instant-story [SinB]

By HeeramiTruffle

23.3K 1.7K 178

SinB x Boys one shot collections of SinB's story being paired with any male kpop idols. More

Hwang SinB
SinB x Jungwoo NCT
SinB x Kino Pentagon
SinB x Wonwoo Seventeen
SinB x Seungmin Straykids
SinB x Seonghwa ATEEZ
SinB x Beomgyu TXT
SinB x Doyoung NCT
[1] SinB x Seungyoun (Woodz)
SinB x Heeseung Enhypen
SinB x Sunwoo The Boyz
SinB x Hendery WayV
SinB x Sejun Victon
SinB x Jungwon Enhypen
SinB x Donghyun AB6IX

SinB x Jimin BTS

565 67 7
By HeeramiTruffle

Kunyahan di mulut Sinbi seketika terhenti. Mulutnya yang masih penuh akan makanan itu membuat pipi gembilnya semakin menggembung lucu.

Okay, siapa pun yang sudah berani menginterupsi kegiatan makannya, Sinbi pastikan ia tak akan selamat pulang ke rumahnya. Kesal sekali! Sedang enak-enaknya makan malah diganggu.

Masih dengan mulut yang penuh dan terkatup rapat, Sinbi mendongakkan kepalanya, mendapati sosok pria asing yang kini tengah duduk di bangku seberangnya. Tatapan nyalang Sinbi layangkan pada pria itu.

"Lo Sinbi, kan? Eum.. Hwang Eunbi?"

Pria itu bersuara setelah akhirnya gadis yang dimaksud menaruh atensi pada dirinya. Ia mengamati tiap inchi wajah mulus, cantik, menawan Sinbi dengan terang-terangan. Kekehan kecil berhasil lolos dari belah bibir tebalnya kala ia menahan gemas untuk tidak menusuk pipi gembil Sinbi yang penuh makanan itu.

Satu alis Sinbi terangkat, tak sedikit pun berniat untuk menjawab. Ia hanya merasa heran akan tingkah pria aneh di hadapannya. Sok kenal. Gadis itu mengedikkan bahunya sekilas, lalu kembali menaruh atensi pada piringnya. Mulutnya kembali bergerak, mengunyah makanan lezat, tentu saja, apalagi makanan itu gratis.

Beberapa menit keheningan menyelimuti keduanya yang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sinbi yang asik melahap makanannya, dan pria itu yang asik memperhatikan segala gerak-gerik Sinbi dalam diam.

Siapa pun pasti bisa mengatakan jika pria itu tampak tertarik dengan gadis di hadapannya. Ya, pancaran mata berbinar milik pria itu mengatakannya dengan sangat jelas. Tatapan memuja, kagum, juga penasaran.

Sinbi meraih gelas di dekatnya, ia meminum jus jeruk itu hingga habis. Perlahan bibirnya menyunggingkan senyuman yang berhasil membuat pria yang masih setia duduk di tempatnya itu terpana.

Sodoran selembar tisu membuat kerutan di dahi Sinbi muncul. Ia melirik pria itu sebentar sebelum tangannya refleks menyambar tisu itu tanpa banyak tanya. Setelahnya ia menekan-nekan pelan bibirnya dengan tisu itu. Menyeka noda-noda dan bekas sisa makanan yang mungkin menempel di sekitar mulutnya.

"Lipstick lo masih on point, kok."

Pergerakan Sinbi terhenti ketika indera pendengarnya menangkap suara berat pria itu. Ia lantas mengurungkan dirinya yang sudah membuka tas tangan, berniat mencari lipstick.

"Okay, apa mau lo? Lo siapa? Lo kenal gue? Ada urusan apa lo sama gue?"

Sinbi bersedekap dada, duduk santai seraya menatap pria itu dengan tatapan menyelidik. Pria di hadapannya terperangah, kemudian tertawa, tak menyangka jika gadis di hadapannya ini ternyata salah satu jenis makhluk yang bersikap straightforward dan juga cerewet.

Pria itu menegakkan tubuhnya, ia meletakkan tangannya yang tergenggam di atas meja. Layaknya orang yang sedang mengajak partner bisnisnya berdiskusi akan suatu hal yang penting.

Sinbi masih bergeming. Oh ayolah! Pria aneh ini sungguh menyebalkan. Gara-gara pria itu, ia jadi harus terpaksa menunda keinginannya untuk segera menyambangi buffet-buffet desert yang tersedia di sana.

'Duh, stall ice cream keburu penuh, nih!'

"Gue tertarik sama lo, Hwang Eunbi."

Pria itu mengulas senyum yang jujur saja Sinbi akui, pria itu memiliki paras yang cukup tampan—benar-benar tampan. Apalagi ditambah senyum itu yang membuat kedua matanya menyipit, membentuk garis lengkung. Terlihat sedikit.. iya, sedikit, menggemaskan?

"Atas dasar apa lo bisa ngomong kaya gitu?" Pertanyaan Sinbi yang terkesan mencemooh di telinga pria itu membuat pria itu terkekeh. "Again, do we know each other?" Tanya Sinbi lagi.

"Kita emang belom kenal. Tapi, kalo lo mau tau, sebenarnya kita udah pernah ketemu tiga kali sebelumnya—ah, lebih tepatnya, gue yang ngeliat dan nemuin lo. Gue yakin lo gak sadar—"

"Tiga kali? Di mana?" Sinbi menyela, keningnya mengernyit dalam. Otaknya pun mulai berproses, berusaha mengenali sosok pria di hadapannya. Apa iya, keduanya pernah bertemu? Okay, Sinbi terlihat sungguh clueless untuk kasus ini.

Pria itu kembali tersenyum, "di resepsinya Bang Seokjin-Sowon, di resepsinya Bang Kai-Kak Krystal, juga di resepsinya Minhyun-Bona. Dan sekarang kita ketemu lagi di sini, resepsinya Jonghyun-Nayoung. I guess, it's our destiny? Lucu, gak, sih, ketemunya di wedding party terus? Haha.."

Mulut Sinbi bungkam mendengar rentetan kata yang keluar dari bibir pria itu.

"Dan lo tau, apa bagian paling menariknya?" Manik Sinbi kini terpaku pada manik galaksi milik pria itu, seakan-akan menyuruh dirinya untuk tetap stay menatapnya. "Tiap gue nemuin lo, selalu dalam keadaan lo yang sibuk makan, acuh sama dunia di sekitar lo. Padahal ya, Bi, di nikahan kan rame banget, berisik. Tapi, lo kayak yang gak peduli gitu. Lo cuma peduli sama makanan. Lemme guess, lo sekarang pengen banget misuhin gue yang ngehalangin lo buat lari ke stall ice cream? Right?"

Mata Sinbi sudah terbelalak lebar sejak pria itu berujar kata 'makan'. Semburat merah mulai menjalar di wajahnya. Jadi, selama ini, ada orang yang mengawasinya ketika dia makan? What the fuck? God, for real? Do I look like a hungry pig? Damn!

Pasalnya, Sinbi sangat sadar diri, segila itu dirinya terhadap makanan. Iya, food for lyfe!!!! Apalagi ketika di pernikahan, waktunya all you can eat gratis. Ugh.

Eh, apa tadi katanya? Stall ice cream?

Sinbi sontak melirik arah stall ice cream yang berada tak jauh di seberang mejanya itu kini dipenuhi anak kecil yang mengantri.

"Eh, mau ke ma—" Gadis itu terkesiap ketika pria di hadapannya tiba-tiba bangkit berdiri.

"Tunggu di sini." Intruksi pria itu menyela dan berjalan menuju stall ice cream. Gadis itu tertegun memperhatikan punggung tegap pria itu, tubuhnya terbalut jas berwarna abu-abu, juga celana kain berbahan sama dengan jasnya. Sembari menunggu gilirannya mendapat ice cream, pria itu sesekali menyibak rambut hitam legamnya ke belakang. Membuat beberapa pasang mata—tentunya dari para perempuan di sekitarnya—menatap puja eksistensi makhluk seksi satu itu. Tak terkecuali Sinbi.

Kedua mata Sinbi membola ketika netranya bertubrukan dengan netra pria itu yang tiba-tiba menolehkan kepalanya ke arah Sinbi, lalu dengan sengaja mengedipkan satu matanya. Gadis itu tahu, dirinya tertangkap basah mengamati pria itu.

'Apa-apaan maksudnya, anjir?! Gue dikedipin cowok!'

'Wait, did I just check him out?'

Sinbi langsung memalingkan wajahnya, menatap sekitar—kecuali pada sosok pria aneh itu.

"Here," atensi Sinbi teralih pada empat cup ice cream yang disodorkan pria itu di atas meja, di hadapannya, "buat lo. Semua." Ujar pria itu riang kala Sinbi masih saja bergeming.

Kepala Sinbi mendongak, "semua?" Pria itu lantas mengangguk.

"S-serius, semua?!" Mata Sinbi melebar ketika hanya anggukkan kepala lagi yang didapat dari pria itu sebagai respon.

"Wow.." Gumam Sinbi pelan, nampak tak percaya. Ini benar-benar di luar nalarnya. Bayangkan, untuk mendapat cup ice cream yang kedua saja, biasanya dia harus menahan malu karena dua kali mengantri di stall ice cream, yang biasanya selalu dipenuhi anak kecil—yang sudah mengantri beberapa kali, bolak-balik, sampai diomeli penjaga stall.

Bagaimana bisa pria itu mendapatkan empat cup sekaligus dalam sekali antri? Juga, tiap cup itu berisi ice cream yang menggunung, bukan seperti ice cream pernikahan biasa yang hanya tiga kali menyendok saja sudah habis, sedikit sekali, tidak terasa.

Jurus apa yang dia punya?!

Ayolah, beri tahu Sinbi!

"Eum.. thanks"

"It's Jimin. Park Jimin." Pria itu mengangkat tangan kanannya, membuat Sinbi sedikit ragu menatap uluran tangannya. Namun tak ayal, ia segera meraih tangan itu, lalu menjabatnya.

Senyum Sinbi perlahan terbit, "thank you, Jimin."

❤❤❤

Dua minggu setelah pertemuan dirinya dengan pria bernama Park Jimin, di resepsinya Jonghyun-Nayoung, Sinbi kembali disibukkan dengan pekerjaannya sebagai freelancer, ia mendapat offer mengerjakan beberapa artikel yang akan terbit di sebuah majalah fashion terkenal.

Siang itu, ia baru saja tiba di rumahnya setelah dua hari sebelumnya, ia pergi ke luar kota untuk bahan liputannya.

"Ada Bang Minhyun sama Kak Bona, ya, Ma?" Tanya Sinbi setelah menyalami Mamanya yang menyambut dirinya di ambang pintu. "Kapan sampe? Mau nginep, ya? Sampe kapan?" Sinbi kembali bertanya, membuat Mamanya sedikit kesal karena dirinya sudah membuka mulut ingin menjawab, namun anak kesayangannya itu malah kembali bertanya dengan rusuh.

"Ckk, nanya satu-satu dong, Bi." Sinbi hanya menunjukkan cengirannya.

Mamanya mendengus, "kemaren si Abang nyampe, heem, mau nginep sampe hari Minggu." Ucap Mamanya seraya kembali ke dapur melanjutkan acara masaknya yang tertunda ditemani dua asisten rumah tangga.

"Bi, kamu istirahat aja sana. Nanti malem jangan lupa gabung ke bawah."

Setelah berteriak 'iya' dari lantai dua, Sinbi melangkahkan kaki menuju kamarnya. Lalu dengan cepat merebahkan tubuh lelahnya yang kaku karena menyetir mobil selama kurang lebih lima jam.

Tok! Tok! Tok!

Baru saja matanya terpejam, ia dikagetkan oleh ketukan pintu. Sinbi menghela nafas kasar. Terlalu malas untuk berjalan ke pintu.

"Masuk aja, gak dikunci." Seru Sinbi sedikit keras, membuat seseorang di luar sana langsung membuka pintu.

"Kenapa, Kak?" Tanya Sinbi pelan mendapati Bona memasuki kamarnya, lalu mendudukkan dirinya di tepi kasur Sinbi.

"Mandi dulu gih, baru rebahan. Badan kamu emangnya gak lengket, gitu, Bi?" Ujar Bona menarik-narik kecil ujung lengan baju Sinbi.

"Mager banget, Kak. Nanti aja, deh mandinya—eh, iya, Kak, nanti malem mau ada acara apaan, sih? Di bawah kayaknya sibuk banget. Mama, Mbak Ratih, sama Mbak Tita lagi masak banyak banget." Sinbi mencurahkan rasa penasarannya, tadinya ia ingin langsung bertanya pada Mamanya, tapi urung.

"Kakak juga, tumben banget Bang Minhyun mau ke sini, bukannya ini masih hari kerja, ya? Bukan masa liburan juga." Tanya Sinbi lagi semakin penasaran.

Bona terkekeh kecil menanggapi sang Adik Ipar yang kebingungan dan penasaran, "nanti juga kamu tau sendiri. Nih, aku ke sini mau ngasih kamu ini. Pake, buat nanti malem." Sinbi menerima sodoran paper bag berwarna hitam dengan raut muka yang semakin bingung, "dah ya, aku mau balik ke kamar Abang kamu dulu, tadi aku tinggalin sama Yoomin berdua. Takut Yoomin nangis." Sinbi masih bergeming menatap paper bag, menghiraukan Bona yang tersenyum jahil meninggalkan Sinbi dengan segudang pertanyaan di otaknya.

❤❤❤

Sinbi menatap jengah satu persatu keluarganya yang sedang dalam mode full team. Mamanya yang sudah berpenampilan rapih—sibuk memastikan makanan yang sedang ditata apik oleh Mbak Ratih dan Mbak Tita di atas meja makan panjang. Papanya yang sibuk memasang dasi. Minhyun yang juga berpenampilan rapih, kini sibuk menggendong dan menenangkan Yoomin yang mengedot susunya. Yang terakhir ada Bona, dengan balutan dress biru langitnya, ia sibuk memastikan ruang keluarga dalam keadaan rapih dan wangi.

Jengah. Iya, Sinbi juga muak. Dari ketujuh—ah, sepertinya Yoomin tidak usah dihitung, bayi itu baru berusia satu tahun—okay, ulang—dari keenam manusia yang ada di rumahnya itu, tak ada satupun yang menggubrisnya. Tak ada satupun yang menjawab pertanyaannya. Tak ada satupun yang berniat memberi secercah penerangan pada Sinbi agar rasa penasaran dan keingintahuannya itu sirna. Ckk!

Gadis itu mendengus seraya kembali memasukkan bulatan-bulatan soes coklat kering mini ke dalam mulutnya. Mulutnya sibuk mengunyah, sesekali berdecih sebal memperhatikan penghuni rumah yang sibuk sendiri.

"Eh, aduh, Sinbi ini jangan dimakanin mulu. Itu, kan, buat tamu nanti." Bona tiba-tiba datang menghampiri Sinbi yang duduk di pantry dapur sambil memeluk satu toples cemilan ukuran sedang. Tangan Bona merebut hati-hati toples yang dipeluk Sinbi, membuat gadis itu menekuk wajahnya, bibirnya mengerucut, tanda tak terima ia dijauhkan dengan cemilan favoritnya.

"Lagian, kan, kamu udah rapih gini, tuh, kan, remahannya kena gaun kamu. Tuh, juga, lipstick-nya jadi berantakan." Bona mengomeli Sinbi layaknya seorang Ibu mengomeli anaknya. Ia menarik tangan gadis itu, menegakkan tubuh Sinbi lalu merapihkan kembali penampilan Sinbi yang kini nampak anggun dengan balutan dress selutut tanpa lengan berwarna lilacdress pemberian Kakak Ipar-nya itu. Bona juga mengelap jari jemari Sinbi menggunakan tisu basah dengan telaten.

"Dah, rapih. Tamunya bentar lagi dateng. Senyum, dong, Bi, jangan cemberut terus." Kedua jari telunjuk Bona menarik ke atas dua sudut bibir Sinbi.

"Tau, ah, bete."

Ding! Dong!

Ding! Dong!

"Aaaaaa mereka udah dateng!" Mama Sinbi berteriak heboh. Ia berdiri di depan lemari kaca, mematut penampilannya sebentar, lantas bergegas menuju pintu utama. Papa serta Minhyun mengekori Mama menyambut tamu.

Sinbi masih bergeming di dekat pantry ketika Mama berteriak memanggilnya untuk datang ke ruang tamu.

Bona menggandeng Sinbi, keduanya berjalan ke ruang tamu yang kini dipenuhi beberapa kepala yang tampak asing. Namun, mata Sinbi tiba-tiba membola kaget ketika matanya menangkap eksistensi sosok pria yang tampak familiar. Mata keduanya bersibobrok. Tubuh Sinbi sampai mematung dibuatnya.

Pria itu menunjukkan senyum manis hingga kedua matanya membentuk garis lengkung. Senyum yang juga begitu familiar itu milik seseorang yang ia kenal.

Park Jimin.

Nafas Sinbi tercekat.

Ia akhirnya paham. Ia mengerti. Ia tahu, maksud dari acara ini. 

❤❤❤

"Nak Eunbi.." Suara lembut itu perlahan membuyarkan lamunan Sinbi. Ia segera menolehkan kepalanya ke arah wanita paruh baya yang duduk di seberangnya. Wanita itu tersenyum hangat, membuat Sinbi ikut mengulas senyum walau begitu canggung.

Acara makan malam sudah usai—tentunya karena Mama Sinbi yang memaksa untuk makan malam terlebih dahulu, mumpung makanan masih dalam keadaan hangat dan fresh. Kedua keluarga kini berada di ruang keluarga untuk membahas tujuan kedatangan sang tamu.

Sinbi menggigit bibirnya mendapati sorotan beberapa pasang mata mengarah ke padanya.

"Tentunya nak Eunbi sudah paham maksud dan tujuan kami sekeluarga datang bertamu ke rumah nak Eunbi," lanjut wanita paruh baya itu, yang Sinbi yakini merupakan ibu dari Jimin.

Sinbi hanya kembali tersenyum canggung menanggapi Ibunya Jimin. Ia meremat ujung dress-nya, menyalurkan rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Juga degup jantungnya yang mulai berdebar kencang kala manik pria bernama Jimin itu bertubrukan dengan maniknya.

Jimin di tempatnya memandang Sinbi dengan tatapan super lembut, seraya mengulas senyum manis, seakan menyampaikan kalimat penenang 'tenang aja.. gak usah gugup,' pada Sinbi.

Pria paruh baya yang duduk di samping Ibunya Jimin kemudian berdehem, membuat seluruh atensi beralih padanya. "Baiklah, atas nama putra saya, Park Jimin, saya berniat meminang putri Bapak dan Ibu, Hwang Eunbi, untuk saya nikahkan dengan putra saya. Tentunya saya juga harus meminta restu dari keluarga Eunbi." Pria yang merupakan Ayah Jimin itu berujar tegas, "bagaimana, Pak, Bu? Nak Minhyun? Apakah bersedia?" Tanya Ayah Jimin lagi, menatap penuh harap pada Mama dan Papa Sinbi.

Papanya Sinbi menolehkan kepalanya pada Sinbi yang kini mengeratkan genggaman tangan Bona. Ia menggigit bibir bawahnya gugup.

"Saya dan istri saya akan setuju dengan segala keputusan yang dibuat oleh anak saya, Eunbi. Saya tidak ingin mencampuri urusan hatinya. Dia sudah cukup dewasa untuk memilih calon suaminya sendiri. Restu saya sekeluarga selalu menyertainya." Ucap Papa Sinbi tegas namun lembut. Mata Sinbi sudah nampak berkaca-kaca mendengar untaian kata-kata sang Papa.

Ia tahu. Ia sudah tahu jawabannya. Hatinya memang sudah menetapkan jawaban pasti. Juga, selama acara makan tadi, dirinya sudah berperang batin tentang apa yang harus dirinya lakukan.

Maju, atau mundur?

Tapi dirinya tidak menemukan satu pun alasan yang membuat dirinya harus mundur.

Lagi pula, dia tidak tahu caranya menolak pria itu. Dirinya saja sudah kepalang kaget dan tak percaya, melihat keberanian pria yang tempo hari bertemu dengan dirinya itu di pernikahan teman, juga dia yang berterus terang menyatakan ketertarikannya terhadap Sinbi—datang ke rumah membawa serta keluarganya untuk meminang Sinbi.

Tidak seperti kebanyakan pria yang mendekati gadis itu, mereka masih stuck di hubungan yang belum tentu serius.

Di umurnya yang sudah menginjak 24 tahun, gadis itu tidak lagi mencari pacar, ia butuh yang benar-benar serius dengan dirinya untuk menjalin hubungan.

"Bagaimana, Eunbi? Papa sama Mama ngikut kamu aja," ucap Papa lagi.

"Abang juga." Minhyun bersuara, seraya menatap Sinbi, meyakinkan segala keputusan yang dibuat Sinbi. Lagi pula, Jimin itu merupakan salah satu sahabat Minhyun. Keduanya sudah mengenal dekat satu sama lain.

Perlahan Sinbi menatap Jimin, lalu manik matanya bergulir menatap Ibu Jimin, dan terakhir Ayahnya.

Kepala Sinbi mengangguk pasti.

"Iya, Om. Saya bersedia."

❤❤❤

Tatapan lembut penuh afeksi, terus Jimin layangkan pada gadis yang berdiri tak jauh dari posisinya.

Deburan ombak yang menyeruak pantai sore itu menambah kesan romantis suasana yang melingkupi keduanya, yang terlarut dalam keheningan masing-masing.

Meromantisasi segala hal yang berkaitan dengan gadisnya itu adalah hal yang akhir-akhir ini Jimin lakukan. Ia menggigit pipi dalamnya menahan gemas, melihat Sinbi yang tampak kesal karena tiupan angin sore yang berhasil mengacak surai coklat Sinbi yang terurai.

"Mas,"

Mengetahui Jimin yang ternyata sebaya dengan Minhyun, Sinbi yang kepalang malu itu segera meminta maaf pada Jimin, karena telah bersikap tidak sopan. Ia langsung merubah panggilannya, menghormati Jimin yang lebih tua tiga tahun darinya.

Tentu saja, pria itu tak pernah merasa keberatan atau bahkan tersinggung akan sikap Sinbi di awal masa perkenalan mereka. Iya, memang, sudah jadi bucin.

"Mas,"

"Mas Jimin?"

Jimin terkesiap mendapati Sinbi yang sudah berdiri di hadapannya. "Mas kenapa? Sinbi panggilin dari tadi, kok gak nyaut-nyaut?" Tanya Sinbi heran seraya tangannya sibuk berulang kali merapihkan rambutnya yang diacak angin.

"Gak papa, cuma sibuk merhatiin kamu aja." Balas Jimin dengan tatapan jahilnya, kedua tangannya menyelinap memeluk pinggang ramping Sinbi.

Sinbi sendiri sudah tersipu akan kata-kata juga perlakuan dari suaminya itu.

Iya, keduanya baru saja mengikat janji suci empat hari yang lalu. Satu bulan sesudah acara lamaran, kedua keluarga sepakat untuk melangsungkan pernikahan dalam waktu satu bulan ke depan. Jimin dan Sinbi hanya bisa pasrah dan mengikuti kemauan orang tua keduanya. Lagi pula, Jimin memang sudah tidak sabar ingin memperistri Sinbi. Mengingat ia memiliki banyak saingan di mana-mana. Telat sedikit, ia akan tersalip. Syukurlah, semuanya berjalan lancar sesuai kehendaknya. Juga kehendak Tuhan.

Kini pasutri muda itu tengah menikmati liburan—iya, iya.. maksudnya honeymoondi Pulau Jeju, Korea Selatan.

"Mas, ada iket rambut, gak?" Sinbi memperlihatkan wajah memelasnya, merasa frustasi, angin itu tak mau berhenti mengacak surainya. "Sinbi lupa bawa, ini angin rese banget sumpah, rambutnya masuk terus ke mulut, nih," gerutuan Sinbi disambut tawa riang dari Jimin.

"Sini, sini.." Jimin melepaskan sebuah karet gelang hitam dari pergelangan tangannya. Kedua tangannya kemudian menyapu rambut Sinbi dari arah depan, mengumpulkannya dalam satu genggaman, lalu mengikatnya dengan karet tadi, membentuk pony tail yang posisinya tidak tepat di tengah, sedikit miring ke kiri.

Sinbi sibuk memperhatikan wajah serius Jimin dari bawah. Kepalanya mendongak. Bagaimana pun juga, meskipun Sinbi termasuk jajaran perempuan tinggi, pria itu masih lebih tinggi dari pada Sinbi.

Jimin masih sibuk merapihkan rambut Sinbi, kembali berusaha agar posisi ikatannya ada di tengah. Pergerakkannya sempat terhenti ketika gadis di hadapannya itu bergumam dengan suara rendah.

"Ganteng," gumam Sinbi yang asik memindai wajah tegas Jimin. Tangannya terulur, jemari lentiknya menyusuri tiap lekukan wajah sang suami.

"Awh!"

Erangan Sinbi lolos ketika Jimin tiba-tiba saja menggigit gemas jari telunjuk Sinbi yang tengah mengelus bibir tebalnya.

"Kok jari Sinbi digigit?" Sinbi menatap nanar jari telunjuknya yang menjadi korban gigitan sang suami.

"Nakal banget, sentuh-sentuh," Jimin mendelik, "kalo mau cium, bilang aja, sih." Tutur Jimin lagi membuat mata Sinbi membelalak kaget. Degup jantungnya mulai berdebar kencang. Ia malu kala Jimin mengucapkan kata 'cium'.

"Dih, enggak, ya!" Seru Sinbi sebal.

Sinbi berjalan menjauhi Jimin yang menatapnya dengan tatapan jahil karena berhasil mengerjai dirinya.

Dengan jarak yang lumayan jauh, namun masih tetap dalam pengawasan Jimin, sebuah senyum seringaian perlahan terbit di wajah Sinbi. Ia menatap Jimin sekilas, lalu menatap ke arah laut yang terhampar di depannya. Semburat jingga yang terpancar di ujung laut sana membuat suasana semakin mendukung keheningan romansa.

Apalagi, pantai itu kini hanya berisi mereka berdua. Tak ada pengunjung lain di sana. Jimin memilih tanggal honeymoon di waktu weekday dan hari-hari sibuk kerja. Setidaknya tidak akan terlalu ramai atau penuh pengunjung layaknya hari libur dan weekend. Keduanya pun merasa beruntung, ketika sore hari itu pantai benar-benar kosong.

Sedang asik-asiknya menikmati senja, juga tangan yang sibuk menekan shutter kamera, mengabadikan indahnya pantai dari berbagai sudut—kedua mata Jimin tiba-tiba membola. Mata sipitnya itu ia lebarkan selebar mungkin, menyaksikan pemandangan di hadapannya. Mulutnya juga menganga lebar.

"Apa-apaan?!" Desisnya tak percaya.

Di ujung sana, Sinbi—gadis itu, setelah memastikan atensi Jimin berpusat pada dirinya—entah keberanian dari mana, ia perlahan melucuti pakaiannya. Dari mulai menarik ujung kaos crop top-nya, melepaskannya melewati kepala dengan gerakan penuh sensual, lalu melemparkan kaos itu asal. Jari lentiknya perlahan membuka kaitan kancing hot pants jeans-nya, mata gadis itu kembali melirik Jimin, memastikan suaminya itu menyaksikan semuanya. Jarinya kembali bergerak menurunkan resleting celananya, lalu perlahan menurunkannya, melepasnya. Celana itu kemudian bernasib sama dengan kaosnya.

Jimin yang masih mematung di posisinya berkali-kali menelan ludahnya dengan susah payah. Dia menatap gadisnya itu, yang kini tubuh moleknya hanya berbalut bikini berwarna biru langit—dengan tatapan lapar.

"Shit!" Umpatnya emosi, melihat Sinbi di sana melepaskan ikatan rambutnya, membuat surai coklat panjangnya itu terhembus angin dengan indahnya.

"Gila! Sial! Gue gak tahan!"

Melihat Jimin yang mulai bergerak melangkah, membuat senyum seringaian Sinbi muncul kembali. Dirinya berhasil balik mengerjai pria itu.

Sinbi tertawa sambil berlari mendekati laut ketika Jimin memacu langkahnya lebih cepat ke arah gadis itu. Langkah kaki Sinbi dengan lincah menari-nari di atas pasir, berusaha menghindari kejaran Jimin.

"Park Eunbi!"

Jimin berteriak. Dirinya sudah semakin dekat dengan gadisnya. "I swear I'm gonna punish you mercilessly!"

"Aaaaaa ampun, Mas, gak lagi deh, huhu maafin Sinbi! Aaaaa!" Sinbi berlari ketakutan masih menghindar. Tangannya berkali-kali menyipratkan air laut ke arah Jimin.

Okay, ini terlalu India banget. Skip!

Sekali sentakan, tangan kekar Jimin berhasil menarik tangan Sinbi hingga gadis itu menubruk badan Jimin yang entah sejak kapan Sinbi tak tahu dan tak menyadari, pria itu sudah bertelanjang dada.

Tubuh Sinbi meremang hebat ketika kulit mereka bersentuhan secara langsung. Sinbi juga dapat mendengar deruan nafas tak beraturan Jimin, juga degupan jantung pria itu yang berdegup kencang. Keadaan yang sama persis dialami dirinya juga sekarang.

Sinbi mendongak, menatap manik kelam Jimin yang juga tengah menatapnya dengan penuh hasrat. Susah payah Sinbi menelan ludahnya.

She already knows, she's fucked up!

Dengan sekali gerakan, tubuh Sinbi sudah berada dalam gendongan Jimin. Gadis itu secara natural mengalungkan kedua lengannya di leher Jimin. Langkah kaki pria itu membawa keduanya menuju kedalaman air dengan tinggi sebatas dadanya.

Jimin menurunkan Sinbi, membuat tubuh gadis itu hampir oleng ketika memijakkan kedua kakinya di pasir, namun lingkaran tangan Jimin di pinggangnya menahannya. Masih dengan tangannya yang mengalung di leher pria itu, Sinbi merapatkan tubuh, ia sedikit berjinjit mendekatkan bibirnya ke dekat telinga Jimin.

"Gak usah ditahan kalo Mas gak kuat," bisik Sinbi pelan.

Manik Jimin menelisik ke dalam manik indah Sinbi, "may I?" Pria itu berbisik parau seraya mengeratkan pelukannya di pinggang sang gadis.

Dengan satu anggukan kecil Sinbi, Jimin perlahan mendekatkan wajahnya, kepalanya miring lalu tanpa ada hambatan lagi, bibirnya mendarat sempurna di bibir gadis itu. Keduanya perlahan memejamkan mata seraya tersenyum lega dalam hati. Keinginan yang menggebu-gebu, yang selama ini keduanya tahan, akhirnya bisa tersalurkan.

Perlahan bibir Jimin bergerak melumat bibir Sinbi yang dibalas juga oleh Sinbi dengan senang hati. Lumatan yang tiap detiknya semakin berpindah ke next level.

Sungguh liar untuk dideskripsikan. Intinya, terserah imaginasi pembaca saja.

Keduanya masih betah berciuman di dalam air, sambil berenang, juga bercinta, menyalurkan hasrat insan masing-masing, ditemani cahaya senja yang perlahan menggelap menenggelamkan diri di ujung laut sana.

Dingin? Tidak. Bercinta itu membuat tubuh keduanya panas membara, apa lagi sambil berenang, basah-basahan di laut, malah semakin mengantarkan keduanya sampai di puncak kepuasan. Haha.

Tangan Sinbi yang jari jemarinya sudah mulai berkerut akibat terlalu lama di air, menutup mulut Jimin ketika kepala Jimin berhasil ia jauhkan dari area lehernya.

"Udah gelap, Mas.."

"Terus?" Sahut Jimin acuh, tangannya masih sibuk menggerayangi pangkal paha Sinbi di bawah sana.

"Ish," Sinbi menjauhkan tangan Jimin dari tubuhnya, "kelamaan di air, kulit Sinbi udah keriput, mana laper juga, ayo ah balik ke hotel!" Tanpa mendengar respon Jimin, gadis itu dengan cepat menarik tangan sang pria keluar dari laut.

"Cepet pake baju, Mas! Jangan liatin Sinbi terus, ih!" Sinbi sudah salah tingkah diperhatikan oleh Jimin yang matanya itu terus menerus menatap tubuh Sinbi, masih dengan tatapan lapar seperti tadi. Gadis itu mempercepat gerakannya memakai pakaiannya kembali.

Ckk, ke mana kah kepercayaan diri Sinbi yang tadi, yeorobun?

Pinggang Sinbi kembali ditarik Jimin, "it's not over, yet, Sweetheart. Let's get to our hotel asap, and finish what you've started."

Dengan satu kecupan di bibirnya yang sudah membengkak, gadis itu kembali terpaku memperhatikan Jimin yang kini mengambil kaos dan juga kameranya di sana, setelah memberinya satu kecupan.

Senyum Sinbi perlahan mengembang, ia kemudian berlari, lalu tanpa aba-aba melompat ke punggung Jimin dan memeluk leher pria itu erat. Jimin dengan cekatan menahan tubuh Sinbi dan menggendong gadis itu di punggungnya. Untungnya, ia masih bisa menyeimbangkan tubuhnya agar tidak oleng, menahan beban Sinbi.

"Can you give me a piggy back ride then?" Cicit Sinbi di telinga Jimin, membuat pria itu tertawa gemas dibuatnya.

"As you wish, My Queen."









————————Heerami_Truffle

actually, i'm on a semi-hiatus state rn. i'm having an skd test by 25 of this month. and that's make me have to study hard to learn civic, history, and also math. those are not my thing. it's been a long time since i've worked my brain, tho.

but i felt the urge to update this work :( so i come up with this chapter, hehe..

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 80.8K 31
Penasaran? Baca aja. No angst angst. Author nya gasuka nangis jadi gak bakal ada angst nya. BXB homo m-preg non baku Yaoi 🔞🔞 Homophobic? Nagajusey...
33.7K 5K 32
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
217K 33.1K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
1M 82.5K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...