Waiting for You || Hyouka (Or...

By Mizuraaaa

49.7K 7.6K 3.6K

Menjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku me... More

Note
END
(A/N)
Author's Side
(Y/n)'s Side (bagian 1)
(Y/n)'s Side (bagian 2)
(Y/n)'s Side (bagian 3)
Oreki's Side (bagian 1)
Oreki's Side (bagian 2)
Oreki's Side (bagian 3)
Fukube's Side (bagian 1)
Fukube's Side (bagian 2)
Fukube's Side (bagian 3)
Waiting for You
After All
After All (2)
After All (last)
Credit Story + Promotion

379 73 8
By Mizuraaaa

"Niisan, sedang apa sendirian di sini?"

Netranya berkedip beberapa kali, masih mencoba memproses kejadian di hadapannya. "Kau, siapa?" ia bertanya-tanya.

Gadis kecil itu terkikik kecil, lalu menegakkan tubuhnya yang semula membungkuk untuk meraih tubuh sang bocah lelaki. Seraya mengibaskan tangan, ia berucap santai, "Aku hanya kebetulan melihatmu sendirian, jadi aku ke sini."

Dengan gerakan riangnya, ia mulai beranjak dari tempat semula, lalu mendudukkan diri di atas pasir yang lembut namun dingin. Kepalanya pun lantas dimiringkan, mencoba menjangkau lawan bicara dengan pandangannya.

"Jadi, kenapa niisan sendirian saja?" tanyanya ulang. "Kau juga terlihat murung, apa ada masalah?"

Bocah laki-laki itu memalingkan wajahnya ke depan, menghindari tatapan yang teramat berbinar itu. Seraya menatap matahari yang mulai tenggelam dengan tak minat, ia menaruh dagunya pada lipatan tangan.

Sang gadis seharusnya teramat sadar, bahwa tatapan lawan bicaranya, sendu tak terkira.

"Orang tuaku baru saja meninggal."

Sang gadis kecil tersentak, ia sempat memundurkan tubuhnya dengan binar mata yang meredup. "A-ah, niisan maaf, aku tidak tau." ia berucap penuh penyesalan, takut pertanyaannya menyinggung laki-laki muda itu.

Tanpa menjawab apapun, kepalanya kembali tenggelam di antara lututnya lagi. Ia teramat putus asa, sehingga penyesalan itu tak berarti apa-apa. Toh tak akan membuat orang tuanya kembali hidup.

Seakan mengerti dengan situasi yang ada, sang gadis tetap diam, menikmati semilir angin yang menerpa keduanya dengan tenang. Ia hanya mengalihkan tatap, pada langit jingga yang terlampau indah jika harus dilewatkan.

"Aku tidak mengerti."

Gumaman laki-laki kecil itu membuat sang gadis menoleh, sehingga surai coklatnya yang terikat pita merah bergoyang.

"Kenapa harus aku yang mengalami ini." suaranya terdengar pelan, entah menahan tangis atau apa, yang pasti hatinya sakit tak terkira. "Memangnya tanpa mereka aku bisa apa?" tanyanya. "Aku tidak bisa, aku tidak bisa melakukan apapun."

"Kenapa aku tidak ikut saja dengan mereka?"

Gadis itu tersentak, seketika melebarkan matanya dengan sempurna. Lantas kemudian raut wajahnya berubah drastis, menunjukkan ekspresi yang sangat kesal. "Niisan, kau tidak boleh mengatakan hal itu!"

"Lalu apa?!" bentaknya, menoleh pada sang gadis hingga membuatnya terkejut. "Kau tau apa?! Kau tidak mengerti rasanya kehilangan! Kau tidak tau betapa aku menyayangi mereka berdua!!"

Laki-laki itu berteriak dengan terengah-engah. Ia kesal, kenapa tidak ada yang mengerti dirinya? Dia sangat menyayangi kedua orang tuanya sampai tidak tau harus berbuat apa. Mengetahui mereka sudah tiada tak bisa ia percaya begitu saja, tetapi itulah kenyataannya.

"Aku bingung, tau!" teriaknya kesal. "Aku kehilangan kedua orang tuaku di saat yang bersamaan! Kau pikir apa lagi yang lebih menyakitkan daripada itu?! Kenapa takdir harus membuat jalan seperti ini bagiku?!"

Giginya bergesekan kuat, menahan emosinya yang menjadi-jadi. Meski begitu, wajahnya sudah memerah hebat ketika menahan air matanya untuk keluar. Ia tak bisa menangis dengan sembarangan, apalagi di depan gadis yang mungkin lebih muda darinya.

"Aku," gumamnya tercekat, sementara netra mulai bergelombang oleh air mata. "Aku tidak bisa menahan rasa sakit ini ..."

Gadis itu menggigit bibirnya kuat, ketika rasa takut mulai menguar dari dalam hatinya. Netranya berlinang, saking terkejutnya sampai tidak bisa menahan cairan bening itu keluar.

Ia sedikitnya mengerti bahwa laki-laki itu marah, tetapi kenapa harus membentaknya? Itu menyeramkan!

Menggosok matanya kasar, gadis itu menghadapkan kepalanya ke depan dengan tenang. Lantas ia pun menunduk, menarik nafas panjang, sembari mengedipkan mata beberapa kali untuk menghilangkan sensasi buram pada penglihatan.

Ia berusaha menguasai dirinya sendiri.

"Niisan, apa kau tau?"

Laki-laki kecil itu mengerjap, terkejut karena sang gadis masih bisa setenang itu.

"Kau juga menyadarinya, kan? Dunia ini itu, terlalu kejam." gadis itu menekuk lututnya, menaruh tangan yang terlipat, lalu meremas kain yang membalut tubuhnya. "Lantas dengan itu, kenapa kita harus menangisi orang yang sudah bebas dari beban hidupnya?"

Bocah lelaki itu tersentak, menatap sang gadis dalam diam dengan manik mata bergetar. Ia tak bisa berkata-kata, hanya bisa termenung dengan semua perkataan yang menerobos pendengarannya.

Sang gadis mulai menenggelamkan sebagian wajahnya, sementara netra masih menatap sayu pada matahari yang kian tenggelam ke dalam laut yang luas. "Mereka sudah bahagia, bukan? Lantas untuk apa? Apa kau akan membuat mereka menjadi sedih karena kau seperti itu?"

Kepalanya menoleh, memberi senyum paling tulus yang pernah Ia ciptakan. Kepalanya pun memiring, mencoba memberi semangat, sedang dirinya sendiri pun,

Tidak tau.

"Takdir memang kejam, kan?" Ia tertawa. "Kau tau bagaimana cara membalaskan dendam pada takdir yang sudah memberikan kita hidup seperti ini?" kepalanya kembali dipalingkan ke depan. Menutup mata, Ia pun menikmati elusan lembut yang diberi angin lalu.

"Hiduplah dengan bahagia."

Perlahan mulut bocah laki-laki itu terbuka, dengan gerakan bergetar, ia menutup celah bibirnya rapat. Ia tidak menyangka, bagaimana bisa gadis kecil ini bisa mengatakan hal semacam itu? Sedangkan dirinya? Terlihat begitu menyedihkan!

"Maaf, maaf." kepalanya menunduk penuh penyesalan. "Aku terlalu marah, aku bingung. Aku tidak tau harus melakukan apa sehingga tanpa sadar membentak mu yang tidak ada hubungannya sama sekali."

Gadis itu terkekeh, menggelengkan kepalanya geli seakan tidak pernah terjadi apa-apa. "Tidak apa, niisan, aku mengerti," balasnya santai, menatap lawan bicara dengan lembut. "Aku tau kau ingin menangis, berteriak, dan marah. Kau boleh melakukan semua itu."

"Tapi tolong jangan menyerah, ya. Orang yang meninggalkan niisan pun ingin niisan bahagia."

Bocah pemilik netra hijau itu mengangguk kuat, lalu menggosok matanya dengan kasar untuk menghentikan laju air mata. Kemudian ia mengepalkan kedua tangan dengan tekad yang kuat, berseru tegas pada gadis di hadapannya.

"Benar! Aku harus bahagia, itu yang diinginkan orang tuaku, kan?!"

Mata sang gadis berkedip beberapa kali, lantas setelahnya menyipit ketika mengulas senyum. "Hahaha! Benar, niisan!!"

Laki-laki kecil itu pun ikut tersenyum, lalu bergerak pada posisinya semula, duduk menghadap hamparan air yang menyapu pasir dengan lembut. Matahari masih berusaha pergi, dengan teramat perlahan. Entah kenapa waktu terasa begitu lambat.

"Ah, kalau begitu, kau juga sedang apa di sini sendirian?" laki-laki itu menoleh, menatap gadis kecil yang terlihat begitu muda. Mungkin itu alasan ia memanggilnya dengan sebutan kakak.

"Aku bersama Mama, kok! Itu, di sana!" ia mengeluarkan telunjuk, mengarahkannya pada pantai bagian lainnya. Terlihat seorang wanita dewasa tengah bersantai, duduk selonjoran di atas kain.

Lantas laki-laki itu pun mengangguk-angguk paham, lalu mengalihkan tatapan pada sang gadis untuk mengajukan pertanyaan kembali. "Dengan Ibumu saja? Ayahmu?"

Lelaki kecil itu terdiam, tidak mengerti ketika ekspresi gadis di hadapannya tiba-tiba berubah. Seakan topik itu sensitif dan seketika menyambar perasaannya. Ia tidak tau, apa yang terjadi?

"Ayahku sudah tiada beberapa minggu yang lalu."

Manik hijau anak laki-laki itu melebar. "Eh? Benarkah? Maaf, aku tidak tau. Aku pasti melukai perasaanmu." sudut bibirnya turun ke bawah, bersamaan netra menyiratkan rasa bersalah yang teramat.

Sang gadis kecil tak menjawab, hanya mengulas senyum tipis, seraya memejamkan mata lembut. Hal itu justru membuat laki-laki itu semakin cemas, ia takut terjadi sesuatu.

"Kata-kata tadi," gumam sang gadis tiba-tiba. "Yang aku berikan pada niisan," lanjutnya. "Adalah kata-kata yang Mama berikan padaku saat aku kehilangan sosok Ayah dari hidupku."

Sang lelaki kecil terdiam, memandangi gadis itu dengan sendu. Ia tidak sama sekali menyangka. Sekarang rasa bersalahnya jadi semakin membesar, mengingat dirinya telah membentak gadis yang sama-sama merasakan kehilangan sepertinya.

"Tapi setelah kupikir-pikir. Kata-kata tadi, bukankah terlalu kasar jika diberikan pada seorang gadis semuda dirimu?" tanyanya bingung. Ia tidak mengerti, mengatakan hal semacam dunia yang kejam itu terlalu berat bagi anak seumuran gadis itu.

Namun, sang gadis masih mempertahankan senyuman di bibirnya, meski di dalam hati sudah benar-benar terlampau sakit. "Tidak, aku mengerti yang Mama maksud, kok." ia menjawab dengan yakin. "Mama hanya ingin aku menjadi anak yang kuat, bukankah begitu?"

Ia menoleh, menatap laki-laki di sampingnya.

"Lagipula, Mama sudah hidup lebih lama dariku, dia sudah merasakan penderitaan dan beban hidup yang lebih berat dariku." gadis kecil itu melirik ke bawah, terlihat sendu. "Dia lebih lelah. Aku harus mengerti supaya beban Mama bisa sedikit berkurang."

Bocah pemilik surai coklat itu semakin kagum, tetapi juga prihatin. "Di usiamu yang cukup dini, kau sudah sangat dewasa, ya?"

Sang gadis tergelak, lantas memalingkan wajahnya ke depan. Sembari menikmati hembusan angin yang semakin dingin ketika waktu terus berlalu, ia berusaha keras untuk menahan air matanya mati-matian.

"Habisnya, bagaimana lagi, ya?"

Laki-laki itu mengerjap. Suaranya, terdengar bergetar.

"Kalau aku tidak cepat dewasa." sang gadis kecil menahan kepalanya agar tidak jatuh, meremasnya dengan kuat. "Nanti Mama juga yang susah."

Benar-benar pemandangan yang menyedihkan.

Laki-laki kecil itu menatap lurus ke depan, menyimpan dagunya di atas lipatan tangan ketika isakan mulau terdengar. Ia tak ingin mengganggu. Sebab melewati masalah yang sama, ia sedikitnya mengerti. Ini pasti sulit.

"Takdir memang kejam ya pada orang-orang yang dipaksakan dewasa seperti kita."

.

"Sore ini di pantai cukup sepi, ya?"

Suasana mulai tenang. Setelah mengeluarkan satu dua bulir air mata, sang gadis bisa mengendalikan kembali dirinya sendiri. Kini kedua anak yang telah melewati masa sulit itu duduk berdampingan. Saling mengerti, dan membagi kisah satu sama lain.

"Yah, habisnya ini musim gugur, sih," jawab laki-laki itu pelan.

Angin berhembus lembut, menerpa dan mengelus kulit yang terbalut pakaian tipis. Keduanya sama-sama termenung, memikirkan akan kehidupannya yang cukup berat untuk dijalani.

Tak ingin berlama-lama tenggelam dalam luka, gadis itu putuskan memecah hening. Dengan diawali menolehkan kepala, ia bertanya, "Niisan tinggal di sekitar sini? Aku tidak pernah melihat niisan."

Kepala laki-laki itu ikut menoleh, sehingga wajah keduanya berhadapan. "Aku jarang keluar rumah, malas."

"Ohhh, begitu." kepalanya mengangguk-angguk paham dengan bibir membentuk bulatan. "Lalu nama niisan siapa? Aku ingin berteman dengan niisan!"

Bocah pemilik permata hijau itu mengerjap, kaget karena tiba-tiba mendengar pertanyaan seperti itu. Dia memang tidak punya terlalu banyak teman, jadi rasanya aneh. Namun kemudian, ketika teringat, ia pun tersenyum manis.

Gadis ini benar-benar tepat untuk dijadikan teman, bukan?

"Houtarou," jawabnya. "Panggil saja Houtarou."

Tanpa bertanya lebih lanjut dan mempermasalahkan hal lainnya, gadis itu langsung menyetujui dengan riang. "Okey, Houtarou-niisan!!" serunya, diikuti tawa yang keluar tak lama setelahnya.

"Lalu, kau sendiri? Siapa namamu?" tanya Houtarou.

Semula gadis itu melirik ke atas, menengadahkan kepalanya sembari mengetuk dagu beberapa kali. Tampak berfikir keras, pada akhirnya ia melebarkan mata, diikuti tinjuan pada telapak tangan yang lain. "Aha!"

"Panggil saja Sayang!"

Houtarou tak dapat lagi menyembunyikan raut terkejutnya. Dengan mata dan mulut yang sama-sama membulat lebar, ia bertanya gugup ketika wajahnya dihiasi rona merah, "A-apa? Sayang? Kenapa?"

Sembari mengangguk-angguk dengan wajah polos, gadis itu menjepit dagu dengan kedua jari, lalu bergumam tanpa dosa, "Yah, Mama sering panggil aku begitu sih. Jadi kurasa nama panggilanku adalah Sayang."

Houtarou menepuk dahinya kasar, benar-benar tidak mengerti dengan pola pikir anak ini. "Sebutkan saja namamu, namamu," paksanya jengkel, lama-lama jadi menyebalkan juga, ia tidak tahan.

"Ahh, lalu apa?" gadis itu malah bertanya balik. "Aku lupa lagi, namaku itu siapa, ya?" gumamnya tanpa beban, berhasil membuat Houtarou frustasi di tempat.

Pada akhirnya, tiba-tiba netra sang gadis berkilat, baru saja mendapatkan ide.

"Mizu! Panggil aku Mizu!"

Kepala anak laki-laki itu memiring bingung dengan alisnya yang terangkat sebelah. "Mizu saja? Nama keluargamu?"

Gadis kecil yang semula bersorak bahagia menyerukan namanya, menyimpan kedua tangan di pinggang seraya menatap laki laki di sampingnya. "Niisan, Mizu bukanlah nama keluargaku maupun nama kecilku!"

"Lalu kenapa kau ingin dipanggil seperti itu?"

Pertanyaan anak laki-laki itu berhasil membuat senyum lebar si gadis kembali. Dengan senang hati dan bersemangat, ia menjawab, "Karena aku suka air!"

Anak gadis itu berkata dengan riangnya. Sesaat kemudian tatapannya beralih pada lautan yang membentang luas dihadapannya, salah satu telapak tangannya menahan pipi agar tidak jatuh.

Ia tersenyum tenang seraya memperhatikan apa yang disukainya dengan angin lembut yang menerbangkan surai panjangnya. Tanpa disadari, anak berbeda jenis kelamin di sampingnya mengulas senyum tipis dengan tatapan yang terarah padanya.

"Mizu-chan ..."

.

"Chiisana kata wo~"

Houtarou melebarkan mata, seketika melirik ke samping dengan cepat. Yang ia lihat hanya wajah tenang gadis yang tengah menikmati udara dingin sembari bersenandung.

"Narabete aruita~"

"Nandemonai~ koto de warai ai~"

Pemandangan di hadapannya ini begitu damai. Dengan senandungan merdu yang mengalun di telinga, wajah cantiknya juga begitu memesona. Jika boleh jujur, ini benar-benar membuat hati kecilnya tenang.

"Onaji, yume wo mitsumete ita~"

"Kau tau lagu itu?"

Sang gadis menoleh, masih menyimpan senyum di bibirnya ia pun mengangkat alis. "Ng? Houtarou niisan juga tau?" tanyanya balik, tetapi cukup meyakinkan sebagai jawaban bahwa ia mengetahui senandungannya sendiri.

"Tidak terlalu, hanya beberapa kali mendengarnya." Ia menjawab seraya mengeratkan pelukannya pada tubuh. "Kau, kenapa tau? Itu kan lagu tentang cinta-cintaan, kau yang masih kecil tidak pantas menyanyikan lagu seperti itu."

Seketika wajah gadis itu cemberut, sangat kesal karena disebut masih kecil. Tadi katanya dewasa, sekarang kecil. Ternyata laki-laki memang plin-plan ya, menyebalkan. Tapi mau mengelak pun, sebenarnya tak bisa dipungkiri usianya masih sekitar delapan tahun.

"Sebenarnya sebelum ini aku tidak tau tentang lagunya, sih," gumam gadis itu mencoba mengingat. "Setelah Ayah meninggal, Mama jadi sering menyanyikan lagu ini ketika sendirian."

Gadis yang mengaku ingin dipanggil Mizu itu mengulas senyum lembut, menatap hamparan laut dengan kekosongan yang mengisi netranya. Poni yang tertata rapi sesekali terhempas karena angin, menunjukkan sesuatu yang tersembunyi di dalamnya.

"Mungkin ini terdengar begitu menyedihkan. Mama pasti sangat kehilangan Ayah yang sudah bersamanya bertahun-tahun." Mizu mulai menopang dagu, menutup matanya perlahan. "Tetapi terkadang, aku jadi sangat kagum pada mereka."

"Mereka, pasti sudah menjalin hubungan yang luar biasa." terlihat jelas dari senyumannya, ia senang ketika menceritakan hal ini, bahkan timbul rona tipis yang menghiasi sekitar pipinya. "Aku memang tidak mengerti apapun soal cinta, tapi menurutku kisah cinta kedua orang tuaku benar-benar tulus."

"Sepertinya cinta selalu seindah itu, ya?"

Dengan polosnya, ia menceritakan bagaimana indahnya sebuah cinta. Tak sama sekalipun terpikir olehnya yang masih terbilang dini, bahwa cinta tak selalu mendatangkan kebahagiaan. Terkadang, sangat menyesakkan.

Namun, dirinya tau apa?

"Aku ingin bisa menemukan cintaku agar bisa bahagia seperti ketika Mama bertemu Ayah."

Hati kecilnya hanya berharap bisa bahagia bersama seseorang sebagaimana kedua orang tuanya.

Houtarou hanya termenung, memperhatikan lekukan paras Mizu yang terbilang rupawan, dengan surai terikat pita yang menambah kesan imut. Kepalanya pun bersandar pada lipatan tangan di atas lutut, mulai kehilangan tenaga, sebab langit tak lagi menunjukkan sinarnya.

"Ah, niisan!" serunya tiba-tiba, seketika membuat kepala Houtarou terangkat. Mizu menatapnya dengan mata berbinar, juga kedua tangan mengepal seolah antusias dengan idenya sendiri yang menghampiri benak.

"Bagaimana jika niisan menjadi cinta pertamaku saja?!"

.
.
.
.
.
**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚TBC˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Note: Mizu = Air (dalam bahasa Jepang)

Flashback dulu ya, hehe. Btw author ngetik ini sambil denger lagu Amanojaku, deres banget oi:<

Disini bocah cewek itu kan menamai dirinya sendiri dengan nama Mizu. Geli sendiri sih sebenernya pas ngetik chapter ini (terutama chapter depan), berhubung author pun dikenalnya dengan nama Mizu, jadi serasa main beneran sama Houtarou. Mana karakternya harus dipuji-puji pula sebab main chara, kan author jadi geer(๑´︵'๑)

Continue Reading

You'll Also Like

222K 33.3K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
59.7K 7.3K 34
[Completed] ❝𝐃𝐢𝐚 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐜𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤 𝐤𝐚𝐦𝐢❞ Cahaya kecil yang muncul di tengah-tengah gelapnya geng yang bernama To...
20.1K 2.5K 7
[SFragment Projects][End] Libur musim panas adalah suatu hal yang ditunggu-tunggu oleh semua orang, termasuk dirimu dan terkecuali untuk dirinya. [Ay...
124K 9.9K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...