We Come And Go

By meynadd

1.4K 279 24

Di antara arak-arakan payung orang yang berlalu lalang, mereka bertemu lagi. Tak ada tegur dan sapa yang mend... More

Prakata
01. Dihujani Rasa Sakit
03. Di Atas Hidup dan Mati
04. Tahun Ajaran Baru
05. Lebih Dekat dari Teman
06. Perkara Seungbin
07. Dua Saudari, Satu Emosi
08. Alasan Tersembunyi
09. Musuh Lama
10. Tetap Menjadi Rahasia
11. Gara-Gara Contekan
12. Kawan Bisa Jadi Lawan
13. Demi Hidup Ayah
14. Trik Musuh dan Dua Orang Konyol
15. Yang Ingin Dibahas
16. Kepekaan Jihye
17. Adu Debat di Meja Panjang
18. Umpan Pembalasan
19. Sudahi dan Akhiri
20. Polaroid dan Si Penengah

02. Pindah Rumah

101 23 0
By meynadd

Apgujeong-Dong, Distrik Gangnam. Seoul, Korea Selatan. 01 Maret 2010.

- Jihye

     Di sebuah kontrakan kecil nan sempit inilah aku dan keluargaku tinggal. Terbilang sangat jauh dikatakan mewah. Di sini terdapat ruang dapur, ruang keluarga dan ruang tamu yang berada di satu tempat yang sama. Kalau kamar mandi sendiri berada di belakang ruang dapur, lalu kamar tidur berada tepat di seberang ketiga ruangan yang terhubung tersebut.

     Ada dua kamar saling bersebelahan. Yang satu kamar ibu satunya lagi kamarku dan kakak. Walaupun begitu, aku tetap merasa nyaman tinggal di kontrakan ini. Sekitar enam belas tahun, sejak aku lahir. Pada awalnya semua baik-baik saja. Hingga suatu ketika, di pagi yang cerah ada kabar buruk menanti yang kutakutkan pasti terjadi.

     "Sepertinya kita harus pindah rumah. Dari kemarin-kemarin pemilik rumah menagih uang sewa yang belum sempat Eomma bayar dan dia juga meminta Eomma berkemas-kemas barang untuk tidak lagi menempati rumah ini."

     Aku mendapati raut wajah Ibu masam usai mengatakan hal itu, sorot mata ibu terpaku pada meja namun tangan kanannya tetap mengaduk-ngaduk secangkir teh hangat. Kakak yang duduk di sebelahku, menggenggam tangan kiri ibu yang terkulai, berusaha menyalurkan semangat padanya.

     "Eomma, sebaiknya Eomma pikirkan baik-baik. Hanya tempat ini yang bisa kita tinggali. Kalau begitu, biar aku yang membicarakan ini pada pemiliknya dan mencoba bernegosiasi." Kakak menyakinkan, dan aku setuju dengan jalan pikirannya.

     "Tidak, Minhee. Kau tidak perlu melakukannya." Ibu bersikeras mengelak dengan nada bicara yang terdengar sayu. Aku turut prihatin. Meringsut lebih dekat kemudian merangkul Ibu sambil mengelus-ngelus pundaknya. Teh hangat yang diracik sama sekali tidak ditenggakkan oleh Ibu.

     "Tapi Eomma kita kan ...." Kakak menggantung kalimat setelah Ibu menyela dengan mengangkat telapak tangan ke hadapannya.

     Kakak terhenti sejenak, lalu kembali memprotes. "Tapi Eomma ...."

     Kali ini Ibu menyela untuk kedua kali sambil menggeleng kepala. Aku tertegun, tak dapat berbuat banyak untuk mempertahankan pendapat kakak. Bila respon Ibu demikian, itu berarti keputusannya sudah bulat dan kami hanya bisa pasrah menurutinya.

     "Kemana kita akan pindah, Eomma? Kita tak memiliki cukup uang untuk menyewa kontrakan lain." Giliranku yang berbicara, harap-harap cemas sesaat sorot mata Ibu mengarah padaku, memicing tajam.

     "Jihye, jika kau ingin Eomma berkata jujur. Maka jawabannya adalah tidak tahu." Ibu mendesah berat kemudian berpaling dariku sambil menenggak secangkir teh. Ruang keluarga seketika lengang begitu Ibu mengatakannya.

     Kami bertiga bergeming, larut dalam pikiran masing-masing. Mencoba mencari cara, hingga kakak yang termenung, sepuluh detik kemudian menjentikkan jari dengan raut berseri-seri. "Bagaimana jika kita tinggal di rumah peninggalan Appa saja?"

     Sambil menaikkan satu alis, aku bertanya, "Maksud Onnie, tinggal di rumah Harabeoji (kakek) yang pernah Appa bicarakan itu?" Kakak mengangguk mantap. Sementara Ibu menggeleng-geleng kuat.

     "Astaga, Minhee." Ibu mengetuk kepala Kakak sehingga mengaduh kesakitan. "Eomma!" erang Kakak merasa tak diterima.

     "Apapun selain itu. Arraseo (Mengerti?)" Ibu menegaskan kembali yang membuatku tergelak.

     Rumah peninggalan itu sudah lama tidak terpakai, malah beberapa bagian tembok rumahnya sudah dipenuhi lumut dan ditumbuhi rerumputan liar. Kaca jendela saja ada yang pecah dan atap yang menaungi pun tidak ada. Jika kau membayangkan bagaimana bentuk rupanya. Maka penampakannya seperti rumah angker yang biasa ditemui di tengah hutan.

     Sangat konyol kalau kakak memberi ide tersebut sebagai tempat tinggal kami. Bisa-bisa mengusik hantu yang bersemayam di sana.

     "Kalian tahu? Sebelum Appa kalian meninggal. Uang sewa kontrakan ini, sepenuhnya dia yang membayarnya tiap bulan tanpa terlewat sedikitpun apalagi menunda-nunda." Ibu lantas bercerita, perlahan tawaku memudar diikuti kakak yang kian melepas rasa jengkel terhadap Ibu.

     Ibu terkekeh pahit, "Padahal Eomma sudah menawari bantuan dan meminta agar bergantian untuk membayarnya. Tapi tetap saja, Appa menolak. Tidak ingin bergantung pada istri. Karena menurutnya itu merupakan tugas seorang suami." Nada suara ibu tercekat, isakannya tertahan.

     "Pada akhirnya Eomma juga harus membayar uang sewa itu, dan sampai sekarang Eomma bisa merasakan begitu berat beban yang dipikul oleh Han Kyunsoo selama ini."

     Kudapati air mata ibu meluncur deras membasahi pipi, tak dapat dibendung. Menjerit histeris dalam tangkupan tangannya, menunduk tersedu-sedu. Aku lantas memeluk ibu erat diikuti kakak yang sudah berada di samping ibu, kami berdua turut pecah dalam isakan tangis bersama dalam bayang-bayang ayah.

***

***

- Seungbin

     Hari mulai gelap. Jalanan raya di Apgujeong-Dong, Distrik Gangnam, pada malam hari sesak oleh puluhan mobil yang berlalu lintas di hadapanku begitu lampu merah menyala. Sekali dua kali aku menggas motor untuk menghilang rasa jenuh di detik tiga puluh, ketika lampu lalu lintas belum berganti warna. Mobil-mobil yang berbaris di belakangku kian banyak.

     Setelah jalanan lengang bersamaan hitungan mundur habis, akhirnya lampu hijau menyala. Tanpa berlama-lama aku memacu motor, membelah jalan raya ibu kota Seoul yang ramai oleh pengguna kendaraan beroda empat.

     Dengan mudah aku menyalip satu demi satu kemudian melaju tanpa hambatan lagi. Hari ini aku harus pulang lebih cepat dari biasanya. Sebab ada hal penting yang perlu dibicarakan oleh ayah yang sama sekali ku tak mengerti mengapa?

     "Besok pagi. Kau dan Appa akan membersih-bersihkan rumah sebelah. Sementara Yeonji dan Eomma akan menangani bagian yang lain."

     Ayah memulai percakapan setelah aku tiba di rumah sepuluh menit yang lalu. Kini aku bergabung bersama mereka di ruang keluarga. Kukira Ayah membahas suatu hal berdua saja, ternyata ibu dan adik perempuan juga ikut menimbung. Awalnya aku berasumsi bahwa ini merupakan percakapan yang sangat serius, rupanya tidak sama sekali.

     "Apa? Kalau itu yang ingin Appa bicarakan, kenapa tidak menelponku saja tadi!" Aku mendengus sebal.

     "Buang-buang waktuku saja, lebih baik aku pulang terlambat!" Sambil menggerutu aku beranjak dari sofa, meraih helm hitamku kemudian berjalan menuju kamar. Begitu aku meninggalkan mereka bertiga yang bergeming di tempat, sesaat sautan Ayah berhasil mencegah langkahku.

     "Seungbin, Appa belum selesai bicara. Kau kemari dan duduklah." Suara beratnya memerintah dengan beringas. Sementara Ibu yang duduk di sampingnya meremas lengan ayah seolah memohon agar tidak bersikap keras kepadaku.

     Aku berdecak kembali menuju ruang keluarga. Kini raut wajah ayah yang tadi semula mendatar berangsur menyantai.

     "Rumah sebelah itu besok akan di tempati. Jadi ...."

     Belum sempat ayah meneruskan. Yeonji yang duduk di sampingku, lantas menyela perkataan Ayah dengan tatapan menyelidik.

     "Rumah kerabat jauh yang pernah Appa bicarakan itu kan?"

     Ayah hanya mengangguk-ngangguk. Aku yang tidak minat mendengar pembahasan kali ini pun antusias menyimak kelanjutannya dan akan menjadi sia-sia saja kalau aku lewatkan.

     Rumah yang tepatnya berjarak satu blok dari rumah kami itu merupakan rumah kosong yang tidak berpenghuni. Sudah lama ditinggal si pemilik semenjak aku duduk di sekolah dasar. Setiap kali aku melintas, bulu kudukku selalu dibuat merinding karena penampakannya yang benar-benar kusam, tak terawat. Pada mulanya kupikir rumah itu untuk dijual.

     Begitu ayah mengatakan bahwa rumah itu milik kerabat jauhnya yang satu keluarga besar dengan keluarga besar ayah. Aku jadi mengerti kenapa ayah masih menyimpan kunci rumah itu. Akan tetapi, aku maupun Yeonji dan Ibu sama sekali tidak mengenali apalagi mengetahui seluk beluk kerabat-kerabat jauh ayah tersebut.

     "Ngomong-ngomong, siapa yang akan menempati rumah itu? Apakah sanak saudara dari Han Kyunsoo?" Kali ini Ibu berbinar-binar sambil memainkan jemari-jemarinya.

     Namun sayangnya pertanyaan Ibu mendapat respon gelengan dari Ayah. Televisi yang sedari tadi menyiarkan program talkshow yang mengundang tamu seorang artis ternama dibiarkan berlalu tanpa tersimak sedikitpun. Sebab kalah menarik dengan perbincangan yang dibicarakan saat ini.

     Ayah menghela napas pelan, pandangannya tertuju pada lantai, menyiratkan keprihatinan.

     "Appa baru saja dapat kabar dari sanak saudara keluarga mereka bahwa istri mendiang Han Kyunsoo dan kedua putrinya kesulitan untuk mencari tempat tinggal lagi. Katanya, mereka tidak diberi keringanan untuk membayar sewa rumah kontrakan yang mereka tempati saat ini. Mulai besok, mereka akan pindah ke rumah itu."

     Yeonji dan Ibu tertegun sejenak, beberapa saat kemudian manggut-manggut setuju. Sementara aku mengernyitkan dahi usai ayah mengatakannya secara langsung.

     "Tapi, Appa. Bukankah para sanak saudaralah yang harus menempatinya? Kenapa jadi istri dari kerabat jauh Appa itu?"

     Dengan segala rasa penasaran yang mengerubungi kepala, aku berhasil mengungkapkannya.

     "Mereka juga bagian dari keluarga, Seungbin."

     Pandangan Ayah penuh simpatik kemudian melanjutkan, "Rumah warisan keluarga Han Kyunsoo itu, belum pernah ada satupun dari sanak saudara yang menempatinya. Kyunsoo kira salah satu di antara saudara-saudaranya sudah menempati rumah tersebut padahal tidak."

     Baiklah, penuturan Ayah sudah membuatku berhenti mencari tahu. Semuanya terjawab.

     Televisi kini telah berganti program acara, sebab Ayah memegang kendali yang berada di tangannya. Ayah masih bergulir kanal televisi.

     Tanpa menoleh sedikitpun, Ayah menggoda, "Dengar-dengar kedua putri Kyunsoo lumayan cantik."

     Yeonji yang asik memegang ponselnya beralih ke arah ku sambil menyikut-nyikut lenganku, menaik turunkan kedua alisnya. "Kira-kira siapa ya yang Oppa pilih?"

     Aku mendesah sejadi-jadinya begitu Ibu yang berkutak dengan rajutannya sambil menertawaiku puas. Oh yang benar saja? Satu keluarga beriuk-riuk penuh tawa sementara aku hanya bisa terdiam, menahan jengkel.

Jangan lupa untuk menekan tombol [⭐️] bintang sebelum bergulir bab ya?

Copyright ©2021 - Mey Nadd

Continue Reading

You'll Also Like

269K 757 7
Vote masa cuma sange aja vote juga lah 21+
3.4M 36.6K 31
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
2.8M 302K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
994K 147K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...