ZGavriel

By fuchannn

5.4K 442 140

"Cantik, ya." "Bunganya?" "Kamunya." ---- "Gue sama Luna gak ada hubungan apa-apa." "Luna mantan lo, kalo lo... More

1. GAVRIEL AGAM JAGRATARA
2. ZULFA INAYA BASUPATI
3. TEMU
4. LUNA AND MIRA
5. "DIA"
6. LEBIH DEKAT
7. BERDUA
8. DIHUKUM
9. BERULAH
10. GARA-GARA 'DIA'
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21. HELM PINK HANAN
22. Z OR L
23. PERSIAPAN DAN PERMULAAN
24. PERTUALANGAN DI SEKOLAH 1
25. PERTUALANGAN DI SEKOLAH 2
27. HARI PERTAMA
28. SATU MINGGU
29. NANA DAN MANGGA
30. MASALAH
31
32
33.
34
35.

26. FINALLY

97 9 2
By fuchannn

DUA PULUH ENAM

•••🍁•••

Gadis cantik dengan baju tidur yang melekat di tubuhnya, duduk bersila di atas kasur. Rambut yang hanya di jedai tanpa make up sekali pun, tidak mengurangi kecantikannya.

Zulfa melirik jam dinding yang ada di kamarnya sebentar. Menghitung mundur detik demi detik, hingga jam itu berdetak tepat jam tujuh malam. Empat kotak dengan warna berbeda sudah ada di hadapannya, berpikir kotak mana yang akan dibuka lebih dulu.

Tangan lentiknya bergerak mengambil kotak warna merah tua, membukanya dengan sangat penasaran, yang gadis itu temui hanyalah selembar kertas yang disobek, entah sisi bagian mana ini. Zulfa kembali membuka kotak demi kotak menemukan hal yang sama. Kertas yang disobek.

Kertas itu dibuat seperti kepingan pazel, terpotong empat bagian. Zulfa mulai menyusunnya hingga akhirnya tulisan dikertas itu dapat terbaca.

*Selamat anda mendapat undangan zoom dari Gavriel ganteng*

Kode undangan: Ulangtahun lo
Jam: 20:00 WIB

Catatan:
Lo masuk zoom ini, ada resikonya.
Lo gak masuk zoom ini, juga ada resikonya.

**Cari tau kalo lo pengen tau. Yang jelas kalo lo gak masuk zoom ini "GUE BERHENTI"**

Agak takut dengan ancaman terakhir dikertas itu saat membacanya. Ada rasa bingung juga, apa maksud dari kata berhenti. Berhenti soal apa juga.

Damian masuk ke kamar putrinya setelah mengetuk pintu beberapa kali.

"Anak Papa, lagi ngapain?"

"Lagi gila karna Gavriel," jujur Zulfa kelewat santai. Dia menunjukkan notes, puisi, kode undangan bahkan chat Gavriel di ponselnya kepada Papanya.

Damian tertawa gemas melihat putrinya yang sejak tadi menunggu reaksi apa yang ia keluarkan. Mengusap pelan rambut putrinya.

"Udah besar ya, sekarang."

"Iya dong. Buktinya banyak cowok yang suka sama Zulfa," ucap Zulfa bangga. Kembali menyimpan barang-barang yang ia tunjukkan pada Papanya tadi ke dalam tas.

"Jangan cepat besar, anak Papa." Tangan Zulfa langsung berhenti. Menatap Papanya yang sekarang menatapnya sendu, tidak tau kenapa suasana menjadi sedih sekarang.

Zulfa berusaha tertawa mencairkan suasana. "Papa, apaan sih. Kok jadi sedih gini." Zulfa memeluk Papanya erat. Dia merasakan ada hal yang tidak beres di sembunyikan darinya hingga Papanya berbicara ngelantur seperti sekarang.

"Papa gapapa sayang. Papa, cuma lagi pusing karna kerjaan."

"Jangan bohong, Pa."

*****

Setelah berbicara berdua dengan Papanya sambil makan malam di lantai bawah. Zulfa menaiki tangga menuju kamarnya, menyiapkan diri beserta laptopnya di kasur.

Jam sudah menunjukkan pukul 20:06, telat beberapa menit. Entah Gavriel menunggunya atau tidak. Zulfa mulai memasukkan kode undangan yang merupakan ulangtahun-nya sendiri.

Loading.

Menunggu host untuk menginvite-nya segera. Setelah layar putih yang tampil kini berganti menjadi layar yang sudah ada Gavriel di sana, duduk di kamar dengan baju tidurnya. Rambut lelaki itu sedikit berantakan, mungkin karna agak lama menunggunya.

"Sorry telat. Makan dulu tadi," jelasnya singkat.

Gavriel hanya berdehem pelan. "Mau sekarang?"

"Hah? Apaan?"

"Naya, denger gue. Jangan potong dulu. Apapun yang gue bilang, gue harap lo ngerti maksudnya dengan baik." Gavriel berkata pelan. Zulfa menatapnya serius, ada apa ini.

"Iya."

"Gue suka lo." Kata pertama yang diucapkan Gavriel bahkan mampu membuat Zulfa yang tadi menatapnya langsung mengalihkan pandangannya.

Gadis itu kembali menghidupkan kamera setelah berteriak tanpa suara, memukul-mukul bantalnya gemas karna Gavriel. Berdehem singkat, berusaha tenang

Gavriel melanjutkan ucapannya. Ini adalah kata yang dia rangkai jauh-jauh hari.

"Kalo lo tanya kenapa, lo cantik dengan pesona lo. Gue suka cara lo senyum. Lo bisa bikin gue gila setiap liat lo sama cowok lain, lo bisa tau apapun tentang gue dengan mudah. Jadi, wajar kalo gue suka sama lo kan?" Mata mereka bertemu. Ada kegugupan di keduanya, Zulfa meremas baju tidur yang ia pakai saat Gavriel mengeser kursinya, memusatkan tatapannya pada dirinya.

"Banyak kata yang gue ucapin ke lo hari ini di sekolah, tapi gue rasa itu belum cukup."

"Gue tadi kasih pilihan sama lo, kalo lo gak masuk zoom ini berarti gue berhenti, tapi lo malah masuk. Terlepas itu karna lo cuma penasaran atau alasan lain. Tapi gue anggap lo nerima resikonya," kata Gavriel. Gadis itu memilih mengigit bibir bagian dalamnya, kenapa dia gugup sekali sekarang. Matanya bahkan tidak bisa dialihkan ke arah lain. Memilih menutup mulutnya rapat-rapat.

"Yang perlu lo tau, muka lo udah ditandain sama temen-temen gue, mereka ada di sini."

Saat mengatakan itu, Zulfa pikir Gavriel bercanda. Tapi setelah melihat teman-teman Gavriel bermunculan satu per satu dilayar dan menyapanya, Zulfa hanya mampu menutup mulutnya kaget. Ada sekitar 20 an orang di zoom itu sekarang.

Zulfa tidak menyangka ini, ia tidak berpikir sama sekali untuk mengecek siapa saja yang bergabung di zoom, karna ia pikir hanya ada Gavriel.

"Nay.." Panggilan dari Gavriel berhasil menyadarkan Zulfa dari keterkejutan-nya.

"Jadi pacar gue atau temen gue yang ambil tindakan?"


Ini seperti sebuah pemaksaan dan ancaman sekaligus menjadi satu. Bukan pernyataan seperti 'jadi pacar gue, gak ada penolakan' yang mampu membuat gadis-gadis baper atau semacamnya. Ini berbeda. Ini terdengar sedikit ngeri tapi tetap saja sama, sama-sama tidak bisa menolak. Karna jika menolak, seperti yang Gavriel bilang teman-temannya akan turun tangan.

Cowok itu terus menatap Zulfa yang hanya diam. Entah apa yang ada dipikiran gadis itu. Dia gugup. Takut ditolak.

Zulfa mulai mengatur napasnya. Menelan salivanya paksa. Ekspresi yang dibuat datar berbanding terbalik dengan detak jantungnya.

"Kata orang, jangan memulai hubungan sama orang yang belum selesai sama mantannya. Jadi, apa urusan lo udah selesai sama Luna?"

Sunyi. Mereka semua yang tadi bersorak terdiam mendengar nama Luna yang Zulfa ucapkan. Gadis itu dapat melihat raut wajah teman-teman Gavriel yang seolah-olah tidak mendengar perkataannya.

"Iya," kata Gavriel meyakinkan. Tenang. Santai. Tapi tangannya sudah mengepal kuat. "Mau?" tanya Gavriel kembali. Menunggu jawaban Zulfa dari pernyataan perasaannya tadi. Walau terdengar memaksa.

"Nembaknya virtual sayangnya virtual juga gak?"

"Ngga lah," jawab Gavriel cepat.

Zulfa menghembuskan napasnya pelan. Tersenyum tipis kemudian mengangguk singkat.

Ya kali gak diterima.

Gavriel yang melihat itu langsung menghela napasnya lega. Menyandarkan punggungnya di kursi, mematikan sebentar kamera beserta microphone-nya.

"BUNDA! EL DITERIMAA," teriak cowok itu senang. Padahal kamarnya kedap suara.

"YUHUUU."

Sorakan kebahagiaan terdengar saut-sautan di zoom.

"Bismillah.. insyaAllah sah." Akhirnya Hanan mulai berbicara.

"Siapa yg nikah, anjir?" kata Rendy kaget.

"Oh gak ada ya? Ya sorry."

"Gue otw rumah lo," ucap Gavriel tiba-tiba langsung mengakhir zoom mereka.

Zoom berakhir, Zulfa langsung turun dari kasur dengan cepat. Bersiap diri karna Gavriel akan menjemput.

*****

Taman. Tempat Gavriel dan Zulfa duduk sekarang. Entah apa yang ada dipikiran mereka, tapi suasana kali ini sangat canggung.

"Nay.."

"El.."

Mereka berdua berkata hampir bersamaan.

"Lo dulu."

"Lo aja."

"Ladies first."

"Gak ada ladies first dalam situasi kayak gini."

"Aku--gue maksudnya, Ih apaan sih!" kesal Gavriel memukul mulutnya pelan beberapa kali. Gila, dia dibuat gugup sekarang. "Lo duluan aja."

"Ya itu, gue--gue ini. Itulah," kata Zulfa tidak jelas.

"Lo kenapa sih, anjir." Heran Gavriel menatap Zulfa, ucapan gadis itu sama sekali tidak dapat ia mengerti.

"Lo yang kenapa, bego."

"Canggung," ucap Gavriel jujur.

"Sama."

"Lo jangan liat gue."

"Lo yang dari tadi liat gue."

Berakhirlah mereka memunggungi satu sama lain. Sunyi, hanya suara jangkrik di malam hari yang terdengar.

Gavriel mengambil gitar yang tadi ia bawa. Menggeser duduknya lebih dekat pada Zulfa, mengubah posisi Zulfa yang masih memunggungi-nya.

"Kalo kayak gini, gak bakal selesai-selesai."

"Hm."

"Jujur, gue belum puas sama jawaban lo. Lo cuma ngangguk doang sedangkan gue tadi ngomong panjang lebar." Gavriel mengatur kunci gitar miliknya.

Zulfa ingin bersuara tapi Gavriel lebih dulu memetik gitar yang siap cowok itu mainkan.

"Lagu ini, buat lo." Gavriel membawa jaketnya tepat di pundak gadis itu sebelum benar-benar memainkan gitarnya. "Jangan sampe kedinginan."

Lelaki itu, dengan kaos oblong berwarna putih melekat di tubuhnya mulai memetik gitarnya. Memulai intro dari sebuah lagu yang akan dia nyanyikan untuk gadisnya.

It's you--Sezairi

Here we are under the moonlight🎶

Baru satu bait Gavriel nyanyikan, Zulfa sudah tidak bisa menahan senyumnya. Benar, suasana malam ini diterangi rembulan beserta bintang kebanggaan lelaki itu.

I'm the one without a dry eye🎶

Cause you look amazing🎶

I'm sorry for whatever I've caused🎶

Before today I knew I felt lost🎶
(Sebelum hari ini kau bukan milik siapa-siapa)

But now you're my lady🎶
(Namun kini kau adalah milikku)

Gavriel memandangi Zulfa tulus. Senyumannya ikut terbit saat melihat senyum timbul dari bibir gadis itu. Gadis itu miliknya sekarang. Dan hanya miliknya.

So take my hands up, seen me🎶

Cause you've made me into this man🎶

Mata mereka kembali bertemu. Binar mata Zulfa sudah cukup menjelaskan. Suara lelaki di hadapannya sekarang sangatlah halus, tersirat ketulusan setiap kata yang dia ucapkan.

I promise I'll treasure you girl🎶

You're all that I've needed🎶

Completing my world🎶

Dia berjanji, gadis penyuka hujan itu benar-benar melengkapi dunianya. Gavriel sampai tidak bisa mengalihkan tatapannya, matanya seolah terkunci dengan kecantikan gadisnya dibawah sinar rembulan.

You, you're my love, my life, my beginning🎶

And I'm just so stumped I got you🎶
(Dan aku masih bingung kenapa bisa mendapatkanmu)

Girl, you are the piece of me missing🎶

Remember it now🎶

All the times I've been alone, shown me the way🎶
(Setiap kali aku merasa sendiri, tunjukkan aku jalannya)

Let me hear, let me hold mine🎶
(Biarlah aku mendengar dan mengenggammu)

Through that door straight to you🎶

You're my love, my life, my beginning🎶

It's you...

Gavriel mengakhiri nyanyian-nya dengan mulus. Saat kembali memandangi Zulfa, ada genangan air mata dipelupuk mata gadisnya.

Tangan Gavriel terulur, menangkup pipi sebelah kiri gadis itu. "Hey, kok nangis?"

"Suara lo bagus," ucap Zulfa jujur. Sebenarnya bukan karna itu tapi karna ia bersyukur bisa di cintai sebesar ini dengan tulus oleh Lelaki di hadapannya selain Papanya. Ketulusan itu dapat Zulfa rasakan, tangannya menggengam tangan lelaki itu yang berada di pipinya. Memilih diam sembari menelusuri wajah Gavriel.

Arti lagu yang benar-benar ingin Gavriel sampaikan dan arti lagu yang mampu membuat Zulfa menangis.

Gavriel berdehem pelan, membasahi tenggorokan menggunakan salivanya. Mulai menggengam tangan gadis itu hangat.

"Can i be your boyfriend?" Kali ini Gavriel tidak main-main. Tidak ada ancaman di kalimatnya seperti yang ia ucapkan lewat zoom tadi.

"You can," jawab Zulfa yakin.

Gavriel melepas genggamannya. Berdiri sambil melompat-lompat bersorak bahagia. Seperti baru saja merayakan kemenangan tim sepak bola favoritnya.

Lelaki itu kembali terduduk, mengeluarkan kertas listnya yang dia buat beberapa bulan ini. Harapannya. Hanya ada satu kotak yang tersisa.

"Mau bantu buat menuhin listnya?" Tunjuk Gavriel pada list yang baru saja ia keluarkan.

"Gue gak bawa pulpen," kata Zulfa. Melirik list di tangan Gavriel.

Gavriel bergerak mendekat, mata mereka terkunci saat tangannya mengusap bibir Zulfa lembut. Kemudian memberikan cap pada kotak kosong yang tersisa di sana menggunakan liptint yang dia dapat dari bibir gadisnya tadi.

Zulfa mengerjapkan matanya terkejut, otaknya masih mencerna kejadian yang secepat kilat tadi. Dia menyentuh bibirnya, seolah tangan Gavriel masih ada di sana. Tidak tau harus merespon apa, hingga teriakan Gavriel kembali mengagetkan-nya.

"GUYS, I DID IT." Gavriel berteriak seperti itu untuk teman-temannya, yang sejak tadi bersembunyi dibalik semak-semak, pohon dan sebagainya agar tidak ketahuan.

Seketika taman yang semulai sepi menjadi ramai sekali, Zulfa dikelilingi banyak lelaki--teman pacarnya sekarang.

Hanan maju paling depan, melihatkan wajah-wajah bahagia yang terpancar di wajah Zulfa dan Gavriel pada Luna.

"Liat Lun, ada yang habis jadian nih," kata Hanan, ponselnya menunjukkan suasana sekitar yang bersorak bahagia. Tadi, saat tepat Gavriel menyatakan perasaannya, Hanan lebih dulu melakukan video call dengan Luna, menunjukkan keromantisan temannya.

"Indah sekali kisah cinta teman-temanku ini," ucap Hanan lagi, "gimana, Lun? Lebih indah dari kisah cinta lo kan?" tanyanya menatap layar.

"Bacot!" Luna langsung mengakhiri panggilan video itu.

"Yahh marah," sesal Hanan, mendapat tepukan ringan dari Arvin.

"Gapapa, lanjutkan bro," dukungnya.

Oki merangkul Gavriel yang hanya tertawa melihat tingkah Hanan.

"Kenapa lo?" tanya Gavriel heran.

"Kapan nih traktir?"

Gavriel langsung mendorong tubuh Oki. "Gak ada. Biasanya kalo ditraktir, hubungan bakal kandas. Gue gak mau."

"Sekte macam apa lagi ini? Apa hubungannya, bego!" kata Oki tak terima saat mendengar tidak ada makanan gratis untuknya.

Helaan kekecewaan juga terdengar dari teman-temannya yang lain.

"Lo waktu jadian sama Luna juga gak traktir kita, Bro. Buktinya apa sekarang? Kandas juga kan," bisik Tara yang baru mendekati. Tidak ingin didengar Zulfa.

"Nah bener tuh," kata Arvin. Merangkul Gavriel di sisi kiri cowok itu.

Hanan dan Rendy ikut mendekat, membuat lingkaran sempurna seolah sedang membahas sesuatu yang penting. Berkompromi dengan baik.

"Doain biar gak kandas lagi."

"Ya mangkanya traktir kita," kata Tara lagi.

"Males."

"Emang dengan traktir kita lo jadi miskin? Ngga, anjir. Malah tambah banyak uang lu." Hanan menarik paksa Regan agar ikut masuk ke dalam lingkaran yang mereka buat.

"Uang bokap gue," sanggah Gavriel cepat, menjitak kepala Hanan menyadarkan temannya itu.

"Ya udah, Regan aja yang bayarin." Saran itu terbit dari mulut Rendy. Arvin langsung menyetujui ide gila temannya itu.

Regan yang tidak tau apa-apa mengerjapkan matanya bingung, menoleh ke kiri dan ke kanan melihat teman-temannya yang sudah menatap ke arahnya. Menunggu jawaban dari dia.

"Bukan gue yang pacaran," ucapnya malas.

"Pelit lo. Sama-sama pelit kayak Gavriel. Tuhan kalo saya jadi kaya, saya jamin gak bakal pelit sama teman sendiri."

"Yaudah, gue bakal traktir," putus Gavriel.

"Yes!" sorak mereka.

"Tapi, setelah gue liat kelakuan lo semua. Baik gak sama gue."

"Anjing!" kesal Rendy.

*****

Ini sebenarnya bukan pertama kali, Zulfa menaiki motor dengan Gavriel. Tapi, kondisi sekarang benar-benar membuatnya tersenyum bahagia. Berdiri dengan tangan memegang pundak Lelaki yang rela membagi jaketnya hanya untuk dirinya.

Berteriak bahagia.

Dikelilingi motor-motor lain, yang tak lain adalah teman-teman Gavriel. Mereka bersama berniat mengantar Zulfa ke rumah dengan aman, berasa dikawal dan dijaga dengan ketat.

Suasana malam yang ramai karna mereka, diterangi rembulan beserta lampu-lampu jalanan. Zulfa menghirup dalam-dalam udara malam ini.  Zulfa ingin kembali duduk setelah berteriak beberapa kali membagi kebahagiaannya. Saat benar-benar memposisikan dirinya ingin duduk, kaki kanan Zulfa terpeleset hingga Gavriel terkejut. Beruntungnya Lelaki itu sigap menyeimbangkan motornya kembali.

"Hati-hati, Nay," kata Gavriel lembut. Mengarahkan kaca spionnya pada Zulfa yang hanya tersenyum malu.

"Sorry."

"Hati-hati, Fa," teriakan dari arah belakang terdengar keras saat melihat Zulfa hampir jatuh. Zulfa mengangkat jempolnya pertanda dia baik-baik saja, meyakinkan mereka agar tidak perlu khawatir.

Motor Rendy dan Arvin mendekat di sisi kanan dan kiri motor Gavriel. Sedangkan sisi belakang sudah ada Oki dan Tara yang mengisi.

"Hati-hati mangkanya, anjir," kata Rendy. Zulfa hanya mengacungkan jempolnya kembali.

"Beneran gapapa?" tanya Arvin. Dibalas anggukan dari Zulfa.

"Pake helm pink gue aja nih, biar aman," kata Hanan yang berada di belakang Arvin. Dia selalu dan akan dibonceng Arvin jika lelaki itu membawa motor.

"Tapi Kak, gue udah make helm. Masa double," ucap Zulfa. Menunjuk helm yang terpasang di kepalanya.

"Gapapa, biar lebih aman."

"Gak bisa makenya, goblok," sahut Tara setengah berteriak dari belakang.

"Santai, sat. Gue cuma ngasih saran," balas Hanan.

Oki memajukan motornya di sisi kanan saat Rendy sudah mundur mengosongkan sisi itu.

"Sini, Fa, dibonceng gue aja biar aman," katanya santai. Menoleh ke arah Zulfa dan Gavriel bergantian.

"Gue tendang motor lo! Mau?" jawab Gavriel.

Oki hanya tertawa mendengar respon Gavriel.

"Siapa tau Zulfa pengen pindah gitu."

Gavriel hanya mengacungkan jari tengahnya pada Oki kemudian melajukan motornya agar berada paling depan sangat depan berjarak dua meter dari teman-temannya.

Tangan Lelaki itu menuntun Zulfa agar memeluknya. "Peluk, biar gak kedinginan," katanya.

"Biar gak kedinginan atau lo yang pengen dipeluk?" tanya Zulfa. Sudah melingkarkan tangan-nya pada pinggang Lelaki itu, mengeratkan pelukannya.

Gavriel menoleh kembali pada kaca spionnya, menemukan Zulfa yang ikut menatapnya lewat kaca itu.

"Dua-duanya. Tapi opsi kedua lebih dominan sih."

"Dasar." Pukul Zulfa pelan dipundak Gavriel.

Sorakan kembali terdengar saat mereka melewati pemandangan orang yang baru dimabuk cinta ini.

"Mengkesal," kata Hanan keras saat Arvin mendahului mereka.

"Sepet mata gue liatnya," ucap Rendy ikut mendahului Gavriel.

"Meng-iri." Tara ikut menyampaikan komentarnya, menyusul Rendy di depan sana.

Kali ini bahkan Gavriel sengaja memelankan laju motornya hingga teman-temannya yang lain dapat mendahuluinya setelah ia memberi kode.

Posisi Gavriel dan Zulfa sekarang berada paling belakang.

"Kenapa?" tanya Zulfa bingung. Apa ada masalah dengan motor Gavriel hingga sangat pelan.

"Mereka ganggu." Dua kata yang lolos begitu saja dari mulut Gavriel. Sontak mendapat cubitan di pinggangnya dari Zulfa.

"Bener-bener ya."

Gavriel tertawa, mengenggam tangan Zulfa yang hendak mencubitnya kembali. "Jangan, sayang. Ntar kita jatuh gimana?" ucap Gavriel pelan, namun terdengar jelas. Mengusap lembut tangan Zulfa kemudian melingkarkan kembali tangan gadis itu pada pinggangnya.

"Pipi kamu merah," katanya lagi. Melihat kaca spionnya.

Zulfa langsung menyembunyikan wajahnya dibalik punggung tegap lelaki itu. "Malu."

Tangan yang terus memeluk Gavriel dari belakang dan tangan kiri Lelaki itu yang juga terus mengusap-usap tangan Zulfa di perutnya. Menjadi saksi di malam yang dingin dan bertabur bintang ini bahwa mereka sangat bahagia. Senyum terukir di wajah masing-masing.

Dua orang yang sudah resmi berpacaran. Dua orang yang dulu adalah orang asing.

Lelaki yang sangat suka berbicara dengan pohon itu menyukai gadis cantik yang suka bermain hujan.

Hujan yang menyirami pohon kesayangannya. Hujan yang dulu ia benci karna menenggelamkan matahari kesukaannya.

Dan hujan yang sekarang ia dekap karna gadisnya menyukainya.

•••🍁•••

Vote dan komen jangan lupa!!

Rekan tawuran dalam skala besar


Continue Reading

You'll Also Like

263K 10.8K 30
Menjadi seorang istri di usia muda yang masih di 18 tahun?itu tidak mudah. Seorang gadis harus menerima perjodohan dengan terpaksa karena desakan dar...
395K 48.4K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...
2.4M 129K 61
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
8.9M 948K 65
[SUDAH TERBIT] Tersedia di Gramedia dan TBO + part lengkap Apakah kalian pernah menemukan seorang pemuda laki-laki yang rela membakar jari-jari tanga...