih hingga saat ini, mengingat betapa kerasnya pukulan Tuan Jung kemarin. Dan Hoseok menerimanya. Tidak menyangkal bahwa dia memang bersalah.

“Ayah tidak pernah mengajarimu menjadi pengecut Jung Hoseok!” Hoseok mengingat jelas bentakan ayahnya kemarin malam saat Hoseok mengatakan belum punya rencana untuk pernikahannya ke depan. Hoseok buntu. Tidak menemukan jalan keluar. Dia tahu jika tidak segera mengambil langkah hubungan keduanya tidak akan bisa diselamatkan. Hoseok jelas tidak menginginkan semuanya berakhir seperti ini. Dia ingin tetap bersama Jihye. Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya hanya bersama Jihye. Namun Hoseok takut. Hoseok takut menghadapi Jihye. Katakan saja Hoseok memang pengecut, tapi Hoseok tidak ingin, Jihye kembali menyakiti diri hanya karena tidak mau ada Hoseok di dekatnya. Hoseok takut menyakiti Jihye. Hoseok tahu sebenci itu Jihye pada dirinya.

Ayah memang tidak pernah mengajariku menjadi pengecut, ayah hanya kerap kali menempatkanku pada situasi yang pada akhirnya membuatku tidak bisa memilih.”

*

“Bicara dengan Jihye, Hoseok,” ujar Nyonya Jung, mengetahui kegamangan hati putra bungsunya dalam menghadapi masalah pernikahannya. Makan malam bersama sudah selesai dilaksanakan, tapi anak bungsunya tampak belum ingin berlalu dari meja makan. Istrinya bahkan sudah masuk kamar sejak beberapa menit yang lalu, ayahnya juga sudah pasti tengah sibuk dengan buku bacaannya.

“Apa yang membuatmu ragu? Kau sendiri yang meminta pada kami untuk tidak membahas tindakan nekat Jihye dengan alasan menjaga perasaannya, tapi jika kita hanya berpura-pura segalanya baik seperti sekarang, itu tidak akan menyelesaikan masalah, Nak. Kita tetap tidak tahu perasaan Jihye yang sebenarnya. Apa yang dia pikirkan? Apa yang dia rasakan? Apa dia masih memiliki pemikiran untuk menyakiti dirinya sendiri?”

“Aku akan berbicara denganya Bu, tapi tidak sekarang,” jawab Hoseok lesu. Duduk di kursi meja makan, menemani ibunya yang masih sibuk berkutat di dapur.

Nyonya Jung juga kecewa mengetahui bahwa sebenarnya pernikahan Jihye dan Hoseok tidak berjalan seesuai yang mereka harapkan. Namun sebagai seorang Ibu, Nyonya Jung tetap akan ada di sisi putranya. Bukan berarti beliau membela Hoseok, hanya saja semua yang terjadi sekarang ini juga bukan sepenuhnya salah Hoseok. Sejak awal pernikahan keduanya adalah kehendak orangtua. Sedikit banyak Nyonya Jung turut merasa bersalah akan hal itu. Keduanya menikah tanpa masa pendekatan yang cukup. Ditambah lagi Nyonya Jung juga tidak tahu jika saat itu Hoseok sudah punya Kekasih. Jika saja waktu bisa diputar ulang dan situasi bisa sedikit diperbaiki, mungkin Jihye dan Hoseok tidak akan sama-sama menghadapi kesulitan ini.

Meski begitu Nyonya Jung tahu, putra semata wayangnya tidak lagi mempermasalahkan tentang perjodohan. Yang ada di pikiran Hoseok adalah bagaimana agar dia bisa kembali berbaikan dengan Jihye dan menebus semua kesalahannya selama ini. Bagaimana caranya supaya Hoseok dimaafkan dan semua luka hati Jihye bisa disembuhkan? Bagaimana cara menyelamatkan pernikahan mereka yang berpodansi serapuh bangunan dari kartu-kartu? Hoseok hanya memikirkan itu sekarang.

“Kau menyayangi istrimu, Hoseok-ah?” tanya Nyonya Jung. Ditanya seperti itu, Hoseok tidak menemukan jawaban yang tepat.

“Aku … aku belum tahu, Bu. Aku tidak suka melihatnya sedih, aku tidak ingin melihatnya menangis lagi. Aku tidak bisa membayangkan jika harus melanjutkan hidup tanpa Jihye dan anak kami. Aku tidak ingin Jihye jauh-jauh dariku. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja dan bahagia,” Hoseok menunduk, “tapi sepertinya aku sudah terlambat untuk itu bukan?”

“Sejak kapan anak Ibu jadi begitu mudah menyerah seperti sekarang? Memangnya kau mau begitu saja lari dari tanggung jawab?”

“Apa maksud ibu?” Hoseok tidak suka mendengarnya.

Nyonya Jung tampak mengaduk sesuatu dalam gelas. “Kau ini, jika berdebat dengan ayahmu saja tidak mau kalah. Tetap mengusahakan apa pun untuk meraih apa pun yang kau inginkan meski ayahmu menentang. Kau dulu begitu bertekad, tapi sekarang? Berjuang untuk perempuan yang kau sayang saja sudah ingin mundur di tengah jalan.”

“Aku bukannya berniat mundur Bu. Hanya saja, situasinya sulit. Ibu tahu sendiri bagaimana reaksi Jihye jika ada aku di dekatnya, aku tidak ingin membuatnya tidak nyaman.”

“Lantas sampai kapan?”

Melepaskan tidak mau, tapi mendekati juga tidak tahu caranya. Labil sekali Jung Hoseok ini.

“Ibu tidak mau kehilangan menantu sebaik Jihye, tapi kalau anak laki-laki ibu sendiri tidak bisa memperlakukannya dengan baik, lebih baik Jihye mencari yang lebih baik bukan?”

“Ibuuu,” protes Hoseok merasa tidak mendapat dukungan sang ibu. Nyonya Jung tersenyum, menyodorkan segelas susu hamil ke hadapan Hoseok. Pria itu mengangkat kepalanya menatap sang ibu.

“Temui istrimu, kalian perlu bicara.”

“Tapi kalau Jihye―”

“Ibu sering bicara dengan Jihye belakangan ini dan dia sudah tampak lebih baik dari sebelumnya,” jelas Nyonya Jung. “Kalau kau memang ingin Jihye tetap bersamamu, buktikan. Jangan berbuat bodoh lagi. Kau sudah dewasa, sudah akan menjadi ayah. Harus tegas! Berani memegang komitmen.”

Kalau sudah ibunya yang berbicara, Hoseok tidak punya alasan untuk menolak. Pria itu melangkah menuju kamarnya dan berhenti tepat di depan pintu yang terbuat dari kayu. Mengetuk pintunya tiga kali, menunggu jawaban dari orang yang ada di dalam.

“Masuk!” seru Jihye yang dapat didengar jelas oleh Hoseok. Sebelum masuk, Hoseok menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

*

Tinggal selama beberapa hari di sini Jihye menyadari bahwa dia tidak pernah benar-benar memperhatikan kamar lama Hoseok―dalam artian benar-benar memperhatikan.

Tentu saja beberapa bulan lalu usai Jihye dilarikan ke rumah sakit dan terpaksa dibawa pulang ke kediaman orangtua Hoseok, Jihye sempat mengamati sekilas nuansa kamar pribadi suaminya tersebut. Kamar Hoseok tampak lebih rapi jika dibandingkan milik pria-pria lain seumurannya;milik Jungkook salah satunya. Dominasi warna hitam yang berasal dari perabotannya berpadu dengan dinding bercat putih yang netral. Jihye dulu hanya mengamati sebatas itu. Namun hari ini dia merasa sedikit tertarik pada bagian sudut di samping lemari pakaian.

Terdapat sebuah lemari pajang kecil di sana. Jihye baru tahu Hoseok gemar mengoleksi figure KAWS, dia tidak pernah melihatnya di rumah mereka. Menemani beberapa KAWS milik Hoseok, figura-figura kecil terpajang dengan beragam momen penting yang diabadikan. Foto wisudanya, foto keluarga saat pernikahan Jiwoo, dan satu foto Hoseok bersama komunitas dancenya. Beberapa trofi pemenang kompetisi dance juga tertata rapi. Mulai dari regional hingga nasional. Sepertinya lemari pajang ini menceritakan tentang Hoseok dan hobinya.

Suara ketukan pintu mengambil alih atensi Jihye dari lemari pajang tersebut. Setelah mempersilakan orang di luar masuk, Jihye sedikit terkejut karena yang datang adalah Hoseok―bukan Nyonya Jung seperti biasanya. Jihye kira Hoseok masih tidak akan mengajaknya bicara, tapi suaminya ada di sini sekarang bersama segelas susu dalam genggaman.

Hoseok berdeham kecil mengusir hening canggung yang tiba-tiba hadir. “Boleh aku masuk?” tanyanya yang dibalas anggukan pelan Jihye. “Susu ibu hamilmu.”

Dibanding menyerahkannya pada Jihye, Hoseok meletakkan susu tersebut di atas meja nakas. Hal itu tak luput dari perhatian Jihye. Termasuk penggunaan gelas plastik tupperware yang membuat Jihye menghela. Jihye tahu orang-orang di rumah ini mungkin terlanjur trauma. Hoseok menyembunyikan semua benda-benda tajam mulai dari gunting, pisau dan apa pun yang menurutnya berpotensi membahayakan. Nyonya Jung bahkan tidak mengizinkannya membantu di dapur sebatas memotong sayuran.  Peralatan kaca diganti dengan plastik. Keluarga Hoseok benar-benar menjaga supaya Jihye tidak punya pikiran mengulangi perbuatannya lagi. Jihye tahu itu juga termasuk kesalahannya.

“Bisa kita bicara?” pinta Hoseok. “Ada sesuatu yang ingin aku katakan.”

“Tentu.” Dengan langkah tertatih lantaran pinggang dan punggungnya yang mulai sakit  Jihye mendekati ranjang. Meringis kecil ketika sebuah tendangan dirasakannya cukup keras dari dalam sana. Mungkin anaknya menyadari bahwa ayahnya ada di sini. Hoseok memperhatikan itu semua dengan cemas.

“Apa ada yang sakit?” ujarnya, dengan sigap membantu Jihye melangkah.

Jihye menggeleng, “Hanya sakit punggung biasa.”

“Kau sering mengalaminya?”

“Perempuan yang hamil tua memang biasa mengalami ini.”Jihye memilih duduk di tepi ranjang. Diikuti Hoseok yang tetap menjaga jarak.

Keduanya kembali diam beberapa saat. Meski Hoseok memiliki banyak pertanyaan di kepalanya. Dia sibuk memilih mana yang harus ditanyakan lebih dahulu.

Pelan-pelan saja, jangan ada perdebatan lagi. Hosek kembali mengingat nasihat sang ibu.

“Tolong susuku, Hoseok,” pinta Jihye tiba-tiba. Seakan tersadar Hoseok segera meraih gelas susu Jihye dan menyerahkannya. Menunggu istrinya selesai minum untuk kemudian meletakkan gelas kosong tersebut kembali ke nakas.

Setelah susu tersebut Jihye tidak punya topik lain yang bisa digunakan untuk mengusir kecanggungan.

“Jihye,” panggil Hoseok meyakinkan diri. “Aku ingin mengajakmu berbicara serius tentang hubungan kita, tapi aku tidak ingin membuatmu tidak nyaman. Jadi jika kau tidak ingin membicarakannya, aku akan keluar sekarang.”

Jihye sudah selalu menghindar dari masalah hingga saat ini. Melihat kesungguhan di mata Hoseok, Jihye penasaran tapi juga takut. Laki-laki itu dengan setia menunggu jawaban Jihye. Meminta izinnya. Tidak ingin mengulang kesalahannya kali terakhir lalu.

“Boleh?”

"Jika aku masih tidak ingin membicarakannya, tapi ingin kau tetap ada di sini, boleh?"

Tanpa ragu Hoseok menggangguk.

Apa pun. Mulai sekarang dia akan melakukan apa pun. Segalanya untuk membuat Jihye tetap bersedia berada di sisinya.

xxxxxxx
Kalem saudara-saudara kalem 🙂
Semoga Oktobermu menyenangkan ya!^^
Semangat untuk Senin besok. Jangan lupa minum air putih💜

Dydte, 3 Oktober 2021

Continue Reading

You'll Also Like

35.4K 3.5K 46
Terbit Januari 2022! Untuk pemesanan, isi formulir di bit.ly/novelharicatra Jika bisa kamu temukan Nagapuspa, lotus emas yang tumbuh di atas batu dan...
274 99 29
REAKSI IV (Republik Anak Sosial IV), itulah nama yang diusulkan ketua kelas kami. Meski sang wakil ketua kelas-hingga sekarang-masih lebih suka nama...
1M 84.2K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
17.7K 335 6
Salah satu karya penting seorang Tan Malaka selain Madilog. Karya inilah yang membuat Tan Malaka disebut-sebut sebagai konseptor pertama negara Repub...