Tentang Jayyida

By muti3536

126 33 68

Jayyida sangat menyukai sekolah. Tapi ia harus berhenti sekolah karena masalah keluarganya. Namun, Sekolah me... More

Bab 1 Ini Jayyida
Bab 2 Nilai 100
Bab 4 Cahaya Kelabu
Bab 5 Cahaya Terang
Bab 6 Mencari Cahaya
Bab 7 Mendekati Cahaya
Bab 8 Menyusuri Cahaya
Bab 9 Cahaya yang Hilang
Bab 10 Jayyida Kenapa?

Bab 3 Aku Akan Berhenti Sekolah

18 4 9
By muti3536

"Aku benci Bapak," tulis Jayyida di buku Sosiologi. Konsentrasinya hilang di tengah mata pelajaran berlangsung. Ibu menguasai pikirannya. Jayyida tak ingin melihat bapaknya sejak tadi malam, setelah insiden Ibu terluka. Ia bahkan, menyelinap ke sekolah saat Bapak di kamar mandi. Tak ingin menunggu Bapak untuk meminta restu pagi ini.

Plukk!

Bulatan kertas tiba di atas meja, di depan matanya.

"MIKIRIN AKU, NENG?"

Tulisan ekor bebek itu menyeringai di pelupuk mata Jayyida dan seketika membuatnya bergidik. Ia menoleh pada meja meja bangku di sampingnya. Syafi, Si Sapi Keriting.

Jayyida memamerkan tajamnya ujung alat penggambar lingkaran atau buru itu, jangkar, ke hadapan Syafi. Lagi-lagi Si keriting itu membuatnya kesal.

Melihat reaksi Jayyida tersebut, Syafi ciut. Ia menurunkan senyum genitnya dan memasang jari V. "Marah terus nih Jayyida. Kayak cewek lagi ngidam," gumamnya.

"Emang lu pernah ngidam?" bisik Rudi pada Syafi yang mendaratkan sikut di pinggangnya.

"Gue baru aja ngelahirin seminggu lalu," cetus Syafi.

Rudi cekikikan tipis sambil menutup mulutnya. Ia berharap Bu Laila tidak mendengarnya tertawa.

"Normal apa Sesar, Neng?" timpal Rudi. Syafi menjitak kepala Rudi agar segera diam.

Jayyida memasang penghalang agar Syafi tak mengganggunya lagi. Ia berdirikan buku di ujung meja dan memastikannya tidak roboh. Ia kembali menatap bukunya dalam. Ada luka di hatinya, perih. Getar pilu menyebar di kalbunya. Ingin ia menangis, tapi itu akan menggangu teman-temannya belajar. Lagi pula ia akan malu nantinya. Ditahannya si air mata dan membuatnya semakin sesak. "Aku akan berhenti sekolah. Harus." Ghayda membatin.

Sari menggengggam tangan Jayyida erat. Ia tahu sahabatnya sedang tidak baik-baik saja, walaupun ia tidak tahu apa yang sedang menimpanya.

Menyadari bahwa Sahabatnya tahu keadaannya membuat Jayyida tidak bisa membendung air matanya. Segera ia hapus air mata yang tiba-tiba jatuh dengan secepat kilat dan kembali tertunduk.

"JANGAN TATAP AKU. NANGIS BENERAN NANTI," tulis Jayyida di buku paket Sosiologi miliknya. Hal yang tak pernah ia lakukan, mencoret buku paket pelajaran.

Sari langsung mengubah arah pandangannya. Ia perhatikan Bu Laila yang tengah menjelaskan materi tentang pengendalian sosial, walaupun pikirannya penuh tanya tentang Jayyida.

***

"Ya Allah, kenapa hidupku begitu sulit?" batin Jayyida

Jayyida tampak lemas tak bersemangat setelah melihat papan pengumuman yang berisikan informasi Penilaian Akhir Sekolah (PAS) semester ganjil, beserta jadwal lengkapnya. Terbayang lagi di pelupuk mata kejadian semalam. Ia merasa nasibnya kini berada diujung tanduk, tidak hanya memikirkan nasib sekolahnya dan sekolah kakaknya, melainkan juga nasib ibunya, keluarganya.

"Orang lain begitu mudah menjalani dan mendapatkan sesuatu. Kenapa sukar sekali untukku? Adil Engkau, Ya Rabb" Jayyida membatin pilu. Ada rasa cemburu ketika melihat teman-teman dan anak-anak seusianya yang bersinar cerah masa depannya.

Jayyida terus berjalan meninggalkan Sari dan kerumuman siswa di depan papan pengumuman. Ia memilih pergi ke belakang sekolah dengan penuh putus asa. Namun, baru saja kaki kanannya memasuki gerbang, ia mendengar sebuah suara.

"Aku sudah cukup bersabar untuk berada di sini. Kini waktunya aku harus pulang. Pulang!" teriak suara yang Jayyida kenal. "Kakak tahu aku tidak suka di tempat buruk ini. Tapi, kalian tetap memaksaku untuk tinggal. Kalian semua membuangku secara perlahan." Suaranya meninggi dan penuh amarah.

Jayyida memajukan langkahnya tanpa suara dan mencapai gerbang. Ia melihat sosok yang dikenal. Sapi keriting. Sesuatu membuatnya tak bisa berpaling darinya. Mata menyala milik Syafi sedang tergenang banjir yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

"Biarkan aku pulang. Aku tidak mau dikurung di pesantren." Syafi masih berapi-api.

"Syafi, dengarkan Kakak. Kita tidak pernah membuang kamu," ucap seorang perempuan yang di sebut Kakak. Jayyida tidak bisa melihat wajahnya, punggungnya saja. "Kita mau lihat kamu jadi lebih baik sebelumnya. Kamu harus jadi anak yang baik. Kakak paham. Tidak mudah untuk kamu berada di pesantren ini. Tapi cobalah bersabar. Semua akan berlalu dan baik-baik saja."

"Untuk apa aku menjadi baik, jika keluargaku saja begitu buruk? Semua sibuk dengan urusan masing-masing," tepis Syafi. "Untuk apa anak baik jika kalian saja tidak bisa menjalani peran yang baik sebagai keluarga utuh."

Kakak Syafi tidak bisa mengatakan apapun mendengar tuntutan Syafi. Tampak air mata Syafi mulai turun dengan amarah masih bertengger.

"Apa Kakak sudah mampu menjadi Kakakku? Apa Papa pernah hadir di acara sekolahku? Atau Apakah Mama pernah membuatkanku sarapan? Kalian semua terburuk dari yang terburuk. Sekarang menuntutku harus menjadi anak baik? Kalian egois! Now get out of my face!" Syafi mendorong Kakaknya untuk menjauh. Ia kemudian memunggungi Sang Kakak.

"Syafi, dengerin Kakak kali ini saja. Kakak mohon." Kakak Syafi mengiba. "Tidak ada maksud untuk membuangmu, Dek. Jangan salah paham."

"Pergi!" Syafi tak ingin berpaling meski Sang Kakak berkali-kali memohon. Setelah itu, Sang Kakak pergi menuruti perintah adiknya.

"Kita memang buruk. Keluarga kita membusuk dan kamu tersakiti. Tapi kamu tidak boleh seperti kita," ucap Kakak Syafi sebelum benar-benar pergi.

Syafi bergeming.

Jayyida panik ketika Kakak Syafi membalikkan badannya dan melangkah keluar gerbang. Namun, ia agak tenang karena sama sekali Kakak Syafi berjalan tegak seolah-olah tak melihat kehadirannya saat melewatinya. Ia melihat Syafi sudah terduduk di rumput. Sebenarnya, ia bermaksud menenangkan pikirannya datang ke belakang sekolah ini. Tapi, ia berujung melihat pemandangan tidak mengenakkan.

"Seharusnya aku pergi saja dari sini. Tapi kenapa aku harus masuk sini?" rutuk Jayyida dalam hati. Ia tak ingin menemukan kecanggungan ketika Syafi menydari kehadirannya. "Ah, belum tentu Si Keriting itu tahu aku di sini." Jayyida maju diam-diam dan duduk di bangku panjang di bawah pohon jambu air. Tinggi dan rimbunnya daum pohon jambu itu menyejukkannya. Hingga siapapun yang berhasil duduk di bawahnya akan betah berlama-lama di situ.

Jayyida memejamkan mata meresapi kesejukannya. Lebih tepatnya mengundang agar sejuk itu datang dan menyembuhkan kepenatan hati dan kepalanya.

"Oi! Ayi. Ngapain di situ? Bolos?" seru Syafi dari kejauhan. ia berdiri dan berjalan ke arah Jayyida.

"Aish! Ganggu aja!" gumamnya kesal.

Tak lama kemudian, Syafi sudah duduk di samping Jayyida. "Ngapain di sini? Bentar lagi bel masuk," ucapnya. Nada bicara dan ekspresinya biasa, seolah tak pernah terjadi apapun. Meski begitu,bening yang menggantung di setiap helai bulu matanya masih terlihat oeh Jayyida.

"Aku mau bolos atau enggak itu bukan urusanmu," sahut Jayyida ketus.

"Ketus banget, Neng. Masih marah pasal bola tempo hari? Baru kali ini ada ketusin gue. Biasanya dibayar pake senyum dikit, cewek-cewek malah balik klepek-klepek sama gue." Syafi memamerkan kepedeannya.

"Gue, gue, gue! Sakit di telinga." Jayyida mengorek-korek kuping yang tertutup kerudung bergo putihnya.

"Nanti elu jatuh cinta kalau gue ngomong pake aku-kamu."

Di mata Jayyida senyum itu menyebalkan. "Kamu masuk kelas, gih, sana. Jangan ganggu. Merinding lama-lama deket kamu." Jayyida mengusap-usap lengannya seperti kedinginan.

"Jahat banget, Ay. Lu pikir gue dedemit. Biarin gue di sini lah bentar aja," kata Syafi memelas. Ia menunduk. "Gue cuma mau duduk, kok. Suer, deh." Syafi mengangkat Jari victory-nya.

Jayyida terdiam melihat wajah palsu dan sok tegar milik Syafi. Ia tahu, Syafi tidak beneran menggodanya dan murni ceria. Matanya sendu dan memerah. Setelah itu, tidak ada sepatah kata pun di antara keduanya. Hening. Hanya semilir angin terbang seolah berbisik pada pohon bamboo dan bergosip tentang mereka berdua.

"Jadi orang jahat itu akan nyakitin orang lain, Syaf." Jayyida memecah keheningan. "Orang baik akan selalu menyelamatkan orang sekelilingnya. Memang enggak mudah buat jadi baik, tapi hasilnya adalah kebaikan itu akan bertahan lama dan bahkan selamanya." Ia menatap Syafi yang mengerutkan kening tanda ketidakmengertian dengan ucapannya, Ia tak peduli. "Orang sekolah untuk memperbaiki kualitas hidup. Jadi orang baik. Itu benar."

Jayyida menatap sepatu dengan tali dekilnya. Sedang Syafi masih menatapnya. Ia menunggu apa yang akan diucapkan Jayyida lagi.

"Sejak kapan lo di sini? Denger gue sama Kakak berantem?" rahang Syafi mengeras.

"Walaupun sekolah dan pesantren itu tidak selalu jadi jaminan akan menjadikan seseorang itu baik, setidaknya orang itu telah menjalani proses menjadi orang baik dan ditunjukkan mana yang baik dan buruk." Jayyida tidak menghiraukan pertanyaan Syafi. "Kebaikan itu akan selalu dalam hati. Sewaktu-waktu ia akan bangkit bantu hidup kita. Itu yang aku yakini."

"Kamu ngomong apa, Ay?" tanya Syafi lirih. Kalimat Jayyida yang panjang masuk ke hatinya walaupun ia tidak mengerti.

"Aku mau banget jadi orang baik. Dengan begitu, aku enggak akan nyakitin orang lain." Jayyida teringat Bapaknya sehingga pedih hatinya datang lagi. "Laki-laki harus baik, Syaf. Mereka akan punya anak isteri. Kalau tidak baik, mau diapakan anak isterimu nanti. Dilenyapkan lebih baik dari pada disakiti." Jayyida bangun dari duduknya.

Syafi terpaku dengan kata-kata Jayyida padanya. Ia pikir temannya sudah ngelantur terlalu jauh. Ia masih terdiam saat Jayyida sudah pergi meninggalkannya sendirian di bawah pohon jambu itu. Semakin lama ia renungkan, semakin disadarinya sesuatu. Kalimat terakhir Jayyida yang mengejutkan. "Jayyida kenapa?" batinnnya. Setelah itu ia sadar telah ditinggalkan sendirian.

"Ay, tunggu!" seru Syafi. "Tumben nyebut gue Syaf."


Bersambung..

Hai, terima kasih sudah membaca ceritaku.

Terima kasih masih membaca lanjutan cerita ini.

Terima kasih atas kritik dan sarannya. Aku terharu. huhuhuhuhu.


Ceritain, dong gimana menurut kamu cerita ini.

Vote-nya boleh? (Pasar dua bola mata Upin Ipin) 

Continue Reading

You'll Also Like

250K 11.5K 17
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓡𝓲𝓼π“ͺ𝓷�...
2.6M 264K 62
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
1.3M 95.7K 43
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
686K 9K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+